Sebuah kereta kuda berlambangkan Keluarga Wysteria, tampak berhenti di pintu masuk Taman Clington yang akan diresmikan hari ini. Pintu kereta kuda tersebut terbuka, menampilkan Lucius dan juga Lumiere yang hendak menghadiri acara peresmian taman yang dibuka untuk umum tersebut.
Kedunya sama-sama memandang terkejut. Apa yang ada di hadapan mereka, benar-benar terlihat berbeda dari terakhir kali mereka melihatnya.
“Wah, aku terkejut,” ujar Lucius tersenyum miring, “Tadinya ini adalah North Cross Park yang telah hancur karena perang saudara beberapa tahun silam.”
“Benar, Kak.” Lumiere membiarkan semilir angin berembus sejuk melewatinya. “Dapat mengubah tempat mengerikan dan kotor, menjadi taman yang cantik dan ramah untuk penyandang disabilitas, merupakan prestasi Pak Harrison.”
Lucius mengangguk, “Dan sekarang ... akan di adakan upacara peresmiannya.”
“Ya.”
<Sejak menerima map tersebut, Arnold dilanda kegelisahan hebat hingga membuatnya tidak bisa tidur. Bahkan pagi ini pun, ia melewatkan sarapan dengan begitu saja karena bangun kesiangan.Diliriknya map tersebut yang tergeletak tak berdaya di atas meja. Jari-jari tangannya yang sedang bekerja untuk mengancingkan kemeja yang ia pakai mendadak terhenti. Arnold kembali mengingat apa yang diucapkan oleh Lucius, di pertemuan singkat mereka siang kemarin.Suara ketukan pintu membuat lamunannya buyar. Pria itu dengan cepat merapikan kemejanya lalu berjalan cepat untuk membuka pintu tersebut. Ia mendapati Jill tengah berdiri di depan pintu tersebut.“Tuan, pak kepala komisaris macmillan datan. Katanya ada laporan penting. Jadi, sudah saya antar ke ruang tamu,” lapor Jill.“Ah, terima kasih, Jill. Aku akan segera ke sana,” ujar Arnold menutup pelan pintu tersebut seraya melanjutkan kegiatannya berpakaian rapi. Apalagi sekarang
“Bibi Jill, bisa ke sini sebentar?”Jerome dengan sabar mengarahkan kursi rodanya menuju ke ruangan di mana Bibi Jill selalu berada. Sedari tadi bocah laki-laki itu memanggil-manggil pelayan rumahnya tersebut. Namun, Bibi Jill tidak segera datang, yang membuat Jerome mau tidak mau menyusul wanita paruh baya tersebut.Ketika ruangan yang selalu dikunjungi oleh Bibi Jill itu terlihat, Jerome melihat wanita paruh baya tersebut sedang duduk di sana. Entah kenapa Bibi Jill terlihat diam saja, tidak bergerak sedikit pun. Mungkin sedang tidur, pikir Jerome.Jerome pun bergegas menghampiri wanita paruh baya tersebut, “Bibi Jill—“Bocah berusia 12 tahun itu tersentak terkejut. Bahkan sampai membuatnya jatuh dari atas kursi roda karena terlalu terkejut, “BIBI JILL!!”Bocah itu melihat, Bibi Jill telah tewas dibunuh. Tertusuk oleh benda tajam d bagian dada, jika dilihat dari noda darah yang m
Lucius memandang bingung pada Ashen yang baru saja mengabarkan sesuatu. Ada sebuah surat yang datang untuk Lucius.“Surat?” tanya Lucius merasa bingung dengan apa yang terjadi saat ini.“Ya. Tertuliskan untuk kepala keluarga ini. Dikirim dengan bayaran satu pound oleh pria yang menyembunyikan wajahnya,” jawab Ashen kemudian menunjukkan satu buah amplop surat biasa dan sebuah sapu tangan, “Dalam amplop ada memo dengan alamat pemakaman di Chiswick dan ... sebuah sapu tangan dengan inisial ‘H’ menyertai kedatangan surat ini.”Lucius mengambil amplop serta sapu tangan tersebut. Mulai membaca memo tanpa suara sedikit pun.“H, ya?” gumam Lumiere kemudian beranjak dari duduknya, “Mari kita ke sana terlebih dahulu.”“Apa yang terjadi dengan si pengirim surat ini?” tanya Lucius terlihat menyimpan kembali memo tersebut ke dalam amplop, “Jika sampai meny
Peter mengembuskan napasnya secara perlahan, mengumpulkan semua kesiapannya untuk bertemu kembali dengan sang kakak, di bangunan besar dan mewah yang dijadikan sebagai kediaman utama Keluarga Spade.Mansion bernuansa putih gading dan sedikit corak emas itu sudah cukup lama Peter tidak melihatnya. Tidak banyak perubahan mencolok di sana. Hanya perubahan-perubahan kecil yang sepertinya merupakan bagian dari hobi dan kesenangan baru kakaknya tersebut. Namun tentu saja, Peter tidak peduli.Yang ia pedulikan adalah kebebasan.Peter melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Menyusuri lorong yang telah dipenuhi oleh para pelayan dan butler. Mereka membungkuk, menyambut kedatangannya, seolah-olah Peter telah ditunggu-tunggu oleh mereka kunjungannya kemari.“Billy, kakak ada di ruangannya?” tanya Peter ketika ia telah berdiri di hadapan seorang pria tua yang berjabatan sebagai kepala pelayan.“Ya, Tuan Oscar s
Peter memandang lembut pada Lumiere yang terlihat sedang menikmati semilir angin taman. Angin berembus lembut yang menyejukkan, namun sedikit terasa serangan dingin karena malam yang kian larut. Pembicaraan antara kedua keluarga itu berlangsung khidmat dan damai. Tidak ada pertikaian ataupun perdebatan tidak berarti, justru kemudian berakhir baik dengan hasil yang memuaskan.Diputuskan jika Lumiere dan Peter akan menjalani pertunangan minggu depan. Dilanjutkan dengan pernikahan mereka yang akan digelar satu bulan setelah pertunangan. Dengan kata lain, selama satu bulan lebih seminggu ini, mereka akan disibukkan dengan berbagai macam persiapan pertunangan dan pernikahan. Dan masih ada beberapa pertemuan lagi untuk membahas desain undangan, keluarga mana saja yang akan diundang, serta akan ada waktu di mana Peter dan Lumiere harus mencocokkan jas dan gaun pernikahan mereka.Helaan napas kemudian terdengar dari Peter, “Kita akan benar-benar disibukk
Peter tersenyum geli ketika melihat Sebastian yang terlihat gusar. Beberapa kali pria yang memelihara tiga ekor kucing tersebut, mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja.“Enggak usah gugup begitu,” tutur Peter seraya menepuk pelan bahu Sebastian untuk menenangkannya.“Maaf,” cicit Sebastian terlihat berusaha memaksakan sebuah senyuman.“Tapi, wajar saja sih kamu gugup begini. Ini pertemuan pertama kalian. Kamu juga belum mendengar satu pun bagaimana sikap seorang Charles Evanescene itu. Dia terlalu banyak topeng,” ujar Peter kemudian melangkah menuju ke jendela ketika mendengar suara kereta kuda yang berhenti di suatu tempat. “Maka dari itu, apa pun yang kamu lihat. Diam saja, ya? Biar aku yang ngomong sama dia.”“Ah ... baiklah.”Peter tersenyum miring, merasa senang karena Sebastian tiba-tiba saja menjadi penurut seperti ini. Mungkin temannya tersebut benar-benar merasa
“Apa-apaan sih dia tadi!?” pekik Sebastian meluapkan amarahnya secara bebas. Sudah lewat setengah jam Charles dan seluruh rombongannya itu pergi meninggalkan tempat ini. “Padahal dia itu konglomerat, tapi kenapa sikapnya sangat angkuh seperti itu.”“Aku sih sudah biasa. Berkali-kali ketemu orang yang kayak Charles begitu selama membuka jasa konsultasi begini,” celetuk Peter sembati membantu Miss Rawless membersihkan pecahan piring dan teko yang dipecahkan oleh Charles.“Berkali-kali!? Terus, teko teh dan bioalmu!?” tanya Sebastian histeris.“Porselen sih bisa dibeli lagi. Tapi kalo biola ....” Peter mendekati laci meja kerjanya kemudian mengeluarkan sebuah biola dari dalam sana, “Aman kok.”Melihat biola kesayangan Peter masih utuh dan terlihat bagus, membuat Sebastian terkejut dan mulai mempertanyakan tentang biola yang tergeletak di bawah sana, “Lalu, yang di
Malam Keesokan Harinya, Brighton Timur.Sebastian memejamkan sebelah matanya ketika angin berembus sangat kencang, menabrak wajah tampannya tersebut. Angin malam yang merupakan tipikal menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Langkah kakinya tertatih karena begitu kuatnya angin berembus saat ini. Menerjang tubuhnya tanpa ampun.“Anginnya kencang sekali. Hujan bisa turun kapan saja nih,” celetuk Sebastian seraya memperhatikan sekitarnya, “Apa karena vila ini terletak di perbukitan yang berbatasan langsung dengan laut, anginnya jadi sekencang ini?”“Tapi, suasana seperti ini sangat pas untuk mencuri,” jawab Peter yang melenceng dari konteks pertanyaan Sebastian tersebut.Namun sepertinya, Sebastian tidak mempermasalahkan hal tersebut, “Waktu sudah berlalu cukup banyak sejak kita bertemu dengan kereta Evanescene di kota. Akan sangat merepotkan jika seandainya dia berputar kembali, kereta pasti berh
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba
Alyn mengernyit ketakutan ketika apa yang terjadi pada hari itu, hari di mana ia disiksa oleh Arnold, kembali terlihat di matanya. Bukan hanya melihat adegan tersebut, Alyn juga mampu merasakan perasaan takut yang ia rasakan pada saat itu.Dan ketika adegan itu beralih, di mana Arnold menindih tubuhnya tersebut, Alyn tersentak dan terbangun dari tidurnya. Bahkan terduduk dalam satu kali gerakan hingga membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dan pada saat itu pula Alyn mulai menyadari, ini bukanlah kamarnya.Alyn menolehkan kepalanya saat merasakan pergerakan pada kasur di sisi kanan. Membulatkan matanya saat melihat Lucius yang sedang menggeliat tidak nyaman, terlihat sekali bahwa tidur pria berwajah tampan tersebut terusik karena dirinya.“Sudah bangun?” tanya Lucius seraya membuka matanya, dan mendapati wajah ketakutan Alyn. “Kamu bermimpi buruk?”GREP!Lucius tersenyum lembut saat Aly
“Dari mana saja kamu? Seharian tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar pergi ke mananya.”Tubuh Alyn membeku saat terdengar pertanyaan bernada rendah dan penuh amarah, ketika ia baru saja memasuki kediaman Baron Rudeus tersebut. Alyn mendadak kikuk, tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh tunangannya tersebut.“Aku diajak pergi oleh Suster Diana untuk mengunjungi pusat kota. Karena terlalu malam ketika sampai di panti, aku menginap di sana,” jawab Alyn setelah terdiam selama beberapa saat hanya untuk mengumpulkan keberaniannya tersebut. “Maafkan aku jika telah membuatmu khawatir, Arnold.”“Kau kira aku mudah dibohongi hah!” pekik Arnold merasa geram dengan kebohongan Alyn yang mudah terendus olehnya tersebut. “Kau pikir aku bodoh? Aku mendatangi panti asuhan tempat di mana kamu berasal itu semalam! Mereka mengatakan jika kamu tidak mengunjungi mereka. Dan justru per
Tubuh Alyn kembali membeku, dengan senyuman manisnya yang melebar ketika ia kembali mendapati Lucius tengah menunggunya di depan gerbang panti asuhan. Gadis bersurai hitam legam tersebut tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena kembali bertemu dengan Lucius. Bahkan, Alyn terlihat menari-nari kecil sembari mendekati Lucius. Membuat pria yang berada di hadapannya kini itu, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.“Sesenang itukah kamu bertemu denganku?” tanya Lucius begitu Alyn berdiri di hadapannya.Alyn mengangguk antusias, “Kita bertemu lagi, Lucius.”“Senang bertemu denganmu, Alyn.”Keduanya kemudian berjalan-jalan memutari taman, sembari menikmati jajanan pinggir jalanan untuk mengganjal perut mereka. Saling bertukar cerita, walaupun percakapan itu didominasi oleh Alyn. Namun, mereka terlihat begitu serasi dan dekat, terlihat seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang masih merasakan p