Tak mudah meminta maaf setelah rasa sakit hati yang dirasakan Jena akibat ucapan yang terlontar dari bibir Drew. Jena menangis terisak sembari membekap mulutnya, ia tak mau jika rekan kerjanya, bahkan, Luigi mendengar tangisnya. Mendadak perutnya nyeri, ia berusaha tenang, tak baik emosinya jika terus tertekan. Dokter sudah pernah menjelaskan hal itu.
Setengah jam sudah ia menenangkan diri di dalam kamar mandi, namun, rasa nyeri itu tak kunjung hilang. Jena beranjak, perut dan pinggangnya mendadak terasa nyeri. Ia lalu segera membuka pintu, berjalan perlahan sembari memegangi perutnya.
“Ya Tuhan Jena!” pekik Marisol yang baru saja datang dan masuk melalui pintu belakang.
“Perutku…,” lirih Jena sembari meringis.
“Ayo kita ke dokter, Jen, Paman Luigi, bisa pinjam mobilmu?!” panik Marisol.
“Ya, tentu! Ini kuncinya.” Luigi menyerahkan kunci mobil.
“Jena… Jena, mari Paman bantu m
Suara desisnya wajan terdengar dari dapur kecil apartemen itu, Jena sempat terlelap hingga wangi bawang putih dan rosemary tercium menggugah dirinya. Ia berpikir, apa yang sedang dilakukan lelaki itu di dapur, memasak apa dengan keharuman seperti itu. Bukannya mual, justru Jena merasakan air liurnya hampir menetes.“Apa yang Ayahmu lakukan, nak, hah… Ibu tidak bisa beranjak dari ranjang ini.” gerutu Jena. Suara desisan itu kini teredam dengan suara pisau beradu dengan talenan. “Ayahmu sedang mencacah apa? Berisik sekali,” gumam Jena. Ia hanya bisa mendengkus, di tatapnya jendela kamar, langit sudah berubah senja, ia lapar, sejak pulang dari klinik, ia hanya memakan biskuit, kini ditambah dengan harum masakan Drew, perutnya semakin bergejolak.“Apa kau membutuhkan sesuatu, Jen?” terdengar suara Drew dari ambang pintu, hanya lirikan yang bisa Jena tunjukkan. “Oh, sepertinya tidak. Baiklah, aku akan ke dap—“
Siapa yang tidak tergiur dengan aroma masakan dengan bahan segar di pagi hari. Kedua mata Jena terbuka saat mencium aroma roti bakar, keju, dan ayam panggang. Ia membuka kedua matanya perlahan, tampak Victor duduk melantai sembari menatap Jena.“Kak, aku seperti mimpi, tempat ini seperti restoran mahal. Kau harus segera ke kamar mandi, dan kita sarapan bersama. Aku akan panggilkan Drew supaya membopongmu ke kamar mandi.” Victor beranjak cepat, tak butuh waktu lama, Drew yang mengenakan kaos hitam pres body juga celana pendek santai warna cokelat muda, bergegas masuk ke dalam kamar. Jena masih dengan muka bantalnya menatap Drew.“Pagi,” sapa Drew. Jena memalingkan wajah. Tak gentar, Drew membopong wanita itu ke kamar mandi, seperti kemarin, ia mendudukan Jena di atas kloset begitu hati-hati.“Selalu cantik,” gumam Drew. Ia tersenyum menatap Jena, lalu bergegas keluar kamar mandi. Sedangkan Jena merutuki dirinya sendiri.
Jena masih menatap Drew setelah pria tersebut mengucapkan kalimat ajakan untuk berbicara dari hati ke hati. Tendangan dari dalam perut jena seolah menyetujui usul si penanam benih. Jena hanya bisa menganggguk pelan. Drew sumringah, ia beranjak, bertanya ingin berbicara di kamar, atau di luar. Jena menjawab di luar kamar, sofa ruang TV multifungsi karena juga menjadi ruang tamu, kadang ruang makan, dirasa pas.“Aku akan jalan perlahan, jangan membopongku lagi,” tolak jena sembari berdiri perlahan.“Setidaknya biarkan aku menggandeng tanganmu, Jen.” Jen— panggilan itu kembali diucapkan Drew tanpa beban, ia tak ragu atau kaku menyebut panggilan itu.“Dan setidaknya biarkan aku merasa tidak seperti orang tak bisa berjalan. Aku bisa, Drew,” tatap Jena tegas. Tangan Drew terangkat ke udara, ia melepaskan gandengan tangannya. Menuruti wanita hamil, seolah hukum wajib bagi setiap pria yang bertanggung jawab atas manusia baru yan
Jena merasa dirinya sudah baik-baik saja, beristirahat total selama empat hari sudah cukup baginya. Ia beranjak perlahan berjalan menuju ke lemari pakaiannya, hendak mengambil pakaian karena ia ingin bekerja.“Kau mau apa?” tegur Drew yang membuat jena berjengkit karena mendengar suara pria itu begitu dekat. Ia berbalik badan, menatap penampilan Drew yang shirt less, ia bergeming.“Jen, Jena…” panggil Drew membawa kesadaran lagi bagi dirinya. Jena mengerjap.“Y-ya… ada apa,” jawabnya kikuk.“Kau, sedang apa? Mau apa? Mengapa sudah berdandan cantik? Kau mau pergi atau jalan-jalan?” tanyanya. Jena menggelengkan kepala.“Bekerja. Aku harus masuk bekerja, sudah lama aku di rumah dan itu membosankan bagiku. Keluarlah, aku ingin berganti pakaian,” lanjutnya. Drew bersedekap sembari menatap lekat.“Tidak ku izinkan,” ujarnya. Jena menoleh. Lagi-lagi kedua
“Maafkan aku atas semua permainanku dengan Camile, Jena. Aku begitu bodoh, di saat aku seharusnya berbahagia melihatmu bisa menemukan siapa yang kau cintai dengan tulus, justru aku malah menyakitimu alih-alih merebut hatimu dari Drew.” Sorot mata Maden berubah menjadi kesenduan yang teramat mewakili apa yang ia rasanya. Jena menunduk, sedangkan Drew, dengan tatapan menusuknya hanya bisa menyungginggang senyuman sinis diwajahnya.“Jika kau tidak bodoh, kau sudah sejak dulu tahu bagaimana cara mengambil hati Jena hingga membuatnya jatuh cinta dan luluh. Bukan dengan sikap diam, seolah pasrah. Alih-alih takut dengan penolakan Jena yang bisa membuat kalian menjauh, justru Jena semakin pergi dari hidupmu dan bertemu denganku. Kau seperti pengantar paket yang hanya bisa menyampaikan benda tanpa tahu isinya kepada orang lain, yang bisa saja isi paket itu sebenarnya milikmu. Kemungkinan itu bisa saja terjadi walau satu persen.” Ocehan Drew membuat Jena menoleh
Jena membisu, ia duduk menghadap ke arah taman air mancur yang terdapat banyak anak-anak kecil bermain air di sana. Jena juga kembali menikmati makanan juga minumannya, mengabaikan pertanyaan Drew sebelumnya. Pria it uterus menatap wanitanya walau tampak samping, ia tak tahan untuk tak memeluk Jena, menghujani dengan ciuman dipipi juga titik lainnya, pun, melakukan hal lain yang bisa menunjukkan betapa ia mencintai wanita itu.“Aku akan pergi jika memang kau tidak mencintaiku lagi, Jen,” ucapan Drew yang barusan terlontar, membuat Jena terkekeh.“Pergilah. Bukannya, memang begitu. Aku terbiasa tanpa adanya dirimu,” keduanya kembali bersemuka. Drew terkekeh.“Aku hanya bergurau, tidak akan kulakukan kalau pun kau mengusirku atau melempariku dengan tomat busuk sekalipun. Philipe dan dirimu tanggung jawabku. Hah… aku mulai menyukai kota Boston. Apa kita pindah dan tinggal di sini, Jen, setelah pernikahan kita?”Jena
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s