Azra Current POV
Dia sampai di rumah jam sebelas malam. Perjalanan dari rumah ke kantor yang aslinya hanya butuh sekitar dua puluh menit kini molor ber kali – kali lipat karena lalu lintas yang padat di malam tahun baru. Dia buru – buru mandi dan menyeret Jijah yang sedang baca buku di ruang tengah lantai dua untuk menemaninya makan.
Tentu saja nggak berakhir mulus. Jijah menolak, beralasan kalau dia lagi diet. Alah diet apaan! Badan udah setipis mie lidi gitu mau dikurusin lagi. Akhirnya dia menggendong adiknya itu dan mendudukkannya di meja makan.
“Gaya bener minta ditemenin. Biasanya juga makan sendiri.” Jijah menggerutu.
“Nggak ikhlas amat nemenin Masnya makan loh.”
“Nemenin orang makan tapi sendirinya nggak makan itu nggak enak tau!”
“Ya udah tinggal makan. Mau mas ambilin? Ato mau disuapin?”
“Mas Azra sejak ketemu Mbak Icha lagi jadi jayus lagi, tau.” Hah? Jayus gimana? Dia mengangkat alis bingun
Azra Current POV Akhirnya malam ini datang juga. Malam yang dinanti – nanti Azra. Malam dimana dia dan Icha akan melangkah selangkah lagi lebih dekat menuju kebersamaan yang halal. Icha nggak bilang apa – apa padanya tentang ini pada awalnya. Dia baru bilang sore tadi, saat dia dan Mama sudah mendarat di YIA. Karena berniat kasih surprise ke Icha, dia bilang kalau dia nggak bisa dateng ke Jogja hari ini dan dia ikut saja apapun nanti hasilnya. Dia sudah tau terlebih dulu tentang acara malam ini dari Bulik Indah. Katanya Icha kemaren mampir ke rumah pulang kerja dan bilang kalau dua hari lagi keluarganya mau datang. Nggak bilang apa maksudnya, Cuma bilang mau menindaklanjuti lamaran Azra beberapa minggu kemarin. Mendengar itu, Mama langsung bilang akan terbang ke Jogja dan bakal terima sendiri tanggal yang diberikan Pak Joko. Bagaimana pun, Mama yang akan mantu. Tapi tentu aja Azra nggak mau ditinggal. Dia yang mau menikah, tentu dia
Icha Current POV Tanggal sakralnya sudah ditentukan. Beberapa hal pokok juga sudah diambil keputusannya. Kabar baiknya disambut gembira oleh Nisya, Ida dan Hafid. Bahkan kemarin Ida dan Hafid mengirim gambar mereka sedang makan malam bareng sama Azra, membuatnya iri setengah mati. "Kan ada akuuu. Biasa deh, suka nggak dianggep." Niysa mencebik kesal. Ini hari minggu, Bapak dan Ibu pergi dengan Bulik Indah untuk testing food bakal pernikahan mereka. Mas Eka lembur dan dek Iyo jalan sama teman – teman klub sepak bolanya. Icha sengaja memanggil Nisya untuk menemaninya karena hari ini dia kebetulan juga sedang kosong. Barusan dia memperlihatkan foto dari Ida saat makan malam bersama Hafid dan Azra. Dan reaksi Nisya membuatnya merasa tidak enak. "Maksudnya bukan gitu, Nisyaaaa." Nisya masih ingin lebih lama mengerjainya. "Abisan kalo sama aku biasa aja, pas liat mereka jalan kamu ngiri! Emang aku apaan." "Y
Nisya’s Current POV Mereka bertiga duduk canggung dalam diam. Nisya sengaja tidak beranjak dari sana dan membiarkan dua orang ini sendiri. Dia tau Amyra dari cerita Icha tempo hari saat Azra pertama kali melamar. Dan melihat orangnya langsung, bertatapan dengannya pertama kali, membuat Nisya tau kenapa Icha sempat gamang menjawab Azra. Amyra gadis yang cantik. Cantik banget sampe bikin dia yang cewek aja minder mungkin kalo jadi temennya. Pembawaannya tenang. Dan tatapannya tajam saat menatap Icha dan juga dirinya. Tatapan itu, tatapan penuh tantangan dan ajakan perang. Walaupun akhirnya kalah juga. Icha di sisi lain, terlihat gugup bertemu dengan Amyra. Selama ini dia selalu berusaha seminim mungkin berinteraksi dengan Amyra, yang setelah pertemuan pertama mereka, seakan terang - terangan mengabaikannya seolah dia tidak ada. Dia sampai menolak ajakan Azra ke kantor Jakarta beberapa kali karena tidak ingin bertemu dengan Amyra dan
Azra's Curret POV "Kamu ngirim foto apa, sih, Sayang?" Tanyanya saat wajah Icha sudah muncul di layar ponselnya. Iya, mereka sedang melakukan video call. "Foto." Icha menjawab. Ya memang, calon istrinya itu barusan memang mengiriminya foto. Tapi bukan itu yang dia ingin tanyakan. Melainkan maksud Icha mengiriminya foto tersebut. Di latar belakang, dia bisa mendengar suara Nisya terkikik. "Kamu lagi sama Nisya? Lagi di luar? Dimana?" Dikap posesifnya ikut absen mengecek keberadaan Icha. "Abis muter - muter. Makan Carbonara di Moses. Tadi Nisya pengen itu, terus lanjut nge mall window shopping sama nonton film. Ini lagi mau pulang, tapi Nisya bilang pingin cobain kedai kopi baru. Ini kita masih disini." "Itu foto apaan? Kamu ngap
Azra Current POV Mereka, Azra dan Amyra, sudah sampai di bandar udara Cengkareng. Masih ada cukup waktu untuk check in dan mungkin membicarakan hal - hal yang harus dibicarakan, mengingat mereka berdua sedari tadi hanya saling diam sepanjang perjalanan kemari. Tidak biasanya, karena Amyra bukan tipe yang diam dan menyukai kesunyian. Dia seperti radio yang siap siaran penuh dua puluh empat jam. Tidak peduli yang diajak ngobrol sudah berada diawang - awang sekalipun karena mabok mendengar suaranya. Tapi hari ini, selain sapaan dan kalimat 'ah, lo dateng juga ternyata' mereka sama - sama bungkam. "Thanks, ya." Akhirnya Amyra bersuara. Saat mereka hampir sampai di gate check-in
Icha Current POV Icha menutup dada bagian atas dan pundaknya yang kini terekpos bebas. Dia risih. Memang sih, yang di sini perempuan semua, tapi kalau gaun ini yang jadi pilihannya, dia akan memakainya nanti di depan ratusan orang di acara pernikahannya. Mental Breakdown lah! Dia nggak pernah pakai baju yang seterbuka ini. Di depannya, Bulik Indah bertepuk tangan heboh. Terlihat puas dengan hasilnya. "Bulik udah ngira, kamu bakal cocok banget pake gaun model ini!" Dia meringis. "Nggak dipakein lengan Bulik? Nanti Icha masuk angin." Tanyanya pelan. Takut menyinggung perasaan buliknya. "Masuk angin apa. Ini cuma baju buat resepsi kok, salah satunya nanti pake baju - baju ini nanti." Icha mendelik saat asisten Bulik Indah membawa dua baju lagi untuk dicoba. "Pas akad na
Azra's Current POV Mereka melewati hari yang berkualitas berdua selama Azra ada di Jogja. Besoknya Icha yang menemani Azra gantian fitting jas pengantin. Nggak banyak, cuma tiga, sama seperti Icha. Beskap (baju adat laki - laki jawa - jas lengan panjang, blangkon dan Jarik) yang akan dipakai saat resepsi sudah paten, hanya tinggal menyesuaikan ukuran saja. Kata Bulik Indah, lengannya perlu sedikit di pendekin biar yang pakai merasa nyaman. Mereka nurut saja. Yang tau soal baju kan memang Bulik Indah. Beliau pakarnya, jadi manut saja lah sama pakarnya. Undangan juga sudah dimasukkan ke cetak. Persiapan pernikahan mereka sudah delapan puluh persen. Dua puluh persen nya ada pada hari H. Intinya, persiapannya sudah amat matang. Sebulan lagi, malah nggak sampai. Dua puluh tujuh hari lagi karena sekarang sudah bulan Maret awal. Sore itu, saat Azra menjemput Icha untuk mengantarnya pulang ke Bandara, dia ketemu
Azra's Current POV Masa pingitannya berlalu alot bagi Azra. Dia dilarang oleh Bulik Indah dan Neneknya untuk berhubungan dengan Icha dalam bentuk apapun. Mama sih santai. Nggak percaya sama yang begitu. Bapak juga lebih ke nggak boleh ketemu dulu tapi masih boleh berhubungan, teknologi katanya. Tapi tiap malam salah satu dari mereka, Bulik Indah dan Nenek selalu mengeceknya. Dan dia tidak bisa berbohong pada orang - orang terdekatnya. Lebih gampang walk out daripada mencari alasan untuk berbohong. Makanya dulu saat ada masalah dengan Icha dia lebih memilih menghindar. Oke, itu memang karena dia pengecut. Tapi kira - kira seperti itulah alasannya. Tapi apakah dia menurutinya? Tentu saja... nggak. Kangennya lebih besar! Dia lihat polanya Bulik Indah dan Neneknya kalau bertanya. "Hari ini nggak telpon Icha, kan? Wasapan? Sms?" Hanya seputar tiga itu. Dia nggak menyebutkan skype an di sana. Jadi, Azra
Icha's Curent POVHasilnya mungkin sebentar lagi keluar. Dia kembali ke kamar dengan tubuh gemetaran. Ya karena lemas, ya karena harap - harap cemas."Gimana?"Azra bertanya saat dia membuka pintu kamar.Dia langsung menyerahkan strip tipis yang dipegangnya pada suaminya itu. "Kamu aja yang lihat, aku nggak berani." Jawabnya pelan.Azra diam, mengambil strip tersebut, sementara dia duduk di sebelah Azra. Tangannya saling terkepal di pangkuannya. Takut, cemas. Mimpi buruknya beberapa bulan lalu seperti terulang lagi. Azra yang seperti tahu kecemasannya, menggapai tangannya dan meremasnya pelan. Seolah memberikan kekuatan melalui genggaman tangan tersebut.Beberapa saat berlalu dalam keheningan seperti itu. Kenapa Azra diam saja? Seharusnya sudah terlihat kan, hasilnya? Kenapa nggak dibuang itu stripnya? Kalau negatif harusnya langsung dibuang saja, nggak usah dilihatin. Bikin sakit hati."Ja?""Hmm?""Negatif ya?" Dia mem
Azra's Current POVEmpat bulan... beberapa hari lagi, mereka hampir lima bulan menikah, dan Azra masih merasa luar biasa karena bisa menjadikan Icha miliknya. Perempuan mungil yang sedang tertidur meringkuk dengan rambut setengah basah di sampingnya ini, adalah istrinya.Selepas subuh bersama, Icha langsung merangkak naik lagi ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Salahnya, dia mengacaukan tidur istrinya semalam. Entahlah, dia merasa akhir - akhir ini sangat ingin memiliki istrinya seutuhnya. Berapa banyak pun mereka melakukannya semalam dan kemarin, rasanya masih belum cukup.Azra tersenyum sembari mengelus pipi lembut Icha yang hanya dibalas gumaman tak jelas. Gemas sekali. Dia sudah rapi. Berkas yang dibutuhkannya juga sudah siap di meja samping pintu kamar. Hari ini dia ada rapat direksi hotel. Sekitar lima belas menit lagi. Karena alasan itulah mereka menginap di sini dua hari ini. Dan seperti biasanya, dia memanfaatkannya dengan sangat baik.
Icha's Current POVDia hanya berjalan - jalan sebentar di pantai yang ada di sekitaran hotel. Sunset yang jadi cita - citanya terpaksa dia nikmati dari resto saja. Nggak terlalu bagus karena tertutup pepohonan magrove, tapi dia tetapdapet golden hournya. Lumatan. Karena kalau harus masuk hutan dan lewat jempatan setapak, dia tidak yakin akan selamat saat pulang nanti. Gelap, takut tercebur ke air.Bukan karena nggak bisa berenang, tapi dulu sekali waktu dia masih kecil, Mas Eka pernah menakutinya saat liburan ke pantai Mangrove di Kulon Progo, katanya, Mangrove itu rumahnya buaya putih. Jadi kalo kamu nakal, kamu bisa di lempar ke perairan mangrove dan nantinya dimakan sama buaya putih. Nah, dia takut gara - gara itu.Setelah matahari terbenam, dia berjalan - jalan di sepanjang gang masukke hotel. Di sana banyak stall makanan dan souvenir. Dia tetiba kepikiran ingin membelikan Azra sesuatu."Silakan, Kak, dilihat - lihat souvenirnya." Salah satu pramuniag
Azra's Current POVMereka sudah bersiap sejak pagi. Sabtu mereka yang biasanya dihabiskan dengan bangun siang, hunting sarapan di luar, lanjut belanja mingguan dan memberekan urusan domestik, kini berganti dengan travel kit yang terpacking rapi di bagasi belakang mobilnya untuk staycation mereka semalam saja di Angke Kapuk sekalian Azra menyelesaikan pekerjaannya di sana.Dia melihat istrinya yang amat bersemangat. Katanya tadi, Akhirnya dia bisa lihat usaha yang dikelola oleh suaminya itu jauh sebelum mereka menikah. Siapa tau dia juga bisa diajak staycation di hotel yang di Batam besok - besok. Well, itu tentu saja, tapi mungkin setelah Highseason berakhir.Dan dia juga sempat bilang pada Istrinya itu, kalau profit tahun ini bagus, mungkin mereka bisa membuka sister hotel satu lagi di pantai Wates dekat bandara baru Yogyakarta.Dan reaksi istrinya tentu saja heboh dan bahagia sekali. Dia berharap banget kalau hal itu terlaksana.Katanya, kalau it
Azra's Current POV Dia sampai rumah lagi - lagi jam setengah sepuluh malam. Lembur lagi. Dia sudah mengabari istrinya tentang hal ini, dan Icha bilang dia akan menunggu. Ida sudah dijemput Hafid sekitar jam tujuh malam tadi. Temannya itu memang selain akhir bulan, jadwalnya amat bikin iri. Masuk jam sembilan pagi dan pulang jam enam sore, idaman, sungguh! Dia membawakan Icha oleh - oleh bakmie jawa yang khas Jogja yang dimasak dengan arang. Hitung - hitung mengurangi kerinduan Icha pada kampung halamannya. Memang Icha tidak pernah bilang, tapi doa jadi suami kan harus tau diri. Masa biasanya kumpul, serumah, pas pergi nggak dikangenin. Dia melangkah ke dalam rumah dengan langkah ringan. Menemukan istrinya menonton TV sambil rebahan. Segera dia membungkuk di atas istrinya untuk mengecup dahinya, membuat Icha kaget. "Eh, udah pulang. Kok nggak denger suara mobil kamu?" Tanyanya heran. "Kamu fokus banget kali, nontonnya sampe nggak denger
Icha's Current POV"Ada apa, Da? Kamu kenapa?"Dia bertanya sambil menggeser badannya mendekat ke arah sahabatnya yang sekarangs edang sibuk menatap apa saja asak bukan matanya. Ida menghindari bertatap mata dengan orang lain? Sejak kapan?"Da?"Dia menangkup tangan Ida yang berada di atas meja, membuat sahabatnya itu tidak punya pilihan lain selain menatap balik Icha yang ada di sebelahnya."Ada apa?""Gue... Nggak tau harus cerita apa. I do have a lot to talk to somebody. Tapi aku nggak tau sama siapa.""Kamu kan bisa cerita sama aku, Ida." Dia mengingatkan.Tapi Ida malah menggeleng dengan wajah sedih. " Di antara semua orang, justru gue paling nggak mau cerita sama lo." Hah? Kenapa? Apa salahnya? "Gue nggak pengen lo terlibat kedalam sesuatu yang se... menjijikkan ini.""Maksudnya?" Dia bertanya bingung. Tidak bisa sama sekali menerka maksud Ida akan dibawa kemana pembicaraan mereka.Helaan nafas dalam dan ber
Azra's Current POV"Kalo kenapa - kenapa langsung telpon aku, ya." Dia mewanti - wanti istrinya sebelum berangkat ke kantor pagi itu.Icha bersandar di kusen pintu depan rumah mereka, sementara Dia berdiri di depan istrinya, memerangkap perempuan itu di antara tubuhnya dan kusen pintu depan rumahnya."Iya, jangan khawatir."Gimana nggak khawatir sih?! Kan dia lagi sakit gini. Sekarang sih sudah mendingan, dia sudah nggak se pucat saat masih di rumah sakit dan awal - awal dia pulang ke rumah kemarin. Istrinya beneran sudah baikan. Tapi kan tetal aja, rasa khawatir itu ada."Besok aku temenenin kamu seharian di rumah." Janjinya.Tapi Icha malah cemberut nggak terima."Seminggu di rumah terus nggak kemana - mana. Bosen tau. Jalan - jalan, yuk!" Dia menatap Azra dengan pandangan berbinar dan memohon, menunggu persetujuan."Tapi kan kamu baru sembuh....""Iya. Dan senen aku udah mulai kerja lagi. Kasihanilah istri
Azra's Current POVHari ini dia lembur. Bete banget, dan sepertinya besok pun dia masih harus lembur. Highseason berarti banyak tamu datang, yang berarti juga banyak pemasukan, tapi berarti juga banyak masalah karena tempat wisata hampir semuanya jadi ramai.Ada saja yang jadi objek permasalahan. Mulai hal yang serius seperti alergi yang lupa diinformasikan kepada pihak hotel atau restoran, sampai masalah ada cicak dan nyamuk di dalam kamar.Ya gimana dong, mereka liburan ke Indonesia, minta penginapan dengan konsep country natural dan tropical heaven sebagai view utama, tapi kamarnya ada cicaknya mereka protes. Namanya Hutan, ya udah bagus nggak ada babi hutan masuk kamar, yang masuk cuma cicak aja.Ada juga pasangan honeymoon yang minta twin bed alias bed terpisah. Masa ini beneeran pasangan bulan madu? Kok dia kemarin sama istrinya nggak gitu, ya? Atau mereka berantem di pesawat pas mau ke Indonesia? Jadi di hotelnya mereka diem - dieman? Nggak sayang
Icha's Current POVIni sudah hari ketiga dia bedrest di rumah. Kalau pagi, dia akan ditemenin Azra, suaminya itu bahkan memasak sarapan untuknya. Ya macem - macem menunya, kadang dia masakin Icha bubur, kadang cuma sandwich, kadang juga nasi goreng, atau pernah juga pas Azra kesiangan bangun dia cuma masakin Icha omelet.Padahal kalau cuma omelet mah, dia juga bisa sendiri bikinnya.Bukan dia nggak bersyukur. faktanya, dia malah seneng banget. Awalnya dia kaget memang karena Azra bahkan bisa membuat bubur. Soal rasa, walaupun nggak bisa bersaing dengan masakan Mama, tapi rasanya masih amat layak untuk dikonsumsi, kok. Dan nafsu makannya juga sudah berangsur - angsur pulih beberapa hari terakhir ini, meskipun kadang, dia masih suka mual dan muntah setelah makan.Jangan - jangan dia hamil?! Azra pernah berpikir seperti itu. Tapi Icha sudah mengetesnya dengan stock testpack yang dibelinya sejak dia awal menikah dulu. Negatif. Yah, usia pernikahan merek