01.24 tengah malam. Jalanan kota Los Angeles sudah terbilang cukup lengang walaupun masih ada beberapa kendaraan yang melintas. Di pinggir sepanjang trotoar terdapat beberapa pengemis jalanan yang sudah tertidur di sana. Para penghuni jalanan yang tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal, mereka terpaksa tidur di atas dingin nya badan jalan dengan sealas koran.
Tampak seorang pria berjalan santai sambil memperhatikan beberapa orang yang sudah terlelap di sana. Beberapa yang ia lalui adalah seorang laki-laki yang terlihat sudah tua. Sekitar satu meter ia berjalan, langkah kakinya terhenti dan ia mengeluarkan senyum senang dibalik masker hitamnya.
Pria itu menghampiri seorang gadis malang yang tidur seorang diri dengan pakaian lusuh dan tanpa alas kaki. Ia lalu menyentuh lengan sang gadis dan membangunkannya dengan pelan.
"Halo, Cantik?"
Gadis itu pun terbangun dan langsung memposisikan tubuh nya menjadi duduk. "Ya, ada apa?" jawabnya dengan suara yang sedikit serak.
"Boleh saya menolong mu? Saya sedang berjalan pulang ke rumah dan melihat mu diantara para pria itu." Ia menunjuk ke arah samping. "Itu berbahaya, gimana kalau kamu ikut saya? Saya bisa carikan tempat berteduh yang aman dan gak banyak lelaki di sana."
Gadis itu terlihat sedikit risih dan ketakutan. Melihat itu, sang pria langsung tersenyum. "Jangan takut, saya hanya ingin menolongmu. Kalau kamu gak mau, saya gak akan maksa." Ia kemudian berdiri dan berbalik badan, seperti hendak meninggalkan wanita itu.
Tiba-tiba lengan sang gadis pun menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Saya ikut." Ia berpikir akan lebih baik jika ia ikut dengan pria itu karena sejujurnya ia pun tidak nyaman jika tidur diantara laki-laki yang bernasib sama dengannya.
Pria itu tersenyum sebentar, ia kemudian membalikan badannya. "Silahkan ... Kita akan naik mobil saya di sana."
Setelah keduanya berada di dalam mobil juga bersama sang sopir yang berada di depan, pria itu membuka masker yang ia kenakan. Gadis di sampingnya hanya terdiam saja, tidak merasa curiga dengan apa yang dilakukan pria itu.
"Berapa umur mu, Darling?" tanyanya.
"20 tahun."
"Orang tua mu?"
Gadis itu menggeleng. "Ibuku sudah meninggal, dan ayahku membuangku di sini."
Pria itu hanya mengangguk. "Kamu benar-benar beruntung banget ditemuin saya. Sebentar lagi hidup kamu bakal jauh lebih nyaman dari sekarang."
Pria itu kemudian membuka ponselnya dan mengetikan sesuatu di sana. Setelah mendapat balasan dari pesan yang ia kirim, ia menepuk pundak sang sopir dan menunjukan layar ponselnya. Sang sopir pun mengangguk paham.
"Kalau boleh tahu, kita mau pergi ke mana?" tanya gadis itu.
"Surga dunia," ucap pria itu sambil tersenyum.
Pria itu lalu memainkan ponselnya, mengetikan sesuatu di sana.
Setelah jauhnya perjalanan, mereka berdua berhenti di depan sebuah kelab malam yang sepi pada malam itu. Pria tadi mengambil sesuatu dari bagasi belakang dan memberikannya pada sang gadis.
Sebuah dress merah mencolok yang sangat ketat dan pendek. Gadis itu pun bingung dan menatap pria dihadapannya. "Maaf, aku tidak bisa pakai pakaian seperti ini."
Pria itu pun menyeringai. Ia lalu mengambil sebuah cutter mini yang ada dipintu mobilnya dan menodongkan cutter tersebut ke wajah sang gadis. "Ganti pakaian mu dan temui rumah baru mu didalam sekarang juga." perintahnya dengan tegas.
Gadis itu terkejut dan meremas pakaian ditangannya dengan ketakutan.
***
Alarm diponsel Bima berdering berkali-kali, menandakan ia harus bangun dan bersiap untuk hari ini. Pukul 08.30, setelah mandi dan memakai jasnya, ia kemudian bergegas keluar kamar untuk sarapan.
Bima kemudian duduk di meja makan sambil menggunakan tab ditangannya. Semalam, ia baru saja membeli senjata baru dari broker senjata kepercayaannya di Florida. Bima perlu senjata yang lengkap untuknya dan anggota yang lain.
"Nara, tolong buatin saya teh manis hangat," ucapnya dengan suara yang sedikit lantang. Tatapannya masih pada tab.
Beberapa menit kemudian, teh manis hangat yang Bima inginkan diletakan dimeja makan.
"Makasih Nar-" Saat ia menoleh, bukan Nara yang ada dihadapannya, tetapi Rayana. Ia sedikit terkejut melihat Rayana yang membawakan minumannya.
"Kok lo--"
"Nara lagi sibuk bikin pancake. Tuh minum," jawab Rayana dengan santai. Ia kemudian duduk dan mengupas apel yang ia bawa dari dapur.
Bima terdiam sebentar menatap Rayana. "Sorry, tapi kayaknya gue belum mampu ngegaji dua ART," candanya.
Rayana langsung menghentikan aktifitas mengupas apelnya, dan menatap datar ke arah Bima. "Lo mau mati duluan sebelum gue bunuh si anonim itu?"
Bima tertawa pelan. "Gue kira lo malah belum bangun." Ia kemudian meminum teh hangatnya buatan Rasanya untuk pertama kalinya.
"Gue udah terbiasa nyiapin sarapan sendiri, jadi lupa kalau di sini ada Nara." Rayakan kemudian menggigit apelnya. "Arthur kemana? Padahal, gue tungguin buat latihan sebelum mandi tadi."
Bima mengangkat bahunya. "Dia suka tiba-tiba ngilang gitu, bentar lagi juga pulang."
Rayana hanya mengangguk. Suasana kembali hening lagi sampai Nara datang membawakan sepiring pancake.
"Makasih, Nara," balas Rayana. Selama di dapur tadi, ia mengobrol banyak dengan Nara. Nara mengizinkan Rayana untuk memanggilnya dengan nama saja, dan Rayana pun menurutinya.
"Sama-sama, Nona. Silahkan, Tuan," ucap Nara.
Mereka berdua menikmati pancake yang dibuatkan oleh Nara.
"Abis ini kita langsung berangkat?" tanya Rayana.
Bima hanya mengangguk karena sedang mengunyah pancake.
Setelah acara sarapan mereka selasai, keduanya langsung berangkat menuju kantor BIN menggunakan mobil. Kali ini, Bima menyetir sendiri tanpa sopir.
Mereka tidak banyak berbicara, bahkan Rayana pun sibuk berbalas pesan dengan Gio, membahas tentang restoran yang akan mereka datangi nanti siang.
"Ada hal yang lo sembunyiin?" tanya Bima secara tiba-tiba. Rayana pun menoleh.
"Maksudnya?"
"Kayaknya lo tahu sesuatu tentang anonim ini? Maksud gue, apa yang bikin lo yakin kalau dia pembunuh orang tua lo?"
Rayana hanya terdiam. Ia belum siap jika mengatakan yang sejujurnya kepada siapapun termasuk Bima.
"Gue anggap jawaban lo, iya." Bima tersenyum. "Terserah lo mau bilang ini atau enggak
, tapi kalau itu bisa jadi petunjuk nantinya, mau gak mau lo harus bilang ke gue biar semuanya cepet selesai," lanjutnya.
Tidak ada jawaban lagi. Rayana hanya bergumam mengiyakan pembicaraan Bima. Ia masih bingung untuk memulai ceritanya darimana.
Setelah sampai di kantor BIN, Rayana langsung meminta izin untuk menggunakan fasilitas dibagian pelacakan kepada komandannya melalui ponsel karena Ares sedang tidak berada di kantor.
Dan di sinilah mereka, menatap beberapa monitor yang sedang memproses data terkait wanita yang tewas itu.
Tak butuh waktu lama, beberapa pasang gambar yang menunjukan aktivitas sang wanita beberapa hari terakhir sebelum ia dibunuh.
"Ini dihari yang sama?" tanya Bima kepada operator yang mengendalikan monitor.
"Ya, hari itu hanya beberapa CCTV yang merekamnya. Terutama di jalan ini." Ia menunjukan beberapa rekaman yang merekam wanita tersebut.
"Dari gerak gerik nya, dia kayak lagi dikejar ...," ucap Rayana sambil menatap Bima.
Bima mengangguk. Memang terlihat wanita itu seperti sedang melarikan diri dari kejaran seseorang dan ketakutan. Wanita itu kemudian terekam berlari di pinggir jalanan.
Operator itu lantas memajukan waktu menjadi 5 menit lebih cepat agar bisa melihat apa yang terjadi selanjutnya di sepanjang jalanan tersebut.
Mereka bertiga sama-sama terkejut, melihat wanita itu ditarik paksa oleh seseorang.
"Besarkan gambarnya," perintah Bima sambil menunjuk ke monitor.
Sedikit sia-sia karena seseorang yang menarik paksa wanita itu menutupi wajahnya dengan masker dan kacamata hitam juga memakai hoodie dengan kupluk. Mereka pun masuk ke dalam mobil, dan bergegas pergi dari jalanan itu.
Bima menjeda rekaman tersebut dan mencatat plat nomor mobil yang ada direkaman. Ia kemudian menelepon salah satu anggotanya dibagian IT.
"Hallo, Rik. Gue minta tolong, cek plat nomor yang gue kirim barusan, segera ya, Rik."
"Baik, Tuan," ucap Erik di seberang sana.
"Apa gak bisa mengidentifikasi pria yang tadi?" tanya Bima.
Rayana hanya menggeleng. "Dia nutupin semua wajahnya, dan ngebelakangin kamera, itu gak mudah."
Mereka berdua sama-sama menghela napasnya. Padahal hampir sedikit lagi, untuk mengetahui siapa dalang dibalik ini semua.
Ponsel Bima pun berbunyi, dari Erik. Ia segera menjawabnya.
"Gimana, Rik?"
Terdengar Erik yang juga menghela napasnya. "Maaf, Tuan, tapi plat nomor yang digunakan adalah plat nomor palsu yang diganti setiap hari."
Bima memejamkan matanya. Kesal. Lawannya benar benar bermain sangat rapih dan halus kali ini. Bima semakin berapi-api untuk menemukan siapa anonim dibalik ini semua.
"Oke." Setelah itu Bima langsung menutup teleponnya.
Rayana terkejut karena Bima tiba-tiba memegang tanganya, ia memberi kode untuk keluar dari gedung ini karena ada hal yang harus ia bicarakan.
"Ehm ... Kalau begitu saya pamit keluar dulu, ya. Terimakasih untuk waktunya, Pak Senior," ucap Rayana kepada operatornya itu.
Mereka berdua lalu keluar dari gedung dan duduk di taman sekitar kantor.
"Kenapa?" tanya Rayana.
Bima melihat ke kanan dan kirinya terlebih dahulu. "Sorry, gue tau ini pribadi tapi apa BIN udah bikin tindakan buat semua ini? Karena gue belum dapat kabar apapun"
Rayana terdiam sebentar. "Kemarin, yang gue tau mereka baru nyelidikin siapa siapa aja yang kontak telepon sama korban."
"Dapet sesuatu?"
Rayana menggeleng. "Ada satu nomor yang mencurigakan karena pas kita lacak nomornya malah hilang ...." Ia terdiam sebentar. "I don't know, tapi kurang lebih kayak gitu."
Bima terlihat mulai tertekan dengan situasi ini.
Ia memijat pelan pelipisnya. "Kita harus pulang, gue harus nyari tau tentang nomor yang hilang itu." lanjut Bima.
"Eh ...." Rayana melihat jam di ponselnya, sudah waktunya makan siang. Gio juga sudah mengirim pesan bahwa ia berada di jalan dekat kantor BIN.
"Kayaknya gue bakal makan siang di luar, Bim. Tapi gue janji bakal langsung pulang abis itu," lanjutnya
Bima menatap Rayana. Apa janjian dengan pacarnya? Ah siapa peduli. Batin Bima.
"Ya, udah. Kalau ada info apapun kasih tau gue langsung."
Rayana mengangguk. "Gue duluan, ya." Ia kemudian melambaikan tangannya, dan meninggalkan Bima.
Bima pun menuju parkiran dan ingin segera pulang. Saat ingin menghidupkan mobilnya, ia melihat Rayana memasuki sebuah mobil di depan jalan.
"Tunggu! Mobil itu?!" batin Bima.
-bersambung-
To : RayaGue udah di depan kantor lo, nih.Hari ini, Gio datang lebih awal karena ia sangat bersemangat untuk bertemu dengan teman se-perclub-annya yang super sibuk itu. Rayana hanya berlatih bela diri sebanyak 3x dalam sebulan karena sangat sibuk dengan pekerjaannya, itu membuat Gio kecewa karena ia menjadi sangat jarang bertemu Rayana.Setelah beberapa menit Gio menunggu, ia melihat Rayana yang berjalan menuju mobilnya lalu masuk dan duduk disebelahnya."Halo, miss rempong yang super sibuk....!!!" sambut Gio dengan penuh candaan. "Ray, kok lo gemukan sih? Biasanya orang stres itu kurus lo malah--"Belum sempat Gio melanjutkan omongannya ia sudah mendapat pelototan dari Rayana. "Malah apa?!" tanyanya dengan nada tinggi.Gio hanya cengengesan. "Malah makin cantik!!" Kini ia malah menggoda Rayana.Rayana menghela napasnya, tidak l
Setelah sampai di rumah Bima, Rayana langsung berjalan masuk dan mencari di mana Bima. Ia sempat kesulitan terlebih kerena belum terbiasa dengan rumah ini terlebih lagi, rumah ini sangat besar.Rayana kemudian bertanya pada salah satu anggotanya yang sedang berjaga dan berkata bahwa Bima sedang berada di meja makan. Ia pun langsung menghampiri.Bima menatap Rayana saat mereka melihat Rayana datang."Baru pulang?" tanya Bima yang dibalas anggukan dengan Rayana."Kita punya petunjuk," ucap Bima tanpa basa basi."Yang benar?" tanya Rayana, ia kemudian ikut duduk di sana. Ia kemudian menuangkan segelas air dan meminumnya.Bima mengangguk. Ia kemudian menjelaskan secara rinci tentang rencana yang akan mereka laksanakan nanti malam untuk mencari bukti."Masuk akal," gumam Rayana. Ia pun berkata di dalam hati bahwa dugaannya adalah benar. Korban itu
Arthur duduk di kursi penumpang bagian depan, sambil memainkan ponselnya. Ia sedang sedang mencari tahu, club malam di beberapa daerah yang dominan dengan pengunjung orang-orang menengah keatas. Jaga-jaga jika orang itu tidak ada di dalam club yang akan ia datangi.Tiba-tiba sekumpulan motor seperti mendekat ke arah mobilnya, dan mengepung disisi kanan dan kiri."Thur...," ucap salah satu anggotanya yang menyetir. Arthur kemudian baru menyadari dan langsung terkejut."Sial, ada urusan apa mereka kayak gini?"Baru beberapa detik, tiba-tiba salah satu orang yang berada dimotor bagian kanan, menembak ke kaca mobinya membuat mereka terkejut. Sayangnya, kaca mobil mereka anti peluru, sehingga tembakan itu tidak berarti baginya."Thur, kita harus ngalihin perhatian mereka jangan sampe dia ngejar mobil Bima, mobilnya gak pasang kac
Pria yang mengenakan kaus hitam dan celana panjang itu sedang mengisap kuat rokok ditangannya, dan menghembuskan kepulan asap dari mulutnya."Kenapa kalian terburu-buru untuk menghabisi dia? Itu akan jadi gak menarik nantinya," katanya.Tujuh orang yang mengganggu Bima dijalan hanya terdiam dan menundukan kepalanya."Tapi gue puas sama cara kerja kalian, berambisi!" lanjutnya sambil tertawa."Ngomong-ngomong, kenapa itu..." Ia menunjuk ke arah lengan salah satu anak buahnya di sana. "Kok bisa sampai ke tembak? Dan ke mana teman kalian satu lagi? Bukannya gue kirim kalian delapan orang?""Maaf, Bos. Bima gak sendirian, ada perempuan yang membantunya menembakan peluru agar kami terjatuh. Dan anggota kami yang satunya, tertangkap mereka."Pria itu langsung menoleh. "Perempuan?""Betul, Bos. Saya gak ingat wajahnya karena dia gak turun dari mobil saat itu.""Setahu gue, Wolf Eagle gak pernah punya an
Bima hanya fokus pada jalanan agar bisa cepat kembali ke rumahnya. Ia sangat khawatir melihat kondisi Rayana yang tiba-tiba kesakitan, bahkan ia tidak mengerti mengapa napas Rayana menjadi tidak beraturan seperti ini.Tetapi, beberapa menit kemudian tidak terdengar lagi suara Rayana yang meringis kesakitan. Bima menoleh berkala melihat kondisi Rayana sambil fokus pada jalanan."Hei, Ray, baik-baik aja kan?" Bima mengguncang lengan Rayana."Ray? Raya?!"Tidak ada jawaban."Ray, lo kenapa sih, please jangan nakutin." Bima mulai panik karena sepertinya Rayana pingsan. Ia langsung menaikan kecepatannya mobilnya menjadi lebih tinggi.Sesampainya di rumah, Arthur sudah menunggu di depan."Thur, tolong bantu gue bawa Rayana ke dalam," ucap Bima yang baru saja keluar dari mobil. Arthur hanya mengangguk dan langsung membantu Bima menu
Rayana terbangun saat matahari pagi mulai masuk melewati jendela dan menyorot ke arahnya. Ia tersadar bahwa ia tidak mengganti pakaiannya semalam, sehingga menjadi sedikit tidak nyaman.Tubuhnya sudah sangat membaik daripada semalam, ia lalu mandi dan membersihkan badannya. Walaupun Rayana belum tahu apa kegiatannya hari ini, ia tetap berpakaian rapi namun tetap santai.Semenjak tinggal di sini, kegiatan Rayana menjadi tidak teratur dan bekerja secara mendadak. Namun, Rayana tetap menikmatinya.Rayana lalu keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk sekedar membantu Nara di sana."Selamat pagi, Nona," sapa Nara setelah melihat Rayana.Rayana pun membalasnya dengan senyuman. "Pagi. Hari ini kamu buat sarapan apa?""Tuan Bima ingin makan sereal tadi, jadi saya buatkan sereal. Nona ingin sereal juga atau yang lain? Biar saya buatkan," ucap Nara dengan sopan."Bima udah sarapan?" tanya Ray
Pagi-pagi sekali, Bima sudah ke luar dari kamarnya dan berpakaian rapih. Ia kemudian menuju dapur dan meminta Nara untuk membuatkan sarapan untuknya dan Arthur."Buatin sereal aja, Nar, biar cepat," pinta Bima."Baiklah, Tuan, saya buatkan dahulu," ucap Nara yang yang sedikit terkejut melihat majikannya bangun sepagi ini.Bima hanya duduk dan memainkan ponselnya sambil menunggu sarapannya tiba. Tak lama kemudian, Arthur pun datang dengan pakaian yang rapi juga.Bima sudah membuat janji dengan Arthur menuju markas kedua Wolf Eagle untuk menginterogasi pemotor yang dibawa Arthur kemarin."Senjata yang lo pesen waktu itu, udah masuk ruangan," ucap Arthur."Oh, bagus deh. Ngomong-ngomong di sana ada siapa aja, Thur?" tanya Bima."Kayak biasa aja, ada beberapa yang berjaga ."Bima mengangguk. Nara kemudian datang dengan dua mangkuk sereal dan beberapa potong roti cokelat.
Perjalanan menuju kantor Widhibrata memang memakan waktu cukup lama, karena jarak antara markas dan kantor memang jauh. Selama diperjalanan Bima banyak mengkhawatirkan sesuatu terutama Rayana yang mungkin masih dalam perjalanan pulang. Ia sangat berharap sekali Rayana akan pulang dengan selamat karena tidak ada yang tahu kapan anonim ini akan bergerak.Sesampainya di sana, sudah ramai orang-orang yang berkumpul di luar gedung termasuk banyak polisi di sana. Bima langsung mencoba melewati kerumunan orang-orang itu karena melihat kepala polisi yang ia kenal berada di depan."Halo, Pak," sapa Bima.Kepala Polisi itu pun langsung menoleh. "Eh, kamu--?" Ia menggantungkan kata-katanya karena sedikit lupa dengan Bima."Saya Arkana Bimantara, pemilik organisasi Wolf Eagle," sergah Bima langsung."Ah, iya maaf saya lupa. Kamu tahu tentang peristiwa bom meledak
Hari ini, Bima bangun lebih awal lagi. Selama semalaman ia sangat sulit untuk memejamkan matanya. Kepalanya sakit karena banyak pikiran sehingga ia tidak bisa tidur dengan nyenyak.Ia kemudian menuju dapur untuk meminta dibuatkan teh hangat oleh Nara. Tetapi, saat ia sampai di sana, yang pertama kali ia lihat adalah Rayana dengan kaus putih yang sedikit kebesaran dan celana leging hitam, serta rambutnya yang dijepit ke atas sehingga menampakkan leher putihnya.Awalnya Bima hanya terdiam saja menatap Rayana yang seperti sedang menyiapkan sesuatu di sana, tetapi kemudian lamunannya buyar ketika Rayana menoleh ke arahnya.Rayana pun sedikit terkejut melihat Bima yang berdiri di belakangnya. "Lho, Bim? Lo udah bangun?" tanyanya."Nara mana?" balas Bima yang mengalihkan perhatian."Dia harus ke supermarket buat beli bahan makanan yang abis, lo mau minum ses
Rayana tidak pernah menyangka akan terjadi hal-hal yang sebelumnya sama sekali tidak ia duga. Ia belum siap jika menceritakan kepada Gio tentang pekerjaannya bersama Bima, tetapi hari ini mungkin akan jadi awal untuk Rayana menceritakan tentang hidupnya kepada Gio."Lo mau pulang, Ray? Biar gue anter pulang," ucap Gio yang membuat Rayana menjadi bingung dan tidak enak hati. Ia tidak tega jika meninggalkan Gio dalam keadaan seperti ini, tetapi ada tugas yang harus Rayana jalankan bersama Bima juga. Lagi pula ia tidak bisa pulang ke rumahnya sekarang karena saat ini ia sudah tinggal bersama Bima."Raya pergi sama gue, dan pulang juga harus sama gue. Itu lebih sopan," sergah Bima langsung yang membuat Gio dan Rayana menoleh kompak ke arahnya. Tetapi, kemudian tatapan Gio kembali kepada Rayana seolah meminta Rayana untuk memilih pulang dengan siapa.Rayana kemudian menghela napasnya dan menatap Gio. "Iy
Arthur dan Bima kemudian berjalan menuju pria paruh baya yang sedang duduk dengan seorang wanita di sana. Saat keduanya sudah dekat dengan pria itu, Bima sempat melirik ke arah bodyguard pria itu yang juga sedang melirik ke arah Bima, tetapi tidak Bima pedulikan."Permisi...," ucap Arthur dengan hati-hati. Pria paruh baya yang sedang tertawa bersama wanitanya itu lantas menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Arthur.Arthur kemudian tersenyum simpul. "Maaf jika saya mengganggu Tuan, boleh saya minta waktunya sebentar?""Siapa kalian?" balas pria itu dengan sedikit ketus."Kami dari organisasi intelegen Wolf Eagle, saya Bima, pemimpin organisasi ini," selak Bima dengan tegas dan tanpa basa basi. Pria itu terlihat sedikit terkejut, karena ia tentu mengetahui siapa Wolf Eagle."Ada urusan apa? Saya nggak pernah terlibat sama kalian.""Iya, tapi boleh kita minta waktu Tuan sebentar? Ada beberapa pertan
"Ko udah gitu aja nanyanya?" tanya Arthur ketika mereka bertiga sudah masuk ke dalam mobil. Bima kemudian memasang seatbeltnya. "Si Gala ini kayak nyembunyiin sesuatu deh, ngerasa nggak?" tanyanya. "Tentang apa?" "Gue tau pasti Widhibrata banyak musuh, tapi harusnya dia ngasih tahu ke kita pihak-pihak yang dia curigai. Toh kita juga nggak akan langsung nuduh mereka kan? Kita telusuri dulu," tutur Bima dengan jelas. "Jadi intinya? Aduh sorry deh, gue lagi bego nih," lanjut Arthur. Bima kemudian terkekeh. "Itu sih emang lo bego beneran. Intinya mungkin ada salah satu musuh perusahaan mereka yang kita gak boleh tahu." Arthur terdiam, mereka semua sama-sama terdiam. "Kalian tahu masa lalunya perusahaan Widhibrata?" Rayana tiba-tiba menimpali membuat Arthur dan Bima menoleh ke belakang. "Mak
Bima sedang menatap kosong ke arah luar jendela kamarnya, memikirkan kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam waktu dekat ini, juga mencari hubungan dari segala rentetan kejadian beberapa hari ini.Bagaimana pihak anonim itu selalu bisa menembus keamanan Widhibrata yang sangat ketat? Jika orang itu hanyalah orang biasa maka akan sulit baginya untuk masuk ke situ. Atau mungkin benar yang dikatakan pemotor itu, jika pelaku yang ada dibalik semua ini adalah orang terdekat dari kita semua? Atau mungkin orang terdekat dari pihak keluarga Widhibrata?Semua pikiran itu berkecamuk di dalam pikiran Bima. Ia telah meminta semua pasukan untuk meningkatkan keamanan di rumahnya untuk berjaga-jaga akan serangan teror yang datang secara mendadak.Tiba-tiba pikirannya beralih kepada wanita yang tinggal bersamanya sekarang. Bima langsung melihat plester luka yang Rayana berikan siang tadi sebelum ia masuk ke dalam kamarnya. Bima langsung tersenyum
Perjalanan menuju kantor Widhibrata memang memakan waktu cukup lama, karena jarak antara markas dan kantor memang jauh. Selama diperjalanan Bima banyak mengkhawatirkan sesuatu terutama Rayana yang mungkin masih dalam perjalanan pulang. Ia sangat berharap sekali Rayana akan pulang dengan selamat karena tidak ada yang tahu kapan anonim ini akan bergerak.Sesampainya di sana, sudah ramai orang-orang yang berkumpul di luar gedung termasuk banyak polisi di sana. Bima langsung mencoba melewati kerumunan orang-orang itu karena melihat kepala polisi yang ia kenal berada di depan."Halo, Pak," sapa Bima.Kepala Polisi itu pun langsung menoleh. "Eh, kamu--?" Ia menggantungkan kata-katanya karena sedikit lupa dengan Bima."Saya Arkana Bimantara, pemilik organisasi Wolf Eagle," sergah Bima langsung."Ah, iya maaf saya lupa. Kamu tahu tentang peristiwa bom meledak
Pagi-pagi sekali, Bima sudah ke luar dari kamarnya dan berpakaian rapih. Ia kemudian menuju dapur dan meminta Nara untuk membuatkan sarapan untuknya dan Arthur."Buatin sereal aja, Nar, biar cepat," pinta Bima."Baiklah, Tuan, saya buatkan dahulu," ucap Nara yang yang sedikit terkejut melihat majikannya bangun sepagi ini.Bima hanya duduk dan memainkan ponselnya sambil menunggu sarapannya tiba. Tak lama kemudian, Arthur pun datang dengan pakaian yang rapi juga.Bima sudah membuat janji dengan Arthur menuju markas kedua Wolf Eagle untuk menginterogasi pemotor yang dibawa Arthur kemarin."Senjata yang lo pesen waktu itu, udah masuk ruangan," ucap Arthur."Oh, bagus deh. Ngomong-ngomong di sana ada siapa aja, Thur?" tanya Bima."Kayak biasa aja, ada beberapa yang berjaga ."Bima mengangguk. Nara kemudian datang dengan dua mangkuk sereal dan beberapa potong roti cokelat.
Rayana terbangun saat matahari pagi mulai masuk melewati jendela dan menyorot ke arahnya. Ia tersadar bahwa ia tidak mengganti pakaiannya semalam, sehingga menjadi sedikit tidak nyaman.Tubuhnya sudah sangat membaik daripada semalam, ia lalu mandi dan membersihkan badannya. Walaupun Rayana belum tahu apa kegiatannya hari ini, ia tetap berpakaian rapi namun tetap santai.Semenjak tinggal di sini, kegiatan Rayana menjadi tidak teratur dan bekerja secara mendadak. Namun, Rayana tetap menikmatinya.Rayana lalu keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk sekedar membantu Nara di sana."Selamat pagi, Nona," sapa Nara setelah melihat Rayana.Rayana pun membalasnya dengan senyuman. "Pagi. Hari ini kamu buat sarapan apa?""Tuan Bima ingin makan sereal tadi, jadi saya buatkan sereal. Nona ingin sereal juga atau yang lain? Biar saya buatkan," ucap Nara dengan sopan."Bima udah sarapan?" tanya Ray
Bima hanya fokus pada jalanan agar bisa cepat kembali ke rumahnya. Ia sangat khawatir melihat kondisi Rayana yang tiba-tiba kesakitan, bahkan ia tidak mengerti mengapa napas Rayana menjadi tidak beraturan seperti ini.Tetapi, beberapa menit kemudian tidak terdengar lagi suara Rayana yang meringis kesakitan. Bima menoleh berkala melihat kondisi Rayana sambil fokus pada jalanan."Hei, Ray, baik-baik aja kan?" Bima mengguncang lengan Rayana."Ray? Raya?!"Tidak ada jawaban."Ray, lo kenapa sih, please jangan nakutin." Bima mulai panik karena sepertinya Rayana pingsan. Ia langsung menaikan kecepatannya mobilnya menjadi lebih tinggi.Sesampainya di rumah, Arthur sudah menunggu di depan."Thur, tolong bantu gue bawa Rayana ke dalam," ucap Bima yang baru saja keluar dari mobil. Arthur hanya mengangguk dan langsung membantu Bima menu