Teriakan Hanae kembali terdengar karena mendadak ada badut lain yang tidak kalah menyeramkan keluar dari balik pepohonan di depannya. Jantung sang gadis sudah serasa akan berhenti akibat rasa takut luar biasa.Mungkin terkesan sesederhana itu, badut! Akan tetapi, tidak bagi Hanae yang memiliki trauma ketakutannya tersendiri. Ia menangis kencang, meraung meminta tolong, tetapi sepertinya tidak ada yang mendengar suara jeritannya.Kaki terus berlari dan tanpa sengaja tersandung akar pohon. Ia tersungkur ke atas tanah hingga seluruh pakaiannya terkena lumpur cokelat dan kotor tidak karuan.Tak peduli meski bajunya kotor, Hanae cepat berdiri, menyambar obor, dan terus berlari. Dalam batin traumatisnya, kehadiran badut sama saja dengan mengancam nyawa. Ia bergerak cepat, tetapi kembali tersandung bebatuan dan sekali lagi tersungkur mencium tanah.Kacamata yang dibelikan Xavion seharga seribu Dollar lebih terlepas dari matanya. Ia menjerit ketakutan! Air mata panik mulai menuruni pipi. Tang
Para peserta malam keakraban mulai berdatangan, berkumpul di tengah lapangan untuk mengikuti acara api unggun. Tiga jaksa yang paling digandrungi kaum hawa terlihat berjalan bersamaan, membuat senyum manis muncul di wajah setiap wanita.Tak terkecuali wajah Margie yang ternyata sudah duduk manis di pinggir lapangan bersama teman-temannya. Menanti kedatangan atasan mereka, yaitu Chaiden.Fanty dan Deasy tidak terlihat. Tentu saja tidak terlihat. Dua wanita psycho yang terus membuat Hanae kesulitan sedang cosplay jadi badut IT, menakut-nakuti hingga sesuatu yang buruk terjadi.Ezra berjalan menuju timnya sendiri karena memang namanya saja malam keakraban. Tentu masing-masing harus bersama tim mereka sendiri, bukan tim lain. Akan tetapi, matanya jelas mencari satu sosok yang tidak terlihat duduk di antara karyawan tim Xavion. ‘Di mana Hanae?’ pikir Ezra sambil terus memerhatikan, siapa tahu yang dicari sebenarnya ada di sana, tetapi tidak terlihat.Sementara sang pemimpin justru cuek sa
Suara Chaiden terdengar jelas di telinga Xavion yang masih terus meraung penuh kesedihan. “Ayolah! Mundur dari sini dan biarkan petugas memadamkannya! Fuck you! Aku tidak mau melihatmu terbakar!” Tubuh besar Chaiden mulai menggeret sahabatnya ke belakang. Dengan dibantu karyawan lain, akhirnya Xavion berhasil dijauhkan dari garasi.***Di atas tanah berumput hijau segar, sekitar 70 meter dari kabin yang sedang terbakar tersebut, di sanalah Hanae duduk dalam pelukan Ezra. Tubuhnya gemetar hebat! Tangis tidak bisa berhenti terdengar bersama napas tersengal seperti orang sedang tenggelam.“Badut ... badut! Badut ...!” tangis Hanae, menggeleng ketakutan dalam pelukan Ezra. Ia peluk lelaki itu sangat erat bersama tubuh meggigil ketakutan.Ezra tersengal pula saat mendengarnya, “Badut? Kamu melihat badut?”Anggukan Hanae menjadi jawaban sebelum kalimat pilu kemudian menyusul, “Mereka mengejarku! Dua badut mengejarku! Mereka mau menculikku! Mereka mau menyakitiku! Takut! Aku takut!” tangisn
Xavion memperlihatkan sisi terburuk dirinya. Ia mendengkus buas ketika jemari mencekik leher Hanae. Setiap tekanan yang diberikan pada otot leher sang gadis dan membuat udara makin sulit diraih menghadirkan kesenangan tersendiri padanya.“This is a fucking redemption, Bitch!” bisiknya bengis di telinga Hanae, mengatakan ini adalah waktunya pembalasan. Bahkan, saking murkanya mobil sang ayah dibakar, ia memaki wanita itu dengan sebutan yang sangat merendahkan.“Kkkhh ... kkkhhh!” Mata Hanae mulai merah dan berair. Sepuluh jemari mencengkeram lima jemari Xavion yang sedang mencekik lehernya. Ia berusaha melepaskan diri dari rengkuhan mematikan tersebut.Kesadaran wanita itu sepertinya menjelang sirna karena pandangan mulai terlihat buram. Suara di sekitar pun menjadi hanya seperti dengung lebah. Selain syok berat, kelelahan, ia juga menghirup cukup banyak gas beracun dari kebakaran di dalam garasi tadi.Ditambah sekarang dicekik hingga udara bersih makin mustahil diraih, Hanae pasrah da
Ezra merebahkan Hanae di atas ranjang periksa di klinik kecil sederhana milik Yellow Valley. Satu orang petugas kesehatan sudah ada di sana dan membantunya membersihkan luka serta mengobati goresan perih di sekujur tubuh sang gadis.Saat kotoran sedang dibersihkan menggunakan berbagai alat medis, perlahan mata Hanae mengerjap. Suara lirihnya terdengar, “A-aku di ... aku di ma-mana?”Ezra segera mendekatkan diri pada wajah lusuh dan kumal wanita tersebut. “Aku membawamu ke klinik. Tenanglah, aku di sini bersamamu. Tak ada yang bisa menyakitimu.”Sambil meringis menahan sakit di lutut yang terluka cukup dalam, Hanae melihat sekeliling. “Kita masih di malam keakraban? Aku ... tadi ada mobil terbakar. Aku tidak sengaja! Aku ketakutan!”Ezra cepat memeluk dan mengusap punggung Hanae. “Ssshh, tenanglah, tenanglah. Sudah, jangan dipikirkan. Aku tahu kamu tidak berniat membakar mobil Xavion.”“Ada badut! Dua badut! Mereka mengejarku!” tangis Hanae terisak dalam pelukan seniornya. Jemari wanit
Permintaan Xavion seaneh deru napasnya yang berubah mendadak saat bibir didekatkan pada leher dan telinga Hanae. Berawal dari ingin wanita itu membayar perbuatan membakar mobil kesayangannya, ada sesuatu lebih yang kemudian mengekor di belakang permintaan itu.“Kepu-kepuasan ... kepuasan fi-fisik?” gagap Hanae tak mengerti. Namanya saja gadis panti asuhan yang culun dan polos. Dijauhi semua orang, tak pernah memiliki kekasih, mana dia tahu makna kepuasan fisik?Xavion terkekeh sinis, “Tentu saja! Dan kalau kamu tidak tahu bagaimana melayani kepuasan fisikku, maka aku akan mengajarinya!” bisik sang jaksa tampan bak bisikan setan mengerikan di telinga Hanae.“You see, pelayanku baru saja berhenti bekerja tadi pagi. Kamu gantikan dia, atau aku akan menjebloskanmu ke penjara!” ulangnya satu kali lagi.Jemari kokoh dan besar Xavion merayap turun dari leher Hanae. Ia pandangi gadis polos seiring memori terus memutar ulang pemandangan indah di kamar mandi sore tadi. Ia tak bisa berhenti meng
Sepulang dari acara malam keakraban, Hanae merapikan barang-barangnya di kamar tidur panti asuhan Blessed Mother Marry. Ia terisak sangat pelan. Sebuah amplop surat yang sudah terlihat cukup usang dikeluarkan dari laci meja. Ia tersenyum getir melihat amplop surat tersebut. Tertulis di bagian depan, “To: Hanae. From: Raze Chi.” Bisik Hanae terdengar seiring air mata diusap oleh jarinya yang sedikit gemetar menahan kesedihan. Baru kali ini ia harus meninggalkan kamar panti asuhan yang sudah ia tinggali sejak masih bayi. "Apa kamu masih hidup, Raze? Apa kamu baik-baik saja? Apa hidupmu bahagia? Kenapa kamu tidak pernah kembali untuk menengokku seperti janjimu?” Ingatannya kembali ke masa lalu. Meski semua wajah yang ada teringat secara samar, tetapi ia terus menyimpan memori tersebut. Seorang anak remaja laki-laki duduk bersamanya di teras panti asuhan. “Aku akan pergi besok. Simpan terus surat ini supaya kamu tidak lupa padaku, ya?” Remaja lelaki itu berucap dengan nada lembut
Menaiki taksi berwarna kuning, Hanae menuju rumah Xavion. Semenjak rombongan kejaksaan kembali menuju Los Angeles, ia sudah diberi alamat rumah bos angkuhnya itu. Di luar sedang hujan deras sejak 20 menit lalu hingga bahkan jarak pandang sopir taksi terbatas. Hal ini membuatnya berjalan pelan di laju jalan tol. Hanae melirik jam di tangan. Xavion mengharuskan ia datang sebelum pukul tujuh malam. Karena hujan dan kendaraan melaju lambat, sekarang justru sudah pukul tujuh malam.‘Semoga dia tidak marah karena aku terlambat,’ keluh Hanae membatin. Ingin meminta sopir berjalan lebih cepat lagi, tetapi sepertinya tidak aman mengingat banyak truk berlalu lalang di sekitar. Akhirnya, 30 menit kemudian baru Hanae sampai di sebuah rumah tingkat dua. Tidak terlalu besar, tetapi kesan mewah jelas ada di sana. Setelah membayar sopir taksi, ia turun dari kendaraan dan mengambil koper di bagasi.Sialnya, dia tidak membawa payung sehingga ketika sopir taksi kembali masuk ke dalam mobil dan melaju
Menjelang waktu acara tahunan untuk memperingati berpulangnya Billy Young, keluarga Mendoza selalu hadir turut mendoakan sahabat mereka yang terpaksa mengembuskan napas terkahir secara tragis.“Setiap har ini tiba, Xavion biasanya mabuk. Aku akan merawat dia saat mabuk. Sebagai calon istrinya, aku harus bisa merawat dia, bukan?” kekeh Jessica sedang berkendara bersama kedua orang tuanya. Di dalam mobil mewah itu keluarga Mendoza tengah menuju kediaman Gladys Young. Wanita berusia di atas setengah abad menanggapi ucapan putrinya. “Sejak dulu kamu hanya bisa jatuh cinta dengan satu pria, yaitu Xavion. Kamu menghabiskan seluruh usia dan masa mudamu untuk mengejarnya. Mommy harap kali ini kamu benar-benar bahagia.”“Tentu saja dia bahagia, Eve. Putri kecil kita akhirnya akan menikahi pangeran impian. Gladys sudah mengatakan pada kita kalau Xavion pasti akan mau menikahi Jessica. Lambat laun pasti dia akan jatuh cinta padanya. Hanya tinggal tunggu waktu.”“Aku yakin kamu benar, Jorge,” a
Dengan dada kembang kempis dan suara gemetar, Kelinci Kecil berkata, “Kenapa kamu mengulang semua kejadian dini hari tadi? Kamu sengaja ingin membuatku malu?”Xavion tertegun, “Jadi, itu semua benar? Aku tidak sedang berhalusinasi karena mabuk?""Apa maksudmu? Tentu saja semua itu benar terjadi! Apa kamu sudah lupa bagaimana kamu terus menyentuhku meski aku sudah memintamu untuk berhenti?” Hanae mengerang dengan sorot protes dan gamang. Lalu, satu kalimat pertanyaan terlontar dari bibir Tuan Jaksa, “Kalau kamu ingin aku berhenti, kalau kamu tidak menikmati semua yang terjadi di antara kita tadi malam, kenapa aku mengingat menyentuh liang kewanitaanmu yang sudah basah?”Dan Hanae tak bisa menjawab. Mati kutu! Jangan ditanya bagaimana panasnya paras manis sang gadis. Tentu saja wanita sepolos dia akan merasa sangat malu saat liang kewanitaannya dibahas, bukan?Di antara engah serta dentuman jantung dalam dada, lelaki itu kembali bergumam sendiri. “Jadi, kamu memang masih sungguh perawa
Xavion mendengkus kasar. Kepala yang pengar dipijit-pijit. Ucapan ibunya seperti antara nyata dan tidak. Tanpa sadar bergumam sendiri, “Am I still fucking drunk?”“Tidak, kamu tidak sedang mabuk!” jawab Gladys dengan nada kesal. “Mommy serius ingin berbicara denganmu mengenai jodoh. Usiamu sudah 30 tahun lebih dan kamu sama sekali tidak memikirkan untuk berumah tangga!”“Yeah, well, berumah tangga bagiku tidak ada gunanya saat ini. Aku lebih suka fokus ke pekerjaan dan Mommy tahu itu!” sahut Xavion, mengusap matanya berkali-kali, lalu memandangi jendela kamarnya yang diterpa mentari pagi. Gladys kembali berucap tegas, “Dengan tidak memiliki istri, kamu sama saja memberi jalan seluas-luasnya bagi para wanita materialistis penggali emas untuk mendekatimu, memanfaatkanmu, lalu menghancurkanmu!”Embusan kasar meluncur dari bibir Xavion yang masih beraroma alkohol. Ceramah ini sudah entah berapa ratus bahkan ribu kali dia dengar sejak masih baru duduk di bangku sekolah menengah atas. “Po
Hanae mengangguk ketakutan, “A-aku ... iya, aku masih perawan! Aku tidak pernah punya pacar sebelum ini! Aku belum pernah bercinta dengan siapa pun!”“Kamu bohong!” Xavion kembali membentak lagi. Kali ini, ia keluarkan tangannya dari balik celana dalam Hanae, lalu kedua telapak menghantam dinding di sisi kanan-kiri telinga wanita tersebut.Suara Tuan Muda Young menggelegar, “Aku akan menyakitimu kalau kamu berbohong! Jawab yang jujur! Apa benar kamu masih perawan!” ancamnya melotot, menakutkan.Hanae kembali mengangguk dengan ketakutan. Apa yang mau dia jawab karena kenyataannya memang dia masih perawan. “Aku ... aku ti-tidak ... aku tidak berbohong!”“Kamu sungguh tidak punya pacar sebelum ini?” engah Xavion masih menatap melotot.“I-iya ....”“Belum pernah ada yang menyentuhmu?”Hanae menggeleng.“Belum ada yang pernah melihatmu telanjang?”Lagi, wanita itu menggeleng.Xavion makin tersengal hebat. Perlahan, ia lepaskan kurungannya dari tubuh Hanae. Suara berat beraroma alkohol ker
“Pl-please ... kamu sedang mabuk. Kamu ... auuhhh ... mmmhhh!” pekik Hanae menahan keinginan untuk menjerit sangat kencang.Ia reflek merapatkan dua paha saat jari tengah Xavion mulai bergerak pelan mengusap inti tubuh, butiran kecil yang mengandung jutaan syaraf nikmat. Sebuah G sp ot bagi wanita mana pun. Hanya saja, semakin ia merapatkan kakinya semakin lelaki itu bersemangat untuk terus membuat aliran darahnya mengalir lebih deras dari biasa. Semakin paha Hanae merapat, semakin jari Xavion bergerak lincah di tengah kewanitaan. Tak mau berhenti bergerak, terus mengusap dan menekan-nekan. Satu desahan meluncur dari bibir Hanae tanpa bisa ia tahan dan kendalikan. Di mana kemudian sang gadis cepat menggigit bibirnya karena malu telah mengeluarkan suara seperti itu.Xavion tertawa mengejek, "Sudah kubilang, kamu akan menikmatinya. ini baru jariku, belum anggota tubuhku yang lain, Little Rabbit!"“Xa-Xavion! H-hentikan ... please?” rintih Hanae didera rasa nikmat dan pikiran bahwa di
Hanae mengerang tertahan ketika jari tengah Xavion yang besar dan panjang menelisik masuk ke celah di kewanitaannya. “Please ... ja-jangan, jangan ...,” engahnya berusaha menghentikan semua sentuhan mendebarkan luar biasa tersebut. Mengucapnya dengan engah hebat, mencoba untuk menahan segala sensasi panas mendebarkan yang tengah menjalari tubuhnya dini hari ini. Wajah Xavion terus terbenam di antara leher dan pundak. Bibir lelaki itu kian basah menjelajahi kulit putih mulus hingga ke telinga, juga tengkuk.Dan bersamaan dengan semua embusan panas napasnya, bersamaan dengan permintaan Hanae untuk berhenti, jari Xavion justru bergerak lebih intim.Ia tekan ke bawah jari tengahnya hingga terasa mengenai sebuah butiran kecil di antara dua dinding lembut yang lembab, hangat.“Kamu sungguh menggairahkan, Little Rabbit!” desah Xavion. “Sudah lama aku ingin melihatmu telanjang lagi,” kekeh lelaki setengah mabuk tersebut.Kagetlah Hanae. “Lagi? Lagi, bagaimana?Memang ya kamu pernah melihatku
Xavion terkekeh cuek mendengar ancaman sahabatnya. Ia hanya melirik sekilas, lalu membuang tatap ke angkasa, “Kamu pikir aku peduli dengan semua ucapanmu? Teruslah menggonggong dan kafilah tetap berlalu!” Ia merengkuh tepian jas, merapikan penampilan, lalu mulai berjalan. “Keluarlah dari ruanganku, karena aku juga mau pulang. Chaiden mengajakku bersenang-senang di klub malam untuk melupakan kejadian persidangan kemarin.” “Kejadian di mana saksimu dibantai oleh pengacaranya Maurice Zambrota? Kamu akan menemukan cara untuk membalasnya. You always do,” tukas Ezra. “Hmm, thanks,” gumam Xavion, mulai membuka pintu dan melangkah keluar dari kantornya. Unik memang persahabatan keduanya. Sedetik lalu mereka saling menaikkan nada bicara karena Hanae, detik berikutnya mereka saling bercerita dan mendukung dalam masalah pekerjaan. “Ingat untuk memakai pengaman, Xavion! Klub malam dengan Chaiden selalu berakhir dengan kamu meniduri wanita asing!” seru Ezra tertawa renyah. Tuan Muda Y
Di kantor kejaksaan, dua orang lelaki sedang berbincang dingin. Mereka sama-sama berdiri di depan kaca jendela ruang kerja Xavion, menatap ke tengah jalan, bagian depan gedung tersebut. “Kenapa kamu tidak mengatakan pada orang-orang kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu? Kamu bisa saja membuat Jessica dan Fanty bungkam, tapi kamu tidak melakukannya.” Ezra memandang sahabatnya dengan kekecewaan. “Apa kamu tidak punya rasa kasihan dengan Hanae?” “Kalau aku tidak punya rasa kasihan, aku tidak akan menyuruh semua bubar dan pergi. Aku tidak akan mengancam fanty pindah ke gudang. Aku juga tidak akan mengancam Jessica untuk menutup semua pintu keluargaku,” sahut Xavion sambil menyeringai, tetap menatap ke luar jendela. “Lalu, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu?” Tuan Muda Young terkekeh ketus. “Aku punya reputasi untuk dijaga. Kalau orang tahu aku membelikan tas itu, mereka akan bergosip. Aku tidak suka dijadikan bahan gosip.” “Mau sampai kap
Pergi dari kantor Xavion dengan kesal, sekarang Jessica sudah ada di rumah masa kecil sang jaksa. “Aunty Gladys, aku mulai berpikir kalau wanita miskin dan jelek itu meracuni otak putramu.” Ibunda Xavion yang sedang ada di dapur mencicipi kue buatan pelayannya. Mata sipit Gladys menoleh dan memandang terkejut. “Meracuni otak Xavion bagaimana?” Lalu, ia mengajak Jessica pergi ke ruang tamu khusus keluarga agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh pelayan dan menjadi gosip nasional. Sepanjang jalan menuju ruang tamu tersebut Jessica terus berkeluh kesah dengan resah. “Wanita brengsek itu pencuri, Aunty. Namanya Hanae. Dia adalah orang miskin. Bajunya itu seperti baju nenek-nenek!” “Setiap aku melihatnya sejak pertama, aku tahu kalau dia datang dari tingkat kemiskinan yang paling bawah! Dan maksudku sangat-sangat palint bawah!” dengkusnya menggeleng kesal. Gladys mempersilakan wanita yang dianggapnya sebagai putri sendiri itu untuk duduk. Dengan suara lembut keibuan, ia bertan