Diana memandang Lintang. Kenapa Lintang menanyakan itu padanya? "Harusnya Kak Dave pergi sama pacarnya, bukan aku." Lintang meneruskan kalimatnya, menjelaskan maksudnya. "Pacar yang mana?" tanya Diana. "Risa?" ucap Lintang. Yang muncul di pikirannya, saat David berpelukan dengan Marisa. "Risa bukan pacarnya." Diana merapikan meja di depannya. Bukan? Apa Lintang tidak salah dengar? Atau Diana saja yang belum tahu kalau David berpacaran dengan Marisa? Diana menjelaskan kalau David dan Marisa tidak pacaran. Marisa yang suka dengan adiknya itu. "Beneran Kak, mereka ga pacaran?" Jantung Lintang langsung deg deg plas mendengar itu. "Iya. Dave ga mungkin ga cerita sama aku, Lin," kata Diana. Ada rasa lega menyapu dada Lintang. Senyum tipis menghias bibirnya. Dari perkataan Lintang dan ekspresi wajahnya, Diana yakin, Lintang memang jatuh hati pada David. Lintang terlihat begitu lega saat tahu David tidak pacaran dengan Marisa. Lintang sudah siap, Diana mengajak Lintang keluar kamar. D
David hanya tertawa saja mendengar pertanyaan itu. Bahkan pertanyaan-pertanyaan lain yang juga sengaja teman-temannya tanyakan untuk menggodanya. Seolah reuni saja datang ke acara Diego. David bertemu dengan beberapa teman yang bahkan hilang kontak sekian tahun. Cukup menyenangkan bisa tahu seperti apa kehidupan teman-temannya. Kemudian, David dan Lintang mengambil salad buah, berdua duduk di balkon. Dari situ mereka bisa melihat pemandangan cantik perumahan yang luas di area itu dengan lampu-lampu yang menghiasinya. Juga lampu-lampu kota di kejauhan, berkelap-kelip begitu manis. "Apa maksudnya Kak Diego bilang Kak Dave menyelamatkan dia?" Lintang penasaran dengan kata-kata Diego tadi. David menuturkan kisah lama saat dia di SMA. Diego itu pernah tenggelam di kolam renang waktu dia masih kecil. Jadi Diego mengalami trauma jika melihat air yang banyak. Kolam, danau, dan laut tempat yang menakutkan buat Diego. Dia akan berusaha menghindar tidak terlalu dekat dengan air. Satu kali mer
Lintang termenung di kamarnya. Rasanya masih tak percaya. Dadanya terus saja meletup-letup. Dunia seperti masih terbolak balik. Berulang kali Lintang mendesah, menarik napas dalam, menghembuskan nafas, tetap belum netral sepenuhnya di dada. "Ya Tuhan ... Ya Tuhan ..." bisiknya. Senyum mengembang di bibirnya. Senang sekali. Ya, senang sekali! Pelukan hangat David membuat Lintang merasa melayang. Membuat Lintang merasa aman, terlindungi. Sudah lewat jam satu malam. Lintang berusaha tidur tapi tidak bisa. Mengetahui kenyataan ini, hatinya berbunga. David juga mencintainya. "Alin ... aku sayang kamu, cinta kamu ...." kata-kata itu bolak balik terngiang. Ah, indah sekali rasa sayang mendapat balasan dari orang yang dicintai. "Jangn cari cinta yang lain, aku di sini ... aku cinta kamu," kata-kata itu juga muncul membuatnya seperti makin terbang tinggi. "Ibu, aku jatuh cinta, dan dia juga cinta aku ... Ibu ..." Lintang memejamkan mata. Lintang mengingat momen dia masih bersama ibu. Samp
"Ulan ...." panggil Lintang. Dia tatap mata Wulan. Dia tidak suka adiknya minta-minta begitu. Menurutnya tidak sopan. Mereka bisa tinggal di rumah ini, dan bisa sekolah itu sudah sangat bagus. Tidak perlu minta yang lain-lain. Kalau mereka yang mengajak itu lain ceritanya. "Iya, aku ga lupa," ujar David. Dia memperhatikan Wulan yang menunduk menatap piringnya, seolah sibuk makan. David tahu Wulan pasti merasa bersalah menanyakan itu. "Lama juga kita ga ke pantai. Boleh, tuh. Nanti Tio bisa ikut lihat pantai," tandas Diana. Lintang masih menatap Wulan. Adiknya itu terus saja menunduk, merasa tidak enak jadinya. David melihat reaksi mereka berdua. "Alin, jangan marah sama Wulan. Aku yang tawarin dia mau jalan-jalan ke mana." David melihat Lintang. "Pokoknya begitu kalian liburan aku akan ajak jalan," janji David. Tatapannya masih pada Lintang, "... dan ke makam ibu kamu." Lintang melihat David. Ternyata dia juga memikirkan itu. Lintang menatap David, tidak menjawab apa-apa. Tapi D
David hampir selesai praktek, ketika pintu ruangan dibuka. David melihat siapa yang datang. Marisa. "Risa ...." sapanya. "Kamu sakit?" David memperhatikan Marisa tidak pucat. Dia nampak sehat. "Kenapa kamu menghindar terus, Mas?" Marisa duduk di kursi di depan David. Wajahnya terlihat kesal. "Risa, aku sudah jelaskan padamu. Aku tidak punya perasaan denganmu, hatiku milik orang lain," kata David tegas. Tetapi jelas Marisa masih juga tidak mau mengerti dan terus berharap David mau memberi dia kesempatan. "Aku perlu waktu membuktikan aku sungguh sayang kamu." Marisa menatap David. "Itu ga ada gunanya. Sekian lama kita dekat, tidak ada apapun selain aku menganggap kamu teman. Bersikaplah dewasa, Risa," tegas David. "Aku ga akan menyerah, Mas." Marisa berdiri, mendekati David. Dia memeluk David tiba-tiba dan berjinjit menarik wajah David, berusaha menciumnya. "Marisa!" David mendorong Marisa. Wanita ini makin nekat. "Aku menghormati kamu sebagai wanita. Aku tidak pernah menyentuh k
"Kak, ini sudah matang." Wulan mematikan kompor. Lintang menoleh. "Kamu siapkan piring dan gelas, biar aku angkat sayurnya." Lintang mendekat ke kompor dengan mangkuk besar di tangan. Wulan mengambil tiga piring dan gelas lalu mengaturnya di meja makan. Tteettt!!! Belum pintu depan berbunyi. Wulan berlari kecil ke ruang depan, membuka pintu. Seorang perempuan di sana. "Mau ketemu siapa?" tanya Wulan. Dia amati ini orang mirip kakaknya. Cuma bibirnya merah, rambutnya coklat terang, kayak bule. "Aku mau bertemu kakakmu," katanya, dingin. "Sebentar." Wulan balik ke dalam. Wulan memberitahu Lintang ada yang ingin bertemu dengannya. "Siapa?" Lintang meletakkan lauk di meja dekat mangkuk sayur. "Ga tau. Mirip kamu, Kak," ujar Wulan lagi. Lintang menoleh pada Wulan. Dia jadi penasaran. Segera dia ke depan. Dilihatnya seorang perempuan di teras, melihat ke taman di halaman rumah. "Selamat sore, Mbak," sapa Lintang. Marisa berbalik. Dia melihat Lintang berdiri di depannya. Ini gadis
Lintang menunduk. Dia tidak berani melihat Diana. Hatinya masih bergemuruh karena tegang dan gelisah. "Lintang, kamu yakin kamu cinta adikku?" Makin jelas saja pertanyaan Diana. Lintang mengangguk, dengan dada yang makin berdegup. Diana memegang tangan Lintang. "Lin, aku cuma mau David bahagia," kata Diana. Lintang mengangkat kepalanya memandang Diana. Diana melanjutkan perkataannya. "Sejak kecil kami tak mengenal orang tua kami. Aku hanya ingat sedikit saja. Ayah dan ibu pergi, mereka mengalami kecelakaan dan meninggal. Karena tidak ada yang merawat kami, tetangga menyerahkan kami ke panti asuhan." Lintang mendengarkan cerita Diana. Dia sedikit tahu selama ini. Dan hari ini Diana menceritakan dengan lebih gamblang seperti apa hidup mereka dulu. Lebih jauh Diana menjelaskan. Di panti itu dia dan David belajar mengenal tentang keluarga meski tidak ada ikatan darah. Mereka saling peduli dan saling mendukung. Sampai Diana masuk SMP dan David kelas 4 SD, datang seorang ibu yang baik ha
David memandang Lintang. Gadis itu terlihat sedikit gugup. "Ya." David mengangguk. Lintang melihat David, tidak tahu mau bicara apa. "Mungkin kamu pikir aku ga serius sama kamu, karena sampai sekarang aku belum bicara dengan Kak Di dan Kak Hero." David mengaduk minuman di depannya. "Aku serius sayang kamu, Alin. Tapi aku cari waktu yang tepat untuk bicara. Dan soal menikah, apa mungkin kita menikah segera? Kamu masih kuliah. Umur kamu belum dua puluh tahun." "Apa Kak Dave mau cepat nikah?" tanya Lintang. "Ya mau laa! Aku sudah siap banget, Alin. Lahir batin ini," tandas David. Lintang jadi tersipu. "Tuh, diajak ngomong begini kamu udah malu. Gimana aku ngelamar kamu?" ujar David. Lintang tersenyum. "Gimana? Aku sih, terserah Kakak." "Terserah bagaimana maksud kamu?" tanya David. Dia jadi bingung juga dengan jawaban Lintang. "Cepat atau lambat kita akan menikah, kan?" Duh, Lintang degdegan abis bicara soal nikah. "Jadi kalau aku minta kita segera nikah, kamu ga keberatan?" Davi
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini