"... Bukan besar ketulusan yang memicu pengkhianatan tapi rumitnya keadaan ..." ~ Aru ~ . . Setelah berhasil menenangkan Ara yang menangis sedih sebab mengira aku pergi, padahal hanya mencari makan sebentar. Dia akhirnya tertidur. Dan aku juga. Tapi suara berisik membangunkan tidur kami. Membuat kami saling menatap dalam linglung. "Tamu?" duganya. "Telpon Ra!" kataku. "Buka pintunya. Aku akan terima ini" Aku membukakan pintu, dan langsung disambut cengkraman tangan ayah Ara. Tatapannya tak bersahabat padaku. "O-om...??" aku sesak nafas. "Apa yang kau lakukan disini? Mana Tia?" Aku menunjuk atas. "Cek Ma!" ibunya mematikan telpon. "Apa yang KAU LAKUKAN pada ANAKKU? JAWAB!!" "O..om... A...aku... han...han" aku berjuang untuk tetap bernafas. Tak bisa melawan karena masih shock, juga karena baru bangun tidur.
"... Sinyal itu begitu jelas harusnya, tapi aku terlambat menangkapnya ..."~ Ara ~..Aku kembali karena telah pulih dari sakit. Aku memberi tahu Aru jika akan datang hari ini, tapi dia sedang di rumahnya dan tak bisa menyambutku saat aku kembali.Aku tak mengapa. Lagi pula kami baik saja sejauh ini. Komunikasi kami masih baik juga. Aru tak marah karena peristiwa di rumahku itu. Dia malah lebih dewasa, sabar dan perhatian. Aku suka melihat sisinya yang hangat seperti ini.Aku masuk kamar dan merasa senang karena kamarku terlihat lebih rapi. Tak ada baju tergantung, meja riasku tertata rapi. Aru pasti yang melakukannya, tidak mungkin Tasya.Aku membuka lemari dan itupun tertata rapi, wangi dan licin. Senang rasanya, aku tak harus menyetrika seminggu ini.Aku lalu keluar untuk mengambil minum. Kulkas dan dapur juga tertata rapi. Aku tersenyum sendiri."He's so kin
"... Aku berhasil menumbuhkan cintaku, kian hari membesar, tapi mungkin tercipta karena keadaan ..."~ Ara ~..Aku pulang dengan jiwa hampaku. Zein mengawal hingga aku sampai di rumah. Meski kutolak, tapi dia tak mendengarku. Katanya, itu bagian janjinya pada Aru.Aku terbaring hampa, mengingat pesan Aru yang masih segar dalam ingatan.'Bergembiralah Ra. Nikmati kebebasan ini' suara Aru masih menggema di telingaku."Kenapa kau pergi?" teriakku."Ara, aku masih disini"Aku tak bicara denganmu."Ara... Kau baik?""Just leave me alone, Zein!""Okay, jika itu maumu. Aku pamit, Ra."Suara Aru kembali hadir di ruangan ini."Jangan risaukan kabarku bagaimana. Kau tahu aku selalu baik saja tanpamu. Cause I'm stronger than you! Saatnya menulis cerita baru dengan orang baru, Ra. Kurasa ini waktunya menepati janjiku
"... Teman tak akan berkorban sebesar dia melakukannya untuk cinta ... "~ Aru ~.."Alasan lainnya karena apa? Kenapa kau pergi? Aku memintamu move on darinya, bukan menghilang. Bukankah kau sudah membatasinya dengan banyak larangan JANGAN. Menghilang, apa itu perlu?""Apa itu berlebihan?""MUNGKIN"Bagiku melarikan diri darinya merupakan suatu keharusan yang tak terhindarkan."Zein, terus berada di kota ini justru makin membuatku sesak. Jalanan, rumah, mall, tempat makan semua penuh oleh ingatan tentangnya. Bahkan saat menyantap mie instanpun dia bisa muncul lagi""Kau terusik?""Ya. Aku bahkan tak punya tempat untuk dihabiskan sendiri. Jadi jangan sesekali ajak pacarmu ketempat favoritmu, karena saat putus itu jadi menyebalkan. Terlebih kota ini kecil""Yea, okay. Nice advice""Itu membuatku benci semuanya""Karena itu? Tak
"... Aku rela menyerahkan cintaku untuk menukarnya dengan bahagiaanmu ..." ~ Aru ~ . . Dia cantik seperti biasanya. Tersenyum bahagia menatapku seperti sedia kala. Ara menciumku dengan berani. "I miss you, Ru" Aku shock, tapi tak memungkiri jika ada senang yang menyelinap masuk dalam perasaan salah itu. Dia mendekat tanpa ragu. Aku masih menimbang dalam tanya, terdiam dalam kikuk. Tahu jika dia sudah menikah, tapi tak bisa menolaknya secara tegas. "Do you miss me?" Tangannya melingkar berani di leherku. Tatapannya merayu. Senyumnya merayu. Bahkan dia berani membisikkan hal tabu. "It's okay. Nobody knows!" Getar dihatiku memicu remang lenganku. Dengan mudah dia mengenali gelisahku. "Don't worry! Papa lagi tidur, dan Mama di dapur. Kita punya waktu Aru." What is this Ara? Kenapa
"... Cinta yang kuminta hanya sederhana, cukup berikan aku perhatianmu... "~ Aru ~..− Pertikaian Terakhir −Aku tak pernah menyangka akan bertemu Ara dalam pelarianku dari Singapura ke Jogja, seperti ini."Aru?""Hai... Ah ya, pesananmu. Enjoy!""Aru!""Kau mau pesan sesuatu yang lain?""Apa kita bisa bicara sebentar, nanti?""Akuuu−""Kau menghindariku?"Ya."Tidak. Hanya hari ini... Aku cukup lelah"Setelah menimbang ulang.Aku menulis alamatku."Besok?""Huh?""Aku libur. Kau bisa menemuiku besok" kuserahkan kertas itu.Senyumnya terkembang. Akupun ternyata senang akan menghabiskan waktu dengannya.Jam 8 pagi dia datang. Sepertinya, diapun bersemangat ingin menghabiskan hari bersamaku."Kau belum s
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende