Aku memasang wajah tenang dengan mengulaskan senyum semenawan mungkin pada wanita itu. Terlihat dari wajahnya, dia merasa jijik ketika melihatku. Hidung mancung wanita itu terangkat tinggi dengan angkuh, gestur tubuhnya jelas penuh dengan kearoganan ketika melipat kedua tangannya di depan dadanya.
"Ah, benar sekali. Madam Caroline Testout memang cukup langka dan bagus, kecantikan, keeleganan dan aromanya juga sangat menawan. Berkualitas tinggi. Bahkan memiliki batang yang cukup kokoh untuk menghalau pengganggunya," balasku tanpa melunturkan senyuman.
Wanita itu bengong tanpa membalas perkataanku, terlihat cukup bodoh untuk wajah cantiknya. Aku kira dia sedang mencerna semua perkataanku di otak kecilnya itu. Memiliki penampilan mewah sepertinya, apalagi bisa memasuki ruang VVIP yang hanya bisa dijangkau oleh sekelompok golongan elit seperti Athan. Tentunya latar belakang wanita itu tidak biasa, harusnya dari kalangan orang kaya juga. Kebiasaan para wanita sosialita suka melakukan acara perkumpulan merangkai bunga, jadi jika dia tidak mengerti yang aku katakan tadi. Berarti wanita di depanku ini sangatlah bodoh, atau bisa disebut berIQ dangkal.
"Ma-madam apa katamu?" tanyanya tergagap, sejenak kehilangan raut angkuhnya. Ketika dia menyadari kegagapannya, sejurus kemudian wajahnya langsung kembali menyebalkan.
Aku menangkupkan kedua telapak tanganku ke depan, dan menunjukkan raut penyesalan. Meski palsu, bibirku juga sedikit mengulas senyum mengejek.
"Madame Caroline Testout, bisa juga disebut climbing rose atau mawar rambat," jelasku, "ahh ... menurut saya, anda juga cantik seperti bunga Delphinium," lanjutku.
Setelah mendengarkan pujianku, wajahnya terlihat semakin angkuh. Hidungnya kembang kempis menghirup pasokan udara dengan penuh kepongahan. Menilik rautnya yang terlihat besar kepala itu, bisa kupastikan dia tidak memahami arti dibalik bunga delphinium. Rasanya ingin menertawakannya. Dia hanya wanita kaya yang bodoh.
Aku memutuskan untuk tetap tersenyum dan tenang, biarkan saja wanita itu bersikap semaunya asal tidak membuatku kesal saja. Karena sampai saat ini, aku belum merasa terganggu dengannya.
"Tentu saja aku cantik seperti bunga delphinium," sahutnya bangga. Wajahnya semakin mendongak ke atas, aku jadi berpikir mungkin sebentar lagi lehernya akan terkilir.
Aku merasakan gerakan gelisah dari Manajer yang berdiri di belakangku. Tadinya dia bertugas untuk menemaniku memilih gaun pengantin, tapi malahan ada gangguan yang tak terduga. Dan aku yakin, manajer itu mengenal baik siapa wanita di hadapanku ini.
Hingga satu suara menarik perhatianku dari wanita bergaun merah ketat di depanku ini.
"Wah ... kejam sekali kamu mengatakan wanita seanggun Raina seperti bunga Delphinium," celetuknya.
Aku menoleh dan menatap wanita yang barusan datang dan kini berdiri di sampingku dengan kesal. Seharusnya dia yang menemaniku hari ini, tetapi malahan meminta Athan menggantikannya. Rasanya menjengkelkan sekali ketika aku berpikir bahwasanya aku dioper kesana kemari oleh mereka berdua. Ingin kulempar sneakersku ke wajah mereka berdua.
"Serena, tadinya kukira kamu tersesat sampai tidak bisa menemukan jalan ke tempatku," sindirku tanpa menutupi rasa jengkel di hatiku sambil melirik sinis padanya.
Serena sedikit kaget ketika mendengar nada suaraku yang terang-terangan menunjukkan kesinisan. Namun, kelihatannya dia tidak merasa terganggu sama sekali ketika raut kagetnya berganti cepat dengan senyum menawannya.
Dia segera merangkul bahuku, tapi aku memutuskan untuk mengacuhkannya dan lebih memilih kembali melihat ke arah wanita yang bernama Raina itu.
Wajah wanita itu terperangah ketika melihat ke arah kami. Dan aku tahu dengan pasti apa penyebabnya. Tentu saja karena sikap Serena yang terkesan akrab denganku, padahal aku akan menjadi madu Serena. Bukannya ia bersedih karena suaminya akan menikah lagi, tapi malahan terlihat begitu semangat dan memasang wajah yang begitu bahagia.
Menurutku, Serena benar-benar sudah gila.
Aku hanya bisa mendesah pasrah dengan kelakuan Serena. Yah, kukira tak ada pilihan lain lagi untukku selain menikah Athan dan menjadi madu bagi wanita yang sedang merangkulku dengan bahagia ini.
"Hei ... mana mungkin aku tersesat hanya untuk ke tempatmu, tapi tadi aku benar-benar memiliki urusan yang lain, jadi aku meminta Athan untuk menemanimu. Tidak ada salahnya bukan memilih gaun pengantin bersama calon suami sendiri?" tukas Serena dengan menambah pertanyaan yang masuk akal. Aku benci orang bodoh, tapi orang pintar juga menjengkelkan.
"Terserah padamu saja," balasku tanpa melihatnya karena tatapan mataku tetap mengawasi raut wanita di depanku.
"Nyonya Ballazs, apa kabar anda?" sapa Raina ketika dia sudah pulih dari rasa tak percayanya.
Ia mengulurkan tangannya pada Serena, tapi dengan tak kalah congkaknya Serena mengabaikannya. Wajah wanita itu terlihat memerah karena menahan marah juga malu. Sedangkan tangan yang sempat diulurkannya untuk mengundang jabat tangan pada Serena, kini sudah ditarik kembali. Terkepal dengan erat di sisi tubuhnya. Urat-urat di tangan halusnya itu sampai menyembul keluar.
Melihat hal itu, membuatku diam-diam mengulum senyum. Ternyata, penampilan lembut Serena hanya untuk menutupi sifat angkuhnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, dia bisa membuat lawannya malu hingga tak bersuara. Seperti wanita di depanku ini contohnya.
Diam-diam ada rasa bangga yang menyelinap di hatiku karena sudah menjadi madunya. Yah, setidaknya ini membuktikan bahwa wanita di depanku itu tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi madu Serena, sepertiku. Senang dan jengkel, perasaan yang berlawanan berputar di dalam dadaku.
"Sangat baik," jawab Serena singkat tanpa repot menanyakan kembali kabar dari sang penyapa.
Aku tak perlu repot-repot melihat rautnya, karena dari suaranya saja sudah terdengar angkuh. Jadi bisa kutebak, dia sedang memasang wajah arogannya.
"Anda berdua terlihat sangat akur dan akrab, saya berpikir pasti karena kelapangan hati anda yang sudah bersusah payah menerima kehadiran wanita lain di ranjang anda."
Nah, kalau perkataan yang barusan terlontar dari mulut Raina itu cukup menyulut rasa kesalku. Bagaimana tidak? Bukan Serena yang berlapang dada, tapi di sini akulah yang berlapang dada harus menerima nasib menjadi istri kedua karena paksaan dua sejoli menjengkelkan itu. Namun, sekarang malahan Serena yang mendapatkan gelar murah hati dan lapang dada.
Mulutku sudar bersiap untuk terbuka dan membalas perkataannya, tetapi Serena mendahuluiku dengan sigap.
"Tentu saja, karena Sandra sudah memenuhi standar kualifikasi untuk kumasukkan ke bawah selimut kamarku. Aku menyukainya, dan suamiku juga sudah jatuh cinta padanya."
Mendadak aku jadi lupa apa yang ingin kukatakan pada Raina, karena mendengar kata perkata yang dilontarkan oleh Serena.
"Jadi tentunya aku akan dengan senang hati menerimanya. Mendapatkan teman yang memiliki frekuensi yang sejalan itu sulit, dan ketika sudah mendapatkannya, aku tidak akan menyia-nyiakannya."
Serena dengan semangat menjabarkan rasa senangnya, yang kurasa pasti barusan itu adalah kesenangan karena secara tidak langsung mengata-ngatai kalau lawan bicaranya itu memiliki kualifikasi yang rendah, hingga tidak layak untuk masuk ke dalam rumahnya.
Wajah Raina semakin memerah, tapi sikap menahan dirinya cukup bagus hingga tidak mengamuk ketika mendengar kalimat pedas dan merendahkan dari mulut Serena.
Aku cukup malas untuk ikut berdebar dan saling menyindir di antara wanita kaya ini, jadi cukup bagiku untuk menjadi pendengar dan pengamat setia saja. Biarkan mereka berkicau sesuka hati.
"Ah ... cinta tuan muda Athan benar-benar besar dan luas, hingga dia bisa membaginya untuk kalian berdua. Apalagi ketika saya melihat sendiri kalau suami nyonya yang mengantarkan nona Sandra untuk memilih gaun pengantin. Pasti dia sangat mencintai calon istri keduanya." Raina kelihatannya ingin menggunakan taktik adu domba, dengan memanfaatkan kecemburuan istri pertama ketika suaminya membagi cinta. Benar-benar tidak ingin melepaskanku.
Dan aku menjadi penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Serena. Menurutku, wanita manapun tidak akan rela ketika suaminya membagi kasih sayang dengan perempuan lain.
Kulirik wajah Serena yang terlihat tenang itu, bahkan dia tidak melepaskan rangkulan di bahuku.
"Tentu saja suamiku mencintai Sandra," katanya, "dia mencintai wanita yang memenuhi standarnya, dan standar miliknya tidak sembarangan. Bahkan kalau seandainya aku seorang pria, mungkin Sandra akan menjadi sebab persaingan antara aku dengan suamiku. Sekarang saja aku sudah ingin menjadikannya milikku sendiri. Untung aku masih ingat kalau aku juga wanita," lanjut Serena dengan menohok dan sombong, aku tahu dia sedang menyombongkan pilihannya.
Astaga, kali ini jawabannya cukup membuatku malu. Aku tidak tahu kalau Serena itu selain gila juga tidak memiliki urat malu.
***
N.A:
Madame Caroline Testout adalah bunga mawar rambat yang memiliki tangkai kokoh, bunga ini cukup langka. Menurut sumber yang author baca.
Bunga Delphinium atau bunga larskspur, beberapa memiliki makna optimis tapi di sini lebih ditekankan pada pura-pura atau munafik. Memiliki sifat beracun untuk manusia juga ternak.
Suasana sore hari di sebuah kafe bergaya minimalis modern bernuansa all blue, di pusat ibu kotanya Indonesia. Terdengar alunan musik jazz yang indah dan nyaman didengarkan telinga. Padahal suasana di luar kafe sana dipenuhi dengan keriuhan lalu lintas yang mulai padat karena dibarengi dengan jam pulangnya para pekerja. Sedangkan di dalam kafe, meski begitu tenang. Ada salah satu penghuninya yang merasa terganggu oleh suara yang dihasilkan dari benda pipih lebar menggantung di salah satu dinding kafe. "Apa nggak ada berita atau gossip lain selain mereka berdua? Menyebalkan, padahal pengennnya ngelihat wajah lain yang lebih tampan dibanding dia," gerutu seorang gadis yang mengibaskan rambut panjang bergelombang indahnya dengan kesal. Gadis cantik yang memiliki paras campuran Indo-Korea itu bernama Alexandra Dhana Ganendra. Ia adalah pemilik kafe yang modern minimalis itu. Gadis itu menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang tengah diduduki sembari melipat kedua tangan di depan d
Mata Sandra melotot tak percaya dengan perkataan yang barusan dilontarkan oleh Serena. Masih sambil mengusap dada, perlahan Sandra kembali meluruskan punggungnya yang tadi sedikit membungkuk karena terbatuk. Diletakkannya kembali cangkir kopi itu ke atas tatakannya. Sandra menarik nafas perlahan dalam-dalam, mencoba mengembalikan raut tenangnya. Tangan yang tadinya sibuk mengusap dada, kini mengetuk pelan permukaan meja kayu yang mulus miliknya. "Kamu bicara apa?" tanya Sandra sambil terkekeh. Sandra mencoba menganggap perkataan Serena tadi hanya candaan, meski begitu ia tetap mengamati raut antusias dari lawan bicaranya. Sedangkan pria yang sedang ditawarkan untuk menjadi suami Sandra itu, tetap memasang wajah datarnya. Sandra sudah menguatkan hatinya, kalau ia tidak akan mau menikah dengan sosok yang lebih mirip jelmaan dewa Ares itu. Si dewa perang dan pembantaian mitologi Yunani. Meskipun Athan memiliki wajah yang rupawan, tetap saja Sandra lebih menyayangi diri sendiri. "A
"Hei ? Kenapa wajahmu cemberut begitu dua harian ini?" tanya salah satu penghuni bawel di kafe Sandra.Gadis itu mengabaikannya, dan hanya tetap berdiri sambil menumpukan kedua siku di atas meja konter, siku yang sedang menanggung berat beban dari kepalanya. Matanya sendiri tengah melamun kosong ke arah taman mungil depan kafe."Kak, katanya bentar lagi mau nikah ya?" tanya salah satu penghuni lainnya. Kata menikah memancing atensi Sandra. Ia langsung menoleh pada pria muda berkulit tan yang tengah memeluk nampan kayu berpelitur di depan meja konterku. Ia mengerutkan kening ketika memandangi pria manis tersebut."Dapat berita darimana?" tanya Sandra keheranan. Saking herannya sekarang sudah tidak bertopang dagu lagi. Ia refleks berdiri dengan meluruskan punggung, ingin mendapatkan kembali pose kemuliaannya."Hehehe." Dia terkekeh sambil menggaruk kepalanya, "kemarin aku sedikit mendengar obrolan kak Sandra dengan dua orang itu," jelasnya. Wajahnya antara terlihat tak enak, tapi juga
Terkejut mendengar suara yang barusan masuk ke telinga. Aku dan Awan tersentak, menoleh serempak ke arahnya. Mataku membelalak, tapi dengan cepat ku kendalikan menjadi lebih tenang."K-kamu! Kenapa bisa di sini?" tanyaku bingung.Athan menatap datar padaku, sekilas bisa kulihat ia melirik dingin pada lenganku yang menempel ke lengan Awan. Membuatku mengerutkan kening."Apa kamu mendadak bisu?" ejekku karena tak juga kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaanku tadi.Ia merotasikan mata jengah juga mendengus, "Kamu bertanya tidak berarti harus kujawab."Aku tentunya semakin keheranan dengan sikapnya. Sudah datang ke kafeku tanpa pemberitahuan, kini menolak menjawab pertanyaan. Apa dia kira aku itu cenayang yang bisa membaca pikirannya. Bahkan kukira cenayang juga jarang ada yang memiliki kemampuan seperti itu. Paling mentok membaca kartu tarot untuk menerawang masa depan. Bagi yang percaya, dan untukku tidak.Aku menggedikkan bahu sekilas sambil m
Aku memasang wajah tenang dengan mengulaskan senyum semenawan mungkin pada wanita itu. Terlihat dari wajahnya, dia merasa jijik ketika melihatku. Hidung mancung wanita itu terangkat tinggi dengan angkuh, gestur tubuhnya jelas penuh dengan kearoganan ketika melipat kedua tangannya di depan dadanya."Ah, benar sekali. Madam Caroline Testout memang cukup langka dan bagus, kecantikan, keeleganan dan aromanya juga sangat menawan. Berkualitas tinggi. Bahkan memiliki batang yang cukup kokoh untuk menghalau pengganggunya," balasku tanpa melunturkan senyuman.Wanita itu bengong tanpa membalas perkataanku, terlihat cukup bodoh untuk wajah cantiknya. Aku kira dia sedang mencerna semua perkataanku di otak kecilnya itu. Memiliki penampilan mewah sepertinya, apalagi bisa memasuki ruang VVIP yang hanya bisa dijangkau oleh sekelompok golongan elit seperti Athan. Tentunya latar belakang wanita itu tidak biasa, harusnya dari kalangan orang kaya juga. Kebiasaan para wanita sosialit
Terkejut mendengar suara yang barusan masuk ke telinga. Aku dan Awan tersentak, menoleh serempak ke arahnya. Mataku membelalak, tapi dengan cepat ku kendalikan menjadi lebih tenang."K-kamu! Kenapa bisa di sini?" tanyaku bingung.Athan menatap datar padaku, sekilas bisa kulihat ia melirik dingin pada lenganku yang menempel ke lengan Awan. Membuatku mengerutkan kening."Apa kamu mendadak bisu?" ejekku karena tak juga kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaanku tadi.Ia merotasikan mata jengah juga mendengus, "Kamu bertanya tidak berarti harus kujawab."Aku tentunya semakin keheranan dengan sikapnya. Sudah datang ke kafeku tanpa pemberitahuan, kini menolak menjawab pertanyaan. Apa dia kira aku itu cenayang yang bisa membaca pikirannya. Bahkan kukira cenayang juga jarang ada yang memiliki kemampuan seperti itu. Paling mentok membaca kartu tarot untuk menerawang masa depan. Bagi yang percaya, dan untukku tidak.Aku menggedikkan bahu sekilas sambil m
"Hei ? Kenapa wajahmu cemberut begitu dua harian ini?" tanya salah satu penghuni bawel di kafe Sandra.Gadis itu mengabaikannya, dan hanya tetap berdiri sambil menumpukan kedua siku di atas meja konter, siku yang sedang menanggung berat beban dari kepalanya. Matanya sendiri tengah melamun kosong ke arah taman mungil depan kafe."Kak, katanya bentar lagi mau nikah ya?" tanya salah satu penghuni lainnya. Kata menikah memancing atensi Sandra. Ia langsung menoleh pada pria muda berkulit tan yang tengah memeluk nampan kayu berpelitur di depan meja konterku. Ia mengerutkan kening ketika memandangi pria manis tersebut."Dapat berita darimana?" tanya Sandra keheranan. Saking herannya sekarang sudah tidak bertopang dagu lagi. Ia refleks berdiri dengan meluruskan punggung, ingin mendapatkan kembali pose kemuliaannya."Hehehe." Dia terkekeh sambil menggaruk kepalanya, "kemarin aku sedikit mendengar obrolan kak Sandra dengan dua orang itu," jelasnya. Wajahnya antara terlihat tak enak, tapi juga
Mata Sandra melotot tak percaya dengan perkataan yang barusan dilontarkan oleh Serena. Masih sambil mengusap dada, perlahan Sandra kembali meluruskan punggungnya yang tadi sedikit membungkuk karena terbatuk. Diletakkannya kembali cangkir kopi itu ke atas tatakannya. Sandra menarik nafas perlahan dalam-dalam, mencoba mengembalikan raut tenangnya. Tangan yang tadinya sibuk mengusap dada, kini mengetuk pelan permukaan meja kayu yang mulus miliknya. "Kamu bicara apa?" tanya Sandra sambil terkekeh. Sandra mencoba menganggap perkataan Serena tadi hanya candaan, meski begitu ia tetap mengamati raut antusias dari lawan bicaranya. Sedangkan pria yang sedang ditawarkan untuk menjadi suami Sandra itu, tetap memasang wajah datarnya. Sandra sudah menguatkan hatinya, kalau ia tidak akan mau menikah dengan sosok yang lebih mirip jelmaan dewa Ares itu. Si dewa perang dan pembantaian mitologi Yunani. Meskipun Athan memiliki wajah yang rupawan, tetap saja Sandra lebih menyayangi diri sendiri. "A
Suasana sore hari di sebuah kafe bergaya minimalis modern bernuansa all blue, di pusat ibu kotanya Indonesia. Terdengar alunan musik jazz yang indah dan nyaman didengarkan telinga. Padahal suasana di luar kafe sana dipenuhi dengan keriuhan lalu lintas yang mulai padat karena dibarengi dengan jam pulangnya para pekerja. Sedangkan di dalam kafe, meski begitu tenang. Ada salah satu penghuninya yang merasa terganggu oleh suara yang dihasilkan dari benda pipih lebar menggantung di salah satu dinding kafe. "Apa nggak ada berita atau gossip lain selain mereka berdua? Menyebalkan, padahal pengennnya ngelihat wajah lain yang lebih tampan dibanding dia," gerutu seorang gadis yang mengibaskan rambut panjang bergelombang indahnya dengan kesal. Gadis cantik yang memiliki paras campuran Indo-Korea itu bernama Alexandra Dhana Ganendra. Ia adalah pemilik kafe yang modern minimalis itu. Gadis itu menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang tengah diduduki sembari melipat kedua tangan di depan d