"Alin, apapun yang kita hadapi nanti, kamu harus percaya sama aku. Aku cuma sayang kamu. Pingin kamu bahagia di sisiku." David serius mengatakan ini. "Iya, Kak, aku akan ingat ini." Lintang mengangguk. Makan selesai. Sebelum pulang mereka akan mampir belanja. Lintang menghubungi Bu Renny dan menanyakan keperluan untuk toko, Lintang sekalian akan belanjakan. Segera mobil meluncur ke supermarket tak jauh dari kampus itu. Mengambil beberapa keperluan, tepung, telur, mentega, coklat, dan yang lainnya. "Selamat siang, Pak." Ada yang memanggil David. David menoleh seketika. "Hei, selamat siang." Senyum David mengembang melihat dua gadis lumayan manis di depannya itu. "Belanja, Pak?" ujar yang berambut pendek. "Iya, Selly. Antar istri. Kenalkan, istri saya, Lintang." David mengenalkan Lintang pada kedua gadis itu yang adalah mahasiswinya. "Halo ..." sapa Lintang ramah menyalami keduanya. "Selly ..." "Nena ..." Mereka mengenalkan diri. "Belanja juga?" tanya Lintang. "Iya, Bu. Sekal
Galeri sudah sepi. Tamu-tamu telah pergi. Para peserta dan juri juga tidak ada di sana lagi. Bahkan para pegawai sudah beranjak pulang. Hesty juga lebih dulu meninggalkan tempat itu, diantar Andrian. Tinggal Mito dan Listy berdua. "Listy, terima kasih banyak. Akhirnya apa yang aku bayangkan terjadi. Menyampaikan bahwa setiap orang pernah jatuh, luka, bahkan mungkin terpuruk. Tapi di sekitarnya ada hati yang bisa membuatnya bangkit lagi." Mito menarik tangan Listy. Dia memegang kedua tangan itu dengan hati penuh rasa terima kasih dan kelegaan. "Aku yang berterima kasih, Mito. Kamu yang jadi inspirasi buat aku bangkit lagi. Kamu ga lelah terus di sisiku. Aku juga sangat senang aku bisa lebih kuat sekarang." Listy tersenyum. Mito memandang wajah cantik Listy. Dia ingin sekali lagi meminta Listy mendampingi dirinya. Tapi dia masih belum yakin Listy akan bersedia. Dia harus lebih sabar. "Ayo, kuantar pulang," ajak Mito. Listy tidak bergerak. Dia masih berdiri dan menggandeng tangan Mit
David memejamkan mata. Nyaman sekali berdua begini bersama Lintang. Seperti tidak ingin yang lain lagi. Hari beranjak makin gelap pun tidak dia pikirkan. Sebab ketika sudah sibuk, semua menarik David penuh untuk kesibukan itu. Sama, Lintang pun seperti itu. "Kak, Ayah bilang dia mau cari ruko buat toko baru. Melebarkan sayap. Soalnya pelanggan yang di rumah makin ramai. Menurut kakak terlalu cepat ga?" tanya Lintang. Tiba-tiba ingat dengan pembicaraannya dengan Farid. David membuka mata. Lintang bicara ini beralih pada sesuatu yang serius. "Ayah kan bisa mempertimbangkan semuanya. Jika memang itu bisa baik ke depannya, kenapa tidak? Asal semua ga buru-buru memulainya," jawab David meyakinkan Lintang. "Iya, sih, Kak. Ayah bilang juga pelan-pelan. Dia mau survei dulu. Katanya mau melihat tempat yang tepat, strategis, dan mau lihat prospek ke depan gimana di sana. Baru melangkah untuk buka toko di luar rumah." Lintang masih memainkan rambut David. "Ayah benar, Alin. Aku sangat bersyu
"Baiklah, sampai di sini kelas kita. Tugas bisa dikumpul paling lambat dua minggu ke depan. Silakan merapikan meja kalian dan kemudian bisa meninggalkan ruangan," kata David mengakhiri kelas hari itu. "Pak, bisa minta waktu sebentar?" Ratri menyela. "Ya, bagaimana?" David menoleh pada Ratri. Gadis itu maju sambil membawa goodie bag agar besar. "Teman-teman!" Ratri berdiri menghadap ke teman-temannya. Seluruh kelas pun mengarahkan pandangan pada Ratri. "Hari ini ulang tahun Pak David, dan aku membawa kue ini untuk kita merayakan hari jadinya." "Wah ... iya kah? Hee ... selamat, Pak! Asyikkk ... kue ..." Kelas mulai ramai. "Tenang, tenang semua!" David meredakan kelas yang mulai heboh. "Wah, ini kejutan, yaa ... Saya sengaja diam-diam, loo ... Cuma mau acara sama keluarga," ucap David. "Kalau gitu, Pak David make a wish. Lalu tiup lilin. Terus bagi kue buat kita, haa ... haa ...!" seru Anjar. "Saya akan langsung potong kuenya saja. Segera kalian bagi-bagi setelah itu." David me
Jadwal David di rumah sakit hari itu tidak lama, hanya mengontrol beberapa pasien. Sore hari baru dia ke klinik. Siang waktunya cukup longgar, dia bisa punya waktu dengan Lintang. Sebelum jam makan siang, David tuntas dengan semua urusan di rumah sakit. Dia mengirim pesan ke Lintang. Sama, juga tidak ada respon. Dibaca pun tidak. "Gimana caranya meredakan istri cemburu ini? Aku kelabakan bener. Musti bikin apa coba?" David mengetuk-etuk HP-nya. HP David berbunyi. Berharap Lintang. Ternyata Diana yang menelpon. "Kenapa, Kak?" tanya David. "Bisa mampir ke rumah ga? Tio agak demam. Uda kasih obat tapi panas lagi." Suara Diana terdengar sedikit cemas. "Oke. Aku ke sana. Duapuluh menit sampai," kata David. Dia menutup telpon. Cepat-cepat David membereskan barang-barangnya dan berangkat ke rumah Diana. Begitu sampai dia langsung masuk kamar Tio. "Hai, ponakan Om kenapa ini?" David mendekat ke ranjang. Tio terlihat lesu. Padahal biasanya bocah tampan itu tidak bisa diam. Ada aja yang
Lintang memandang Diana, mendengar ucapan lembutnya yang sarat pesan buatnya. Lintang senang bisa mendengar lagi nasihat wanita penyayang itu. "Jadi, harus tetap siap kapan saja itu terjadi. Menyikapinya harus dengan benar juga. Agar hubungan ke arah yang lebih baik. Masalah boleh datang, bagaimana kita menyelesaikannya berdua, itu jadi kuncinya. Apakah untuk kebaikan bersama atau hanya ego kita karena ga mau terluka." Diana memandang Lintang. "Kak Di, apa Kak Dave cerita soal kami?" Lintang balik melihat Diana, ragu ingin mengatakannya. "Dia datang karena aku minta dia periksa Tio. Lalu aku tanya kamu bagaimana. Dia cerita, deh, kalian lagi berselisih," jawab Diana. "Aku jadi ragu, Kak. Apa benar Kak Dave ga ada apa-apa sama mahasiswanya itu? Aku takut aku akhirnya diduakan, lalu ..." Mata Lintang menatap Diana. Kegelisahan jelas terlihat dari tatapan Lintang. "Teruskan ..." minta Diana. "Kak Dave pergi. Aku takut kalau aku bicara dia akan marah. Aku juga ga tau apa dia sungguh
David berjalan cepat menuju ke tempat parkir, seusai mengajar. "Pak, boleh saya bicara sebentar?" Ratri mengejar David. "Hei, Ratri. Ada apa?" David menoleh. Berhenti melangkah dan melihat Ratri. "Ada hal yang sangat penting ingin saya sampaikan, Pak," kata Ratri, terdengar serius. "Oya? Soal apa?" tanya David. "Bisakah kita bicara di tempat lain? Bukan di kampus?" Sepertinya dia akan bicara urusan lain selain masalah kuliah. "Di luar kampus? Ini masalah pribadi?" tanya David lagi. Apa maunya gadis ini? "Pribadi, Pak. Saya minta waktunya." Ratri tampak sangat berharap. David berpikir. Iya atau tidak. Terima atau tidak. Sebenarnya dia longgar siang ini. Hanya ke klinik sore hari. Kalau dia tolak, Ratri akan terus mengejar. Kalau dia mau kasih kesempatan, jangan sampai menimbulkan hal yang tidak baik. Tapi, lebih baik diselesaikan secepatnya saja. Daripada berlarut-larut di kemudian hari. Ya, sepertinya itu lebih tepat dilakukan. "Baiklah, Ratri. Kamu tahu Kafe AEF? Kita ketemu
"Aku tahu. Tapi apa salah berharap mendapatkan lelaki seperti Dewangga," sahut Ratri. "Itulah makanya aku mengikuti kamu waktu kamu bilang akan bicara sama Pak David. Aku kuatir, kamu akan mengganggu rumah tangga orang. Kamu ini nekad juga." Dira terlihat kesal. "Aku ga bisa nunggu lebih lama. Aku rindu Dewangga. Aku melihat sosoknya pada Pak David. Cuma pria seperti itu yang aku perlu." Suara Ratri terdengar sendu. "Jangan mencari yang kamu bayangkan, minta petunjuk Tuhan kasih kamu orang yang tepat seperti apa," ujar Dira. "Kamu pikir aku tidak minta petunjuk?" Ratri menyahut lagi. "Menurut kamu Pak David yang Tuhan tunjukkan? Gila. Dia sudah beristri. Jelas itu ga bener," tegas Dira. "Kakakku sangat sayang kamu. Kamu saja ga mau buka hati." "Aku takut masuk lingkup keluarga Angkasajaya. Banyak kisah sedih soal keluarga besarmu itu. Aku memang kagum sama kakakmu, tapi hidup dengannya ... terlalu banyak aturan yang aku ga bisa terlibat di sana." Ratri bicara lebih keras. "Kelua
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini