"... Cerita ini hanya fiksi awang-awang ..."
~ Aru ~
.
.
"Tetaplah disampingku, Bi. Karna aku tak yakin bisa melewati ini semua tanpamu..."
'Is this for real?! Darn, hatiku rasanya mekar dengan sangat baik. Akhirnya!'
"Kumohon jangan pergi− "
Tunggu dulu! Tunggu dulu!!
'Kenapa kalimatnya terdengar janggal, ya? Kenapa juga aku harus pergi, jika dia akan memilihku? Kenapa??'
"Tetaplah disampingku dan... "
"Dan?"
"Tetaplah jadi teman terbaikku!"
PAHIT.
OH GOD!
Sungguh indah caranya menyanjung, hingga kukira aku sedang terbang tinggi bersama angin musim semi, tapi ternyata angin musim gugurlah yang datang dan menerbangkanku tinggi, hanya agar bisa menjatuhkanku sempurna ke tanah.
Andai saja kalimatnya berakhir titik tepat sebelum kata 'dan' muncul dan menyusul untuk memberi jeda
"... Apa cinta bisa diukur dengan cium ..."~ Ara ~.."Jadi BEGINI saja AKHIR KITA? Kau akan MEINGGALKAN ku begini? KAU akan MENYINGKIRKANKU setelah TIDAK LAGI KAU butuhkan, BEGITU?! KAU INGKAR JANJI RU!" makiku emosi dan berbalik pergi, tapi Aru yang jadi menahanku."Ara, JANGAN MEMBALIK FAKTA!!! Kau yang meninggalkanku dan memilih dia, JADI AKU PERGI!""Tidak bisakah KITA BERTEMAN?""WHATT?? BER-TE-MAN?! Buat apa lagi?! Keputusan mu sudah cukup jelas bagiku. Aku yakin kau tak perlu teman sepertiku. I'm not a good person for you. Anymore!"Aku menatapnya tak mengerti."Semua wanita baik menginginkan pria yang baik. Lupa? Kau tak memilihku. Artinya, aku tak cukup baik bagimu, kan! Jadi untuk apa juga kita berteman? KITA TAK AKAN BERTEMAN RA!! NO, NEVER!"Aru berbalik dan hendak pergi tapi aku balik menahan langkahnya."Tidak bisakah itu menjad
"... Kita memasuki babak perang cinta..." ~ Aru ~ . . "ARU, KAULAH yang selalu RAGU AKAN CINTAKU PADAMU selama ini, BUKAN AKU!! You know what, I'm just trying to give you what you really want, MOST!!!" tekannya padaku, membela diri. "Jadi JANGAN LAGI MERAGUKAN TIMBANGAN CINTAKU PADAMU, jika kau tak tahu semua itu dengan tepat, ARU!" Aku mendengus tak percaya. "Bagaimana aku tidak ragu? Kau biasa bilang, NO! MOST ALL THE TIME, RA!! No is your favorite answer to me. Bagaimana bisa kau berubah semudah ini sekarang? KENAPA? KASIHAN!?" "IT'S YOU ARU! IT IS YOU!! I changed my mind it's because of you, Aru!" Mata baranya menegas, menekankan jawabnya yang tak main-main. Aku mengelak mempercayai belaannya. Jelas dia bukan versi Ara yang ku kenal. Dia adalah versi Ara yang akan menikah dengan orang lain. Yang rela melepasku dengan pertaruhan apapun. Ara tak akan rela melepas sisi egoisnya dan keras kepalanya hanya karena kata cinta. Dia bukanlah tipe orang yang bisa melemah hanya deng
"... Mencintai dua orang dalam satu hati, tidaklah mudah ..."~ Ara ~..Aku masih sukar menepis kesepian, dan bergulat menyingkirkan pikiran sedih ini dari 25 hariku tanpanya. Hampir sebulan dan dia masih sama saja, menghindariku. Masih menutup diri dariku. Sikapnya jadi jauh dari hangat. Sepertinya kali ini dia sungguh-sungguh ingin menjadikanku musuhnya. Aku lelah membujuk, berdamai padanya sedang dia seperti tak mau lagi mengenalku, hingga tangispun sering menjadi teman sunyiku.Benar katanya, kami tidak baik terpisah. Tapi aku tak bisa memilihnya, sekalipun aku ingin memilihnya. Karena bagiku, tak ada restu orang tua itu seperti menjalani hidup dalam sekap bayang-bayang hitam. Selain memicu sesak nafas dan rasa takut, itu juga memberi beban ketidak tenangan jiwa."Maaf, aku tak bisa memilihmu, sekalipun aku ingin. Aku hanya tidak bisa..."Pedih itu hadir kembali, mengusik hati yang masih gamang. Dan disaat seperti inilah aku berlari pada Tasya. Berharap dia bisa menghibur gulan
"... I love you, itu perasaan bukan bualan ..."~ Ara ~.."Makan sendiri tidak terlalu enak, Aru!""Makan denganmu lebih tidak enak lagi. Maksudku, makan dengan MANTAN lebih tak enak lagi rasanya tauk!"Aku menatap lelah. Malas mendengar hal semacam itu keluar lagi jadi sinis yang mengusik telinga."Harusnya, jawab saja agar kita punya tenaga lagi untuk bertengkar. Itu lebih mudah diterima daripada alasan apapun juga, saat ini. Bagiku""TERSERAHLAH!"Kutarik satu mangkok dengan dorongan kesal. Menyantap laksa dengan banyak air mata, menikmati kebersamaan yang kini terasa MEMUDAR di depan mata.Satu seruputan lagi, air mataku meleleh terbawa arus perasaan yang kian campur aduk jadi satu kesatuan, antara takut kehilangannya tapi juga harus merelakan. Antara rindu tapi juga lelah dengan sikap dinginnya yang tak mereda. Sedangkan waktu kami makin singkat dan terbatas.Aku sungguh merindukan sosok Aru yang biasanya hangat, ramah, penuh cinta.'Cinta?' Bukankah aku baru saja memutusnya.
"... Sejak kau tumbuhkan cinta lain dihati, dimensi cintamu berubah ..." ~ Aru ~ . . Remang hadir lagi dalam pandangan Ara, setelah aku meluruskan apa yang kurasa telah bengkok dalam pandangannya. "Kau lupa, Ra?!" "Kau lupa jika itu bagian dari perasaanku! Itukah kenapa kau tak membalasku? Atau kau tak membalasnya sebab itu bukan lagi perasaanmu padaku?" "Buk− " "It's okay. It's okay! Aku memang tak seharusnya menuntutmu mengatakan hal yang sama. Jika− Jika kau memang tak lagi merasakan hal yang sama padaku. Aku paham. Aku tak harusnya egois meminta hal yang sama padamu..." 'Apa karena aku terlalu menuntut? Karena itu kau memilih untuk memilihnya?' "Bisa kita pulang sekarang?" Aku kehabisan keberanian dan nyali. "Dan ini, bisa kau urus pembayarannya dulu? Aku yang akan traktir kali ini, tapi... pinjam uangmu dulu ya! Aku
"... Akan ada waktu baik saat berusaha ..." ~ Ara ~ . . Aku terus menghitung waktu hampaku. Enam belas hariku mulai di-isi sesal dalam tangis dan renungan. Aru tak pernah muncul lagi kemari, meski aku telah meminta Zein mengijinkannya. Tujuh belas hariku berjalan suram. Dia masih menyenyapkan diri. Aku tahu, mungkin itu karena dia masih marah dan terluka. Jadi aku memberi jeda untuk tak kesana, berharap dengan begitu dia punya ruang untuk merindukanku. Tapi 18 hariku terkurung dalam pesimis membuatku tak nyaman lagi hanya diam. Akupun jadi mudah menangis, teringat dia. Sementara seisi rumah ini terisi penuh dengan bayangannya. Tapi Aru tetap sedingin es beku, tetap memblokirku. Tetap tak lagi peduli aku. "Bagaimana harus kujalani hariku tanpa mu besok?" Percakapan waktu itu muncul lagi dari keheningan. "Itu tak akan terlalu sulit bagimu, Ra. Kau akan memulai cinta baru dengannya. Mudah bagimu melupakanku. Tapi... bagaimana denganku?" Ya, bagaimana denganmu? Kau hanya selal
"... Kau menukar kesetiaannya dengan patah hati ..." ~ Ara ~ . . Dua jam berselang dari pesan-pesan yang ku kirim. Tasya akhirnya menghubungiku. "Hey, everything still be okay without Aru, okay! Kau akan baik-baik saja!" katanya bahkan sebelum sapa halloku terucap. But I'm not okay. Aku buruk. Dan merasa bersalah. "Aku merasa tak lagi bisa menghadapi ini tanpanya. Aku total kesepian. Sekaligus rindu parah. Tapi aku takut menemuinya. Aku hilang pegangan tanpanya, Sya" "Ara aku tahu, rindu adalah bagian paling berat yang harus dihadapi saat ini. Tapi kau juga harus ingat jika ini juga hanya bagian dari proses. Kau semakin dekat dengan keberhasilan mu" "Mmm" "Ara, kau hanya perlu membiasakan diri tanpanya. Bukan berarti tanpanya kau tak bisa" Aku mengangguk, lega mendenarnya. "Paham?" Bodoh. Kenapa aku menga
"... Pisah adalah sekat untuk menahan diri dari kedekatan lagi ..."~ Masih Ara ~..Aku hancur dalam kalimat jujur Tasya."Ara, kau menyiapkan kuda-kuda untuk mundur dari cinta Aru. Tapi tak pernah cukup berani mengatakannya sendiri. Kau hanya selalu mununggu waktu dan waktu. Apa kau pikir itu adil untuknya? APA KAU PIKIR ITU TIDAK SAKIT BAGINYA?""Cukup Sya!""Aru hanya mencintaimu, tapi ganjaran dari rasa cintanya padamu hanya rasa sakit. SUNNGGUH IRONIS. PAHAM? KAU PAHAM KENAPA DIA TAK INGIN JADI TEMANMU? Itu karena cintanya berubah jadi derita MENYAKITKAN!""CUKUP SYA!"Aku masuk kejurang perasaan tersakitku.Benar, selama ini hanya aku yang terus egois memaksakan kehendak diri. Aku egois karena ingin semua ini berakhir baik-baik saja tanpa merelakan apa-apa hilang dariku. Aku ingin semuanya tetap dekat denganku. Tapi itu tak mungkin."You mess with the wron
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda