Xavion meregangkan tangan ke atas. Sekujur tubuh dirasa sangat lelah setelah seharian menghdiri dua persidangan dan tiga rapat bersama para petinggi di gedung kehakiman untuk tiga urusan yang berbeda.
Mengusap tengkuk, lalu ia menekuk leher ke kanan dan ke kiri. Melemaskan urat serta otot. Memandang jam tangan, sudah pukul sebelas malam. Waktunya untuk pulang. Cukup bekerja hari ini, saatnya mendatangi ranjang di rumah. “Aaah, fuck! Aku benar-benar lupa!” desisnya saat mengangkat ponsel dan melihat sebuah chat dari wanita bernama Pixie. [Lain kalau kalau memang tidak bisa datang tolong kabari aku, ya? Aku seperti orang tolol menantimu sendiri di sini.] Xavion mengurut kening. Bagaimana mungkin dia lupa ada janji untuk bertemu di pub dengan wanita seseksi dan secantik Pixie. Apalagi, ketika mereka berada di atas ranjang maka seisi dunia adalah tempat yang jauh lebih baik. “Aku harus membelikannya barang mahal besok supaya dia mau memaafkanku. Shit, aku ingin merasakan goyangannya kembali di atas tubuhku besok malam!” kekeh Xavion sangat yakin hadiah darinya akan membuat keadaan lebih baik. Bukan, Pixie bukanlah kekasihnya. Dia tidak punya keterikatan dengan siapa pun. Wanita hanyalah tempat untuk melepaskan hasrat terpendam serta lahar hangat dari dalam tubuh. Memiliki kekasih hanya membuang waktu, tenaga, serta pikiran. Dan yang lebih penting lagi, membuang uang. Lebih baik membeli satu barang branded untuk wanita yang berbeda-beda daripada harus menghabiskan uang untuk satu wanita yang sama. Prinsip yang aneh, tetapi begitulah Xavion. Ia merapikan berbagai barang pribadi, memasukkan ke dalam tas kerjanya, kemudian melangkah keluar. Saat hendak memasuki ruangan depan tempat timnya biasa bekerja, terlihat ada sebuah lampu masih menyala. ‘Siapa yang belum pulang di jam selarut ini?” tanyanya dalam hati. Seorang wanita terlihat sedang mengetik di depan layar komputer. Sesekali jemari menyugar rambut panjang ke belakang dan mengembus kasar. “Kenapa kamu belum pulang?” “Oh, my God!” Hanae berteriak terkejut saat mendengar suara Xavion hingga tanpa sengaja menyenggol gelas di sebelah tangannya. Dalam satu hari, sudah dua kali ia menumpahkan minuman ke atas lantai. Sang Prosecutor menggeleng jengah, mengembus kasar, dan membentak jengkel. “Ada apa denganmu? Kenapa bisa seceroboh itu! Bagaimana kalau airnya mengenai berkas penting!” “Kamu katanya sedang magang? Dari fakultas hukum universitas mana, hah! Aku tidak mengerti kenapa wanita seceroboh kamu bisa kuliah!” Omelan Xavion tidak dijawab oleh Hana. Dia cepat mengambil tissue dan mengelap mejanya, kemudian mengelap lantai yang basah. Untung saja gelasnya terbuat dari plastik sehingga tidak pecah. “Kenapa kamu belum pulang? Ini sudah jam sebelas malam! Apa kamu berencana tidur di kantor, hah?” desis Xavion bersiap melangkah pergi. Hanae menghela letih, “Nona Fanty memberikan saya tugas yang sangat banyak. Katanya semua data ini harus masuk di dalam komputer besok pagi karena akan digunakan oleh pengadilan.” Jarinya yang basah menunjuk setumpuk file yang masih terlihat sangat banyak. “Saya sudah mengerjakan separuhnya sejak jam 11 siang dan masih belum selesai. Padahal, saya tidak makan siang sama sekali untuk menghemat waktu.” “Kamu tidak makan mulai siang hingga sekarang gara-gara mengerjakan tugas dari Fanty?” Kening Xavion mengernyit dan matanya memicing tak percaya. Iya, dia tidak percaya kenapa bisa ada orang sebodoh Hanae yang mau saja dikerjai habis-habisan oleh senior. Ia melangkah mendekati meja pekerja magang yang culun dan berbusana sangat tidak stylish di mata semua orang. Satu buah berkas diambil, lalu membantingnya ke atas meja. Satu hentakkan yang membuat Hanae sampai melompat terkejut dan terengah. “Buka file itu dan lihat tanggal kasusnya!” desis Xavion ingin menyentil kepala karyawan barunya supaya segera tersadar. Hanae mengangguk, lalu memabacanya dengan suara bergetar. “27 Mei 2015.” “Sekarang tahun berapa?” “2025?” “Berarti itu file berapa tahun lalu?” “10 tahun lalu.” “Kalau itu file 10 tahun lalu, kenapa semua harus dimasukkan ke dalam komputer untuk digunakan besok pagi di pengadilan, hah!” kesal Xavion kembali melempar satu buah file ke atas meja Hanae. Terengah, wanita miskin itu berpikir kenapa Xavion begitu suka marah padanya? Magang adalah sebuah keharusan jika dia ingin lulus. Akan tetapi, haruskah dia berhenti saja jika akhirnya hanya menjadi derita berkepanjangan?Sadar kalau telah dikerjai dan dibodohi, Hanae menunduk. Ia tidak menjawab apa-apa. Bibir dikulum ke dalam menahan sebuah emosi yang tengah membungkus sekujur batin perihnya. Xavion menggeleng jengah seraya berkata, “Jadi orang itu yang pintar! Aku tidak suka punya karyawan bodoh meski dia hanya sekadar magang! Mengerti?”Tak ada suara, Hanae hanya mengangguk.Merasa perbincangan mereka sudah cukup, Xavion segera melangkah keluar. “Jangan lupa matikan komputer dan lampu setelah selesai! Aku tidak mau bagian umum memarahiku lagi karena masalah komputer dan lampu yang tidak dimatikan selesai bekerja!”Tetap tak ada suara, Hanae lagi-lagi mengangguk dalam diam. Setelah bosnya keluar dari ruangan, barulah ia mulai bersuara.Bukan berkata apa-apa, hanya terisak. Sedih karena sampai jam sebelas malam ternyata hanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna. Sedih karena sejak di bangku sekolah hingga bekerja diri selalu mengalami perundungan akibat tidak berasal dari keluarga terhormat.Lebih d
Hanae meronta sekencang yang ia bisa meski tubuh dicengkeram oleh lima lelaki kampungan yang ingin menodainya. Sudah lelah bekerja 12 jam tanpa makan siang, tanpa makan malam, di penghujung hari justru ia hendak dinodai.Wanita berusia 22 tahun itu masih suci. Hidup di panti asuhan dan memakai berbagai barang bekas dari sumbangan membuat tak ada lelaki ingin mendekatinya. Tidak usah lelaki, wanita saja enggan bersahabat dengannya. Sejak dulu dia hanya berkawan dengan diri sendiri, fokus pada pendidikan beasiswa dan mencoba mengubah nasibnya tanpa bergantung pada siapa pun. Jeritannya sudah dibungkam, jari-jari kotor sudah mulai memasuki balik rok spannya. Ia terus diseret, digeret, dan dijambak paksa menuju pojok jalan yang gelap. Tepat sebelum para lelaki biadab itu menghilang di belokan jalan menuju gang sempit tempat mereka berniat melancarkan aksi mesumnya ....Sebuah Bentley berwarna hitam legam mendekat. Bunyi ban berdecit mencakar aspal terdengar akibat rem yang diinjak sang
“Fuck! Fuck!” Xavion memukul setir kendaraannya dan lagi-lagi menginjak pedal rem dengan sangat dalam. Ban mobil mendecit. Raungan deru mesin kembali terdengar seraya kendaraan roda empat tersebut berjalan mundur.Ada seseorang yang tidak tega rupanya!Berhenti tepat di depan Hanae yang masih menangis sambil memandanginya bingung, ia membuka jendela. “Heh, Anak Magang!” Sejujurnya, dia lupa siapa nama gadis itu. Padahal, tadi pagi sempat mendengar namanya dari mulut Fanty. Maka, cukup dipanggil Anak Magang saja. “Y-ya?” jawab Hanae mengusap air mata.“Masuk!” perintah Xavion sambil menatap tajam.Hanae kian bingung. Sebuah perintah yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Saking bingungnya sampai hanya bisa menatap dengan mata bundar yang membengkak karena lelah dan terus menangis. Dan karena wanita itu hanya diam saja, Xavion makin murka.“APA KAMU TULI! AKU BILANG, MASUK!”Hanae melompat dari kursi halte bus dan langsung berlari menuju kendaraan bosnya. Ia terengah, tidak la
Hanae memasuki pintu sebuah rumah panti asuhan. Tangan menggenggam kantong kertas berwarna cokelat.“Apa itu?” tanya seorang wanita renta melirik jinjingan sang mahasiswi. “Burger dan kentang, Ma’am Lilac. Aku dibelikan makan malam oleh bosku!” kekeh Hanae memperlihatkan dengan riang.Wanita tua yang bernama Lilac terdiam sesaat. Seluruh rambutnya sudah memutih, pertanda usia sudah lebih dari setengah abad. Mata lelah itu menatap, “Mobil mewah tadi, itu bosmu mengantar pulang?”“Iya, dia mengantarku pulang. Ma’am tahu? Dia jagoan! Tadi, di halte bus aku sempat didatangi berandalan! Lalu, dia da—““Jangan bermimpi terlalu tinggi, Hanae!” potong Ma’am Lilac. “Mobilnya semewah itu, pasti orang kaya.”“Lalu?” heran Hanae karena mendadak kalimatnya dipotong. “Lalu, jangan berharap apa pun padanya. Bekerjalah dengan keras! Jadikan beasiswamu berguna!” tandas Ma’am Lilac. Sorot matanya memperlihatkan harapan tinggi.Akan tetapi, Hanae masih terlalu polos untuk bisa memahami maksud kepala p
Tak ada pilihan. Kedua senior terus menekannya, bahkan mengancam akan memberi nilai jelek. Kalau sampai tidak mendapatkan nilai sempurna saat magang, beasiswanya bisa dicabut dan semua akan menjadi sia-sia. “Maafkan aku karena tidak mengerjakan tugas dengan baik! Akan aku kerjakan semuanya malam ini!” engahnya menahan panik. Kalau nilai magangnya jelek, beasiswa bisa dicabut. Padahal, kurang satu tahun saja sebelum lulus kuliah. Fanty dan Daisy tergelak puas melihat Hanae ketakutan. Mereka tidak ada masalah apa pun sebelumnya dengan perempuan magang tersebut. Akan tetapi, jiwa perundung memanggil selalu mencari yang lemah untuk diinjak.Bisa menginjak orang lain, bisa membuat orang lain takut, bisa membuat orang lain ditertawakan dan malu akan mendatangkan kepuasan tersendiri pada kaum perundung. “Besok adalah hari Sabtu! Kita ada acara keakraban di luar kota. Camping di tepi danau bersama seisi lantai dua ini!” tukas Fanty mendekat, lalu menjewer telinga Hanae.“Aduuuh! Sakit!” pe
Seorang jaksa senior yang masih berusia cukup muda bernama Ezra Wu terengah dalam hati mendengar nama Hanae. Itu bukan nama yang biasa didengar sehari-hari, bukan?Terlebih, ketika ia mendekat dan menanyakan apa benar nama sang gadis adalah Hanae, ia melihat sesosok wanita yang ternyata ia kenali dari masa lalunya.‘Ya, Tuhan! Ini benar dia!’ pekik Ezra menahan berjuta gempuran di dalam batinnya. Jika saja tidak rajin berolah raga dan memperkuat otot kaki, mungkin saat ini dia sudah terkapar lemas di atas lantai akibat melihat siapa yang ada di hadapan.Namun, seperti ia selalu memperlihatkan ketenangan serta ekspresi dingin di pengadilan agar tidak terbaca oleh lawan, saat ini pun ia melakukan hal yang sama.Semua jerit terkejut serta dentuman dalam batin tak terlihat oleh siapa pun, bahkan oleh Xavion, sahabatnya sendiri. Hanae menaikkan pandang perlahan karena merasa dirinya sedang dipandangi lekat. Melihat setelan jas rapi di dada bidang. Saat pandang kian mendongak, tatap mata
Pertanyaan yang menggelembung dalam pikiran Xavion. Dia tidak pernah melihat sahabatnya tertegun sampai seperti ini.Sorot tajam sang jaksa tampan beralih bergantian dari Ezra menuju Hanae yang masih tertunduk. Lalu, ia kembali menatap rekan kerjanya dan memilih untuk segera mengakhiri drama pagi ini. “EZRA!” bentaknya kencang.Yang dibentak terkejut sampai pundaknya melompat. “A-apa?” engah Ezra, terbangun dari lamunannya.“Aku mau sidang! Kamu mau apa kemari pagi-pagi?” geleng Xavion. Ia mulai berjalan menuju ruang kerjanya karena tahu sang sahabat akan segera mengekor. Ezra memang mengikuti gerakan Xavion, meski sesekali wajahnya menoleh ke belakang dan menatap Hanae teramat sendu. Masuk ke dalam ruangan khusus milik Xavion, keduanya duduk di kursi berseberangan.“Ada apa?” tanya Tuan Muda Young setelah mereka merasa nyaman di kursi masing-masing.“Chaiden nanti sore datang dari Mexico. Bagaimana kalau sepulang kerja kita ke bar yang biasa dan mengobrol di sana? Aku ingin tahu p
Seorang wanita cantik berdiri di depan pintu dengan pose seperti peragawati nan anggun menghadang langkah Xavion. Padahal, lelaki itu sudah ada janji makan siang dengan jaksa agung untuk membicarakan kasus mafia yang sedang ia tangani.“Kenapa terburu-buru sekali, Darling? Janji makan siang dengan siapa?” senyum wanita itu mengandung unsur kecurigaan yang tidak pada tempatnya.Tuan Muda Young hanya tersenyum angkuh dan mendengkus, “Berhenti memanggilku Darling. Semua akan mengira kita berpacaran, yang mana kita tidak sedang melakukannya!”Acuh akan keberadaan sang wanita cantik dan seksi, langkah gagahnya kembali terayun ke depan. Akan tetapi, makhluk berbibir merah terang tidak mau minggir.“Move, Jessica!” bentak Xavion tidak terlalu keras.“Ayolah, mau sampai kapan kamu mengacuhkan aku seperti ini? Kedua ibu kita sudah setuju untuk menjadikan kita suami istri. Mereka sedang membicarakan pertunangan kita, Xavion.”Perempuan kelas atas bernama Jessica Mendoza adalah teman sejak Xavio
Menjelang waktu acara tahunan untuk memperingati berpulangnya Billy Young, keluarga Mendoza selalu hadir turut mendoakan sahabat mereka yang terpaksa mengembuskan napas terkahir secara tragis.“Setiap har ini tiba, Xavion biasanya mabuk. Aku akan merawat dia saat mabuk. Sebagai calon istrinya, aku harus bisa merawat dia, bukan?” kekeh Jessica sedang berkendara bersama kedua orang tuanya. Di dalam mobil mewah itu keluarga Mendoza tengah menuju kediaman Gladys Young. Wanita berusia di atas setengah abad menanggapi ucapan putrinya. “Sejak dulu kamu hanya bisa jatuh cinta dengan satu pria, yaitu Xavion. Kamu menghabiskan seluruh usia dan masa mudamu untuk mengejarnya. Mommy harap kali ini kamu benar-benar bahagia.”“Tentu saja dia bahagia, Eve. Putri kecil kita akhirnya akan menikahi pangeran impian. Gladys sudah mengatakan pada kita kalau Xavion pasti akan mau menikahi Jessica. Lambat laun pasti dia akan jatuh cinta padanya. Hanya tinggal tunggu waktu.”“Aku yakin kamu benar, Jorge,” a
Dengan dada kembang kempis dan suara gemetar, Kelinci Kecil berkata, “Kenapa kamu mengulang semua kejadian dini hari tadi? Kamu sengaja ingin membuatku malu?”Xavion tertegun, “Jadi, itu semua benar? Aku tidak sedang berhalusinasi karena mabuk?""Apa maksudmu? Tentu saja semua itu benar terjadi! Apa kamu sudah lupa bagaimana kamu terus menyentuhku meski aku sudah memintamu untuk berhenti?” Hanae mengerang dengan sorot protes dan gamang. Lalu, satu kalimat pertanyaan terlontar dari bibir Tuan Jaksa, “Kalau kamu ingin aku berhenti, kalau kamu tidak menikmati semua yang terjadi di antara kita tadi malam, kenapa aku mengingat menyentuh liang kewanitaanmu yang sudah basah?”Dan Hanae tak bisa menjawab. Mati kutu! Jangan ditanya bagaimana panasnya paras manis sang gadis. Tentu saja wanita sepolos dia akan merasa sangat malu saat liang kewanitaannya dibahas, bukan?Di antara engah serta dentuman jantung dalam dada, lelaki itu kembali bergumam sendiri. “Jadi, kamu memang masih sungguh perawa
Xavion mendengkus kasar. Kepala yang pengar dipijit-pijit. Ucapan ibunya seperti antara nyata dan tidak. Tanpa sadar bergumam sendiri, “Am I still fucking drunk?”“Tidak, kamu tidak sedang mabuk!” jawab Gladys dengan nada kesal. “Mommy serius ingin berbicara denganmu mengenai jodoh. Usiamu sudah 30 tahun lebih dan kamu sama sekali tidak memikirkan untuk berumah tangga!”“Yeah, well, berumah tangga bagiku tidak ada gunanya saat ini. Aku lebih suka fokus ke pekerjaan dan Mommy tahu itu!” sahut Xavion, mengusap matanya berkali-kali, lalu memandangi jendela kamarnya yang diterpa mentari pagi. Gladys kembali berucap tegas, “Dengan tidak memiliki istri, kamu sama saja memberi jalan seluas-luasnya bagi para wanita materialistis penggali emas untuk mendekatimu, memanfaatkanmu, lalu menghancurkanmu!”Embusan kasar meluncur dari bibir Xavion yang masih beraroma alkohol. Ceramah ini sudah entah berapa ratus bahkan ribu kali dia dengar sejak masih baru duduk di bangku sekolah menengah atas. “Po
Hanae mengangguk ketakutan, “A-aku ... iya, aku masih perawan! Aku tidak pernah punya pacar sebelum ini! Aku belum pernah bercinta dengan siapa pun!”“Kamu bohong!” Xavion kembali membentak lagi. Kali ini, ia keluarkan tangannya dari balik celana dalam Hanae, lalu kedua telapak menghantam dinding di sisi kanan-kiri telinga wanita tersebut.Suara Tuan Muda Young menggelegar, “Aku akan menyakitimu kalau kamu berbohong! Jawab yang jujur! Apa benar kamu masih perawan!” ancamnya melotot, menakutkan.Hanae kembali mengangguk dengan ketakutan. Apa yang mau dia jawab karena kenyataannya memang dia masih perawan. “Aku ... aku ti-tidak ... aku tidak berbohong!”“Kamu sungguh tidak punya pacar sebelum ini?” engah Xavion masih menatap melotot.“I-iya ....”“Belum pernah ada yang menyentuhmu?”Hanae menggeleng.“Belum ada yang pernah melihatmu telanjang?”Lagi, wanita itu menggeleng.Xavion makin tersengal hebat. Perlahan, ia lepaskan kurungannya dari tubuh Hanae. Suara berat beraroma alkohol ker
“Pl-please ... kamu sedang mabuk. Kamu ... auuhhh ... mmmhhh!” pekik Hanae menahan keinginan untuk menjerit sangat kencang.Ia reflek merapatkan dua paha saat jari tengah Xavion mulai bergerak pelan mengusap inti tubuh, butiran kecil yang mengandung jutaan syaraf nikmat. Sebuah G sp ot bagi wanita mana pun. Hanya saja, semakin ia merapatkan kakinya semakin lelaki itu bersemangat untuk terus membuat aliran darahnya mengalir lebih deras dari biasa. Semakin paha Hanae merapat, semakin jari Xavion bergerak lincah di tengah kewanitaan. Tak mau berhenti bergerak, terus mengusap dan menekan-nekan. Satu desahan meluncur dari bibir Hanae tanpa bisa ia tahan dan kendalikan. Di mana kemudian sang gadis cepat menggigit bibirnya karena malu telah mengeluarkan suara seperti itu.Xavion tertawa mengejek, "Sudah kubilang, kamu akan menikmatinya. ini baru jariku, belum anggota tubuhku yang lain, Little Rabbit!"“Xa-Xavion! H-hentikan ... please?” rintih Hanae didera rasa nikmat dan pikiran bahwa di
Hanae mengerang tertahan ketika jari tengah Xavion yang besar dan panjang menelisik masuk ke celah di kewanitaannya. “Please ... ja-jangan, jangan ...,” engahnya berusaha menghentikan semua sentuhan mendebarkan luar biasa tersebut. Mengucapnya dengan engah hebat, mencoba untuk menahan segala sensasi panas mendebarkan yang tengah menjalari tubuhnya dini hari ini. Wajah Xavion terus terbenam di antara leher dan pundak. Bibir lelaki itu kian basah menjelajahi kulit putih mulus hingga ke telinga, juga tengkuk.Dan bersamaan dengan semua embusan panas napasnya, bersamaan dengan permintaan Hanae untuk berhenti, jari Xavion justru bergerak lebih intim.Ia tekan ke bawah jari tengahnya hingga terasa mengenai sebuah butiran kecil di antara dua dinding lembut yang lembab, hangat.“Kamu sungguh menggairahkan, Little Rabbit!” desah Xavion. “Sudah lama aku ingin melihatmu telanjang lagi,” kekeh lelaki setengah mabuk tersebut.Kagetlah Hanae. “Lagi? Lagi, bagaimana?Memang ya kamu pernah melihatku
Xavion terkekeh cuek mendengar ancaman sahabatnya. Ia hanya melirik sekilas, lalu membuang tatap ke angkasa, “Kamu pikir aku peduli dengan semua ucapanmu? Teruslah menggonggong dan kafilah tetap berlalu!” Ia merengkuh tepian jas, merapikan penampilan, lalu mulai berjalan. “Keluarlah dari ruanganku, karena aku juga mau pulang. Chaiden mengajakku bersenang-senang di klub malam untuk melupakan kejadian persidangan kemarin.” “Kejadian di mana saksimu dibantai oleh pengacaranya Maurice Zambrota? Kamu akan menemukan cara untuk membalasnya. You always do,” tukas Ezra. “Hmm, thanks,” gumam Xavion, mulai membuka pintu dan melangkah keluar dari kantornya. Unik memang persahabatan keduanya. Sedetik lalu mereka saling menaikkan nada bicara karena Hanae, detik berikutnya mereka saling bercerita dan mendukung dalam masalah pekerjaan. “Ingat untuk memakai pengaman, Xavion! Klub malam dengan Chaiden selalu berakhir dengan kamu meniduri wanita asing!” seru Ezra tertawa renyah. Tuan Muda Y
Di kantor kejaksaan, dua orang lelaki sedang berbincang dingin. Mereka sama-sama berdiri di depan kaca jendela ruang kerja Xavion, menatap ke tengah jalan, bagian depan gedung tersebut. “Kenapa kamu tidak mengatakan pada orang-orang kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu? Kamu bisa saja membuat Jessica dan Fanty bungkam, tapi kamu tidak melakukannya.” Ezra memandang sahabatnya dengan kekecewaan. “Apa kamu tidak punya rasa kasihan dengan Hanae?” “Kalau aku tidak punya rasa kasihan, aku tidak akan menyuruh semua bubar dan pergi. Aku tidak akan mengancam fanty pindah ke gudang. Aku juga tidak akan mengancam Jessica untuk menutup semua pintu keluargaku,” sahut Xavion sambil menyeringai, tetap menatap ke luar jendela. “Lalu, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu yang membelikan tas Gucci itu?” Tuan Muda Young terkekeh ketus. “Aku punya reputasi untuk dijaga. Kalau orang tahu aku membelikan tas itu, mereka akan bergosip. Aku tidak suka dijadikan bahan gosip.” “Mau sampai kap
Pergi dari kantor Xavion dengan kesal, sekarang Jessica sudah ada di rumah masa kecil sang jaksa. “Aunty Gladys, aku mulai berpikir kalau wanita miskin dan jelek itu meracuni otak putramu.” Ibunda Xavion yang sedang ada di dapur mencicipi kue buatan pelayannya. Mata sipit Gladys menoleh dan memandang terkejut. “Meracuni otak Xavion bagaimana?” Lalu, ia mengajak Jessica pergi ke ruang tamu khusus keluarga agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh pelayan dan menjadi gosip nasional. Sepanjang jalan menuju ruang tamu tersebut Jessica terus berkeluh kesah dengan resah. “Wanita brengsek itu pencuri, Aunty. Namanya Hanae. Dia adalah orang miskin. Bajunya itu seperti baju nenek-nenek!” “Setiap aku melihatnya sejak pertama, aku tahu kalau dia datang dari tingkat kemiskinan yang paling bawah! Dan maksudku sangat-sangat palint bawah!” dengkusnya menggeleng kesal. Gladys mempersilakan wanita yang dianggapnya sebagai putri sendiri itu untuk duduk. Dengan suara lembut keibuan, ia bertan