Gia langsung lemas di dudukannya saat membaca pesan dari ponsel Alfonzo, Alfonzo yang melihat reaksi Gia pun segera meraih Gia ke dalam pelukannya ia memanggil France untuk membawa Theodore keluar agar anak itu tak melihat Gia yang tengah menangis saat ini. "Sst tenangkan dirimu, Gia," lirih Alfonzo dengan mengusap sangat lembut lengan atas Gia."B-Bagaimana bisa aku tenang? Bibi Marry, astaga ia tengah membutuhkanku, Al. Aku ingin ke sana sekarang juga," ucap Gia dengan menatap Alfonzo penuh permohonan."Ya, kita akan ke sana. Tapi kau tak boleh menangis seperti ini, Gia. Bagaimana jika Theodore bertanya mengapa kau menangis? Apa yang akan menjadi jawabanmu? Ia tak boleh tau dulu masalah Bibi Marry aku takut ia akan sangat sedih," ucap Alfonzo berusaha menenangkan."Aku sangat takut, bagaimana jika Bibi Marry_""Hentikan dulu, sekarang ganti bajumu aku akan mengubungi Sergio untuk menyiapkan jet pribadinya," ucap Alfonzo diangguki oleh Gia.Wanita itu berdiri dengan kakinya yang geme
Gia tetap menangis sedari dua menit yang lalu setelah mereka telah tiba di hotel yang di sewa oleh Alfonzo. Pria itu mendudukkan tubuh lemah sang istri ke sofa lalu memeluk Gia menenangkan. "Sst, ku yakin Bibi Marry sudah sangat bahagia karena telah bertemu dengan cintanya," bisik Alfonzo diangguki oleh Gia."Bagaimana caranya aku menjelaskan ini semua pada Theodore? Selama ini ia selalu bergantung pada Bibi Marry, sekarang apa yang akan aku jelaskan padanya, Al? Aku tak mampu," ujar Gia putus asa.Alfonzo mengangguk paham, ia mengusap sangat lembut kepala Gia. "Ia akan kuat, percayalah ia akan baik-baik saja," balas Alfonzo kembali menguatkan istrinya.Tiba-tiba obrolan mereka terhenti saat melihat sosok anak kecil dengan robot di tangannya yang tengah digendong oleh France, tapi yang membuat Gia langsung berdiri adalah wajah basah putranya. Ia langsung meraih tubuh Theodore dan menepuk punggungnya perlahan. "Hei ada apa dengan putra Mommy?" tanya Gia diakhiri ciuman lembut di kepala
Alfonzo kembali menurunkan tubuh Theodore dan segera keluar dari mansionnya memasuki mobil dan bergegas menuju kantor. Sesampainya di kantor, ia segera memasuki ruang pribadinya dan mulai memeriksa berkas-berkas di atas meja kerjanya. Alfonzo menggeser tubuhnya dan meraih ponsel guna menghubungi France, ia menekan salah satu tombolnya dan mulai berbicara. "France, masuk ke ruangan ku sekarang," perintah Alfonzo dan melepaskan tekanan tombolnya.Pria itu menunggu kehadiran sang asisten dengan menyatukan tangannya dan mengetukkan kakinya di lantai tak lama pintu berdercit dan menujukkan France dengan balutan jas biru navy-nya. "Anda memanggilku, Sig?"Alfonzo mengangguk mengiyakan. "Masuklah France," titah Alfonzo diangguki oleh France.Pria itu menjalankan kakinya dan berakhir di kursi yang berhadapan dengan Alfonzo ia menatap tuannya penuh tanda tanya pasalnya kemarin ia sudah menyelesaikan tugas dengan baik lalu mengapa tuannya memanggil di pagi hari seperti ini. "Ada apa, Sig?" tany
Alfonzo masih memeluk tubuh Gia dari belakang, mereka menikmati suasana yang indah di tengah laut. Sesekali mata mereka terpejam dengan Alfonzo yang mencerukkan wajahnya di leher Gia seraya mengecup wanita itu sangat lembut. "Sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Gia dengan mengusap sangat lembut lengan Alfonzo."Entah, kau bisa katakan apa yang akan kita lakukan?" tanya Alfonzo balik dibalas gelengan pelan dari Gia."Kita bisa berenang, maybe?""Kau ingin kita semua tenggelam di tengah laut seperti ini?" tanya Alfonzo membuat Gia berpikir."Memangnya kau tak bisa berenang?" tanya Gia dibalas gelengan pelan dari Alfonzo, pria itu melepaskan rengkuhannya dan menarik tangan Gia untuk duduk di kursi yang terletak di samping yacht.Gia menatap Alfonzo sesaat setelah ia menduduki kursinya. "Apa?" tanya Gia yang merasa sedikit risih, pasalnya Alfonzo menatapnya tanpa celah."Aku hanya tak ingin kau tenggelam Gia, kalau aku memang bisa berenang tapi untuk uji coba renang, laut tidak di
Roma Alfonzo menatap Gia yang tengah tersenyum manis di sebelahnya saat ini, dengan Theodore yang berada di dalam gendongannya Alfonzo melangkahkan kaki memasuki mansion tempatnya dan Gia dulu. Alfonzo menghentikan langkah kakinya saat mendengar dering ponselnya, pria itu menatap Gia dengan tatapan penuh penyesalan kemudian menghembuskan napas sesaat setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya. "France menelpon, mungkin hendak mengatakan sesuatu yang penting," ujar Alfonzo sedikit menyesal tapi ia tau pasti, France akan mengatakan suatu hal yang penting jika tidak asistennya itu tak akan berani menghubunginya pada saat bersama dengan Gia.Gia mengangguk paham akan situasi Alfonzo, wanita itu meraih tubuh Theodore dan mulai melangkah memasuki mansion meninggalkan Alfonzo yang langsung berbalik arah membelakangi pintu mansion dan segera menggeser ikon hijau. "France,""Sig, maaf menganggumu seperti ini tapi ini sangat penting, mengenai permintaanmu padaku waktu itu aku sudah d
Maxime terpaku di tempatnya berdiri sesaat setelah mendengar teriakan menggema dari Gia, ia menatap wajah cantik Gia dengan pandangan penuh kepercayaan. Batinnya kalut, dimana Gia yang lembut dulu?"Haruskah aku katakan padamu Max, aku tak akan membiarkan kau mengambil anakku!" sentak Gia dengan lelehan air mata yang menderas."Baiklah jika memang kau tak ingin aku mengambil anakku, maka kau pun harus ikut bersamaku, Gia," ucap Maxime tanpa tau malu.Gia menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Maxime. Ia menatap Maxime dan menghembuskan napasnya. "Haruskah aku mengikuti ucapan bodohmu itu Max? Atau haruskah aku tertipu lagi dengan kata-kata sialanmu itu? Sudah cukup kau membuatku terluka dan aku tak akan biarkan siapapun melukaiku lagi, jangan lagi katakan apapun Max, sudah cukup," ucap Gia dengan penuh kesedihan di matanya.Rasa sakit datang bertubi-tubi seakan menghantamnya tanpa jeda dan Gia lelah menghadapi semua ini, dimana letak kebahagiaan yang Tuhan ciptakan untuknya? Sebegit
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo langsung bergegas dan meninggalkan meeting yang sedang berjalan saat mengetahui keadaan istrinya yang konon pingsan di lobby, pria itu segera bergerak dan menuju ke ruangannya untuk bertemu dengan Gia. Tapi sebelum benar-benar memasuki ruangannya, Alfonzo justru bertabrakan dengan France. "France! Apa kau tak bisa melihat dengan benar, huh?!" sentak Alfonzo yang mulai terpancing karena kepanikan yang menderanya."Sig, maaf aku tak bermaksud begitu. Tadi aku berlari karena tau jika Nyonya pingsan dan kau pasti butuh bantuan ku, jadi apa yang bisa aku bantu Sig?" tanya France begitu mengerti kondisi yang sedang berlangsung.Alfonzo mengangguk dan ia menepuk bahu France bangga. "Bagus, sekarang kau ambil flashdisk yang ada pada Gia.""Maksud mu ini, Sig? Aku menemukannya di lobby dan segera membawanya.""Ya benar, sekarang kau menggantikan ku di ruangan meeting. Semua materi ada di dalam flashdisk itu ku harap kau mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, France.""Yes Sig." F
Five Years Later ...."Mommy! Kemarin Theo bertemu dengan Gerrardo, dia mendapatkan adik barunya, kapan Mommy akan memberikan aku adik baru seperti Gerrardo? Kata Papà-nya Gerrardo aku bisa meminta adik baru kepada Mommy dan Papà, aku takut pada Papà jadi aku meminta kepadamu, jadi kapan Mom?" tanya Theodore dengan mata yang berbinar. Sedangkan Gia sendiri seakan tak bisa mengatakan banyak hal selain merasa gugup dan juga sedih dengan pertanyaan yang diberikan oleh Theodore. Memang Gia sudah lama mengharapkan kehadiran sang anak kedua setelah kejadian lima tahun yang lalu, Theodore bahkan selalu meminta untuk mendapatkan teman yaitu sang adik, tapi Alfonzo selalu memberikan harapan, dan Gia cukup lelah sebab ia merasa sering dikecewakan. Ia sering terlambat mendapat tamu bulanannya, tapi selalu saja tak seperti apa yang di harapkan. "Theo, maafkan Mommy. Mommy juga tidak tau kapan adik kecil Theodore akan datang tapi mungkin sebentar lagi.""Mommy selalu berkata sebentar lagi terus m
"We have to stop this." Gia tersadar dan ia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Alfonzo. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alfonzo masih menggenggam tangan suaminya tersebut."Kau benar, ayo naik lagi." Alfonzo membalas ajakan Gia dengan senyum tipisnya, keduanya segera kembali ke lantai utama dimana kamar Theodore berada.Sesampainya di depan kamar Theodore, Alfonzo menghentikan langkahnya dan menatap Gia. "Aku harus bertemu dengan France untuk membicarakan beberapa hal, tak apa jika aku tinggal?""Tentu saja kenapa aku bermasalah dengan itu?"Alfonzo tersenyum, ia mencium kening Gia sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan France dan membahas mengenai dunia gelapnya. "France!" seru Alfonzo memanggil sang asisten, tak lama yang dipanggil pun akhirnya datang dan berhadapan langsung dengan sang tuan."Ada yang bisa aku lakukan untuk mu, Sig?" tanya France dengan menundukkan kepalanya penuh hormat kepada Alfonzo."Kita ke markas sekarang."
Alfonzo melepaskan pelukannya dari tubuh Gia, ia menatap sang istri dengan penuh cinta lalu menggenggam tangannya erat mengecupnya begitu lembut penuh dengan kasih sayang. "Kita harus kembali ke pesta, sebelum nanti ada yang menyadari ketidakhadiran kita berdua."Gia mengangguk mengerti dengan apa yang di maksud oleh Alfonzo, ia pun segera mendirikan tubuhnya keduanya berjalan beriringan menuju ke taman dan kembali menyambung keceriaan pesta ulang tahun sang anak. Tak lama Leonardo dan Florence datang menghampiri Alfonzo dan juga Gia. "Hei aku sudah mencari kalian dari tadi tapi tak dapat menemukan kalian, dari mana kalian berdua?" tanya Florence penasaran."Well, kami hanya berbicara sesuatu hal di bagian belakang, Flo," jawab Gia diiringi senyum manisnya.Florence tersenyum manis ia mengusap bahu Gia. "Putramu sangat tampan, Gia. Dia menuruni warna mata Alfonzo," ucapnya memuji ketampanan putra Gia."Terimakasih banyak Flo, sama seperti Theodore yang mewarisi warna mata Alfonzo, put
"Mom, where is my birthday present?"Gia tersadar dari lamunannya dan ia segera mengalihkan fokusnya yang semula terpaku pada taman yang ada di depan mansion, ia tau harusnya ia tak mengalihkan fokusnya dari ulang tahun Theodore tapi memang akhir-akhir ini ia selalu saja kehilangan fokusnya tanpa sadar. "Sorry honey, Mommy tak sengaja. Sebentar, Mommy ambilkan spesial untuk mu," ucap Gia seraya mendirikan tubuhnya ia menyentuh kepala Theodore sebelum akhirnya berlalu memasuki mansion meninggalkan para tamu undangan yang tengah berbahagia di ulang tahun Theodore yang ketiga.Sementara di sisi lain Alfonzo bisa merasakan keanehan pada Gia, ia sadar sejak dua bulan yang lalu tepatnya semenjak Gia tau bahwa ia kehilangan bayinya ia berubah secara perlahan menjadi pendiam, Gia sering sekali melamun dan kehilangan fokusnya tapi Alfonzo bisa apa, sudah ribuan kali ia menghibur Gia tapi Gia tak juga bisa move on dari kejadian pahit itu. "Hei, ada apa Al? Kenapa terdiam menatap Gia seperti itu
"NO!!" Gia berteriak sesaat setelah melihat Alfonzo yang masih belum bangun dari simpuhannya tapi tetap di tendang dengan kasar oleh Xavier.Davis tak dapat berbuat banyak, pria itu sibuk membidik musuhnya hingga tak melihat kondisi Alfonzo yang benar-benar sudah berada di titik terendah. Gia menggeram marah saat kedua cekalan di tangannya semakin erat ia menatap kedua anak buah Alfonzo dengan mata merah dan penuh air matanya. "Lepas! Kau ingin Tuanmu mati disana, huh! Kau gila! Lepaskan aku!" sentak Gia tajam.Kedua The Devil itu menundukkan kepalanya ia terlalu patuh terhadap perintah Alfonzo yang akhirnya membuat ia diam tak berkutik dan hanya bisa menjaga Gia tetap aman. "Kami tak bisa lepaskan Nyonya apapun yang terjadi sesuai dengan perintah Tuan," ucap salah satu The Devil yang mencekal lengan Gia.Gia menggelengkan kepalanya. "Dasar bodoh!" sentak Gia.Sementara Alfonzo, pria itu sudah tak bisa lagi untuk fokus. Telinganya berdenging dan pandangannya memburam ia tak bisa melih
"Welcome, Al." Suara berat seseorang terdengar membuat Alfonzo mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada Theodore kini menatap asal suara."Xavier?""Ya, i am," jawab Xavier dengan senyum tipisnya.Alfonzo mengepalkan kedua telapak tangannya erat saat pria itu semakin menodongkan ujung pistolnya di kepala anaknya. "Jangan sakiti dia, Xavier. Atau aku akan menbunuhmu saat ini juga," desis Alfonzo tajam."Nyatanya kau tak bisa melindungi istri dan anakmu, sama seperti istrimu yang dulu."Alfonzo mengetatkan rahangnya lalu mendekati Xavier. "Kau pelakunya? Kau yang membunuh Agatha?!" sentak Alfonzo tajam.Tawa Xavier menggelegar setelah mendengar sentakan dari Alfonzo, pria itu melepaskan ujung pistolnya dari kepala Theodore lalu melemparkan anak itu ke salah satu anak buahnya. "JANGAN SAKITI DIA BRENGSEK!" teriak Alfonzo menahan marah.Xavier menganggukkan kepalanya kemudian mendekati Alfonzo ia menatap pria itu dengan smirk di ujung bibirnya. "Aku tak akan mengincar garis ketur
Gia semakin mengeratkam pelukannya pada Theodore sesaat setelah mendengar bunyi tembakan dari jarak dekat apalagi kini bisa Gia lihat perlahan pintu terbuka sedikit demi sedikit menampilkan sepatu hitam dengan langkah kaki perlahan dari seseorang. Gia paham betul itu bukan Alfonzo oleh karena itu tubuhnya tidak berhenti menggigil. "Hai," sapa orang itu dengan suara rendahnya. Gia semakin mengertakan pelukannya pada Theodore mencoba melindungi anak itu di dalam dekapannya.Tak lama langkah kaki dari beberapa orang terdengar dan kini gerombolan orang terlihat, mereka menatap Gia dan Theodore saling bergantian. "Bring them," ujarnya membuat Gia kalut dan menatap sosok di hadapannya pria itu memakai topi yang menutupi setengah wajahnya hingga Gia tidak terlalu jelas melihat wajah pria itu.Akhirnya pelukan Gia di lepas secara paksa oleh orang-orang tadi, ia berusaha menggapai Theodore kembali tapi orang-orang tadi terlalu kencang meremas tangannya dan Gia tak tau lagi harus bagaimana meny
Alfonzo seakan tersadar dari sisi gelapnya, ia menatap wajah lelah Gia lalu mengalihkan tatapannya menatap punggung Theodore yang bergetar karena menangis saat ini. "Hentikan, kalian membuatnya takut. Tolong biarkan kami pergi dan silahkan saling membunuh aku tak perduli" lirih Gia dengan meremas jas yang Alfonzo pakai."Gia aku tak mendengar mu, maaf," ucap Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.Wanita itu membalikkan tubuhnya menatap Maxime kemudian.Plak!"Jika kau datang hanya untuk membuat kerusuhan dan membuat hidupku bertambah sakit, lebih baik kau pergi karena kau berhasil. Dan tolong Max, berhenti mengganggu hidupku dan putraku. Hanya ia yang tersisa diantara harapanku, jangan membuatku bertindak di luar logis saat kau mengambilnya karena aku tak akan izinkan. Pergilah jika kau sudah puas menyiksaku," lirih Gia dengan kesedihan di matanya.Maxime menggelengkan kepalanya tak membenarkan ucapan Gia. "Jangan berkata seperti itu, Gia. Aku tak bermaksud untuk mengacaukan hidupmu