Harus terus berlari, berlari, dan jangan berhenti! Trixie merasakan napasnya seolah akan putus, seakan paru-parunya diperas hingga meledak. Kakinya sakit luar biasa, otot-ototnya menjerit meminta belas kasihan, tetapi ia tidak boleh menyerah. Tidak, jika ia ingin tetap hidup. Di belakangnya, langkah berat dan cepat menggema di antara pepohonan, seolah sang pengejar tak berniat berhenti sampai mendapatkan mangsanya. Jika ia tertangkap, itu adalah akhir dari segalanya! Tenggorokannya kini kering dan nyeri, setiap teriakannya semakin melemah, merobek pita suaranya yang sudah terkuras. Ia terus meminta tolong, tetapi suara-suara itu hanya tertelan oleh hutan yang sunyi, seolah alam pun bersekongkol melawan dirinya. Namun, memang siapa yang akan menolongnya di tempat seperti ini? Hutan belantara yang lebat, pekat, dan tak tersentuh peradaban manusia? Bahkan sinar matahari pun nyaris tak mampu menembus dedaunan raksasa di atas sana. Ketakutan menjalar di setiap sel tubuhnya
"Dan perkara yang sulit adalah, memutuskan apakah kita akan bercinta di sini saja... ataukah aku akan membawamu ke suatu tempat yang indah dan eksotik di luar sana? Dua-duanya sangat menggiurkan, hm?" "Jangan gila, Aiden!" Pekik Trixie sembari mendelik gusar ke arah lelaki yang sedang mengerling nakal ke arahnya. Kenapa sih Aiden selalu saja bersikap mesum kepadanya?? Seolah keberadaan Trixie hanyalah untuk menjadi pemuas nafsunya saja! "Hm? Kenapa? Apa kamu ingin kita melakukannya di sini saja?" Goda Aiden sambil menyeringai. Lelaki itu lalu menjulurkan satu tangan untuk mengaitkan jari telunjuknya pada helai rambut pirang Trixie. Tatapan dari manik coklat gelap Aiden menyusuri wajah secantik bidadari, dan berhenti pada bibir penuh Trixie yang sensual. Menatap bibir Trixie sontak membuat Aiden merasakan sebuah dahaga yang amat sangat. Ia ingat bagaimana rasa bibir itu. Manis, lembut dan adiktif, seperti menyesap es krim yang sangat lezat di tengah musim panas. "Then let's do
"Tapi sikapnya terlalu berbeda. Leon tidak akan pernah memaksakan kehendak begini. Dia adalah lelaki terhormat yang sangat gentlemen dan menghargai wanita! Leon tidak pernah bersikap liar dan mesum seperti Aiden Miller!" Rasanya ingin sekali Trixie berteriak agar dua suara yang saling berseberangan di dalam kepalanya itu diam. Ingin sekali ia menutup pikirannya yang rumit untuk dipahami itu untuk sementara, dan hanya fokus pada apa yang nyata terjadi saat ini. "Uhhm..." tanpa sadar, Trixie mengguman pelan ketika lidah Aiden kini menyusuri garis tulang selangka miliknya yang menyembul dengan cantik dan membuat Aiden gemas. Kedua tangannya kini telah berada di sisi kepala Aiden, dengan kesepuluh jemarinya yang telah tenggelam ke dalam kelebatan helai-helai surai coklat gelap lelaki itu. Lelaki itu dengan sengaja menciptakan beberapa jejak cinta kemerahan di sepanjang kulit sehalus beludru itu. Trixie memiliki warna kulit yang unik namun sangat indah. Sedikit memiliki sembura
Suara desahan serta rintihan lirih yang menggema di udara, adalah perwujudan dari intensnya kedua insan manusia yang sedang bercinta. Keintiman menggelora yang tengah tercipta, memercikkan api gairah yang sejak hampir dua jam yang lalu tak kunjung pudar, justru membuat sang lelaki semakin berhasrat. Terdengar lenguhan panjang disertai oleh melengkungnya tubuh sensual dengan lekuk sempurnanya yang feminin, membuat sang lelaki menghentikan sejenak aktivitas panasnya yang sejak tadi menghujam tubuh sang wanita. Udara terasa berat, oksigen terasa sulit di dapat.Namun semua itu tidak menyurutkan semangat dua sejoli yang berada di atas ranjang yang telah berantakan tak berbentuk itu. Atau mungkin lebih tepatnya, semangat sang pria. "Aku menang," bisik Aiden, sang pria, dengan menyunggingkan seringai setengah penuh kepuasan melihat wanitanya yang kini terlihat tak berdaya, setelah pelepasannya yang berkali-kali. "Ya, ya~ kamu yang menang," desah Trixie sambil memutar kedua bola matany
Trixie terbangun saat merasakan tenggorokannya yang sangat kering. Ia haus sekali, setelah hampir lebih dari setengah malam bercinta tanpa jeda. Gadis itu pun memejamkan mata dan menepuk pelan keningnya, ketika kenangan akan aktivitas panas kembali lewat dalam pikirannya. Aarghh!! Memalukan sekali!! Kenapa ia harus menjerit dan mendesah di sepanjang percintaan?? Sial, hanya dalam semalam Aiden Miller telah mengubah Trixie Bradwell yang anggun dan elegan menjadi seorang jalang.Rasanya ingin sekali ia memukul kepala lelaki itu karena kesal. Tapi... dimana dia?? Trixie menolehkan kepalanya ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka dari arah luar. Seraut wajah tampan yang tersenyum nakal pun muncul dari sana. Aiden membawa sebuah baki berisi segelas air putih dan potongan buah-buahan, lalu meletakkannya di atas tempat tidur tepat di hadapan Trixie. "Halo, Angel." Aiden mengecup bibir Trixie sekilas dengan sedikit menjilatnya. "Kamu pasti haus, kan? Karena aku telah membuatmu menjerit
"Pegangan yang erat, Angel. Karena aku akan melompat dari jendela menuju ke helikopter. Kamu siap?" "A-apa? Melompat?" Trixie menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dengan manik biru safirnya yang membelalak ngeri. Napasnya memburu, seakan paru-parunya tiba-tiba kesulitan mendapatkan oksigen. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Aiden, biarkan aku turun!" serunya panik. Tangannya dengan segera bergerak untuk melepaskan diri dari gendongan Aiden. Namun sebelum ia sempat benar-benar meloloskan diri, Aiden malah mengubah posisi tubuhnya, membuat Trixie kini menempel erat di bagian depan lelaki itu. "Jangan banyak bergerak, Angel. Nanti tubuhmu akan semakin kesakitan," ujar Aiden dengan nada tenang serta lembut, tapi tetap penuh dengan dominasi. Tatapannya yang penuh arti pun turun sejenak ke tubuh Trixie, terutama bagian bawahnya, sebelum kembali menatap lurus ke depan. Trixie menelan ludah dengan susah payah. Sekujur tubuhnya menegang, sementara
Sergapan udara malam yang dingin dan tajam terasa menusuk bagian kulitnya yang tidak tertutup mantel bulu. Angin kencang berhembus liar, membawa serta sensasi menusuk yang membuat tubuhnya menggigil. Trixie bisa merasakan setiap helaian rambutnya beterbangan tanpa arah, wajahnya diterpa angin yang membuat napasnya semakin berat. Pemandangan dari ketinggian 39 lantai di bawahnya sungguh mengerikan. Cahaya lampu kota yang berkelap-kelip tampak seperti bintang-bintang yang jatuh ke tanah. Namun bagi Trixie, semua itu hanya memperparah rasa pusingnya. Bayangan tubuhnya dan Aiden yang bisa saja meluncur ke bawah dalam sekejap, membuat dadanya sesak oleh kepanikan. Inilah saatnya... Trixie begitu yakin kalau ajalnya telah tiba... setelah ia melihat Aiden yang ternyata meleset masuk ke dalam helikopter dengan pintunya yang telah terbuka. Sesaat ketika Trixie mengira mereka mereka akan terus meluncur turun menghujam tanah, tiba-tiba saja tangan Aiden meraih bagian kaki
"Hei. Kamu sudah bangun, Angel?"Suara berat dan lembut itu menyusup ke dalam kesadarannya, menggoyahkan batas antara mimpi dan kenyataan. Perlahan, kelopak mata Trixie pun terbuka, menampilkan bola mata indah sewarna safir, menangkap seraut wajah tampan yang tengah menatapnya dengan begitu intens. Untuk sejenak, kesadarannya masih terasa terombang-ambing. Namun ketika kesadaran itu akhirnya pulih sepenuhnya, Trixie pun tersentak. Tempat ini begitu asing baginya. Ini bukan apartemennya, bukan juga hotel tempatnya menginap di London. Aiden sepertinya bisa membaca kebingungan Trixie seperti buku yang terbuka. Tatapannya yang tajam namun tenang menyelami matanya, sebelum bibirnya yang sempurna melengkung dalam senyum menenangkan. "Kamu sekarang berada di tempat yang aman, Angel."Suara Aiden terdengar begitu yakin, begitu mutlak, seakan-akan di dunia ini tidak ada tempat yang lebih aman selain di sisinya. Trixie pun seketika menelan ludah. Pandangannya berkeliling, mencoba men
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel