"... Apa aku menyukaimu sebab kau pria idealku, atau serupa dirinya ..."
~ Masih Ara ~
.
.
"Klo begitu tersenyumlah!"
Aku tersenyum menurutinya.
"JELEK!" dia selalu tak menghargaiku.
"Lakukan lebih natural lagi nanti. Jangan sampai ibuku tahu KAULAH orang yang menghancurkan hati anak tersayangnya!"
Huhf, sabar Ara. Sabar!
"Kakak ayooo, aku lap... " adik lelakinya menyela kami.
"Ohh, Mbak Ara... yeh" dia mendekat, dan memelukku.
Beginilah kehangatan di keluarganya. Pastas saja dia suka sekali memelukku.
Baru setelah itu si kecil menyalamiku. Aku tersenyum senang menyambutnya.
"Mbak Ara bawa oleh-oleh tidak?"
"Amhh? Tidak"
"Yah!" dia kecewa.
"Hei bocah, sopan!"
"Katakan apa yang kau suka?"
"Es krim! Semua orang suka es krim!"
"Kenapa kau suka es krim?"
"Karna manis, lembut
"... Aku hanya terluka bukan amnesia ... "~ Aru ~..Aku ingin menutup ingatan dari perasaan sakit waktu itu. Waktu hidupku terasa tak lagi nyaman dijalani. Waktu semua terasa begitu berat dihadapi. Dan aku terpuruk karena cinta yang kukenal baik berubah menyakiti. Namun masih ada berat yang menghalaunya.Sebab ingatan itu terasa lucu kini. Sebab perasaan itu sudah tidak sama lagi. Meski sakitnya masih bisa terasa, tapi waktu membantu mengobati lukaku. Kedewasaan membantuku menerimanya. Meski hidupkupun tak lagi terasa sama tanpanya, tapi aku tetap baik-baik saja.Kisah pilu antara kami sudah berakhir. Kami terbebas dari pengap. Dan hidup tetap berjalan, meski harus berjauhan.But that was fine.Aku tahu langkah dari keputusanku. Dan dia menemukan kebahagiaannya. Kita berakhir dengan bahagia juga."Apa aku juga bahagia? Dia mungkin iya, tapi aku? Apa iya?"Aku hanya lega dia bahagia.Itukah kenapa aku memilih pergi kala itu.Sebab cinta mulai menuju titik tertipisnya mendekati bata
"... We only have each other ... " ~ Ara ~ . . "Can I play it once more time?" "Sure! Kenapa kau begitu suka film ini?" "Karena Elsa cantik dan Anna lucu" "Tapi aku sudah bosan mendengar lagu itu terus menerus kau putar, princees" "But that was the best part mommy" "Kenapa begitu?" "I don't know" "OK. Sementara kau melihatnya, mami boleh sambil mengepak baju?" "Tentu" Lagu itu berulang lagi, mengingatkanku akan masa lalu yang coba kutinggalkan. "I never see you anymore... " Seketika itu langkahku terhenti. "It's like you gone away" Dan Aru muncul kembali diingatan. "We used to be best buddies and now we're not. I wish you could tell me why" dia bernyanyi dengan tenang. Itukah alasan kenapa dulu Aru sampai menangis mende
"... Aku berusaha menyembuhkanmu tapi kau membuatku sakit ..."~ Aru ~..Aku pulang tapi Ara tak ada. Ditelepon tak bisa. Ponselnya selalu sibuk.Akupun mencarinya keluar. Dia sedang duduk didekat kolam, membelakangiku. Meski begitu, aku langsung tahu itu dia.Aku mengendap, ingin mengejutkannya. Tapi akulah yang justru terkejut hingga beku ditempat."Jangan cemas Mas. Aku sudah lebih baik. Tasya menjagaku dengan baik..."Rasanya, hatiku terjun ke tanah."Hmm, Tasya? dia bahkan tak terlihat sampa hari ini" hatiku memprotes.Tapi semua usahaku selalu kehilangan pengakuannya."Mmh iya, I miss you too..."Aku hancur menerima fakta itu.'I miss you too?' jelas itu bukan kalimat yang ingin kudengar. Sengaja atau tidak!Terlebih saat kami melewati beberapa hari ini bersama. Tapi luka dan luka lagi yang selalu kudapat dalam kedekatan itu lagi. Kenapa?Rasanya aku ingin Arnold mati saja. Agar sakit di hatiku hilang atau setidaknya tak bertambah bengkaknya.Aku berbalik. Urung, tak sudi meng
"... Mengharapnya kembali itu hampa, Memikirkannya lagi hanyalah derita ..." ~ Aru ~ . . Apa aku bisa mengatakannya? Aku bisa! Tapi apa aku siap menerima jawabnya? Dia selalu mengecewakan harapanku, biasanya! Dan tentu itu membuatku tidak siap. Aku perlu mengantisipasinya. Aku tersenyum, meyakinkan diriku jika aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak bisa. Ada rasa yang terus mengganjal dan jadi pengganggu. Dan akupun tahu, Ara bisa menangkapnya meski kusamarkan itu. "Aru, kenapa?" "Bukan apa-apa" "Please, it must be something!" "Alright. Can I ask you something then?" "Apa?" Aku menggenggam kedua tangannya. Mataku melirik cincinnya sesaat dan Ara menangkapnya. Kuhela nafas pendek. "Aku mengerti kenapa kau tidak bisa memilihku, sekalipun mungkin ingin. Kita sama-sama tahu, sama-sama dewasa. Bukan lagi bocah remaja yang baru kenal cinta, lantas abai akan logika" Mata kami meyiratkan ketegaran yang sama, dari kegetiran yang berbeda. "Perbedaan kita yang tak bisa dijembatan
"... Benci bukanlah ungkapan cinta ... " ~ Ara ~ . . Aku berkedip, menyapu lamunanku. Kenapa dia datang lagi? Katanya, dia tak akan menggangguku! Katanya, aku tak boleh mengusiknya! Tapi kenapa kini kau yang mengusikku? Seperti inikah kesalmu dulu? Saat aku terus mengunjungimu meski kau larang. Karena itu jadi punya efek mengganggu. Sebab rindu itu salah. Cinta itu salah. Memikirkanmupun jadi terasa salah. Aku dalam masalah jika terus begini. "STOP ARA! STOP!" Aku menggoyang kepalaku. Mengusirnya. Sepertinya aku butuh teman bicara untuk membuang toxic pikiranku, serta untuk menemukan lagi keyakinanku. Jika ini bukan cinta, hanya rindu akan nostalgia. "Hellooh" Tasya terdengar malas merespon. "Sya..." "Hm, Celine let's talk tomorrow! Aku lelah!" "Kau nglindur?" Dia tak menjawab. Malah terdengar suara
"... Semua yang bermula dari ketulusan hati tak akan merusak hati ... "~ Ara ~.."Apa mungkin, Aru menghubungimu karena tahu jika Arnold....?""Maksudku. Apa dia jadi sensitif karena membicarakan Arnold? Mungkin?"Tasya berhati-hati menyebut nama itu."Sama sekali tidak! Dia benci nama itu. Kami tak mebicarakannya sama sekali""Benar juga. Dia benci nama itu. Mm, apa mungkin Aru akan menikah?""MENIKAH?"Entah kenapa mendengarnya hatiku merasa tak nyaman."Mungkin dia menghubungimu untuk memberi undangan atau semacamnya? Tapi tak mampu mengataknnya dan jadi kesal sendiri, dan mencari alasan lain seeperti mencari hardisknya?""Entah. Tapi aku turut bahagia jika kabar itu benar""Sungguh? Tak yakin!""Setidaknya, dia moved on, kan? Itu berita baiknya. Mungkin dengan begitu rasa bersalahku lambat-laun akan menghilang juga. Itu bagus, kan?
"... Iri membuat ini terasa sakit lagi ..." ~ Aru ~ . . Akhirnya aku berkesempatan berkunjung ke tempat Zein, setelah sekian lama. Menyesap kopi yang sama dengan orang yang kita kenal akrab, merupakan suatu kegembiraan tersendiri. Dan disinilah kami berjumpa kembali. Di kediaman baru Zein. Setelah ratusan sunyi dan hampa tanpa orang terdekat yang menemani, kamidipertemukan lagi. "Jadi kau akan menetap disini atau di Indonesia bersama keluargamu?" Mami dan Papi telah berbaikan, dan mereka kembali lagi tinggal bersama. "Kurasa, tidak kedua-duanya" Zein memicingkan mata mengamatiku. "Setelah tinggal di kota-kota mengerikan yang kau lalui, dan kau masih hidup. Kau masih belum ingin menetap?" Aku mengumbar senyum ringan. "Kurasa aku masih nyaman seperti ini" "Ayolah, akhiri semua pelarian-pelarian ini! Kembalilah hidup normal Aru. Ini sudah dua
"... Tanpamu hidup terasa kurang gula ..." ~ Ara ~ . . Aru menggantarku pulang dengan motor, setelah berusaha meminjam mobil tapi tak dapat. Aku tak apa dengan itu, lagi pula dia orang yang cukup berhati-hati saat berkendara. Tunggu. Apa iya? Tidak! Aru malah seringnya ngebut dan sedikit ugal-ugalan. Terlebih saat, bad mood. Tapi setidaknya, aku belum pernah jatuh saat membonncengnya, tapi dia pernah jatuh saat bersama Quin. Quin? Kenapa harus membahasnya? Let's forget about her. So he's save driver for me.Cause he loves me, right? Definetely. Aku melingkarkan tangan pada perutnya, menyeimbangkan diri dari guncagan, agar tak terjatuh. Tapi dia melepasnya. Berkata dengan dingin pula. "Don't touch me!" Aku tahu dia masih marah padaku karena mendapati aku membalas pesan Arnold. Entah kenapa itu deal yang membuatku kes