Setelah kepergian Jaxon, Mia pun bangkit dari kasur dan memeriksa sekitar. Barulah dia menyadari bahwa ruangan itu didominasi warna hitam dan merah dengan barang-barang antik di sekitar. Mata Mia tertuju pada lemari baju Jaxon yang berada di dekat kamar mandi. Mia memeriksa lemari itu, menarik sebuah kaos berwarna hitam dan celana boxer pria itu lalu memakainya.
Untuk sesaat Mia terdiam dan memeriksa isi lemari, mengacak-acak isinya, mencari tanda-tanda apakah ada benda milik wanita di sana, tetapi tidak menemukannya. Perhatian Mia kembali pada kamar mandi, dia membuka segala laci dan ruangan yang mungkin menyimpan barang-barang pribadi wanita yang tertinggal, bahkan hingga ke kolong kasur.
Ruangan itu benar-benar bersih dari benda-benda feminim. Semua ruangan hanya diisi barang-barang pribadi Jaxon saja. Walau sedikit lega, tetapi Mia masih tidak percaya sepenuhnya dan terus mencari celah yang Jaxon sembunyikan.
Setelah pencarian cukup lama, Mia pun menyerah. D
Shift malam Mia di De La Crush akan berakhir tiga puluh menit lagi. Slaine mendatanginya saat Mia baru saja menyelesaikan pesanan di meja delapan. Saat itu waktu menunjukan pukul sepuluh malam.“Kudengar kemarin kau ikut berpesta di Red Cage, padahal aku juga ingin ikut,” ucap Slaine terlihat sangat iri.Mia tertawa mendengar kecemburuan Slaine.“Kau beruntung tidak pergi ke sana, karena tempat itu lebih seperti rumah bordir,” bisik Mia penuh konspirasi. “Kali pertama aku melihat wanita dengan pakaian seterbuka itu parade di hadapan ribuan pria dengan sangat percaya diri. Aku bahkan tidak berani melakukannya,” kata Mia tanpa menjelaskan tentang taruhannya bersama Gavin.“Ya ampun, kau pasti pertama kali ke pesta yang Red Cage adakan,” ucap Slaine terdengar tidak terkejut sama sekali.“Apa kau pernah ke sana?”Slaine tersenyum melihat ketidakpercayaan Mia.“Aku tidak sep
Tubuh Mia gemetar saat dia berada di dalam mobil dengan pria monster di sebelahnya. Dia bahkan meringkuk membentuk bola di atas lantai yang dingin saat mereka tiba di sebuah mansion mewah yang sengaja pria itu sewa untuk menjemput Mia di Denver.“Tetap di sini dan jangan membantahku lagi, Mia. Kau tidak boleh meninggalkan kamar ini sampai aku kembali. Apa kau mengerti?” perintah pria itu sembari menekankan pertanyaan. Setelah menunggu beberapa detik dan tidak ada jawaban dari Mia, pria paruh baya itu pun kembali melemparkan pertanyaan. “Apa kau mengerti!” bentak pria itu dengan suara meninggi hingga Mia menjerit sembari menutupi telinga dengan kedua tangan. Tubuhnya bahkan semakin meringkuk dengan posisi melindungi diri.Pria paruh baya tersebut berjongkok di hadapannya dan menarik paksa wajah Mia serta memeras dagu wanita itu dengan kasar hingga tertinggal jejak merah di wajahnya yang putih.“Kau tidak bisu, jawab aku!” benta
Suasana sekitar hening seketika. Semua pria di sana saling tatap karena mereka baru saja menyadari bahwa Mia sengaja merubah namanya dan kini Jaxon tahu alasan sebenarnya. Dia bahkan terdiam cukup lama karena Jaxon mendengar banyak cerita tentang kekejaman Allen Lewis. Tidak bisa Jaxon bayangkan apa yang mungkin Mia alami selama berada di bawah pengasuhan Allen.“Aku ingin kau meninggalkan Denver saat ini juga, dan jangan pernah kembali untuk mencari Mia. Aku mengenal gadis itu sebagai Mia Heart, tidak peduli bila kau menganggap dia sebagai Allisa. Kuberi waktu kurang dari satu jam bagimu untuk angkat kaki dari kotaku,” ucap Jaxon dengan tatapan mengeras.Mendengar ultimatum tersebut, Allen pun menolak untuk tunduk.“Kau pikir aku takut pada ancaman barusan? Lihat saja, aku bisa menghancurkanmu hanya dengan satu jentikan jari,” desis Allen dengan tatapan sama.Kepala Jaxon miring ke samping, dia menatap pria di hadapannya dengan pa
Jaxon menemukan Mia dalam keadaan tidur di atas ranjang. Setelah memeriksa tidak ada luka pada Mia, dia pun meninggalkan gadis itu, lalu berjalan menuju jendela, melihat ke luar pada halaman di depan. Lampu-lampu di halaman menyala terang hingga menutupi langit malam. Cukup lama Jaxon berdiri dengan postur tegak sedang kedua tangan berada dalam kantung pada sisi celana hingga akhirnya terdengar suara Mia yang mengigau dengan isak tangis mengiris hati Jaxon, membuat dia mengepalkan buku-buku jarinya di sisi tubuh, menahan diri untuk tidak meninju tembok di hadapannya.“Tidak … Ayah,” tangis Mia dalam tidur. “Jangan … Ayah, aku janji akan jadi gadis baik. Aku janji Ayah … maaf kan aku,” isak Mia.Jaxon berjalan cepat mendekati gadis itu dan menariknya dalam pelukan.“Ssshhh … semua baik-baik saja, Dolcezza. Tidak ada yang perlu kau takutkan, aku di sini,” bisik jaxon dengan suara pelan menenangkan.
Di luar Kastil Aurelia langit tampak mulai gelap, membuat Mia duduk gelisah di kursi baca dalam kamar pribadinya. Dia sengaja menghindari Jaxon karena insiden pagi tadi. Bahkan jantung Mia masih berdetak tidak karuan hingga dia tidak mau turun ke lantai bawah, bergabung sarapan bersama pria itu di meja makan.“Miss Heart.” Terdengar suara Piper dari luar kamar.Mia menurunkan novel yang sejak tadi dibaca dan terhenti di halaman empat puluh tanpa berpindah halaman sejak lima menit lalu. Dia menghela napas dan membuka pintu, mengintip keluar.“Ada apa?” tanya Mia saat Piper muncul di balik celah pintu yang Mia buka.“Mr. Bradwood memintaku untuk memanggil anda ke perpustakaan,” kata Piper menyampaikan pesan Jaxon.Mendengar nama pria itu, lagi-lagi Mia merasa bulu kuduknya merinding. Dia masih tidak siap untuk bertatap muka dengan Jaxon.“Aku akan ke sana,” jawab Mia, tidak ingin membuat Piper me
“Menikahlah denganku, Dolcezza,” kata Jaxon dengan mata penuh keyakinan.Mia kembali membaca kata demi kata dalam dokumen di tangan, dia menggigit bibir bawah dan menatap Jaxon berulang kali, merasa tidak yakin dengan pendengaran tadi.“Kau … ingin menikah denganku?” tanya Mia memastikan.Di satu sisi Mia merasa kecewa. Dia berpikir seseorang akan datang dan melamar padanya dengan sebuah kejutan atau mungkin makan malam romantis. Bukan seperti ini yang ada dalam pikirannya. Disodorkan selembar dokumen berisi surat perjanjian pernikahan, bukannya sekotak cincin berlian.Kertas dalam genggaman Mia mengerut seketika. Jantungnya yang tadi berdebar terdengar retak dalam pendengarannya sendiri. Dia bahkan kesulitan mengatur napas dan menata emosi, sedang matanya menatap Jaxon terluka.“Seingatku kita tidak memiliki hubungan sejauh itu,” ucap Mia yang susah payah untuk tidak menjeritkan amarah. “Tidur satu
Setelah Mia pergi dari ruangan dan pintu di balik tubuh gadis itu tertutup rapat, barulah Rey menyuarakan isi hati yang tersimpan selama percakapan tadi berlangsung.“Kenapa?” tanya Jaxon dengan alis bertaut dan berjalan menuju jendela saat dia mendapat tatapan Rey yang tidak biasa.“Kau berbohong tentang Allen pada Mia,” kata Rey mengingat penjelasan Jaxon tadi.Rey memilih diam sejak tadi karena dia memang tidak ingin ikut campur dengan rencana Jaxon. Sahabatnya hanya meminta dia membuatkan draft perjanjian untuk Mia serta menyiapkan dokumen dari pengadilan yang Allen ceritakan kemarin, lalu mengatakan bahwa dia ingin Rey hadir saat melamar Mia agar gadis itu tidak merasa canggung ketika mereka hanya berdua saja, tetapi dia tidak mengira Jaxon akan mengarang cerita seolah Allen adalah musuh yang sulit dibasmi dan Mia tidak memiliki pilihan selain menikahi Jaxon.Jaxon mengedikan bahu. “Mia tidak perlu tahu bahwa Allen sudah
Mobil yang membawa Mia dan Jaxon tiba di pelataran parkir gedung berlantai dua puluh milik Danny Johanson. Pria itu tinggal di penthouse yang terletak di lantai teratas gedung.“Aku akan menjemput besok, hubungi jika terjadi sesuatu,” kata Jaxon menahan Mia yang hendak membuka pintu.Jaxon melarang Mia menyetir sendiri terutama setelah Joe terluka. Pria itu bahkan menjadi overprotektif ratusan kali lipat dari biasa. Tidak sekali pun dia membiarkan Mia menghilang dari pandangan. Bahkan terjadi kekacauan di Aurelia saat Jaxon tidak menemukan Mia di dalam kamar. Pria itu mengerahkan seluruh penjaga kastil hanya untuk mencari Mia yang ternyata duduk bersantai dengan empat pelayan terdekat gadis itu; Piper, Emily, Allana dan Greta di Gazebo dekat taman mawar yang baru setengah jadi.Lima kepala menatap kumpulan pria berwajah panik saat melewati mereka yang sedang mengadakan pesta teh di kebun.“Mia!” teriak Jaxon saat itu, hingga akhirn
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha