Trixie terbangun saat merasakan tenggorokannya yang sangat kering. Ia haus sekali, setelah hampir lebih dari setengah malam bercinta tanpa jeda. Gadis itu pun memejamkan mata dan menepuk pelan keningnya, ketika kenangan akan aktivitas panas kembali lewat dalam pikirannya. Aarghh!! Memalukan sekali!! Kenapa ia harus menjerit dan mendesah di sepanjang percintaan?? Sial, hanya dalam semalam Aiden Miller telah mengubah Trixie Bradwell yang anggun dan elegan menjadi seorang jalang.Rasanya ingin sekali ia memukul kepala lelaki itu karena kesal. Tapi... dimana dia?? Trixie menolehkan kepalanya ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka dari arah luar. Seraut wajah tampan yang tersenyum nakal pun muncul dari sana. Aiden membawa sebuah baki berisi segelas air putih dan potongan buah-buahan, lalu meletakkannya di atas tempat tidur tepat di hadapan Trixie. "Halo, Angel." Aiden mengecup bibir Trixie sekilas dengan sedikit menjilatnya. "Kamu pasti haus, kan? Karena aku telah membuatmu menjerit
"Pegangan yang erat, Angel. Karena aku akan melompat dari jendela menuju ke helikopter. Kamu siap?" "A-apa? Melompat?" Trixie menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dengan manik biru safirnya yang membelalak ngeri. Napasnya memburu, seakan paru-parunya tiba-tiba kesulitan mendapatkan oksigen. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Aiden, biarkan aku turun!" serunya panik. Tangannya dengan segera bergerak untuk melepaskan diri dari gendongan Aiden. Namun sebelum ia sempat benar-benar meloloskan diri, Aiden malah mengubah posisi tubuhnya, membuat Trixie kini menempel erat di bagian depan lelaki itu. "Jangan banyak bergerak, Angel. Nanti tubuhmu akan semakin kesakitan," ujar Aiden dengan nada tenang serta lembut, tapi tetap penuh dengan dominasi. Tatapannya yang penuh arti pun turun sejenak ke tubuh Trixie, terutama bagian bawahnya, sebelum kembali menatap lurus ke depan. Trixie menelan ludah dengan susah payah. Sekujur tubuhnya menegang, sementara
Sergapan udara malam yang dingin dan tajam terasa menusuk bagian kulitnya yang tidak tertutup mantel bulu. Angin kencang berhembus liar, membawa serta sensasi menusuk yang membuat tubuhnya menggigil. Trixie bisa merasakan setiap helaian rambutnya beterbangan tanpa arah, wajahnya diterpa angin yang membuat napasnya semakin berat. Pemandangan dari ketinggian 39 lantai di bawahnya sungguh mengerikan. Cahaya lampu kota yang berkelap-kelip tampak seperti bintang-bintang yang jatuh ke tanah. Namun bagi Trixie, semua itu hanya memperparah rasa pusingnya. Bayangan tubuhnya dan Aiden yang bisa saja meluncur ke bawah dalam sekejap, membuat dadanya sesak oleh kepanikan. Inilah saatnya... Trixie begitu yakin kalau ajalnya telah tiba... setelah ia melihat Aiden yang ternyata meleset masuk ke dalam helikopter dengan pintunya yang telah terbuka. Sesaat ketika Trixie mengira mereka mereka akan terus meluncur turun menghujam tanah, tiba-tiba saja tangan Aiden meraih bagian kaki
"Hei. Kamu sudah bangun, Angel?"Suara berat dan lembut itu menyusup ke dalam kesadarannya, menggoyahkan batas antara mimpi dan kenyataan. Perlahan, kelopak mata Trixie pun terbuka, menampilkan bola mata indah sewarna safir, menangkap seraut wajah tampan yang tengah menatapnya dengan begitu intens. Untuk sejenak, kesadarannya masih terasa terombang-ambing. Namun ketika kesadaran itu akhirnya pulih sepenuhnya, Trixie pun tersentak. Tempat ini begitu asing baginya. Ini bukan apartemennya, bukan juga hotel tempatnya menginap di London. Aiden sepertinya bisa membaca kebingungan Trixie seperti buku yang terbuka. Tatapannya yang tajam namun tenang menyelami matanya, sebelum bibirnya yang sempurna melengkung dalam senyum menenangkan. "Kamu sekarang berada di tempat yang aman, Angel."Suara Aiden terdengar begitu yakin, begitu mutlak, seakan-akan di dunia ini tidak ada tempat yang lebih aman selain di sisinya. Trixie pun seketika menelan ludah. Pandangannya berkeliling, mencoba men
Lena menghela napas pelan sambil sejenak memejamkan mata. Gadis bersurai hitam ikal itu benar-benar lelah, karena sudah lebih dari tiga jam ia tidak bisa bergerak bebas keluar dari ruangan ini. Dirinya sedang memenuhi panggilan resmi dari M15, sebuah badan keamanan Inggris Raya. Tak pernah sekali pun terlintas di benak gadis itu, bahwa ia akan menginjakkan kakinya di Gedung M15. Lena menggigit bibirnya. Sejak 3 jam yang lalu, ia terus menerus dicecar pertanyaan mengenai Aiden Miller, serta apa hubungan lelaki itu dengan Trixie, sahabatnya. Ya ampun, ia benar-benar bingung dengan semua ini. Kenapa mereka menanyakan Trixie dan Aiden? Sebenarnya kemana Trixie sekarang? Dan juga Aiden? Lena hanya bisa menjawab sebisanya, karena yang ia ingat terakhir bertemu Trixie adalah ketika ia mengantarkan Trixie kembali ke Penthouse-nya setelah acara penggalangan dana Fashion For Donations. Dan sekarang... Trixie kembali menghilang bersama Aiden Miller. Suara pintu yang terbuka membuat perh
PLAAAKKK!!! 'Sial!! Kenapa malah tanganku yang jadi sakit?!' Gerutu Trixie setelah memukul lengan keras penuh otot milik Aiden. Gadis itu kesal sekali, ketika mendengar Aiden yang dengan seenaknya mengatakan bahwa dirinya tidak diperbolehkan mengenakan apa pun ketika sedang berada di dalam kamar ini! "Aku bukan pemuas nafsumu," sungut Trixie sembari mendelikkan manik biru safirnya dengan jengkel. Mereka mungkin memang sudah pernah bercinta sebelumnya, tapi seorang wanita elegan dan berkelas seperti Trixie sangat pantang merendahkan dirinya seperti itu. "Siapa yang bilang kalau kamu menjadi pemuas nafsuku?" Sergah Aiden balik sambil menggelengkan kepalanya. "A-aa, itu salah. Justru akulah yang akan menjadi pemuas nafsumu, Miss Trixie Bradwell," tambah lelaki itu lagi sambil menyeringai jahil. Melihat Trixie yang kesal dan marah-marah begini entah kenapa semakin menambah birahinya. Gadis ini benar-benar seksi dengan rambut pirangnya yang tergerai kusut membingkai wajah cantiknya
"Sure, Dad." Karena telah selesai sarapan sejak tadi, maka Aiden pun memutuskan untuk langsung berbicara kepada ayahnya. Lebih cepat lebih baik, karena ia sudah tidak sabar untuk menghabiskan hari ini bersama Trixie. "Aku pergi dulu," ucap Aiden sembari berdiri dari kursinya dan mengecup puncak kepala Trixie. "Monica, aku minta tolong padamu untuk menemani Trixie sebentar saja, will you?" Pinta Aiden kepada adiknya yang sepanjang sarapan ini hanya diam saja. Aiden yang tidak menyadari jika Monica sesungguhnya kesal setengah mati melihat kemesraan yang ditunjukkan kakaknya kepada gadisnya, malah meminta pertolongan kepada adiknya. Yang kemudian menimbulkan sebuah senyum penuh arti yang diam-diam terpulas di wajah Monica. "Tentu saja, Aiden." Gadis bersurai legam berpotongan bob dengan poni lurus itu menganggukkan kepala sambil tersenyum manis kepada Aiden. "Monica akan mengajakmu ke taman, tunggu aku di sana, oke? Aku tidak akan lama." Trixie hanya menggumankan pelan ucapan yan
Ada dua suara tembakan yang letusannya terdengar hingga lima kali, seolah ada dua senjata yang sedang saling beradu. Aiden dan Henry pun tak pelak saling berpandangan, sebelum keduanya serentak sama-sama berdiri dari sofa. Tanpa berpikir lagi, Aiden langsung berlari keluar dari ruangan kerja Ayahnya, mengabaikan teriakan Henry yang memintanya membawa senjata untuk berjaga-jaga. Satu hal yang membuat otak Aiden mendadak sontak berubah menjadi buntu adalah... Trixie. Apa letusan senjata itu ada hubungannya dengan Trixie? Anehnya lagi, Aiden tidak menemukan siapa pun di sepanjang perjalanan selama ia berlari di dalam Mansion ini. Padahal biasanya ada beberapa pelayan yang sedang bekerja. Aiden terus mengayunkan langkah dengan cepat menuju ke arah kebun belakang, posisi dimana suara letusan senjata itu terdengar. Sial. Kenapa akses menuju ke taman belakang sangat jauh sekali?? Mansion Necker Island ini sebenarnya tidak lebih luas dari Mansion miliknya di Epping Forest, tapi kini
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel