Libur masih tiga minggu lagi berakhir. Daripada tidak ada kegiatan selain beres-beres rumah, Lintang mencoba beberapa resep roti dan cookies. Wulan dengan semangat membantunya. Dia akan foto hasil karya kakaknya itu. Lalu dia posting di sosmed-nya. David yang mengajarinya, agar jepretannya bisa dikenal dan siapa tahu mendatangkan keuntungan untuknya. "Kak, lihat..." Wulan menunjukkan sebuah komen di akun sosmednya, setelah dia posting gambar beberapa menit sebelumnya. "Ih, cantik banget kuenya, ini order bisa ga, ya ..." itu komennya. Lintang membacanya dan tersenyum. "Come on, Chef! Your first chance and challenge!" ujar Wulan. "Kenapa, Lan?" Diana muncul dari kamarnya, baru menidurkan anaknya. Dia menghampiri Lintang dan Wulan. "Ada yang order kue kakak," jawab Wulan. "Sambut sudah, berani, ayo!" bujuk Diana. "Oke. Ini sebagai percobaan, ya?" Lintang tersenyum dan mengangguk. Wulan pun menjawab komen itu, bahkan menawarkan jika yang lain juga mau order. Dan mereka open order
Lintang menjelaskan kaki kanan Listy digips, tidak bisa menapak, dia mengenakan kruk untuk menopang tubuhnya. David terus menatap jalanan, tidak memberikan komentar apa-apa. Tapi dalam hati muncul juga pertanyaan, apa yang terjadi dengan Listy. "Aku berhenti di depan situ saja, Kak. Kak Dave langsung ke klinik, kan?" Lintang menunjuk waralaba di depan mereka. David meminggirkan mobilnya. Lintang melepas sabuk pengaman. "Alin ..." panggil David. Lintang menoleh. David menggeser badannya ke kiri dan mencium pipi Lintang sekilas. "Kakak ..." Lintang kaget. "Aku cuma sayang sama kamu. Pegang itu baik-baik, tanamkan dalam di hati kamu. Okay?" kata David. "Iya, aku tahu." Lintang tersenyum. "Bilang apa?" David melihat Lintang yang bersiap turun. "Aku sayang Kak Dave juga," kata Lintang dan cepat turun, menutup pintu mobil. David tersenyum lebar. "Kamu menggemaskan sekali," gumam David. Mobilnya kembali melaju, Lintang memesan ojol dari depan waralaba itu dan pulang. Sampai di klin
David terkekeh. "Emang Alin suka ngangenin." Syifa ngakak mendengar itu. Dia senggol lengan Lintang, sedang Lintang pura-pura cuek, padahal mukanya sudah memerah. "Ih, Nona ini serius amat, kayak ga ada orang di sekitarnya." Syifa menyenggol lengan Lintang lagi. “Jangan usil. Kak Dave udah lapar pasti. Biar cepat selesai," ujar Lintang pura-pura ngambek. "Segitunya, demi cinta." Syifa mencibir. "Apaan sih?" Lintang manyun. "Hee... hee... maaf!" ujar Syifa. David ikut ngakak. "Tarraaa ... jadi!" Lintang mengangkat piring di depannya. Dia plating gado-gado dengan manis. Tampilannya beda dengan biasanya. Semua isian ditata rapi, membuat mata melek lebar melihatnya. "Wooww, cantiknya! Bisa saja ya, bikin kekasih senang." David tersenyum lebar menerima piring itu. "Buat aku mana?" Syifa menoleh pada Lintang. "Ini." Lintang mengambil dua potong wortel dan menyuapi Syifa. "Aah, curang ..." gerutu Syifa. "Ha.. haa..." Lintang tertawa. "Kamu plating sendiri." Syifa memajukan bibir,
"Maaf, aku ga mampir, buru-buru mau ke klinik sore itu," kata David, menjelaskan dia tidak menemui Hesty saat mengantar Lintang. "I see ..." Hesty tersenyum ketir. Dia tahu David pasti tak mau ke rumah mereka lagi. Hesty sangat tahu sakitnya David saat Listy meninggalkan dia dan memilih mengejar karir. "Sejak kapan kamu kerja jadi MC, Hesty?" David ganti bertanya. Lama David tidak berkomunikasi dengan Hesty juga karena hubungannya dengan Listy rusak. "Sudah hampir setahun. Awalnya iseng sih, tapi ternyata seru. Aku juga tinggal skripsi aja, jadi ga terlalu padat di kampus." Hesty menjelaskan. "Asyik juga kamu bawain acara. Anak-anak happy banget." David tersenyum. "Udah biasa sekarang. Waktu baru mulai, kikuk, kaku, tegang, gitu, deh!" Hesty tertawa lirih. "Baiklah, aku mau menemui tuan rumah. Kurasa sudah saatnya kami pulang," ujar David. "Oke." Hesty tersenyum lagi. "Mari, Mbak." Lintang mengangguk pada Hesty. Hesty ikut mengangguk sambil tersenyum ramah. David menggandeng t
"Iya, baiklah ..." Lintang menyimpan lagi semua bahan yang dia sudah letakkan di meja karena sebenarnya dia bersiap memasak buat sarapan. David mengambil minum dan meneguk hingga gelasnya kosong. "Sepuluh menit lagi jalan. Aku tunggu di depan. Oke?" Tak lama David, Lintang, dan Wulan sudah di teras siap berangkat jogging. Mumpung bisa, karena Lintang dan Wulan belum masuk, belum sibuk urusan sekolah dan kuliah. Jarang mereka bisa pergi begini. "Kalau kalian mau beli makan di luar ga apa-apa. Aku mau masak sendiri, buat Kak Hero. Lama ga masak," kata Diana saat David pamitan. "Oke, deh," ujar David. Lalu mereka berangkat, jogging keliling kompleks. Dan makin jauh. Akhirnya sampai di taman kota. Masih pagi, sepi. Hanya beberapa orang duduk di sana. Ada yang lain sekedar melintas memotong jalan menuju ke tempat yang ingin didatangi. "Lama ga ke sini." Wulan tersenyum. Lintang melihat Wulan. Ya, saat awal datang di kota ini, Wulan paling senang main di taman ini, mengejar burung-bur
David menatap Listy. Lalu melangkah pelan mendekat pada mantan tunangannya itu. Kasihan juga Listy nekat mencari David ke rumah sakit. "Duduklah." David mengajak duduk di kursi panjang di dekat mereka. Listy duduk di sana. Dia letakkan kruk di samping kursi, kakinya yang cidera dia luruskan, masih dibungkus, belum bisa ditekuk. David duduk di kursi yang sama, di ujung seberang Listy duduk. "Kenapa kamu terus menghindari aku, Dave?" tanya Listy. David memandang Listy. Dia terlihat tenang, memandang lurus ke mata Dave. "Kamu tahu aku sibuk. Selalu begitu," jawab David. Entah kenapa, David merasa tidak nyaman bersama Listy. "Dave, aku ..." Listy ingin menyampaikan sesuatu, tapi ternyata tidak semudah yang dia rancang untuk bicara saat belum bertemu. "Katakan saja," tandas David. Tidak ada gunanya menghindar. Mungkin lebih baik dia beri kesempatan Listy bicara. "Aku minta maaf. Aku telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku," kata Listy. David menatap Listy. Apa maksud kata-kat
Selesai acara dan bagi bingkisan buat anak-anak, seluruh kegiatan ditutup dengan makan malam bersama. David dan Lintang duduk di meja pojok, ditemani Farid, Firda dan Zaki. Diana dengan Wulan, duduk di meja sebelah dengan Syifa dan Bimo. "Dave, aku senang sekali, akhirnya kamu udah ketemu tambatan hatimu." Firda memandangi David dan Lintang bergantian. Wajahnya cerah, sumringah melihat dua sejoli itu. "Aku juga ga nyangka, Bu, bisa jatuh cinta sama gadis kecil gini." David melirik Lintang. Lintang cuma mesem saja. Sedikit malu juga digodain di depan Firda dan Zaki. "Kecil bukan masalah. Yang penting kalian saling sayang, saling mendukung," timpal Zaki. "Lihat wajahmu secerah ini, aku sangat lega, Dave. Aku tahu kamu happy bersama Lintang." Firda menepuk bahu Lintang yang duduk di sebelahnya. "Iya, Bu. Sangat." David tersenyum lebar. Lintang makin tersipu mendengar itu. Hampir setengah delapan malam, akhirnya mereka pulang. Lebih dulu mengantar Farid kembali ke rumahnya. Lintang s
"Apa maksudnya?" batin Lintang. Apa David dan Listy berkomunikasi lagi? Deg. Hati Lintang langsung merasa tidak enak. "Ah, ga boleh pikiran buruk, Lintang." Lintang menggumam lagi, lalu melanjutkan scroll HP. Lagi, chat masuk. Listy. "Please jawab, Dave. Miss you," baca Lintang lirih. Karena pesan pendek, terbaca oleh Lintang. "Oh, God!" Hati Lintang makin berdebar. Dia letakkan HP, duduk dengan gelisah. Apa arti semua ini? Apakah dia perlu bertanya pada David? Kalau dia marah? Apa ini artinya David mendua hati? Atau ... ah, tidak tahu, bingung! "Hei, bengong?" David muncul di belakang Lintang, mengecup ubun-ubun Lintang. David berjalan memutar, kembali duduk di sisi Lintang. "Ga, ga apa-apa." Lintang jadi gugup. "Masih mikir yang Kakak bilang tadi." "Tenang saja, nanti aku browsing, tanya ke agen properti. Lalu kita cek sama-sama rumahnya. Ya?" David meraih tangan Lintang. Kali ini Lintang ingin menarik tangannya balik. Dia jadi tidak nyaman dengan sikap David. "Alin ..." Da
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini