"Iya, baiklah ..." Lintang menyimpan lagi semua bahan yang dia sudah letakkan di meja karena sebenarnya dia bersiap memasak buat sarapan. David mengambil minum dan meneguk hingga gelasnya kosong. "Sepuluh menit lagi jalan. Aku tunggu di depan. Oke?" Tak lama David, Lintang, dan Wulan sudah di teras siap berangkat jogging. Mumpung bisa, karena Lintang dan Wulan belum masuk, belum sibuk urusan sekolah dan kuliah. Jarang mereka bisa pergi begini. "Kalau kalian mau beli makan di luar ga apa-apa. Aku mau masak sendiri, buat Kak Hero. Lama ga masak," kata Diana saat David pamitan. "Oke, deh," ujar David. Lalu mereka berangkat, jogging keliling kompleks. Dan makin jauh. Akhirnya sampai di taman kota. Masih pagi, sepi. Hanya beberapa orang duduk di sana. Ada yang lain sekedar melintas memotong jalan menuju ke tempat yang ingin didatangi. "Lama ga ke sini." Wulan tersenyum. Lintang melihat Wulan. Ya, saat awal datang di kota ini, Wulan paling senang main di taman ini, mengejar burung-bur
David menatap Listy. Lalu melangkah pelan mendekat pada mantan tunangannya itu. Kasihan juga Listy nekat mencari David ke rumah sakit. "Duduklah." David mengajak duduk di kursi panjang di dekat mereka. Listy duduk di sana. Dia letakkan kruk di samping kursi, kakinya yang cidera dia luruskan, masih dibungkus, belum bisa ditekuk. David duduk di kursi yang sama, di ujung seberang Listy duduk. "Kenapa kamu terus menghindari aku, Dave?" tanya Listy. David memandang Listy. Dia terlihat tenang, memandang lurus ke mata Dave. "Kamu tahu aku sibuk. Selalu begitu," jawab David. Entah kenapa, David merasa tidak nyaman bersama Listy. "Dave, aku ..." Listy ingin menyampaikan sesuatu, tapi ternyata tidak semudah yang dia rancang untuk bicara saat belum bertemu. "Katakan saja," tandas David. Tidak ada gunanya menghindar. Mungkin lebih baik dia beri kesempatan Listy bicara. "Aku minta maaf. Aku telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku," kata Listy. David menatap Listy. Apa maksud kata-kat
Selesai acara dan bagi bingkisan buat anak-anak, seluruh kegiatan ditutup dengan makan malam bersama. David dan Lintang duduk di meja pojok, ditemani Farid, Firda dan Zaki. Diana dengan Wulan, duduk di meja sebelah dengan Syifa dan Bimo. "Dave, aku senang sekali, akhirnya kamu udah ketemu tambatan hatimu." Firda memandangi David dan Lintang bergantian. Wajahnya cerah, sumringah melihat dua sejoli itu. "Aku juga ga nyangka, Bu, bisa jatuh cinta sama gadis kecil gini." David melirik Lintang. Lintang cuma mesem saja. Sedikit malu juga digodain di depan Firda dan Zaki. "Kecil bukan masalah. Yang penting kalian saling sayang, saling mendukung," timpal Zaki. "Lihat wajahmu secerah ini, aku sangat lega, Dave. Aku tahu kamu happy bersama Lintang." Firda menepuk bahu Lintang yang duduk di sebelahnya. "Iya, Bu. Sangat." David tersenyum lebar. Lintang makin tersipu mendengar itu. Hampir setengah delapan malam, akhirnya mereka pulang. Lebih dulu mengantar Farid kembali ke rumahnya. Lintang s
"Apa maksudnya?" batin Lintang. Apa David dan Listy berkomunikasi lagi? Deg. Hati Lintang langsung merasa tidak enak. "Ah, ga boleh pikiran buruk, Lintang." Lintang menggumam lagi, lalu melanjutkan scroll HP. Lagi, chat masuk. Listy. "Please jawab, Dave. Miss you," baca Lintang lirih. Karena pesan pendek, terbaca oleh Lintang. "Oh, God!" Hati Lintang makin berdebar. Dia letakkan HP, duduk dengan gelisah. Apa arti semua ini? Apakah dia perlu bertanya pada David? Kalau dia marah? Apa ini artinya David mendua hati? Atau ... ah, tidak tahu, bingung! "Hei, bengong?" David muncul di belakang Lintang, mengecup ubun-ubun Lintang. David berjalan memutar, kembali duduk di sisi Lintang. "Ga, ga apa-apa." Lintang jadi gugup. "Masih mikir yang Kakak bilang tadi." "Tenang saja, nanti aku browsing, tanya ke agen properti. Lalu kita cek sama-sama rumahnya. Ya?" David meraih tangan Lintang. Kali ini Lintang ingin menarik tangannya balik. Dia jadi tidak nyaman dengan sikap David. "Alin ..." Da
Akhirnya perkuliahan mulai lagi. Kesibukan full dari pagi sampai sore, kembali digeluti. Kangen juga merasakan keseruan bersama teman sekelas yang unik-unik. Rindu celotehan dan candaan mereka yang kadang asbun, tapi membuat hari lebih ceria. "Apa kabar pasangan baru? Tahun baru ke mana?" Lintang menggoda Syifa. "Jalan berdua laa ... Ih, dia manis sekali. Aku rasa melayang, Lin." Wajah Syifa memerah karena senang. Lintang bertepuk girang dengar kabar dari sahabatnya itu. "Makasih udah bawa Bimo buat aku." Syifa memeluk bahu Lintang, menempelkan pipinya ke pipi Lintang. Pembicaraan mereka makin seru dan menyenangkan. Soal hubungan spesial Syifa dan Bimo yang tampak lebih serius. Hingga pertanyaan Syifa tentang rencana Lintang dan David yang akan married dalam beberapa bulan ke depan. Lintang menjawab tidak begitu bersemangat, membuat Syifa menjadi heran. "Kenapa?" Senyum Syifa seketika menghilang melihat Lintang yang jadi serius. "Mantan tunangan Kak Dave minta balikan," ujar Lin
Rasti meneruskan ceritanya. Karena pembantu Fani memilih pulang kampung, Praja dan Rasti akhirnya bahkan tinggal di rumah besar Fani. Dengan begitu mereka tidak tinggal di gubuk darurat. Praja bisa meneruskan ke SMA yang dia dambakan. Fani dan suaminya dengan lapang menolong Praja hingga bisa sekolah di sekolah idamannya itu. Bahkan Praja masuk Universitas Terbuka, dia bisa kuliah dan tetap bekerja pada keluarga Fani. "Senang sekali mendengar ini, Bu." Lintang tersenyum. Praja yang dari tadi hanya lebih banyak diam dan memperhatikan Lintang dan Wulan, akhirnya mendekati Lintang dan bicara pada gadis itu. "Lin, bisa kita bicara?" ujar Praja. Suaranya sudah berubah, suara pria dewasa. "Iya, ada apa?" Lintang memandang Praja. Praja berjalan agak menjauh, ke tempat yang sepi. Lintang mengikutinya. "Aku ..." Praja menatap Lintang, tampak dia tidak nyaman. "Kamu ingat waktu Pak Lurah ke rumah Pak Dokter dengan Mas Mito?" "Tentu." Lintang mengangguk. "Aku ... memang punya prasangka bu
- Apa aku seburuk itu di mata kamu, Dave? Kamu bahkan ga balas chatku sama sekali. Kamu benar-benar ga punya hati. Apa salah aku cuma ingin bertemu dengan kamu?David membaca chat dari Listy. Jujur, dia makin geram saja. Listy ternyata masih berusaha mengejarnya. Apa kurang jelas yang David katakan waktu itu? Tak bisa didiamkan jika begini. Akhirnya, selesai melakukan kontrol pasien hari itu sekitar jam sebelas siang, David pergi ke rumah Listy. Dulu jika dia pergi ke rumah cantik itu hati David berbunga-bunga. Tapi kali ini, dia merasa enggan. Hanya saja dia harus menemui Listy. David masuk ke halaman rumah Listy. Ada motor lain yang diparkir di sana. Apa ada tamu? Mungkin ini bukan waktu yang tepat. David mengurungkan langkah kakinya. Sepertinya dia akan kembali lain hari saja. Terdengar suara orang bicara dari dalam rumah. David menoleh. Hesty keluar rumah, disusul seorang pemuda di belakangnya. "Ya, cepetan dikit, jangan sampai telat." Hesty berkata pada pria itu. Hesty mengan
Di dalam rumah itu, tangis Listy makin jadi. Karena geram dan marah, dia menarik taplak meja di depannya. Vas bunga dan minuman gelas air mineral beberapa di atasnya berhamburan.Praannkk!!Hesty terkejut mendengar suara itu dan berlari ke depan."Uuhhuukkk ... huhuhukkk ... Dave ... beri aku kesempatan sekali lagi ... Dave, kamu hanya ingin aku luka karena meninggalkan kamu ..." tangis Listy. Dia memukul-mukul sofa berulang kali."Kak, sudahlah ... Kak, tenang, please ..." Hesty memeluk kakaknya, mendekapnya, dan berusaha membuat Listy tenang kembali.Sampai beberapa lama Listy mulai tenang. Hesty mengambilkannya minum. Listy meneguk beberapa kali air mineral di tangannya, sementara Hesty membereskan vas bunga dan semua yang berserakan karena kemarahan Listy."Seperti apa kekasih Dave sampai dia tak mau memberi aku kesempatan? Apa istimewanya?" kata Listy geram.Hesty kembali duduk. Ya, meskipun dia tahu siapa kekasih David, Hesty tidak pernah bilang apa-apa pada Listy. David juga buk
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini