"... Aku sadar kau tak terlalu cantik malam itu, tapi aku suka ..."
~ Aru ~
.
.
Aku tak tahu lagi apa yang kurasakan kini. Setelah buru-buru memutus obrolan singkat dengan Ara tadi, aku malah jadi semakin tak menentu. Membuat tidurku tak lagi enak, padahal kukira dengan tahu bawa dia bahagia aku bisa tidur pulas dan lepas tanpa beban. Tapi itu malah seperti bumerang yang menyerang diriku sendiri, membuat pikiranku kacau lagi, merusak tatanan nyaman yang berhasil ku bangun dan kulalui tahunan lalu tanpanya.
"Kurasa dinding pertahananku jebol kembali. Dan aku sakit lagi" renungku.
Harusnya kudengar baik-baik nasehat Zein, sebelum aku menghubungi Ara lagi. Karena bagaimapun dia punya sisi benar dalam menasehatiku, tapi yang kulakukan malah terus mengabaikan itu sejak dulu.
"Ingat ini kawan! Berhati-hatilah sebab perasaan itu selalu bersifat fluktuatif. Tak bisa diprediksi dengan pasti."
Begitu pesannya saat mengirimkan nomor Ara tadi.
"Mmmh, nice advice brother. Thanks!"
"Aku bisa memberi up date berita terbaru tentangnya jika kau mau. Mungkin jika kau rindu 😝 " godanya lagi,
"Kau akan sangat berterimakasih! 😂 "
"Dia lagi? NO, THANKS!!"
"Mungkin..., bisa saja ini menguntungkan. Apa kau akan berubah pikiran saat tahu... Jika ARA.... 😈 "
"DEVIL?" balasku merujuk emotikonnya.
"Nice joke! Tapi bukan itu. Antara Ara dan Arnold, mereka sebenarnya....? Mau tahu tidak?"
"TAK TERTARIK!"
"OKAY. Jika mungkin... Emhh, barang kali saja kau masih mencintainya. Aku bisa memberimu informasi berharga ini, Ru!"
"HAHA... LUCU! 😆 CINTA?"
"ALL MY LOVE IS GONEEEE... MY LOVE IS DEAD and GONE! 😩 "
Zein membuatku sebal.
"LOL. LOVE IS BLIND NOT GONE!"
"AMNESIA? Siapa yang dulu memaksaku menjauhinya dengan KETAT?!! Sekarang saat aku telah SANGAT JAUH darinya, kau ingin mendorong ku kembali kesana? 🙉 OH NOHHH. Apa kau sudah gila?!!"
"Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat, kawan. Aku TAK TERTARIK dengan ISTRI ORANG!" balasan pamungkasku padanya.
"Ohh, istri orang itu tetap MANTANMU!" balas Zein, "Mungkin saja cinta itu bisa tumbuh lagi dengan satu panggilan saja" sangkalnya.
"Duhh"
"Just be careful, man! Perasaan manusia itu mudah berubah-ubah seperti air. Kadang surut, kadang pasang. Kadang tenang, kadang menenggelamkan"
"So be careful and Good luck, BROTHER!"
Benar, berurusan dengan Ara masih saja tidak mudah. Cinta yang hebat selalu memberi luka yang berat.
Aku merasa hilang arah dan pegangan sekali lagi dalam sekejap berbicara dengannya. Beruntung aku memutusnya lebih cepat dari harapanku, dan beruntung emosiku masih tak stabil saat bicara dengannya.
Jadi aku tak terlarut, terbawa dalam rasa rindu karena terus ingin mendengar suaranya yang masih sama terulang lagi, membangunkan fantasi indah dalam rajutan kebersamaan kami waktu lalu.
Tapi bayangan patah hati itu juga masih lekat, membekas dalam ingatan. HIngga memberi ruang nyeri untukku menyendiri dan memikirkannya sekali lagi.
"Dialah orang yang mewarnaiku dengan kepiluan juga, selain rasa indah"
"Oh, Tuhan. Mengapa mengingat semua tentangnya masih saja berat? Seberat keputusan yang harus ku jalani saat dia tak bisa memilihku! Seberat aku harus melewati hari-hari piluku tanpanya!"
.
- FLASHBACK -
.
Malam itu, Ara mendatangi tempat Zein untuk mengajakku makan malam. Sebuah hal yang tak biasa dia lakukan saat Zein ada di rumah, biasanya dia lebih suka menyuruhku untuk menjemputnya, tapi kali ini beda. Ini istimewa. Dia datang sendiri kemari dan tanpa pemberitahuan. Surprise mungkin.
Aku merasa senang, bahkan aku sempat berbisik iseng pada sahabatku sebelum pergi dari tempatnya.
"You see? Dia masih milikku, bukan?!"
Zein hanya gelengan kepala tidak mau membenarkan kalimat sindiranku itu.
"Kau akan patah hati. Lihat saja nanti"
Aku tak peduli dengan ucapan irinya.
Sesampainya disalah satu tempat makan fvorit Ara, sesaat aku memperhatikannya. Dia mengenakan mini dress kesukaanku, meskipun itu bukan dress favoritnya. Aku selalu suka jika Ara mengenakan baju itu. Karena rasanya kecantikannya jadi bisa terpancar keluar sepenuhnya.
'I like'
Ara sangat cocok memakainya, ditambah lagi dengan make up yang pas dan tak berlebihan, membuatnya makin bersinar di mataku.
"Mau pesan sekarang?" dia menawariku.
"Yah, tentu. Kau kesini untuk mengajak ku makan, bukan? Maka jangan menundanya lagi atau kau yang akan ku makan!" celotehku mencoba melucu.
Ara tersenyum berat, lalu melambaikan tangan ke udara cepat, mengabaikan leluconku, beralih pada pekerja restonya.
"Are you gonna order now, Miss?"
"YES, please!"
"Kau mau apa?"
"YOU" jawabku singkat, tenggelam dalam lamunan menikmati kecantikannya.
Pelayan disisi kami seketika tersenyum mendengarku. Dan aku jadi tersadar.
"Ahh? Kau bilang apa tadi?"
"Kau mau pesan apa?"
"Anything. Apapun yang kau pilihkan!"
"OKAY" jawabnya sambil mengakhirinya dengan senyuman manis.
Dia tenggelam dalam buku menu, sibuk memilih pesanannya dan aku hanya mengamatinya sedari tadi. Menikmati semua aura sinar cantiknya.
"Kau cantik sekali malam ini. Apa ini anniversary kita yang aku lupakan?"
Ara menggeleng.
"Ini ulang tahunmu? Atau ini hanya malam spesial untuk kita berdua?" kataku saat sang pelayan pergi.
Ara hanya tersenyum lagi dengan berat. Lalu dia mengangkat bahunya ringan.
"Apapun itu... I like this and I like you too"
"Oh, I mean I love you also Ra"
Diapun tersenyum begitu menanggapiku.
Pelayan datang dan menuangkan cairan merah dalam gelas. Tapi aku mengambil gelas bening lainnya. Meminumnya, guna membasahi tenggorokanku yang kering.
"Kita biasanya kemari jika ada hal penting atau spesial. Apa kau dapat bonus lagi?"
Aku menggodanya, mencoba memancing Ara agar lebih merasa rileks dan nyaman. Tapi dia lebih pendiam dari biasanya dan wajahnya tidak sebahagia sepertiku.
Ara menggeleng dengan senyum tipisnya.
"Aku hanya rindu kita makan berdua lagi disini" katanya, tapi matanya malah berkaca sedih.
"Hei... kau baik?" aku memegang satu punggung tangannya.
Ara mengangguk dan menghapus embun yang membuat buram matanya.
"I'm sorry. I just miss it a lot, Ru. Berdua, menghabiskan waktu bersamamu begini. Sehangat dan senyaman ini"
Ada nyeri seketika menjalari diriku, saat mendengar harapan kecilnya itu.
"I'm sorry. Sorry..., karena aku tak bisa membawamu sering-sering keisini. Ya, itu memang terasa sudah lama sekali sejak terakhir kita kemari"
Aku sadar dengan banyaknya kekurangan yang kumiliki, hingga tidak bisa mengajak dia sering-sering ke tempat favoritnya.
Aku merasa payah karena tidak bisa membawanya ke banyak tempat yang seharusnya menjadi tempat-tempat pijakannya selama ini. Alih-alih begitu, Ara justru merendah ketempat-tempat yang sesuai level kelasku selama ini. Dan Ara tidak keberatan akan hal itu. Dia sangat menjaga perasaan ku akan hal itu.
"Aru... it's okay. Itu bukan salahmu. Dan lagipula, aku membawamu kesini bukan karena itu...," dia menenangkanku balik,
"Aku hanya senang, kita berdua akhirnya bisa kesini lagi. Seperti ini lagi"
Kini, aku yang tersenyum dengan berat.
Pelayan datang untuk menghidangkan pesanan kami.
"Please, enjoy your dinner"
"Thank you" kami menjawab kompak.
"Ru...?"
"Hhmm?"
Aku menghentikan tanganku yang sibuk memotong untuk melihatnya. Tapi dia malah menggeleng dan tersenyum mendapati tatapanku.
Ara lupa akan kalimatnya sendiri.
"Kau mau bilang apa? Kenapa ragu begitu?" tanyaku.
"Kau mau bilang, I love you?!" gurauku.
Dia tersipu.
"Apa sih? Ada yang salah denganku?"
"Bukan. Entahlah" ujarnya bimbang.
"Kau mau aku memotongkannya atau kau sebenarnya mau aku menyuapi mu?"
"Keduanya boleh?"
"Hemm, manja deh!"
"Selagi bisa. Boleh, kan?"
"Tentu boleh. Asal manjanya denganku, bukan dengan orang lain. It is totally fine!"
Ara tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Aku menyuapinya.
Tapi perasaan berat itu masih belum bisa lepas dari wajahnya, meskipun aku telah berusaha melucu atau memanjakannya.Entah apa yang sedang dia pikiran. Tapi aku bisa menyimpulkan jika pikirannya tidak sedang bersamaku di meja makan ini. Pikirannya berkelana entah kemana.
Mungkin dia sedang membayangkan makan malam dengan orang lain. Tapi sayangnya, aku yang ada dihadapnya saat ini. Mungkin itulah kenapa dia merasa berat sedari tadi, tidak santuy.
"Aru..."
"Iya?"
Ara mengelap bibirnya dan menatapku sejenak. Lalu tersenyum gamang. Satu tangannya memegangi tanganku.
"Aku..."
Dia masih ragu. Aku masih menunggu. Tapi dia takut dan sangsi menyampaikan.
"Katakan saja, apa yang membuat mu berat saat ini?! Aku akan mendengar mu dengan baik"
"Sungguh?" dia menyangsikanku.
"Tentu. Aku disini untuk mu juga kan?"
"Baiklah. Sebenarnya..." Ara mengambil minumnya, "Sebenarnya aku ..."
"Sebenarnya kau kenapa?"
"Aku... Aku akan memberikan jawabannya padamu malam ini"
Ucapannya seketika membawa getir di dadaku. Hatiku menjadi cemas. Jadi ini arti senyum beratmu sedari tadi itu, Ra?!
Aku tersenyum berat.
'Apa aku siap menerimanya?'
"Kau sudah yakin?"
"Ya! Kurasa!?"
Aku membeku sejanak dalam tempat dudukku. Aku tidak tahu apa aku siap dengan semua keputusannya. Hatiku jadi begitu cemas. Aku menarik gelasku.
"Sudah kau pikirkan dengan matang?
Ara mengangguk.
Aku membuang nafas gerogiku.
"Baiklah katakan!"
"Aku akan mengatakannya setelah makan malam ini. Aku ingin ini menjadi makan malam yang menyenangkan dan damai untuk kita"
"Apapun mau mu" aku menyembunyikan tatapanku resahku dalam piring makanku.
Rasanya aku sudah lebih dulu tahu apa yang akan dia putuskan lewat kalimatnya yang begitu itu.
Aku mengerti sekarang.
Mengapa makan malam ini spesial untuk kami berdua. Karena mungkin ini akan jadi makan malam terakhir kami. Serupa kenang-kenangan perpisahan untukku.
Aku menarik lagi gelasku dengan hampa.
Jadi dia menyiapkan semua ini untuk berkata "Bye? Selamat berpisah Aru?!" Dia berdandan cantik malam ini hanya untuk mengucapkan selamat tinggal padaku?
'Tapi dia belum memutuskan Aru, bagaimana bisa kau seyakin itu? Bisa saja pilihannya adalah kau, bukan Ar-no! Bisa saja, kan?'
Tapi aku masih sangsi.
"Kau yakin sudah menimbang semuanya dengan baik dan benar, Ra??"
"Mmhh. Aku memang belum sepenuhnya yakin. Tapi aku tak ingin menggantungmu lebih lama lagi dengan semua ini"
"Ara..."
"Aru...!" dia menghentikan kalimatku.
"Memang selalu ada ragu dihatiku saat itu menyangkut kamu. Ini berat. Memang ini tak mudah buat aku, buat kamu, juga dia. Tapi kita harus menghadapinya, bukan?"
"Tentu kita harus menghadapinya, Ra!"
Dia tersenyum tipis. Lalu ku balas dengan senyum resah.
"Kau akan memilihku, kan?"
Dia tersenyum ragu dan berat.
"Kita bicarakan itu nanti saja yah. Kita nikmati makan malam ini dulu"
Rasanya aku semakin ragu, jika dia akan memihakku. Tapi akupun tak boleh terus berasumsi begitu. Ia belum memutuskan.
"Aru... maukah kau ceritakan sesuatu?"
"Apa yang ingin kau dengar?"
"Apapun"
"Tentang kita?"
"Emhh, boleh!"
"Ingat kunjungan pertama kita kemari?"
Dia mengangguk.
"Kita duduk disebelah sana, dan seorang pasangan dengan dua anak duduk berisik didekat kita, tapi kita tak terganggu. Saat itu kau memakai baju berwarna ungu pastel. Dan aku sadar klo kau tidak terlalu cantik malam itu..."
Dia membelalakkan matanya tak percaya.
"Sungguh?"
"Mmmh. Kau tidak terlalu cantik malam itu. Tapi entah kenapa aku tetap suka memandangimu"
Akhirnya dia tersenyum lebar juga, seolah semua beban beratnya lenyap begitu saja hanya dengan kalimat sederhana itu.
Kurasa dia menyukainya.
"Lalu?"
"Lalu ..."
.....
−
"... Tetaplah disampingku, karna aku tak yakin bisa tanpamu ..."~ Ara ~.."Lalu?""Lalu, kita membicarakan banyak hal tentang film yang baru kita tonton. Kau suka karakter pria yang merupakan suami sang istri, tapi aku lebih suka karakter pria dari tokoh simpanan sang istri. Lalu dari sana kita tahu jika ternyata kita menyukai sesuatu secara BERKEBALIKAN. Mulai dari selera makan, tontonan, hobi, cara berpikir, dan lain-lain-lainnya""Tapi kau selalu bilang jika kita punya satu persamaan diantara banyaknya perbedaan-perbedaan kita itu""Yupz!""Dan...?""Dan itulah CINTA! Perbedaan kita berdua tersatukan dengan cinta. Itu satu-satunya persamaan yang kita miliki, yaitu dengan saling mencintai. Dan harusnya, sampai detik inipun tetap begitu" Aru melepas kalimat terakhirnya dalam ketak yakinan.Aku bisa merasakan ada kegetiran dari kalimat singkat itu, dan aku berusa
"... Cerita ini hanya fiksi awang-awang ..." ~ Aru ~ . . "Tetaplah disampingku, Bi. Karna aku tak yakin bisa melewati ini semua tanpamu..." 'Is this for real?! Darn, hatiku rasanya mekar dengan sangat baik. Akhirnya!' "Kumohon jangan pergi− " Tunggu dulu! Tunggu dulu!! 'Kenapa kalimatnya terdengar janggal, ya? Kenapa juga aku harus pergi, jika dia akan memilihku? Kenapa??' "Tetaplah disampingku dan... " "Dan?" "Tetaplah jadi teman terbaikku!" PAHIT. OH GOD! Sungguh indah caranya menyanjung, hingga kukira aku sedang terbang tinggi bersama angin musim semi, tapi ternyata angin musim gugurlah yang datang dan menerbangkanku tinggi, hanya agar bisa menjatuhkanku sempurna ke tanah. Andai saja kalimatnya berakhir titik tepat sebelum kata 'dan' muncul dan menyusul untuk memberi jeda
"... Apa cinta bisa diukur dengan cium ..."~ Ara ~.."Jadi BEGINI saja AKHIR KITA? Kau akan MEINGGALKAN ku begini? KAU akan MENYINGKIRKANKU setelah TIDAK LAGI KAU butuhkan, BEGITU?! KAU INGKAR JANJI RU!" makiku emosi dan berbalik pergi, tapi Aru yang jadi menahanku."Ara, JANGAN MEMBALIK FAKTA!!! Kau yang meninggalkanku dan memilih dia, JADI AKU PERGI!""Tidak bisakah KITA BERTEMAN?""WHATT?? BER-TE-MAN?! Buat apa lagi?! Keputusan mu sudah cukup jelas bagiku. Aku yakin kau tak perlu teman sepertiku. I'm not a good person for you. Anymore!"Aku menatapnya tak mengerti."Semua wanita baik menginginkan pria yang baik. Lupa? Kau tak memilihku. Artinya, aku tak cukup baik bagimu, kan! Jadi untuk apa juga kita berteman? KITA TAK AKAN BERTEMAN RA!! NO, NEVER!"Aru berbalik dan hendak pergi tapi aku balik menahan langkahnya."Tidak bisakah itu menjad
"... Kita memasuki babak perang cinta..." ~ Aru ~ . . "ARU, KAULAH yang selalu RAGU AKAN CINTAKU PADAMU selama ini, BUKAN AKU!! You know what, I'm just trying to give you what you really want, MOST!!!" tekannya padaku, membela diri. "Jadi JANGAN LAGI MERAGUKAN TIMBANGAN CINTAKU PADAMU, jika kau tak tahu semua itu dengan tepat, ARU!" Aku mendengus tak percaya. "Bagaimana aku tidak ragu? Kau biasa bilang, NO! MOST ALL THE TIME, RA!! No is your favorite answer to me. Bagaimana bisa kau berubah semudah ini sekarang? KENAPA? KASIHAN!?" "IT'S YOU ARU! IT IS YOU!! I changed my mind it's because of you, Aru!" Mata baranya menegas, menekankan jawabnya yang tak main-main. Aku mengelak mempercayai belaannya. Jelas dia bukan versi Ara yang ku kenal. Dia adalah versi Ara yang akan menikah dengan orang lain. Yang rela melepasku dengan pertaruhan apapun. Ara tak akan rela melepas sisi egoisnya dan keras kepalanya hanya karena kata cinta. Dia bukanlah tipe orang yang bisa melemah hanya deng
"... Mencintai dua orang dalam satu hati, tidaklah mudah ..."~ Ara ~..Aku masih sukar menepis kesepian, dan bergulat menyingkirkan pikiran sedih ini dari 25 hariku tanpanya. Hampir sebulan dan dia masih sama saja, menghindariku. Masih menutup diri dariku. Sikapnya jadi jauh dari hangat. Sepertinya kali ini dia sungguh-sungguh ingin menjadikanku musuhnya. Aku lelah membujuk, berdamai padanya sedang dia seperti tak mau lagi mengenalku, hingga tangispun sering menjadi teman sunyiku.Benar katanya, kami tidak baik terpisah. Tapi aku tak bisa memilihnya, sekalipun aku ingin memilihnya. Karena bagiku, tak ada restu orang tua itu seperti menjalani hidup dalam sekap bayang-bayang hitam. Selain memicu sesak nafas dan rasa takut, itu juga memberi beban ketidak tenangan jiwa."Maaf, aku tak bisa memilihmu, sekalipun aku ingin. Aku hanya tidak bisa..."Pedih itu hadir kembali, mengusik hati yang masih gamang. Dan disaat seperti inilah aku berlari pada Tasya. Berharap dia bisa menghibur gulan
"... I love you, itu perasaan bukan bualan ..."~ Ara ~.."Makan sendiri tidak terlalu enak, Aru!""Makan denganmu lebih tidak enak lagi. Maksudku, makan dengan MANTAN lebih tak enak lagi rasanya tauk!"Aku menatap lelah. Malas mendengar hal semacam itu keluar lagi jadi sinis yang mengusik telinga."Harusnya, jawab saja agar kita punya tenaga lagi untuk bertengkar. Itu lebih mudah diterima daripada alasan apapun juga, saat ini. Bagiku""TERSERAHLAH!"Kutarik satu mangkok dengan dorongan kesal. Menyantap laksa dengan banyak air mata, menikmati kebersamaan yang kini terasa MEMUDAR di depan mata.Satu seruputan lagi, air mataku meleleh terbawa arus perasaan yang kian campur aduk jadi satu kesatuan, antara takut kehilangannya tapi juga harus merelakan. Antara rindu tapi juga lelah dengan sikap dinginnya yang tak mereda. Sedangkan waktu kami makin singkat dan terbatas.Aku sungguh merindukan sosok Aru yang biasanya hangat, ramah, penuh cinta.'Cinta?' Bukankah aku baru saja memutusnya.
"... Sejak kau tumbuhkan cinta lain dihati, dimensi cintamu berubah ..." ~ Aru ~ . . Remang hadir lagi dalam pandangan Ara, setelah aku meluruskan apa yang kurasa telah bengkok dalam pandangannya. "Kau lupa, Ra?!" "Kau lupa jika itu bagian dari perasaanku! Itukah kenapa kau tak membalasku? Atau kau tak membalasnya sebab itu bukan lagi perasaanmu padaku?" "Buk− " "It's okay. It's okay! Aku memang tak seharusnya menuntutmu mengatakan hal yang sama. Jika− Jika kau memang tak lagi merasakan hal yang sama padaku. Aku paham. Aku tak harusnya egois meminta hal yang sama padamu..." 'Apa karena aku terlalu menuntut? Karena itu kau memilih untuk memilihnya?' "Bisa kita pulang sekarang?" Aku kehabisan keberanian dan nyali. "Dan ini, bisa kau urus pembayarannya dulu? Aku yang akan traktir kali ini, tapi... pinjam uangmu dulu ya! Aku
"... Akan ada waktu baik saat berusaha ..." ~ Ara ~ . . Aku terus menghitung waktu hampaku. Enam belas hariku mulai di-isi sesal dalam tangis dan renungan. Aru tak pernah muncul lagi kemari, meski aku telah meminta Zein mengijinkannya. Tujuh belas hariku berjalan suram. Dia masih menyenyapkan diri. Aku tahu, mungkin itu karena dia masih marah dan terluka. Jadi aku memberi jeda untuk tak kesana, berharap dengan begitu dia punya ruang untuk merindukanku. Tapi 18 hariku terkurung dalam pesimis membuatku tak nyaman lagi hanya diam. Akupun jadi mudah menangis, teringat dia. Sementara seisi rumah ini terisi penuh dengan bayangannya. Tapi Aru tetap sedingin es beku, tetap memblokirku. Tetap tak lagi peduli aku. "Bagaimana harus kujalani hariku tanpa mu besok?" Percakapan waktu itu muncul lagi dari keheningan. "Itu tak akan terlalu sulit bagimu, Ra. Kau akan memulai cinta baru dengannya. Mudah bagimu melupakanku. Tapi... bagaimana denganku?" Ya, bagaimana denganmu? Kau hanya selal
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda