"Kalau begitu sampai jumpa besok." Cindy mengakhiri teleponnya dengan Rose begitu Chris masuk ke dalam kamarnya.
Masih mengenakan jasnya, pria itu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan mata dan memijat keningnya yang terasa berdenyut. Hal itu tidak luput dari pandangan Cindy.
"Ada apa?" tanya Cindy kembali mengambil kapas baru untuk membersihkan wajahnya.
"Tidak."
Cindy menghentikan gerakan tangannya dan menatap Chris dari pantulan cermin, "Tidurlah jika lelah. Ini sudah malam."
Chris seketika membuka mata dan bergerak mendekati Cindy. Pria itu berdiri di belakangnya dan meremas bahunya pelan. Jantung Cindy seketika berdetak kencang. Dia kembali fokus membersihkan wajahnya tanpa memperdulikan Chris yang masih menatapnya lekat dari cermin. Sungguh, jika sekali saja Cindy menatap mata tajam itu, fokusnya akan langsung hilang. Oleh karena itu dia harus menyibukkan diri agar tidak terjebak dalam mata tajam itu.
"Siapa yang kau hubungi
Cindy menuntun tubuh Caleb untuk memasukipenthouse. Sedangkan Chris hanya mengekor di belakang. Dia tidak akan angkat bicara jika Caleb sendiri memilih untuk diam. Mungkin masih ada dendam di hati pemuda itu."Kenapa kau membawaku ke tempat ini? Aku ingin pulang."Cindy menggeleng tegas, "Kau akan di sini selama Ibu masih di rumah sakit.""Aku bisa menjaga diriku sendiri." Dengan perlahan Caleb melepas rangkulan Cindy dan menatap Chris datar.Cindy mengulum bibirnya resah saat merasakan aura permusuhan dari diri Caleb dan Chris.Well,dia tidak menyalahkan Caleb sepenuhnya jika dia masih memendam amarah untuk keluarga Auredo. Namun Cindy tahu jika Chris itu berbeda, pria itu mencintainya."Apa yang kau lakukan pada kakakku?" tanya Caleb masih menatap Chris."Caleb, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini. Kau harus istirahat agar bisa menjaga Ibu nanti." Cindy menarik lengan Caleb untuk pergi k
Cindy tersenyum saat melihat Ibunya tengah tertawa bahagia bersama Caleb. Adiknya itu sudah pulih dan saat ini mereka juga sudah tinggal di apartemen pemberian Chris. Tentu saja Caleb dan Ibunya bertanya-tanya, bagaimana bisa mereka tinggal di tempat seperti ini? Namun Cindy lagi-lagi harus berbohong jika ini adalah fasilitas yang bosnya berikan. Caleb sendiri tidak banyak bicara, dia lebih memilih untuk menurut jika memang itu yang terbaik."Biarkan aku yang melakukannya, Bu. Kau diam saja di sana." Caleb mengambil alih teh dari tangan Ibunya dan meletakkannya di atas meja dapur.Cindy lagi-lagi tersenyum melihat pemandangan indah itu. Akhirnya dia merasakan rasa ini lagi. Dia kembali berkumpul bersama dengan keluarganya. Keadaan akan lebih baik jika Chris juga berada di sini, tapi tidak! Ini bukanlah waktu yang tepat. Setidaknya sampai Ibunya melakukan terapi dan tidak mengandalkan kursi roda lagi."Buatkan aku susu, Caleb."Caleb berdecak, "Tidak ada s
Perjalanan dariPenthouseChris menuju apartemen Ibunya tidak begitu jauh. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dengan berkendara. Seperti yang Cindy lakukan sekarang ini, berada di dalam mobil bersama supir yang Chris berikan tadi pagi. Sebenarnya Cindy tidak membutuhkan semua fasilitas ini, namun Chris dengan keras kepalanya ingin meringankan beban Cindy. Bukannya dia tidak menghargai pemberian Chris, hanya saja alasan apa lagi yang harus dia berikan pada Ibunya? Jika Chris terus memperlakukan dirinya secara istimewa seperti ini, bukan tidak mungkin Ibunya akan curiga.Cindy masih melamun saat tiba-tiba mobil melaju dengan cepat. Lamunannya seketika buyar dan menatap supir yang terlihat mulai berkeringat. Kenapa? Ada apa dengan pria itu? Supirnya terlihat tegang dan terus melajukan mobilnya kencang."Apa yang terjadi?" tanya Cindy panik.Pria paruh bawa itu menatap Cindy resah, "Seseorang mengikuti kita, Nona."Seketika Cindy melihat
Lexa terdiam saat telah selesai mengutarakan niatnya pada wanita tua yang sangat dia hormati. Wajahnya yang sembab karena menangis tidak menghentikan keputusannya untuk mundur. Lebih baik dia merasakan sakit hari ini dari pada nanti yang pastinya akan jauh lebih parah."Kau yakin dengan keputusanmu?" tanya Nenek Chris meminum tehnya pelan."Aku yakin, Nek. Tidak ada harapan untuk hubunganku dengan Chris. Dia sangat mencintai Cindy.""Dan kau menyerah?"Lexa tersenyum miris dan menggeleng, "Bukan menyerah, aku hanya sadar diri jika Chris tidak akan pernah menerima kehadiranku. Semua ini berawal dari hubungan timbal balik. Kau membantu karirku dan cucumu mendapat pendamping yang sepadan menurutmu.""Kau tahu apa yang terjadi jika kau mundur, karirmu akan hancur."Lexa tahu itu. Tentu saja dia telah berpikir jauh sebelum mengambil keputusan. Jauh di dalam hatinya dia memang masih ragu karena dia juga memiliki perasaan untuk Chris. Namun logikan
"Terima kasih."Chris mengangguk dan kembali meraih piring makan setelah sebelumnya memberikan segelas air pada Cindy, "Cepatlah sembuh lalu kita akan pergi jauh dari tempat ini."Cindy tersenyum kecut, "Jika kau membawaku pergi, kau juga harus membawa Caleb dan Ibuku.""Tidak masalah." Chris mengedikkan bahunya acuh.Cindy tersenyum dan kembali memakan makan siangnya. Dia bertekat akan kembali pulih dengan cepat. Ia sudah sangat merindukan Ibunya. Entah apa yang Caleb katakan pada wanita itu, yang pasti Cindy tidak ingin membuat wanita itu khawatir lagi. Lagipula dia juga ingin melihat Ibunya yang sudah bisa berjalan.Tangan kiri Cindy terangkat dan bergerak mengelus wajah Chris. Ibu jarinya terhenti di sudut bibir pria itu, tepat pada luka dari tangan Caleb. Sudah memudar, namun masih terlihat lebam."Kau tidak membalasnya," gumam Cindy kembali membuat Chris mendesah tidak suka."Caleb tidak salah." Chris meraih tangan kekasihnya da
Kedua tangannya terkepal, Chris keluar dari rumah sakit dengan perasaan yang bergemuruh. Makanan hangat yang sempat dia bawa sudah ia lempar entah ke mana. Hanya satu yang ingin dia lakukan sekarang, yaitu berteriak di depan wajah Cindy. Bagaimana bisa wanita itu mengambil keputusan secara sepihak dan diam-diam seperti ini?Ponsel Chris sedari tadi tidak berhenti untuk menghubungi semua orang, dan jawabannya tetap sama. Tidak ada yang mengangkat teleponnya.Sialan!Begitu banyak teori yang bermunculan di kepala Chris. Apa benar Cindy pergi dengan sendirinya atau ada seseorang yang menginginkannya pergi? Jika opsi kedua yang terjadi, maka Chris tidak peduli lagi dengan apapun, nyawa bisa dia pertaruhkan untuk membawa Cindy kembali ke pelukannya."Di mana kau?" geram Chris mempercepat laju mobilnya untuk sampai di suatu tempat.Begitu telah sampai, dia memarkirkan mobilnya dengan sembarangan dan masuk ke dalam ked
Teh hangat merupakan pilihan yang tepat di pagi hari. Ini adalah teh terakhir Cindy karena stok yang diberikan Rose telah habis. Niat ingin membeli harus pupus karena Rose yang melarangnya untuk ke luarflat-nya. Cindy tidak tahu apa alasannya, mungkin itu juga untuk keselamatannya agar Chris tidak menemukannya.Mengingat Chris, senyum kecut terukir di wajah Cindy. Apa pria itu mencarinya? Cindy tidak tahu. Rose selama berkunjung juga tidak membicarakan pria itu sama sekali. Bahkan terlihat emosi ketika Cindy mengungkitnya. Wanita itu benar-benar marah dengan apa yang Chris lakukan. Menyiapkan pernikahan secara diam-diam hingga menyebar
Cindy mengeratkan jaketnya dan berjalan cepat ke luar gedung apartemen. Plastik sampah yang dia bawa telah mengeluarkan aroma busuk. Dia tidak bisa menahannya lagi di dalam rumah, atau tempat yang sudah kumuh itu akan menjadi lebih kumuh lagi. Meskipun tempat sampah berada di belakang gedung, namun Cindy masih khawatir jika ada yang mengenalinya. Dia sudah menjadi buronan polisi sekarang tanpa adanya tindak kriminal yang dia lakukan.Chris benar-benar gila! Apa dia pikir dengan seperti ini dirinya akan kembali? Yang ada malah Cindy akan semakin lari menjauh. Membayangkan dinginnya lantai penjara membuat tubuhnya bergidik ngeri.Cindy mengumpat saat tubuhnya jatuh begitu saja menghantam lantai. Dia melihat pria yang menabraknya dengan tatapan kesal. "Lihat langkahmu, Paman.""Kau yang lihat-lihat!" Pria tambun itu menutup pintu kamarnya dan berlalu menuju tangga. Satu-satunya akses untuk keluar dari gedung ini.Cindy menepuk tangannya untuk menghilangkan d
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a