Baik Peter maupun Lumiere, keduanya sama-sama membulatkan matanya terkejut begitu mendengar teriakan tersebut. Keduanya saling bertukar pandang sejenak, sebelum kemudian mereka bergegas keluar dari ruang istirahat, meninggalkan Jeremy yang tidak sadarkan diri dengan begitu saja di sana.
Keduanya mendapati kegaduhan terjadi di sekitar mereka dan juga di lantai bawah sana. Terdengar suara isak tangis juga teriakan para butler yang tampak sedang berusaha mencari-cari pelayan yang menyerahkan minuman beralkohol pada pada Marquess Illona.
“Bangsawan Kriminal lagi?” gumam Peter yang tanpa sadar didengar oleh Lumiere yang kini menatap sang pria, “Tapi, Marquess Illona tidak memiliki gosip buruk yang berkaitan dengan kemanusiaan— tidak.” Mata kelabunya kemudian menatap Lumiere yang senantiasa masih memandangi Peter, “Dia memandangimu dengan tatapam cabul. Itu sudah pasti Marquess Illona memiliki kejahatan terhadap w
Suara cuitan burung menjadi teman pengantar Reynox yang berjalan sempoyongan menyusuri lorong Wisma Wysteria di London. Setelah aksi mereka semalam, meracuni Marquess Illona tanpa meninggalkan petunjuk pelaku, Reynox dan Ashen langsung pulang tanpa meninggalkan sedikit pun kecurigaan.Mereka menyelinap di antara para pelayan bersama dengan Miya. Berbaur seperti pelayan sewaan yang lain dan berkat hal tersebut, mereka dapat melakukan pekerjaan dengan lancar tanpa menaruh kecurigaan.“Sebotol wine di pagi hari sepertinya enak,” gumam Reynox seraya menggaruk perut dari balik kemeja putih yang ia kenakan. Langkah kakinya masih sempoyong, dengan sekuat tenaga ia mendorong sebuah pintu cokelat, lalu masuk ke dalam ruangan tersebut.Matanya yang masih setengah terpejam itu kemudian mendadak terbelalak, terkejut karena melihat betapa ramainya ruang baca yang biasa dipakai oleh mereka, Kelompok Wysteria atau Bangsawan Kr
Lumiere tersenyum maklum ketika mendengar kegaduhan dibalik pintu cokelat berdaun dua yang merupakan kamar yang di sewa oleh Peter, menurut penuturan Miss Rawless. Sepertinya putra bungsu Keluarga Spade tersebut sedang membereskan kekacauan di dalam sana. Mungkin ingin mencari muka di hadapannya.Mungkin saja.Tak lama kemudian, mata Lumiere mengerjap ketika salah satu dari pintu tersebut terbuka, agak tergesa, seolah-olah sang pemilik kamar tersebut tidak mau membuat tamunya menunggu lebih lama lagi. Peter kemudian muncul dari balik pintu, terengah, juga terdapat satu bulir sebesar jagung keringat yang mengalir di pelipis pria bersurai kelabu tersebut.“Maaf, aku belum selesai membereskan kekacauan di kamarku ketika kamu datang kemari,” ujar Peter kemudian mempersilakan Lumiere untuk masuk ke kamar sewanya.Disebut kamar, tidak juga. Mungkin jika di masa lalu, sekitar abad 21, kamar yang disewa oleh Peter bi
Mata biru seindah langit di siang hari milik Lumiere itu membulat sempurna. Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi setelah Peter mengatakan hal tersebut.Ia tidak menyadari ketika jarak di antara wajah mereka semakin terkikis, Lumiere disibukkan dengan pikirannya sendiri untuk menyembunyikan rona merah di kedua pipi. Hingga ia tidak menyadari jika Peter mengikiskan jarak di antara wajah mereka, kemudian menyatukan kedua bibir mereka dan membawa Lumiere ke dalam sebuah ciuman penuh kelembutan. Lumiere dapat merasakan kehangatan yang membuat tubuhnya dibanjiri perasaan asing, terasa menggebu-gebu yang perlahan mengaburkan akal sehat.Peter melumat bibir Lumiere dengan penuh kelembutan namun terasa intim, bergerak lembut menginvasi bagaikan seseorang yang sudah ahli melakukannya. Pergerakannya halus, tidak menggebu dan tanpa tersirat sebuah gairah bernamakan nafsu untuk bercinta. Keduanya larut dalam ciuman lembut yang memabukkan tersebut. Bahkan samp
Peter rasanya ingin mengumpati sesosok pria jangkung yang berstatus kakak sekaligus kepala Keluarga Spade tersebut. Di saat ia sedang dibingungkan dengan kasus kematian Charlotte Wilhemia, Oscar justru memanggil dirinya untuk bertemu. Pria yang lebih tua lima tahun darinya tersebut mengatakan, ada suatu hal yang ingin ia bicarakan sebagai seorang pekerja pemerintahan dan detektif konsultan.Namun, jika dilihat dari berita yang tersebar di surat kabar, Peter sudah bisa menebak apa yang ingin kakaknya tersebut bicarakan dengannya. Sampai-sampai menyatakan bahwa pembicaraan mereka sebagai orang asing. Bukan sebagai keluarga.“Terkadang media massa itu menyeramkan,” gumam Peter seraya melayangkan pandangannya ke luar jendela kereta kuda yang sedang ia naiki tersebut, “Charlotte Wilhemia hanyalah seorang bangsawan baru, gelarnya saja ia beli setelah mampu untuk membelinya. Mana mungkin Bangsawan Kriminal membunuhnya. Bahkan, catatan kejaha
Mata biru jernih, sejernih langit biru di siang hari, milik Lumiere memandang jauh ke horizon di atas sana. Pandangan matanya terlihat kosong, seolah-olah pikirannya sedang melayang jauh hingga ke dimensi lain. Atau justru karena pikirannya bercabang, hingga membuatnya tampak seperti sedang melamun.Namun, pikirannya tidak kosong.Gadis itu kemudian menurunkan pandangannya, menatap hamparan air Sungai Thames yang kecokelatan dan terlihat tenang. Pukul dua siang. Waktu yang cukup bagus untuk berkunjung di tempat terbuka seperti taman yang menghadap langsung ke sungai yang membelah kota London tersebut.“Di sinilah kamu berakhir ... ya?” gumam Lumiere melembutkan tatapan matanya dan tersenyum tipis. Ekspresi wajahnya menyendu, merefleksikan sebuah gagasan yang menyayangkan kematian Charlotte Wilhemia. “Yard langsung menutup kasusmu tiga hari setelah jenazahmu ditemukan. Itu ... tidak adil, bukan?”Embusan an
Michelle mengerang. Dapat ia rasakan seluruh tubhnya terasa nyeri dan mati rasa. Jantungnya pun terasa berdetak lemah. Wanita itu merasa tidak berdaya sekarang. Telinganya telah bisa mendengar suara-suara di sekitar, walaupun masih terdengar samar. Namun, matanya enggan terbuka. Seolah-olah seseorang memberikan lem di kelopak matanya.Suara-suara berisik itu semakin terdengar jelas. Begitu juga dengan matanya yang perlahan terbuka. Pandangannya masih memburam, namun ia dapat melihat siluet sebuah adegan seseorang yang melakukan tindak penganiayaan terhadap seseorang.Michelle membulatkan matanya ketika semua indra di tubuhnya kembali berfungsi dengan baik. Wanita itu hendak beranjak dari duduknya, namun kembali terduduk dan menyadari jika tangannya terikat di belakang kursi ini. Michelle juga berteriak panik, namun suaranya teredam oleh sebuah lakban hitam. Teriakannya hanya terdengar sebagai gumaman tidak jelas oleh seseorang. Kepanikan benar-benar te
“Lumie.”Lumiere yang baru saja membuka pintu ruang bersantai tersebut lantas mendongak, ketika suara sang kakak terdengar, memanggil namanya. Mendapati sang kakak yang terlihat segar sehabis mandi, tengah duduk santai di sofa single sambil melipat tangan.“Duke Spade menanyakanku, kapan aku dan kedua adikku bisa makan malam bersama dengan keluarganya.” Lucius kemudian mengarahkan pandangannya pada sang adik yang sedang mendekat, “Apa yang terjadi di antara kamu dan Peter?”Mata Lumiere berkedip tiga kali, terkejut dengan pertanyaan kakaknya tersebut, “A-apa? Ah ... Tuan Muda Spade melamarku.”“Apa!?”Bukan Lucius yang terkejut, justru Lucian dan Reynox lah yang terkejut. Reynox bahkan sampai berdiri dari duduknya, karena saking terkejutnya ia dengan jawaban tersebut.“P-Peter ... benar-benar melamar kakak?” tanya Lucian dengan ekspresi wajah te
Sebuah kereta kuda berlambangkan Keluarga Wysteria, tampak berhenti di pintu masuk Taman Clington yang akan diresmikan hari ini. Pintu kereta kuda tersebut terbuka, menampilkan Lucius dan juga Lumiere yang hendak menghadiri acara peresmian taman yang dibuka untuk umum tersebut.Kedunya sama-sama memandang terkejut. Apa yang ada di hadapan mereka, benar-benar terlihat berbeda dari terakhir kali mereka melihatnya.“Wah, aku terkejut,” ujar Lucius tersenyum miring, “Tadinya ini adalah North Cross Park yang telah hancur karena perang saudara beberapa tahun silam.”“Benar, Kak.” Lumiere membiarkan semilir angin berembus sejuk melewatinya. “Dapat mengubah tempat mengerikan dan kotor, menjadi taman yang cantik dan ramah untuk penyandang disabilitas, merupakan prestasi Pak Harrison.”Lucius mengangguk, “Dan sekarang ... akan di adakan upacara peresmiannya.”“Ya.”
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba
Alyn mengernyit ketakutan ketika apa yang terjadi pada hari itu, hari di mana ia disiksa oleh Arnold, kembali terlihat di matanya. Bukan hanya melihat adegan tersebut, Alyn juga mampu merasakan perasaan takut yang ia rasakan pada saat itu.Dan ketika adegan itu beralih, di mana Arnold menindih tubuhnya tersebut, Alyn tersentak dan terbangun dari tidurnya. Bahkan terduduk dalam satu kali gerakan hingga membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dan pada saat itu pula Alyn mulai menyadari, ini bukanlah kamarnya.Alyn menolehkan kepalanya saat merasakan pergerakan pada kasur di sisi kanan. Membulatkan matanya saat melihat Lucius yang sedang menggeliat tidak nyaman, terlihat sekali bahwa tidur pria berwajah tampan tersebut terusik karena dirinya.“Sudah bangun?” tanya Lucius seraya membuka matanya, dan mendapati wajah ketakutan Alyn. “Kamu bermimpi buruk?”GREP!Lucius tersenyum lembut saat Aly
“Dari mana saja kamu? Seharian tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar pergi ke mananya.”Tubuh Alyn membeku saat terdengar pertanyaan bernada rendah dan penuh amarah, ketika ia baru saja memasuki kediaman Baron Rudeus tersebut. Alyn mendadak kikuk, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut.“Aku diajak pergi oleh Suster Diana untuk mengunjungi pusat kota. Karena terlalu malam ketika sampai di panti, aku menginap di sana,” jawab Alyn setelah terdiam selama beberapa saat hanya untuk mengumpulkan keberaniannya tersebut. “Maafkan aku jika telah membuatmu khawatir, Arnold.”“Kau kira aku mudah dibohongi hah!” pekik Arnold merasa geram dengan kebohongan Alyn yang mudah terendus olehnya tersebut. “Kau pikir aku bodoh? Aku mendatangi panti asuhan tempat di mana kamu berasal itu semalam! Mereka mengatakan jika kamu tidak mengunjungi mereka. Dan justru per
Tubuh Alyn kembali membeku, dengan senyuman manisnya yang melebar ketika ia kembali mendapati Lucius tengah menunggunya di depan gerbang panti asuhan. Gadis bersurai hitam legam tersebut tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena kembali bertemu dengan Lucius. Bahkan, Alyn terlihat menari-nari kecil sembari mendekati Lucius. Membuat pria yang berada di hadapannya kini itu, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.“Sesenang itukah kamu bertemu denganku?” tanya Lucius begitu Alyn berdiri di hadapannya.Alyn mengangguk antusias, “Kita bertemu lagi, Lucius.”“Senang bertemu denganmu, Alyn.”Keduanya kemudian berjalan-jalan memutari taman, sembari menikmati jajanan pinggir jalanan untuk mengganjal perut mereka. Saling bertukar cerita, walaupun percakapan itu didominasi oleh Alyn. Namun, mereka terlihat begitu serasi dan dekat, terlihat seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang masih merasakan p