“Kaum Naga oh Kaum Naga. Apa kalian percaya mereka sungguh-sungguh ada?” Sebuah pertanyaan terdengar dari seorang pendeta tua di antara hirup pikuk Kota Arteri Abandoro yang padat akan pedagang, beragam barang dagangan aneh dan lautan pengunjung. Sahutan saling bertumpang-tindih dari para pedagang yang penuh semangat menjajakan dagangan masing-masing.
“Jika kalian nyata, oh wahai penguasa langit yang agung, tunjukkanlah bara mematikan kalian! Hembuskanlah napas api dan ratakanlah tanah terkutuk ini!” Pendeta itu terus bersabda meski tak seorang pun yang menaruh perhatian padanya.
Vice Kyle berjalan santai menerobos lautan orang-orang yang berdesak-desak tak tentu arah. Wajahnya tenang dan santai bagai pengelana bebas yang hidup tanpa beban dan kesulitan. Tiba-tiba saja bahunya disenggol kasar oleh seseorang yang wajahnya tidak dilihat je
Walau Vania telah meminta untuk tidak pergi jauh, tapi Alvi tidak bisa mengekang sifat alami Lily. Bagai hewan peliharaan yang lepas dari kandang, sang macan tutul salju langsung berlari ke sembarang arah tanpa tujuan pasti. Lily melompat girang menerobos padang ilalang yang telah menguning, lalu masuk ke hutan rindang yang letaknya cukup jauh di belakang rumah pertanian.Alvi berjalan santai sedikit di belakang tanpa buru-buru mengejar karena Lily masih dalam jangkauan penglihatan. Ia baru melangkah masuk ke bibir hutan ketika dikejutkan oleh seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang tiba-tiba melompat turun dari atas pohon tepat di sisi kirinya.Anak kecil itu mendarat sempurna lalu mendongak menatap Alvi dengan reaksi kaget yang serupa. Ia juga tidak menduga ada orang lain di tempat ini.“
Vice Kyle berhenti memainkan melodi yang baru beberapa menit melantun. Sehelai daun yang dijadikan alat musik dijauhkan dari mulut dan ia pun mulai berbaring malas di atas hamparan rumput hijau pendek. Pemandangan langit biru yang diselingi awan putih tipis terlihat tenteram di atas sana. Seandainya ia bisa terbang, mungkin perasaannya akan sedamai awan-awan itu juga.Vice mulai mengeluarkan lonceng yang dipungut beberapa waktu lalu. Ia mengangkat benda itu hingga sejajar dengan mata lalu mulai mencermati setiap detail pada benda berwujud bola kecil itu. Ukiran sisik di seluruh permukaan lonceng terlihat halus, rapi dan estetik. Dua simbol berupa api dan partikel es juga tampak memukau. Proses pembuatannya pasti penuh ketelitian dan ketekunan, pikir Vice dalam hati.Tepat di saat ia sedang mengagumi lonceng bola kecil yang semula dianggap remeh, embusan angin l
“Aku tidak mengerti, jika Eins Stewart sudah tahu keberadaan dua Tuan Putri Kerajaan Ishlindisz, kenapa dia tidak datang sendiri atau mengutus orang-orangnya? Kenapa dia harus repot-repot memberitahu kita yang hanya merupakan pemburu hadiah?” Suara protes terdengar dari mulut lubang.“Sudahlah, tak ada yang bisa menebak jalan pikiran penguasa baru seperti dia. Lagi pula kita sendiri yang setuju melakukannya. Dia sama sekali tidak memaksa,” ujar temannya menenangkan.“Tapi apa kau yakin dia tidak sedang memperalat kita? Apa cairan di dalam suntik ini benar-benar bisa melumpuhkan Claudia En Lacia Inshlindisz?” Orang pertama kembali berkata.Moris Rome yang sejak tadi diam membisu spontan mendengus sinis. “Sudah jelas Eins Stewart sedang memanfaatkan pemburu hadiah. Kita tidak lebih dari sekedar tenaga gratis yang bisa ia manfaatkan tanpa takut dirugikan.”“Lalu apa yang membuatmu setuju bekerja sama?” Orang kedua yang merupakan anggota kelompok pemburu hadiah Hiu Putih bertanya penasara
Api merah tampak membumbung tinggi di sepanjang pinggiran hutan rindang. Baranya ganas seperti perwujudan murka dari sesosok makhluk berukuran raksasa dan berbahaya. Tak salah lagi, detik berikutnya raungan menggelegar yang mampu mengguncang langit terdengar dari balik api setinggi sepuluh meter itu.“Hati-hati!” Vice lekas menarik tangan Alvi guna menjauhkan wanita itu dari sebatang pohon yang roboh akibat sebagian batangnya dilahap sang api merah. Batang pohon yang cukup besar itu jatuh menutupi jalan di depan mereka.“Lewat sini.” Vice kemudian membawa Alvi melewati jalan lain dengan tetap memegang erat pergelangan tangan sang Putri Kematian.Alvi tidak sempat bereaksi banyak. Jika dalam kondisi normal, ia tentu saja akan menepis kasar dan melemparkan tatapan tajam penuh aura tak ber
Pertarungan antara Acridian—sang naga tulang—dengan Nega—sang naga api—telah mencapai puncaknya. Setelah bergulat panjang dan saling melukai baik menggunakan cakar masing-masing ataupun deretan taring runcing, Nega akhirnya mendominasi pertarungan.Kedua tungkai depan bercakar tajam tampak mencengkeram kasar tulang-tulang rusuk di dada Acridian. Dengan sangat kasar Nega langsung menarik tulang-tulang itu hingga patah. Potongan daging berselaput bening yang berisi cairan serta Claudia En Lacia Ishlindisz di dalamnya tersibak. Setelah itu Nega pun menarik napas dalam-dalam sebelum menyembur ganas napas api dari mulutnya.Api dengan suhu panas derajat tinggi yang mampu melelehkan apa saja dalam sekejap mata tampak melahap rakus keseluruhan raga raksasa Acridian yang ukurannya sedikit lebih besar dibanding sosok Nega. Namun sesaat sebe
Semburan napas api Nega yang menyerupai lava panas mendidih tidak hanya meratakan rumah pertanian Nicholas Pele, tapi juga membunuh secara instan seluruh penghuninya tanpa memberi mereka kesempatan untuk merasakan penderitaan akan kematian. Tak hanya itu, tiga perempat dari Abandoro harus ikut terkena dampak dari amukan api yang berwujud sedikit menyerupai cairan itu! Bau gosong yang keluar dari gelimpang mayat di tanah membuat indra penciuman hampir mati rasa. Berbeda sekali dengan api kematian Alvi, api milik Nega tidak melahap mangsanya hingga habis tak bersisa. Api tersebut hanyalah api-yang-tampak-normal dengan perpaduan warna merah, jingga, kuning namun memiliki tingkatan suhu tinggi hingga lebih dari 2000 derajat Celsius. Di tengah kobaran api yang masih membara, seseorang tampak berjalan di antara sisa-sisa pertarungan dua ekor naga yang kini te
Sebuah gereja tua tampaknya cukup beruntung karena menjadi satu-satunya bangunan utuh yang lolos dari amukan api Nega. Lokasinya ada di pinggir Abandoro dan sedikit terasing dari jalan utama, maka tak heran jika hanya dia yang memiliki kondisi layak sementara rumah-rumah lain di Abandoro mengalami kerusakan yang cukup parah.Bangunan sakral ini memiliki aula luas yang memang diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Di sana ada beberapa kursi kayu panjang yang diatur berderet menghadap ke arah salib kayu besar yang digantung pada dinding di seberang pintu utama. Walau sudah ada sekian waktu ditelantarkan, namun bagian dalam gereja bisa dikatakan masih layak huni.Lapisan debu yang menutupi perabotan tidak menghalangi kehangatan yang diberikan saat orang-orang pertama kali menginjakkan kaki ke bagian dalam gereja. Di sana tersedia beberapa kamar tidur yan
Sinar matahari pagi yang terik tampaknya menembus masuk melalui setiap jendela yang dimiliki oleh bangunan gereja tua. Suhu ruangan pun mulai naik, sementara cahaya menyinari setiap inci dari interior ruangan yang malam sebelumnya terlihat remang-remang. Salah satunya adalah kamar tempat Vania dan Claudia beristirahat. Claudia En Lacia Ishlindisz menjadi yang pertama terbangun. Kaget bercampur panik sekejap melanda kala ia mendapati dirinya lagi-lagi berada di lingkungan asing. Namun rasa inferior itu sekejap sirna sewaktu melihat kakaknya, Vania En Laluna Ishlindisz, berbaring tepat di sebelah kanan di ranjang yang terpisah. Lalu di ujung kamar terlihat Vice Kyle yang sedang berdiri mematung dengan posisi memunggungi mereka. Laki-laki itu menghadap keluar jendela seolah sedang serius memikirkan sesuatu.“Vice,” panggil Claudia, dan Vice langsung berbalik. Senyum khas yang terkesan jahil tampak mengembang di wajah pria itu.“Halo, apa kabar Ishlindisz kecil pagi ini?’ tanyanya sambil
Raka Gilbert Vaiskyler membawa Vania En Laluna Ishlindisz ke sisi lain halaman. Walau jarak dengan pantai tidak sedekat tempat sebelumnya, namun pemandangan akan hamparan lautan masih bisa terlihat jelas. Vania menyentak ringan bahu kanannya sambil mengambil langkah kecil memisahkan diri dari Raka. Tadinya ia sengaja mengikuti skenario yang sengaja diciptakan Raka untuk menjauhi Fhillipe. Namun sekarang akting itu sudah tidak diperlukan. Raka yang sadar diri segera melepas rangkulannya. Dengan sedikit canggung laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket abu-abu berbahan katun. Matanya mengikuti arah pandang Vania menuju gelombang pasang surut air pantai. “Dulu aku tidak sempat pamit denganmu. Jadi hari ini aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan.” Raka bersuara memecah kebisuan di antara mereka. Vania tidak merespons. Matanya menatap sendu pada pantulan semu bulan pada permukaan air laut. “Aku juga berutang maaf dan sepenggal ucapan selamat... atas pernikahanmu.” Su
Satu-satunya ruang rapat di lantai tujuh berhasil disulap menjadi seperti kapal pecah oleh Rihan Daniel. Tumpukan buku menggunung di atas meja panjang di tengah ruangan, sementara sampah kertas terlihat bertebaran di lantai beralas karpet. Coretan tulisan berupa detail kejadian demi kejadian yang berlangsung selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir tampak ditempel di atas peta seluruh Beta Urora yang dipampang sangat besar dan mencolok di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Rentetan kisah itu sangat panjang dan tak mungkin habis dalam satu malam jika harus diceritakan.Ada beberapa catatan yang diperoleh Vania dan yang lain setelah selesai dari ruang di lantai tujuh itu. Tentang North Compass maupun kejadian yang terjadi selama dua lima puluh tahun terakhir—atau mungkin lebih lama dari itu, menurut pengakuan Nega Vaiskyler; sang naga api yang terjebak dalam raga anak perempuan manusia.
Rihan mengayunkan pedangnya dengan sangat beringas ke arah Alvi Veenessa Endley. Bilah pedang tajam berwarna hitam dengan ornamen kuning di tengah tampak melesat menuju dada sang Putri Kematian yang tak terlindungi. Namun mau sekuat apa pun Rihan menyerang, sebuah pelindung tak kasat mata selalu berhasil menghentikan amukan pedangnya.“Percuma saja,” ujar sosok yang sedang mengendalikan tubuh Alvi. Ia tidak meremehkan lawannya tapi juga tidak sepenuhnya menganggap serius.Lagi, bola-bola transparan misterius yang sebelumnya juga sempat bangkit dari balik lantai teras mulai terbentuk dan melayang ke antara jarak sempit di tengah kedua orang itu.Rihan seketika melompat mundur menghindari benda menyebalkan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Meski sudah mencoba dan gagal beberapa kali, tapi tidak ada gu
Rihan Daniel berdiri seorang diri di teras atas bekas markas Samsara seraya melempar pandangan jauh ke arah lautan. Ia sudah mematung di sana selama hampir dua jam lamanya, seakan tiupan angin laut yang begitu kencang membawa serta dirinya untuk berkelana jauh ke berbagai hal di masa lalu.Namun segala ketenangan yang menyelimuti wilayah paling selatan dari Beta Urora terusik oleh raungan samar seekor naga di kejauhan. Tak lama, makhluk berukuran raksasa yang tinggi hampir setara dengan bekas markas Samsara bertingkat tujuh itu mendarat tepat di samping bangunan bekas markas Samsara. Salah satu sayapnya segera terlipat sempurna, namun satunya lagi hanya terlipat setengah. Ketiga penumpang yang ia bawa di punggungnya pun segera turun dan menapakkan kaki ke atas bangunan dengan memanfaatkan setengah sayap yang terlipat sebagai jembatan.“Vania En Laluna Ish
“Daniel.” Vania En Laluna Ishlindisz memanggil sambil menjulurkan kepala keluar pintu kamar. Suasana lorong di depan pintu kamar terasa amat sepi dan hening.“Lily?” panggilnya lagi karena sang macan tutul salju juga tak tampak. Bahkan Robo yang selalu siaga di lorong pun tak kelihatan batang hidungnya.Aneh, ada apa dengan mereka? Apa yang sedang Rihan Daniel rencanakan?Vania ragu selama beberapa waktu, mempertimbangkan apakah dirinya harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lari atau tidak. Segala kemungkinan yang berhasil dipikirkan tidaklah memberinya alasan untuk tetap tinggal. Keberadaan Alvi sendiri yang belum diketahui semakin membulatkan tekad Vania untuk pergi dari sini selagi bisa.Degup jantung berdetak kencang sewaktu Vania berhasil m
Sebuah kamar tidur di lantai paling atas memiliki pencahayaan serta pemandangan menghadap laut yang paling strategis. Sinar matahari pagi akan langsung menyongsong masuk melalui jendela serta pintu kaca balkon. Sementara pada malam hari, akan ada pemandangan lautan bintang berkelap-kelip di langit gelap, menciptakan ilusi indah yang tak pernah disaksikan Vania bahkan di istana Kerajaan Ishlindisz sekali pun.Suasana bekas markas Samsara yang senyap di wilayah paling selatan Beta Urora sungguh memberi ketenangan tersendiri pada Vania. Wanita itu bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia merasa rileks dan sedamai ini. Mungkin sebelum kekacauan di kontinen tenggara terjadi, atau mungkin jauh sebelumnya sewaktu dirinya masih seorang remaja naif. Tapi, duduk bersandar di tempat tidur sambil menikmati pemandangan di luar jendela... apakah dirinya masih pantas mendapatkan kemewahan ini?
Suara pertarungan. Jeritan frustrasi Alvi.Tawa Kirra Anggriawan.Semua itu bersahut tak karuan di dalam kepala Vania mengiringi sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tubuhnya mati rasa. Luka fatal yang membelah dadanya tak lagi terasa sakit. Bahkan hangatnya genangan darah yang mengalir keluar sudah tidak dirasakan. Lalu, rasa dingin mulai menjalar. Suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berhenti. Vania ingin bersuara, ingin menyampaikan kalau ia masih hidup. Namun ambang batas antara hidup dan kematian begitu dekat dengannya. Vania tak bisa berbuat apa-apa selain terus menatap cahaya kecil yang perlahan-lahan menjauh dan memudar. Ia sekuat tenaga mengangkat tangan, berusaha menjangkau cahaya redup yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan.“Nyawa Alvi Veenessa Endley adalah segala-galanya. Kali ini aku tidak akan melepaskan tanganku lagi.” Rihan Daniel berkata bersamaan dengan tarikan pelan di ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan.Laki-laki itu refleks berbalik dan se
Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham
Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb