"... Akan ada waktu baik saat berusaha ..."
~ Ara ~
.
.
Aku terus menghitung waktu hampaku.
Enam belas hariku mulai di-isi sesal dalam tangis dan renungan. Aru tak pernah muncul lagi kemari, meski aku telah meminta Zein mengijinkannya.
Tujuh belas hariku berjalan suram. Dia masih menyenyapkan diri. Aku tahu, mungkin itu karena dia masih marah dan terluka. Jadi aku memberi jeda untuk tak kesana, berharap dengan begitu dia punya ruang untuk merindukanku.
Tapi 18 hariku terkurung dalam pesimis membuatku tak nyaman lagi hanya diam. Akupun jadi mudah menangis, teringat dia. Sementara seisi rumah ini terisi penuh dengan bayangannya.
Tapi Aru tetap sedingin es beku, tetap memblokirku. Tetap tak lagi peduli aku.
"Bagaimana harus kujalani hariku tanpa mu besok?"
Percakapan waktu itu muncul lagi dari keheningan.
"Itu tak akan terlalu sulit bagimu, Ra. Kau akan memulai cinta baru dengannya. Mudah bagimu melupakanku. Tapi... bagaimana denganku?"
Ya, bagaimana denganmu? Kau hanya selalu punya aku di hatimu?
"Bagaimana denganmu?"
"Entah. Mungkin aku hanya harus mulai dengan menghapusmu"
"Kenapa harus menghapusku?"
"Agar aku kuat!"
"Kau kuat tanpa harus menghapusku!"
"Tidurlah. Aku pergi setelah kau tidur"
Aku tak mau.
Aku mengapit wajahnya. Menatapnya dengan berat. Dengan hati terluka. Dengan banyak permohonan dalam diri. Tapi tiap kali menatapnya begini aku jadi hilang konsetrasi. Aku lupa akan apa yang ingin kusampaikan.
"I'm sorry"
Entah kenapa hanya kata itu yang selalu menyisa keluar. Mungkin sebab rasa tak enak hati. Mungkin karena aku takut melukainya dan lalu kehilangannya.
"Tak perlu meminta maaf, Ra. Aku selalu lebih dulu memberinya"
"Semuanya?"
"Semuanya"
Aku tahu itu. Dia memang pemaaf. Tapi aku takut maafnya habis karena aku terus melukainya bahkan saat tanpa sengaja.
"Then stay in my side, please!"
Matanya berbinar senang, tapi siratan berikutnya memperlihatkan ketegaran yang dia antisipasi.
"Aku tidak ingin kita berakhir buruk. Jadi tetaplah didekatku, kumohon! Kita bisa berteman baik kan?"
"Kau selalu membuat ini jadi rumit"
"Tidak Aru! Aku membuat ini lebih mudah bagi kita. Selama ini, semua menjadi lebih mudah karena kita tetap bersama-sama. Selama kita bersama, aku yakin kita bisa melewati semuannya. Serumit apapun itu"
"Apa itu artinya kau akan meninggalkan dia untuk tetap bersamaku?"
Aku pucat tak bisa mengeluarkan jawab.
"Tidak? Tentu saja tidak!" dia kecewa.
"AKU TAK MAU JADI TEMANMU!" dia jadi marah, "Bahkan sampai KIAMATPUN AKU TAK MAU!"
"ARUUU KENAPA DENGANMU??" aku tak menyangka dia akan sekeras ini, "APA AKU SUNGGUH SEBURUK ITU??"
"Aku akan membesarkan hati menerima pilihanmu. Tapi kau harus membesarkan hati juga untuk tidak lagi mencariku"
"Maksudmu?"
"Jangan menghubungiku. Jangan juga bertanya kabarku. Jangan pernah lagi meminta maaf padaku. AKU MUAK!!"
Aku menggeleng-geleng tidak sanggup. Tapi lidahku terbungkam kaku dalam tangis beku.
"Ah, JANGAN SEBUT NAMAKU, JANGAN PULA MENYAPA... bahkan jika kita tak sengaja bertemu dimanapun itu! ANGGAP KITA TAK SALING MENGENAL!"
"Hapus kontakku. INILAH PILIHANKU RA. SUKA TAK SUKA, TERIMALAH JUGA. INI ENDING KITA!"
Hatiku terasa nanar dan memar.
"Aru jangan se..seperti ini. Aku..., aku tak bisa! Jangan...!! Jangan menghukumku se...sebanyak ini..." kataku terbata.
"TETAP KITA AKAN MENJALANI INI PERSIS SEPERTI ITU! Karena apa? Karena bagiku menjadi MUSUHMU saat ini JAUH LEBIH MUDAH daripada jadi TEMANMU. Jadi jaga jarakmu setidaknya satu meter dariku agar kita terhindar dari saling menyakiti begini!"
"KENAPA KAU JADI BEGINI JAHAT?!!"
"KAU YANG MEMULAI INI LEBIH DULU!"
"Tapi AKU TAK bermaksud MELUKAIMU!"
"BUT YOU DID IT TO ME TOO WELL!"
"I'M SORRY"
"SIMPAN MAAF PALSUMU ITU! SUDAH KUBILANG AKU TAK MAU DENGAR!! KENAPA KAU TAK PERNAH BISA PAHAM BAHASAKU SIH?!"
"Kau tak boleh mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuanku! Tanpa mempertimbangkan perasaanku juga!!"
"PERASAAN? KAU SADAR UCAPANMU?" ejeknya.
"Kau mempertimbangkan perasaanku saat bersama pria lain? Apa kau juga mempertimbangkan perasaanku saat MENERIMA LAMARANNYA?"
"KAULAH YANG SELALU MENGAMBIL SEMUA KEPUTUSAN ITU SENDIRI TANPA PERSETUJUANKU, BAHKAN TANPA SEPENGETAHUANKU! KENAPA KINI AKU TAK BOLEH BERTINDAK SEPERTIMU?! KENAPA??"
"ARU, AKU TAK INGIN KITA BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN. KITA SALING MENYAYANGI. BAGaem− "
"NO!! TIDAK LAGI. Sekarag kita MUSUH!"
"Aku kira dengan merahasiakan itu darimu kau akan terhindar dari luka, Aru. Tapi kurasa salah. I'm... so...so... sorry..!"
"Sungguh aku mulai muak dengan kata maafmu itu. You never mean it!"
"Harusnya jika kau punya kesempatan, gunakan itu untuk mengakhiriku, bukan malah MENDUAKANKU DAN KINI TERUS MENAHANKU! AKU LELAH ARA. LELAH!"
"KAU PIKIR MEMBESARKAN HATI ITU TIDAK LELAH? CAPEK TAHU RA!"
"I'm sorry"
"Kau tak pernah paham sepertinya! Aku lelah karena kau selalu mempermainkanku dengan kata maafmu, tapi selalu hanya dibiir saja. Tanpa kesungguhan. Karena itu aku AMAT BENCI KATA MAAFMU!"
Aku terbungkam dalam makiannya. Hanya menanis semakin sesak, semakin pening di kepala.
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tahu betul dimana letak salah-salahku. Dimana letak kekacauan ini.
Benar, aku hanya membuat ini jadi rumit baginya. Aku terlalu banyak melukainya, sekalipun apa yang kulakukan juga bertujuan agar tak melukainya.
Aku hanya begitu buruk di pandangannya.
Isyak tangisku keluar dengan suara keras, tak bisa kusembunyikan lagi.
Saat itulah Aru mencengkeram pundakku dengan begitu kuat, sekuat kata yang keluar berikutnya.
"BE STRONG, RA. BE STRONG! Kau lihat siapa yang lemah disini?!" ejeknya. Lalu dia mendekatkan wajah ke telingaku.
"I'M THE STRONGER. Kaulah yang lemah!" bisiknya, "Bye STRANGER!"
"Kita belum selesai Ru. Kenapa kau selalu ingin MENJAUH DAN MENJAUH DARIKU? Kau TAK HARUSNYA bersikap EGOIS BEGINI!!" tahanku.
"AKU EGOIS??" dia kembali mendekat, "LALU KAU APA?" dia menunjukku sengit.
"GOD! I HATE TO SAY THIS!"
"Klo aku EGOIS, KAU SERAKAH!"
'Serakah?'
Itu terasa amat buruk didengar telinga.
"KAU TAK bisa MEMILIHKU. Tak juga mau MELEPASKU. TAK BISA MENGAKHIRI KISAH INI. SERAKAH! APA MENURUTMU KAU TAK EGOIS? KAULAH YANG PALING EGOIS ARA! KAU!!"
"Maaf, aku tak mau lagi menjadi objek keegoisanmu. Sorry, but not sorry!"
Begitulah dia pergi malam itu, dengan serta menabrakkan bahunya pada bahuku sebagai salam kesal. Sebagai perpisahan.
...
Lantas tepat di hari ke-19, aku kembali kesana, tapi itu justru berakhir dengan perkelahian sebab ia sudah terlalu benci.
"PULANGLAH! AKU SIBUK!"
"Aru, kau tak punya pekerjaan bagaimana bisa sibuk?!" Aku mendorong pintu sekuat tenaga, hingga berhasil masuk.
"Bukan berarti kau bisa menggangguku!"
"I won't. Aru wait!" ku tarik pundaknya.
"DON'T TOUCH ME! JAGA JARAKMU!"
Aku mengatur jarak, "Kau sudah makan?"
"PERGILAH!"
Dia jadi seperti Zein.
"Nanti aku akan pulang sendiri. Tak perlu mengusirku begitu!"
"Aru tebak, aku bawakan apa untukmu! Something that you like"
"NO. Aku tak lapar! PULANGLAH!"
Bodo amat! Aku tak mendengarnya, malah ikut duduk didekatnya.
"No welcome drink? Aku ambil sendiri ya?"
"KELUAR. BELI SENDIRI SANA!"
"Tidak bisakah kau menghargai usaha dan niat baikku kesini?"
"Bisa kau melihat usaha dan niat baikku? Aku tak memintamu datang kesini!"
Aku bangkit dan akan ke dapur. Tapi Aru masih terus ingin mengusirku.
"PERGILAH Ara, sebelum kugunakan kekerasan untuk mengeluarkanmu!"
"Kau terlalu lama tinggal disini, jadi kasar mirip Zein!" kesalku, "Tapi tak apa. Aku tahu kau tak akan melakukannya. Karena kau bukan Zein!" aku menenangkan diri.
Lalu duduk lagi.
"Kau menantangku?"
Aku tak menjawab.
"AKU TIDAK MAIN-MAIN INI. PERGI!"
"TIDAK MAU!" aku menjawab manja.
"Please! Kau tahu klo aku marah akan jadi seperti apa. Aku tidak ingin marah. Jadi pergi dari sini, SEKARANG!"
Aku mengelak.
Aru menyeret tanganku, aku berpegangan erat pada sofa.
"Aru... Aru... sakit... sakit...!"
"GO AWAY!" dia melepasku.
Aku mendorongnya, lalu melarikan diri cepat, tapi dia juga cepat menangkapku.
"Bebal banget sih! Mau kutampar biar nurut, heh?!"
"Lakukan!" aku menantang takutku.
"Lakukan apapun yang bisa membuatmu nyaman menerimaku lagi. Asal jangan mengusirku, plis!"
"Kau sendiri yang memintanya!"
PLAAKK!
Aku tak percaya ini! Dia benar-benar tega menamparku. Tamparannya memang tak terlalu kuat, tapi cukup panas dan cukup untuk membungkamku dalam kecewa.
"Kenapa menatapku begitu? SAKIT?! Sudah kuperingatkan, kan? Aku tidak main-main. Sekarang pergilah!"
"NO! Kita perlu bicara!"
"Tak ada lagi yang perlu kita dibicarakan. Karna sudah tak lagi ada kita antara kita! Jadi pergilah! Aku telah menuruti maumu dan kita juga sudah bicara dari tadi!"
"Bukan bicara seperti ini Aru!" protesku.
"Dan kenapa KAU TERUS MENGUSIRKU?"
"KARENA TIAP KALI MELIHATMU SEMUA PERASAANKU JADI SAKIT! Jadi jangan menguras sabarku. Pergilah. Selagi aku memintamu dengan baik"
Aku tak bergerak kemanapun. Hanya menatapnya kesal. Memikirkan cara lain.
"Apa? Satu tak cukup menghentikanmu? Mau lagi? Apa itu tak sakit?"
'Tentu saja sakit!'
"Baiklah diam artinya iya"
Dia meninju lenganku berkali-kali karena aku diam saja. Aku bisa menahannya, tapi aku tak tahu kenapa air mataku tidak.
"SAKIT?!"
Aku menggeleg.
"Oh, kau belum ingin menyerah?"
Dia menendang bokongku dengan keras, hingga aku berteriak, refleks tak bisa menahan sakitnya.
"Kenapa menangis? SAKIT?!"
Aku bungkam dalam ketidak percayaanku menerima perih ini. Tapi sisi hatiku masih terus ingin mengkomprominya.
'Mungkin dia jadi kasar dan kejam begini, itu karena dia perlu melampiakan kesalnya dan kebetulan hanya ada aku disini. Bukan berarti apa-apa Ara. Bukan berarti benci!'
Tapi sisi lain di kepalaku juga menyangkal. 'Mungkin saja dia memang benci padaku!'
"Sekarang kau tahukan rasanya sakit itu bagaimana? Tahukan ketika dipukul bukan hanya kulit dan tulangmu yang merasa sakit, tapi hatimu juga terluka!"
Benar!
Aku membuang nafas sesakku.
Jika dia tahu itu, kenapa memukulku juga!
"Bagian baiknya, aku tak menggunakan seluruh tenagaku untuk menghajarmu Ra. Dan lukamu ini akan menghilang dalam hitungan jam meski bekasnya mungkin butuh beberapa hari untuk hilang..."
Dia menatapku dengan kesal.
"Tapi sangat berbeda degan luka yang kau sebabkan di hatiku Ra. Hati yang kau patahkan ini, perlu ribuan hari untuk recovery. Butuh ratusan minggu, bahkan mungkin butuh puluhan bulan untuk bisa sembuh total tanpa cacat dan kebencian! Bisa dipastikan jika luka hati ini tak akan mudah hilang Ara!"
Aku lumpuh seketika menerimanya.
"Dan perlu kau ingat. Aku tak memukulmu karena kehilangan kontrol diri. Aku ingin kau paham, inilah bagian luka yang kau ciptakan. SAKIT BUKAN?! Tapi sayangnya luka kita tak berbanding seimbang..."
"Punyaku 100x lebih perih dan dalam dari lukamu. Dan kau sudah pasti tak akan sanggup melaluinya barang hanya sehari saja. Jadi sebaiknya kau pahami kenapa aku tak ingin melihatmu didekatku lagi. KARENA SEMUA ITU MENYAKITKAN!"
"PERGILAH!"
Itu kali pertama, aku benar-benar merasa sangat terluka diusirnya. Kalimat kasar Zein biasanya tak ada apa-apanya dengan semua kalimat sakit Aru barusan.
Aku terpuruk berhari-hari menyelaminya. Aku merasa mulai tak enak lagi makan memikirkan semua luka yang kuciptakan di hatinya. Aku murung tiap hari. Bersedih setiap kali mengingatnya. Karena baru ini menyadari jika aku rupanya telah berlaku jahat padanya bahkan tanpa kusadari.
Dan kalimat itu terus saja mengganggu di kepalaku, memberi efek nyilu bagi hatiku. Hingga aku tak lagi berani menunjukkan diri padanya lagi. Kalimatnya memberi rasa takut pada diriku. Memberiku nafas untuk menyerah.
Aku absen menemuinya. Dia membuatku berhenti berusaha. Karena aku tak ingin dia kembali sakit dengan melihat adaku.
Sungguh ini juga tidak mudah bagiku. Tapi baru kali ini pula aku melihat Aru begitu tangguh mengabaikanku. Kurasa, dia memang akan bersungguh-sungguh dalam melupakanku. Dan itu membuatku sungguh merasa frustasi.
Padahal aku terus mengunjunginya untuk tetap menjaganya dekat. Sebab aku tak ingin menukar hangat kami jadi beku dan benci seumur hidup kami.
Dan disinilah aku terdampar hari ini. Termenung sendiri dalam kepala frustasi. Menunggu balas Tasya yang masih belum terlihat. Dan begitulah 25 hariku terlalui dengan berat tanpa siapapun disisiku.
Tapi aku masih punya banyak tanya dalam kesepian ini.
"Mengapa sakit hati bisa merubah karakter baik seseorang? Mengapa cinta bisa berubah jadi benci? Mengapa sisi hangat cinta tak lagi bisa mendamaikan kekeruhan? Mengapa cinta yang luar biasa akhirnya bisa binasa?"
Sekalipun hati kecilku masih tak ingin menyerah menawarkan persahabatan padanya, tapi aku terpaksa harus mundur dan kalah. Sebab aku tak ingin Aru terluka lebih sakit lagi karenaku.
Tapi aku juga percaya, waktu baik selalu ada, saat kita telah sungguh-sungguh berusaha. Tuhan yang akan menciptanya.
.....
"... Kau menukar kesetiaannya dengan patah hati ..." ~ Ara ~ . . Dua jam berselang dari pesan-pesan yang ku kirim. Tasya akhirnya menghubungiku. "Hey, everything still be okay without Aru, okay! Kau akan baik-baik saja!" katanya bahkan sebelum sapa halloku terucap. But I'm not okay. Aku buruk. Dan merasa bersalah. "Aku merasa tak lagi bisa menghadapi ini tanpanya. Aku total kesepian. Sekaligus rindu parah. Tapi aku takut menemuinya. Aku hilang pegangan tanpanya, Sya" "Ara aku tahu, rindu adalah bagian paling berat yang harus dihadapi saat ini. Tapi kau juga harus ingat jika ini juga hanya bagian dari proses. Kau semakin dekat dengan keberhasilan mu" "Mmm" "Ara, kau hanya perlu membiasakan diri tanpanya. Bukan berarti tanpanya kau tak bisa" Aku mengangguk, lega mendenarnya. "Paham?" Bodoh. Kenapa aku menga
"... Pisah adalah sekat untuk menahan diri dari kedekatan lagi ..."~ Masih Ara ~..Aku hancur dalam kalimat jujur Tasya."Ara, kau menyiapkan kuda-kuda untuk mundur dari cinta Aru. Tapi tak pernah cukup berani mengatakannya sendiri. Kau hanya selalu mununggu waktu dan waktu. Apa kau pikir itu adil untuknya? APA KAU PIKIR ITU TIDAK SAKIT BAGINYA?""Cukup Sya!""Aru hanya mencintaimu, tapi ganjaran dari rasa cintanya padamu hanya rasa sakit. SUNNGGUH IRONIS. PAHAM? KAU PAHAM KENAPA DIA TAK INGIN JADI TEMANMU? Itu karena cintanya berubah jadi derita MENYAKITKAN!""CUKUP SYA!"Aku masuk kejurang perasaan tersakitku.Benar, selama ini hanya aku yang terus egois memaksakan kehendak diri. Aku egois karena ingin semua ini berakhir baik-baik saja tanpa merelakan apa-apa hilang dariku. Aku ingin semuanya tetap dekat denganku. Tapi itu tak mungkin."You mess with the wron
"... Apa aku menyukaimu sebab kau pria idealku, atau serupa dirinya ..." ~ Masih Ara ~ . . "Klo begitu tersenyumlah!" Aku tersenyum menurutinya. "JELEK!" dia selalu tak menghargaiku. "Lakukan lebih natural lagi nanti. Jangan sampai ibuku tahu KAULAH orang yang menghancurkan hati anak tersayangnya!" Huhf, sabar Ara. Sabar! "Kakak ayooo, aku lap... " adik lelakinya menyela kami. "Ohh, Mbak Ara... yeh" dia mendekat, dan memelukku. Beginilah kehangatan di keluarganya. Pastas saja dia suka sekali memelukku. Baru setelah itu si kecil menyalamiku. Aku tersenyum senang menyambutnya. "Mbak Ara bawa oleh-oleh tidak?" "Amhh? Tidak" "Yah!" dia kecewa. "Hei bocah, sopan!" "Katakan apa yang kau suka?" "Es krim! Semua orang suka es krim!" "Kenapa kau suka es krim?" "Karna manis, lembut
"... Aku hanya terluka bukan amnesia ... "~ Aru ~..Aku ingin menutup ingatan dari perasaan sakit waktu itu. Waktu hidupku terasa tak lagi nyaman dijalani. Waktu semua terasa begitu berat dihadapi. Dan aku terpuruk karena cinta yang kukenal baik berubah menyakiti. Namun masih ada berat yang menghalaunya.Sebab ingatan itu terasa lucu kini. Sebab perasaan itu sudah tidak sama lagi. Meski sakitnya masih bisa terasa, tapi waktu membantu mengobati lukaku. Kedewasaan membantuku menerimanya. Meski hidupkupun tak lagi terasa sama tanpanya, tapi aku tetap baik-baik saja.Kisah pilu antara kami sudah berakhir. Kami terbebas dari pengap. Dan hidup tetap berjalan, meski harus berjauhan.But that was fine.Aku tahu langkah dari keputusanku. Dan dia menemukan kebahagiaannya. Kita berakhir dengan bahagia juga."Apa aku juga bahagia? Dia mungkin iya, tapi aku? Apa iya?"Aku hanya lega dia bahagia.Itukah kenapa aku memilih pergi kala itu.Sebab cinta mulai menuju titik tertipisnya mendekati bata
"... We only have each other ... " ~ Ara ~ . . "Can I play it once more time?" "Sure! Kenapa kau begitu suka film ini?" "Karena Elsa cantik dan Anna lucu" "Tapi aku sudah bosan mendengar lagu itu terus menerus kau putar, princees" "But that was the best part mommy" "Kenapa begitu?" "I don't know" "OK. Sementara kau melihatnya, mami boleh sambil mengepak baju?" "Tentu" Lagu itu berulang lagi, mengingatkanku akan masa lalu yang coba kutinggalkan. "I never see you anymore... " Seketika itu langkahku terhenti. "It's like you gone away" Dan Aru muncul kembali diingatan. "We used to be best buddies and now we're not. I wish you could tell me why" dia bernyanyi dengan tenang. Itukah alasan kenapa dulu Aru sampai menangis mende
"... Aku berusaha menyembuhkanmu tapi kau membuatku sakit ..."~ Aru ~..Aku pulang tapi Ara tak ada. Ditelepon tak bisa. Ponselnya selalu sibuk.Akupun mencarinya keluar. Dia sedang duduk didekat kolam, membelakangiku. Meski begitu, aku langsung tahu itu dia.Aku mengendap, ingin mengejutkannya. Tapi akulah yang justru terkejut hingga beku ditempat."Jangan cemas Mas. Aku sudah lebih baik. Tasya menjagaku dengan baik..."Rasanya, hatiku terjun ke tanah."Hmm, Tasya? dia bahkan tak terlihat sampa hari ini" hatiku memprotes.Tapi semua usahaku selalu kehilangan pengakuannya."Mmh iya, I miss you too..."Aku hancur menerima fakta itu.'I miss you too?' jelas itu bukan kalimat yang ingin kudengar. Sengaja atau tidak!Terlebih saat kami melewati beberapa hari ini bersama. Tapi luka dan luka lagi yang selalu kudapat dalam kedekatan itu lagi. Kenapa?Rasanya aku ingin Arnold mati saja. Agar sakit di hatiku hilang atau setidaknya tak bertambah bengkaknya.Aku berbalik. Urung, tak sudi meng
"... Mengharapnya kembali itu hampa, Memikirkannya lagi hanyalah derita ..." ~ Aru ~ . . Apa aku bisa mengatakannya? Aku bisa! Tapi apa aku siap menerima jawabnya? Dia selalu mengecewakan harapanku, biasanya! Dan tentu itu membuatku tidak siap. Aku perlu mengantisipasinya. Aku tersenyum, meyakinkan diriku jika aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak bisa. Ada rasa yang terus mengganjal dan jadi pengganggu. Dan akupun tahu, Ara bisa menangkapnya meski kusamarkan itu. "Aru, kenapa?" "Bukan apa-apa" "Please, it must be something!" "Alright. Can I ask you something then?" "Apa?" Aku menggenggam kedua tangannya. Mataku melirik cincinnya sesaat dan Ara menangkapnya. Kuhela nafas pendek. "Aku mengerti kenapa kau tidak bisa memilihku, sekalipun mungkin ingin. Kita sama-sama tahu, sama-sama dewasa. Bukan lagi bocah remaja yang baru kenal cinta, lantas abai akan logika" Mata kami meyiratkan ketegaran yang sama, dari kegetiran yang berbeda. "Perbedaan kita yang tak bisa dijembatan
"... Benci bukanlah ungkapan cinta ... " ~ Ara ~ . . Aku berkedip, menyapu lamunanku. Kenapa dia datang lagi? Katanya, dia tak akan menggangguku! Katanya, aku tak boleh mengusiknya! Tapi kenapa kini kau yang mengusikku? Seperti inikah kesalmu dulu? Saat aku terus mengunjungimu meski kau larang. Karena itu jadi punya efek mengganggu. Sebab rindu itu salah. Cinta itu salah. Memikirkanmupun jadi terasa salah. Aku dalam masalah jika terus begini. "STOP ARA! STOP!" Aku menggoyang kepalaku. Mengusirnya. Sepertinya aku butuh teman bicara untuk membuang toxic pikiranku, serta untuk menemukan lagi keyakinanku. Jika ini bukan cinta, hanya rindu akan nostalgia. "Hellooh" Tasya terdengar malas merespon. "Sya..." "Hm, Celine let's talk tomorrow! Aku lelah!" "Kau nglindur?" Dia tak menjawab. Malah terdengar suara
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda