Lintang menunduk. Dia tidak berani melihat Diana. Hatinya masih bergemuruh karena tegang dan gelisah. "Lintang, kamu yakin kamu cinta adikku?" Makin jelas saja pertanyaan Diana. Lintang mengangguk, dengan dada yang makin berdegup. Diana memegang tangan Lintang. "Lin, aku cuma mau David bahagia," kata Diana. Lintang mengangkat kepalanya memandang Diana. Diana melanjutkan perkataannya. "Sejak kecil kami tak mengenal orang tua kami. Aku hanya ingat sedikit saja. Ayah dan ibu pergi, mereka mengalami kecelakaan dan meninggal. Karena tidak ada yang merawat kami, tetangga menyerahkan kami ke panti asuhan." Lintang mendengarkan cerita Diana. Dia sedikit tahu selama ini. Dan hari ini Diana menceritakan dengan lebih gamblang seperti apa hidup mereka dulu. Lebih jauh Diana menjelaskan. Di panti itu dia dan David belajar mengenal tentang keluarga meski tidak ada ikatan darah. Mereka saling peduli dan saling mendukung. Sampai Diana masuk SMP dan David kelas 4 SD, datang seorang ibu yang baik ha
David memandang Lintang. Gadis itu terlihat sedikit gugup. "Ya." David mengangguk. Lintang melihat David, tidak tahu mau bicara apa. "Mungkin kamu pikir aku ga serius sama kamu, karena sampai sekarang aku belum bicara dengan Kak Di dan Kak Hero." David mengaduk minuman di depannya. "Aku serius sayang kamu, Alin. Tapi aku cari waktu yang tepat untuk bicara. Dan soal menikah, apa mungkin kita menikah segera? Kamu masih kuliah. Umur kamu belum dua puluh tahun." "Apa Kak Dave mau cepat nikah?" tanya Lintang. "Ya mau laa! Aku sudah siap banget, Alin. Lahir batin ini," tandas David. Lintang jadi tersipu. "Tuh, diajak ngomong begini kamu udah malu. Gimana aku ngelamar kamu?" ujar David. Lintang tersenyum. "Gimana? Aku sih, terserah Kakak." "Terserah bagaimana maksud kamu?" tanya David. Dia jadi bingung juga dengan jawaban Lintang. "Cepat atau lambat kita akan menikah, kan?" Duh, Lintang degdegan abis bicara soal nikah. "Jadi kalau aku minta kita segera nikah, kamu ga keberatan?" Davi
Lintang merasakan gemuruh di dadanya hampir tak mampu dia tahan. Napasnya naik turun, terasa panas seluruh wajahnya. Matanya masih menghujam pada Farid yang memandanganya dengan bingung, penuh tanda tanya. "Bapak memang sudah melupakan aku. Tapi aku tak akan pernah lupa, tamparan yang aku terima di pipiku. Tendangan di badanku. Tak akan pernah aku lupa Bapak menyiksa wanita yang melahirkan aku di depan mataku! Lalu Bapak pergi dan tidak pernah kembali!!" Suara Lintang makin keras, penuh amarah. Farid terpana. Gadis ini ... dia tatap makin lekat. Pelan tatapan tajamnya berubah menjadi raut yang sulit dijelaskan. "Dan wanita itu, ibuku ... meninggalkan aku dan adikku yang bahkan tak pernah mengenalmu, untuk selamanya karena derita yang teramat dalam. Hari ini, kesempatan yang sangat baik. Aku mau katakan padamu, Bapak Farid yang terhormat ... Buatku kamu sudah mati!" Air mata Lintang bercucuran sementara dia mengatakan semua itu. Dadanya rasanya sesak. Ingin meledak. Tubuhnya rasanya
David menarik napas dalam, dia memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan semuanya pada Diana dan Hero. Kedua kakaknya menunggu. "Entah bagaimana Marisa punya pikiran buruk tentang Lintang. Mereka juga tidak pernah bertemu. Tetapi memang Marisa terus datang padaku, minta aku bisa menjalin hubungan dengannya." David mulai menjelaskan. "Aku tidak bisa pacaran dengan dia. Aku bilang padanya itu karena hatiku sudah terisi. Dia tidak terima itu. Dia mungkin mencari tahu tentang Lintang." "Jelaskan langsung saja, Dave." Hero memandang David. Dia rasa David hanya berputar-putar. Dia ingin pengakuan David tentang Lintang. "Hatiku terisi Alin. Penuh," ucap David. Dia memandang Hero dan Diana. Sedang Lintang memilih menunduk, dia tidak berani melihat Diana dan Hero. "Kamu tidak main-main, Dave?" tegas Hero. Dia balas memandang David yang menatap lurus padanya. "Tidak, Kak. Untuk hal seperti ini aku tidak mungkin main-main. Aku sayang Alin," David serius sekali mengatakan ini. Dari t
"Mas! Kamu jangan seperti ini. Jangan buat semua makin kacau!" Anisa berdiri di depan pintu kamar Farid. Sudah beberapa kali dia mengetuk, berkali-kali memanggil, dan memintanya keluar. Tidak ada suara, tidak ada jawaban. "Mas! Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu bagaimana? Jangan seperti anak kecil, Mas!" Anisa cemas. Antara geram, marah, dan bingung. Sejak siang dia pulang dari rumah David, Farid sama sekali tidak keluar kamar. "Ga mau keluar, Bu?" Marisa muncul. Terlihat dia juga mulai cemas. "Aku ga tahu lagi. Aku takut kalau dia pingsan di dalam," ujar Anisa. Dia sudah habis cara membujuk kakaknya agar mau keluar kamar dan makan. Dia sangat kuatir kalau Farid pingsan di dalam. "Paman! Ayolah! Aku tahu Paman marah, sedih ... tapi jangan kayak gini, dong!" Akhirnya Marisa ikut membujuk. Anisa berpikir apa yang bisa dia lakukan sebelum terlambat. Tiga hari sudah berlalu, pasti Farid sudah lemas di dalam. "Marisa, kita harus bawa gadis itu kemari." Anisa menatap Marisa. "Apa
Lintang menatap David dengan wajah cemberut. "Aku ga mau." Lintang merajuk. "Berurusan dengannya hanya membuat hidupku susah. Aku ga peduli." "Alin, bagaimanapun dia ayahmu," kata David. Lintang mencibir sambil melipat kedua tangannya. "Mas, cepat," ujar Marisa yang tidak sabar menunggu. David dan Marisa keluar rumah segera berangkat menuju rumah Marisa. Dalam perjalanan David mencari tahu lebih banyak tentang Farid dari Marisa. Marisa menduga Farid pasti stress karena bertemu Lintang dan Wulan, mendapati kenyataan pahit yang dialami kedua putrinya itu. Lebih jauh Marisa berkisah, dia bertemu Farid saat masih duduk di bangku SMP. Farid datang ke rumahnya, minta ayah Marisa mencarikan dia pekerjaan. Tapi sulit, karena Farid suka mabuk. Ayah Marisa mengancam kalau Farid tidak berhenti dari kebiasaan buruknya, ayah Marisa tidak mau membantu lagi. Farid berusaha tetapi tidak sepenuh hati. Karena tidak lama setelah itu, Farid dan ayah Marisa bekerja, menjadi sopir. Satu kali mereka men
Lintang menghela napas. Dia sama sekali tidak mau tahu soal ayahnya. Buat Lintang, laki-laki itu sudah lama mati. Tapi kali ini David meminta waktu bicara tentang Farid. Lintang tak bisa menolak. "Baiklah," ujar Lintang agak kesal. Lintang memanggil Bu Anik. Bu Anik menghampiri dan meminta Tio. Lintang mengangkat bayi itu, memberikannya pada Bu Anik. Lintang merapikan duduknya. Dia silangkan kaki di bawah kursi, melipat kedua tangan, dan melihat David. Dia menunggu apa yang David akan katakan. "Aku tahu kamu tidak akan suka dengan apa yang aku mau katakan sama kamu." David menghadapkan badan kepada Lintang. Gadis itu memasang wajah kesal. Rasanya dia tidak peduli kalau David menganggap dia anak durhaka. Di pikiran Lintang, ayahnya yang durhaka, karena menelantarkan dia dan Wulan, tidak mau tahu keluarganya. "Marisa tadi bercerita tentang ayahmu. Hidupnya selama ini juga dipenuhi kepedihan dan rasa bersalah. Dia seperti seseorang yang merasa terjerembab di dalam sumur gelap, hampir
"Kita perlu sedikitnya tiga puluh responden untuk menilai masakan kita. Itu berarti mesti buat banyak tester." Syifa membaca catatan tugas dari dosen. Ini salah satu tugas untuk ujian akhir semester. Menyenangkan, tapi di mana bisa mendapat responden pada saat bersamaan? "Hm ... kita mau bagi ke teman di kampus? Mereka sudah keseringan cobain macam-macam menu. Aku pingin yang belum pernah," ujar Lintang. "Pinggir jalan kali, atau di dekat terminal," usul Denal dengan semangat. "Mau dimarahin mereka yang jualan di sana? Lagian gimana mereka mau isi questioner di pinggir jalan gitu?" timpal Yosia. "Kalau ke sekolah? SD atau SMP?" ujar Syifa ikut berpikir. "Hei ... panti asuhan." Tiba-tiba Lintang ada ide. "Aah, setuju!" Ketiga temannya menjawab serempak. Yosia mengacungkan jempolnya. Lintang tersenyum. Selesai berdiskusi mereka bubar, bersiap meninggalkan kantin kampus. Denal dan Yosia jalan duluan. Tepat saat itu Bimo datang. "Lintang, itu Bimo," ujar Syifa. Lintang menoleh ke
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini