Beranda / Urban / The First and Only One / 1. Penolakan dan Harapan

Share

The First and Only One
The First and Only One
Penulis: Asihdias

1. Penolakan dan Harapan

Penulis: Asihdias
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56




"Tidak Ma. Aku tidak ingin dijodohkan. Aku akan menikah dengan orang yang aku cintai." Pria tampan bermata serupa mata elang itu menghela napas lelah. "Aku pergi. Aku lelah dengan pembicaraan ini," lanjutnya lalu beranjak pergi meninggalkan sang ibu.

"Mama belum selesai bicara. Dimas kembali!" teriak Sarah tapi Dimas tidak mengacuhkannya. Ia cukup lelah dengan sikap ibunya yang selalu memaksanya untuk menikah dengan gadis yang menurut ibunya baik. Bukan berarti pilihan ibunya buruk atau tidak sesuai dengan keinginannya. Hanya saja sudah beberapa kali menuruti ibunya untuk mengenal dan bertemu dengan mereka, tapi tidak satu pun di antara mereka yang bisa membuat hatinya bergetar. Tidak satu pun di antara mereka yang membuatnya merasa nyaman.

Sikap yang mereka tunjukkan padanya itu benar-benar membuatnya muak. Sikap mereka terlalu dibuat-buat, tidak ada satu pun yang tulus. Mengingatnya saja sudah membuatnya mual. Ia mendesah lelah.

Apa salah jika ia ingin menikah dengan orang yang dicintainya? Apa salah ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan orang yang dicintainya dan mencintainya? Ia tidak ingin gegabah dalam memilih pasangan.

Sering kali ia melihat teman dan rekan bisnisnya yang menikah karena perjodohan berakhir tragis. Entah itu perselingkuhan ataupun perceraian. Ia tidak ingin mengalami itu semua. Hah! Andai ia memiliki kekasih yang dicintai dan mencintainya, pasti ia tak akan berpikir dua kali untuk membawa kekasihnya itu ke hadapan ayah dan ibunya. Kenyataannya, ia belum menemukan sosok itu. Sosok yang mampu membuatnya nyaman dan menggetarkan hatinya. Ia harap, ia akan menemukan sosok itu suatu hari nanti. Iya suatu hari nanti.

***

"Paman!"

Teriakan itu membuat beberapa orang di ladang itu menoleh. Mereka tersenyum dan menggelengkan kepala mereka melihat sikap gadis cantik yang berlari kecil ke arah mereka itu. Senyum tak lepas dari wajah cantiknya. Wajah semringahnya sangat terlihat jelas dari binar matanya. Mereka benar-benar terhibur dengan sikap gadis cantik itu. Hidup mereka lebih berwarna sejak kedatangan gadis cantik itu di tengah-tengah mereka tiga tahun yang lalu.

"Paman lihat! Hasil panen kita bulan ini meningkat," ujarnya dengan penuh semangat. Ia menunjukkan beberapa sayuran dalam wadah yang dibawanya.

Orang-orang di sekelilingnya melihat wadah itu dan terkekeh setelahnya, "Rea! Sayuran di wadah ini tidak bisa menunjukkan hasil kita bulan ini meningkat."

Rea atau lengkapnya Andrea, si gadis cantik mengembungkan pipinya, sebal. "Bukan ini maksudku, Paman, tapi itu," katanya sambil menunjuk beberapa wadah yang penuh dengan berbagai jenis sayuran dan buah. Semua orang mengikuti arah yang ditunjuk Rea. Mereka terdiam melihat jumlah sayuran dan buah itu.

"Benar, 'kan? Hasil panen bulan ini meningkat?"

Mendengar perkataan Andrea membuat orang-orang itu tersadar. Astaga! Gadis cantik ini benar-benar pintar mengerjai dan membuat mereka kehabisan kata-kata.

"Ayo cepat selesaikan ini agar kita bisa pulang lebih awal," ujarnya. "Dan aku akan memasakkan makanan untuk paman dan bibi sekalian, spesial buatan Rea," lanjutnya yang disetujui oleh orang-orang yang ada di ladang itu, 'Semoga kau tetap tersenyum dan bahagia seperti ini, Rea,' batin mereka.

***

Revan mengernyit saat melihat Dimas sahabatnya berwajah lesu. Pria tampan itu juga mendengar beberapa kali desah lelah dari sahabatnya, seperti sedang menghadapi masalah yang sangat besar.

Revan menempelkan minuman dingin di pipi sahabatnya yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. "Ada apa, hm? Apa yang sedang kau pikirkan sampai wajahmu seperti mayat hidup?" tanyanya setelah Dimas sadar kalau dirinya ada di ruangan yang sama. "Apa masalah dengan tante Sarah lagi?"

Dimas menghela napas, "Kau selalu tahu apa yang menjadi masalahku, Van."

Revan terkekeh dan mengangguk. Memang benar ia selalu tahu apa yang menjadi masalah sahabatnya. Dimas selalu menjadikan permintaan ibunya adalah sebuah masalah. Sedikit tidaknya ia tahu dan mengerti apa yang menjadi pikiran Dimas, karena ia pun mengalaminya. Namun, ia lebih beruntung karena ibu dan ayahnya tidak memaksanya. Mereka hanya memintanya untuk mengenal beberapa orang tapi keputusan tetap ada pada dirinya. Berbeda dengan Dimas yang setiap saat mendapat tekanan dari sang ibu.

"Kalau aku jadi dirimu, aku akan menerimanya."

"Lalu bagaimana denganmu, huh? Kau juga sama bukan? Selalu menolak wanìta yang dikenalkan orang tuamu."

Revan kembali terkekeh mendengar sindiran Dimas. Ia tidak menampik akan hal itu karena yang dikatakan Dimas benar adanya. "Ya ... ya ... ya ... aku akui itu, tapi aku tetap berusaha mengenal mereka," sanggah Revan yang membuahkan dengkusan Dimas "Itu tidak ada bedanya, dasar bodoh!" bantah Dimas.

Dimas memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di sofa. "Aku tidak menyukai mereka Van. Sikap mereka selalu membuatku muak. Kau juga pasti tahu maksudku, 'kan?" ucap Dimas masih setia memejamkan matanya.

"Ya ... karena itulah tujuan mereka, Dim. Selalu tentang uang dan kekuasaan. Tidak jauh-jauh dari hal itu. Mereka akan melakukan apa pun untuk bisa hidup enak dengan kemewahan dan kekuasaan."

Revan mendesah. Pikirannya melayang. Mungkin hampir semua orang yang melihat mereka, akan menganggap mereka hidup dengan mudah tanpa kesulitan yang berarti. Nyatanya, hidup mereka jauh dari bayangan banyak orang. Tidak mudah mencapai apa yang mereka miliki saat ini. Mereka harus menguras pikiran, tubuh bahkan hati mereka untuk meraih semuanya.

"Rasanya aku ingin melarikan diri dari ini semua, Van."

Perkataan Dimas sontak membuat Revan menatapnya dengan kening mengerut dalam. "Kau serius dengan ucapanmu, Dim?" tanyanya.

"Jika aku bisa, sudah pasti aku akan melakukannya." Dimas membuka matanya,  "Jika aku diberi kesempatan untuk beristirahat dan menghentikan kegilaan ini, pasti aku tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil kesempatan itu."

Dimas meneguk minumannya dan menghela napas "Dan berharap mama akan mengerti yang aku inginkan. Mengerti kalau aku juga manusia yang memiliki hati dan perasaan, memiliki keinginan sendiri. Bukan hanya anak yang harus menuruti setiap perkataan orang tuanya."

"Lalu apa yang kau ingin lakukan?"

Dimas mengangkat bahu tidak acuh "Sudahlah hentikan pembicaraan ini. Aku sudah bosan membicarakan hal ini terus menerus. Entah itu denganmu atau dengan mama."

Revan terbahak dengan keras. "Kau menginginkan kesempatan tapi tidak tahu apa yang akan kau lakukan? Kalau aku jadi dirimu, aku akan mencari seorang kekasih agar mamaku tidak lagi melakukan perjodohan-perjodohan konyol itu. Dengan begitu, aku tidak akan dipaksa untuk menyetujui perjodohan apa pun lagi."

"Memangnya mudah untuk mencari kekasih? Jika aku memilikinya, aku tidak akan sefrustrasi ini."

"Dengan uang dan wajahmu, kau pasti dengan mudah kauakan mendapatkannya."

Dimas mendelik kesal ke arah Revan "Bukankah itu sama saja dengan menerima perjodohan itu, huh?" tanyanya.

"Lalu kau ingin kekasih seperti apa, Dim? Kau tahu sendiri tidak mudah menemukan seseorang yang bisa menerima kita apa adanya, tidak memandang kita dari harta dan kekuasaan."

Dimas mengangkat wajahnya, menatap semburat jingga di langit yang tampak dari jendela ruangannya, menerawang jauh ke mana. "Aku yakin suatu hari aku akan menemukan seseorang yang menerimaku apa adanya. Hanya melihat aku sebagai Dimas Ardiantara, bukan dari wajah, harta, ataupun kekuasaan. Aku akan menemukan orang yang mampu menggetarkan hatiku dan mampu membuatku nyaman."

Revan sempat terkesiap mendengar ucapan Dimas, tapi dengan cepat ia tersadar. Ia mengulum senyum dan menepuk bahu Dimas "Iya! Suatu hari kau akan menemukan orang yang kau cintai dan mencintaimu. Aku yakin kau akan menemukan orang itu, Dim."

Dimas mengangguk "Kau juga, Van," ucapnya.

"Itu pasti!" ucapnya Revan mengiyakan perkataan Dimas. 'Atau mungkin aku sudah menemukannya, Dim,' batinnya seraya membayangkan wajah seorang gadis yang tersenyum manis padanya. "Sebaiknya kita pulang sekarang," ajaknya pada Dimas.

Dimas melihat jam tangannya, dan benar hari sudah mulai gelap. Ia mengambil jasnya lalu mengikuti Revan yang lebih dulu melangkah keluar dari ruangannya.

***

Bab terkait

  • The First and Only One   2. Keinginan Hati

    "Terima kasih, Rea. Makananmu ini yang terbaik," puji Yudi setelah menikmati makanan yang dihidangkan oleh Andrea. Perkataan pria paruh baya itu diangguki oleh semua yang ada di halaman rumah Andrea yang cukup luas. Warga desa memang acap kali mengadakan makan bersama setelah mereka selesai memanen hasil pertanian yang mereka tanam. Kali ini mereka memilih halaman rumah Andrea karena gadis itu yang ingin menyajikan makanan utamanya dibantu beberapa warga. Ya setidaknya lebih meringankan beban gadis malang itu. Lagi pula di antara rumah mereka, rumah Andrea yang paling luas."Kembali kasih, Paman. Aku senang jika paman menyukai makanan yang aku sajikan," balas Andrea sambil mengulas senyum pada Yudi dan yang lainnya ada di sana. Tangannya masih sibuk menyajikan beberapa makanan untuk warga desa. Bibirnya tidak henti mengulas senyum mendengar jika makanan yang

  • The First and Only One   3. Menolong Orang Asing

    "Galang! Bantu aku!" seru Danu sambil berusaha berdiri dengan tegak sambil memapah seseorang di bahunya. Tadi ia terjatuh dan terguling saat mendorong mobil yang ditumpanginya untuk kembali ke badan jalan karena mobil tersebut terperosok ke sisi jalan yang miring dan berlumpur. Tadi, saat akan berdiri, matanya menangkap seseorang pingsan tidak jauh dari tempatnya dengan luka yang cukup membuatnya bergidik ngeri saking banyaknya luka yang orang ini derita."Siapa yang kau bawa?" pekik Galang. Ia kembali ke bawah untuk membantu temannya ini karena tadi dari arah kaca mobil ia melihat Danu terjatuh saat mendorong mobil mereka yang terjebak di lumpur. Namun, siapa sangka saat ia kembali setelah berhasil membawa mobilnya ke badan jalan, ia menemukan Danu sudah berjalan pelan sambil memapah seorang pria muda yang terluka cukup parah.

  • The First and Only One   4. Firasat dan Pencarian Revan

    "Ck! Dimas! Ke mana kau? Kenapa ponselmu mati?"Revan berdecak dan menghela napasnya. Sungguh ia lelah, tapi kekhawatirannya pada Dimas tidak membuatnya berhenti untuk menghubungi sahabatnya itu. Seharusnya Dimas sudah ada di Jakarta beberapa jam yang lalu, tapi kenyataannya, sahabatnya itu tak kunjung sampai dan tentu saja hal itu membuatnya khawatir. Terlebih orang tua Dimas terus menghubunginya untuk memastikan Dimas bersamanya atau tidak.Ia yakin Dimas sudah di jalan karena tidak sampai satu jam setelah ia bicara dengan Dimas siang tadi, sahabatnya itu menghubunginya. Mengatakan jika akan kembali karena tuntutan sang ibu. Niat Dimas menenangkan diri dari kehidupannya di Jakarta harus berakhir lebih cepat dan jika dihitung-hitung Dimas seharusnya sudah sampai Jakarta, tapi hingga sampai hari menjelang malam Dimas belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sekadar menghubunginya pun tidak. Dihub

  • The First and Only One   5. Kabar Buruk

    "Sekarang katakan! Di mana Dimas sekarang? Dia mengatakan akan kembali, tapi sudah empat hari berlalu dia belum juga pulang. Tante tahu, Dimas sudah kembali ke Jakarta. Biasanya jika tidak pulang, Dimas akan berada di apartemennya tapi kali ini Dimas tidak ada di sana. Sebenarnya di mana Dimas?Tante yakin kau tahu di mana Dimas. Kalian pasti bersekongkol."Revan memutar bola matanya malas sebelum memandang sinis ke arah ibu sahabatnya. "Bukahkah memang itu gunanya sahabat. Terlebih Dimas sudah seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku tidak membantunya jika dia minta tolong kepadaku?" balasnya dengan sinis.Ibu dari Dimas ini benar-benar memancing emosinya. Jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih dengan ibu dari sahabatnya, ia mungkin sudah meninggikan suaranya untuk membalas perkataan Sarah. Namun, ia masih punya sopan santun dan menghormati wanita yang sedang memandang angkuh ke arahn

  • The First and Only One   6. Ungkapan Kekesalan

    "Hanya itu yang bisa kusampaikan, Paman. Sampai saat ini pun orang-orang suruhanku masih melakukan pencarian. Semoga saja secepatnya kita mendapatkan kabar baik," ujar Revan setelah menjelaskan semuanya tentang Dimas pada orang tua sahabatnya.Tidak ada yang bisa dikatakan Adrian selain terima kasih pada Revan yang telah berbuat banyak untuk Dimas, putranya. Bahkan lebih dari mereka yang merupakan orang tua dari Dimas sendiri.Revan hanya membalas ucapan terima kasih Adrian dengan seulas senyum. Ia melirik ke arah Sarah yang masih terisak di bahu suaminya. Andai air mata dan kekhawatiran itu ada sebelum Dimas kecelakaan, mungkin Dimas masih berada di sini bersama mereka. Namun, semua sudah terjadi sekarang, tidak akan ada yang berubah. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa agar Dimas baik-baik saja."Aku akan terus mengabari paman mengenai pencarian Dimas," tukas Revan setelah beberapa saat terdiam mengamati dua orang di hadapannya. "Jika tidak ada yan

  • The First and Only One   7. Luka Hati

    "Paman istirahat saja, paman pasti lelah setelah seharian bekerja. Biar aku saja yang menjaganya. Lagi pula ini sudah malam, paman membutuhkannya agar bisa beraktivitas besok."Danu tersenyum mendengar perkataan Andrea yang duduk di tepi ranjang. Ia menatap gadis cantik yang sedang mengganti kain kompres di dahi pria yang ditolongnya beberapa minggu yang lalu itu. "Aku sudah berjanji padamu, aku akan membantumu untuk merawatnya. Jadi aku akan di sini sampai kondisinya membaik," ucapnya lalu kembali menatap iba pria yang masih setia memejamkan matanya meski sudah dua minggu berlalu. Bahkan sejak kemarin kondisi pria ini menurun.Melihat tatapan Danu membuat Andrea menghela napas pelan. Ia tahu Danu sedang mengkhawatirkan pria yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar ini. "Dia baik-baik saja, Paman. Kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Paman tidak perlu cemas. Jika terjadi sesuatu, aku akan memberi tahu paman. Jadi sekarang paman bisa pulang dan ist

  • The First and Only One   8. Luka yang Sama

    "Andrea ...""Andrea?""Huh? Paman?""Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?""Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan.Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak

  • The First and Only One   9. Keadaannya

    Danu yang merasa Andrea begitu lama membersihkan tubuh pria yang ditolongnya, memutuskan kembali ke kamar yang di tempati pria itu untuk memanggil Andrea. "Andrea! Kenapa lama sekali? Kau ..." Perkataannya menggantung saat mendapati Andrea termenung, tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan benda yang ada di tangan gadis itu. "Apa yang kau pegang itu Andrea?""Eh Paman? Sejak kapan ada di sini?" tanya Andrea terkejut saat mendengar suara Danu bertanya padanya. "Apa paman sudah selesai sarapan?" lanjutnya."Paman sudah selesai sarapannya. Paman menunggumu tapi kau belum muncul juga untuk sarapan, makanya pamam ke sini untuk memastikan apakah semua baik-baik saja, dan yang paman temukan adalah kau lagi-lagi melamun," jelas Danu. "Apa semua baik-baik saja? Dan apa yang ada di tanganmu?" tanyanya lagi.Andrea hanya tersenyum tipis. "Semua baik-baik saja. Hanya saja aku menemukan ini terlepas dari

Bab terbaru

  • The First and Only One   70. Harapan Baru

    "Kalian beristirahatlah! Pasti lelah setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan.""Benar yang dikatakan oleh pamanmu. Kalian istirahat saja, sisanya biar kami yang mengurusnya," imbuh Ratih menimpali perkataan suaminya.Dimas dan Andrea saling berpandangan sebelum mengiyakan perkataan paman dan bibi mereka. Tidak dipungkiri, mereka lelah setelah seharian mengikuti prosesi pernikahan. Terlebih mereka juga menerima kehadiran warga desa yang datang untuk memberi selamat dan doa untuk mereka. Keduanya beranjak menuju kamar masing-masing tapi baru beberapa langkah, celetukan Ratih menghentikan niat mereka."Kalian sudah menikah, apa kalian sudah lupa?"Baik Dimas dan Andrea berbalik dan menoleh. Keduanya tersenyum malu sembari menggeleng. Tentu saja mereka tidak lupa.Ratih bersedekap sembari menatap geli ke arah pasangan pengantin baru di depannya. Senyumnya mengembang melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan oleh Dimas dan Andrea. "Lantas? Jika begitu kenapa kalian menuju ke kamar y

  • The First and Only One   69. Akhirnya Menikah

    "Kau sudah siap?"Andrea sempat tertegun sebelum mengangguk. Danu yang bertanya hanya mampu memberikan senyumnya melihat reaksi Andrea. Sekalipun Andrea mengatakan baik-baik saja, tapi ia yakin itu hanya di bibir saja. Jauh dalam hatinya, gadis yang sudah seperti anaknya ini pasti merasa sedih. Siapa pun akan merasakannya saat harus menikah tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang mendampingi, terlebih untuk Andrea yang seorang gadis.Danu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Andrea. Keduanya keluar dari ruang tunggu, berjalan perlahan menuju ruangan tempat pernikahan akan dilaksanakan. "Kau cantik, Andrea. Sangat! Andai tuan dan nyonya besar masih ada, mereka pasti akan bahagia melihatmu menikah," ujar Danu pelan diiringi dengan hela napas. "Dan seharusnya bukan paman yang berada di sampingmu kini, tapi tuan Keenan."Andrea menghentikan langkahnya mendengar perkataan Danu. Tidak dipungkiri ada rasa sedi

  • The First and Only One   68. Nasehat

    "Kau sudah mendengarnya sendiri bukan? Andrea teguh dengan keputusannya untuk menikahimu. Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, terlebih Andrea," tutur Aruni sembari menatap lekat ke dalam mata Dimas. Awalnya ia ingin meninggalkan suaminya dan Andrea bicara berdua, tapi saat hendak pergi dari ruang keluarga, ia mendapati Dimas masih berdiri di lorong yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niat untuk pergi. Memilih tetap tinggal dan mendengar pembicaraan suaminya dengan Andrea.Dimas yang sedari tadi memperhatikan Andrea dan Danu, mengalihkan pandangannya ke arah Aruni. Membalas tatapan wanita paruh baya di hadapannya. Ia akui ia sempat ragu akan keputusannya, tapi setelah mendengar pembicaraan antara Danu dan Andrea membuatnya lebih yakin. Jika Andrea bisa seyakin itu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihannya di masa mendatang, ia pun bisa. Ia tidak boleh goyah lagi, terlebih keputusannya ini menyangkut hidup seseorang.

  • The First and Only One   67. Tentang Keputusan Andrea

    Aruni menghela napas panjang setelah Dimas pergi. Mengalihkan seluruh atensi pada suaminya dan Andrea. Danu sudah berjalan mendekati gadis yang sebenarnya adalah nona muda mereka. Gadis malang yang sudah tinggal bersama mereka di desa ini lebih dari tiga tahun lalu. Gadis malang yang terpaksa tinggal di desa ini karena keegoisan dan keserakahan beberapa orang. Netranya terus mengamati dua orang yang berdiri menghadap jendela itu.Tidak berniat untuk mendekat ataupun pergi. Memilih menjadi pendengar dengan duduk di tempat yang tadi diduduki Dimas. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan keduanya. Dibandingkan dengan dirinya dan Ratih.Danu dan Galang yang lebih dekat dengan Andrea. Mengingat Danu dan Galang-lah yang tetap bekerja pada keluarga Chandrawijaya dan mengikuti keluarga majikan mereka itu pindah ke Jepang lima belas tahun yang lalu, sedangkan ia dan Ratih memilih kembali ke desa mereka bersama anak-anak. Awalnya ia dan Ratih mengira semua baik-

  • The First and Only One   66. Mencoba Bicara

    "Kau yakin dengan keputusanmu ini, Andrea?"Andrea tidak urung berbalik dari depan jendela. Manik bulatnya tetap mengarah ke luar jendela, menatap pemandangan di luar rumahnya seakan pemandangan itu lebih menarik daripada yang lainnya. Pertanyaan dari Dimas pun tidak kunjung membuatnya mengalihkan perhatiannya. "Apa yang bisa kujelaskan lagi, Kak?Aku sudah menjelaskan semuanya di balai desa, tidak ada alasan lainnya lagi," jawab Andrea dengan tidak acuh berusaha mengabaikan kegusaran yang ia rasakan. Tangannya yang berada di kusen jendela terkepal erat berusaha menahan perasaannya yang berkecamuk. 'Aku takut sendiri lagi, Kak. Semua meninggalkanku sendiri. Papa, mama pergi, dan Kak Keenan? Dia meninggalkanku di desa ini sendiri. Bahkan dia tidak pernah sekalipun mengunjungiku. Aku takut sendiri lagi jika kakak pergi. Dan hatiku juga yakin jika Kak Dimas adalah pria yang tepat untukku dan menginginkan kakak selalu ada di sisiku,' batin Andrea sendu

  • The First and Only One   65. Keyakinan Hati

    Semua orang bebas untuk memilih. Begitupun dengan Andrea dan inilah pilihannya. Menikah dengan Dimas bukan pilihan mudah yang bisa ia putuskan dalam sekejap. Namun jika dihadapkan pada pilihan tersebut, maka ia yakin ini keputusan yang tepat. Terlepas dari ia yang tidak ingin pergi dari desa ini dan tidak tahu harus ke mana jika pergi dari desa ini, ia memutuskan ini karena hatinya memang menginginkan Dimas dan menyakini pria itu memang yang terbaik untuknya."Kau yakin dengan keputusanmu itu, Andrea?"Pertanyaan dari Pak Wira menyadarkan Andrea, ia menegakkan tubuhnya dan kembali menoleh ke arah Dimas yang masih menatapnya. Wajah pria itu masih tampak syok dan Andrea mengerti hal itu. Siapa yang tidak terkejut dengan jawaban yang ia berikan tadi? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri pun terkejut, tapi ia tidak menyesal dengan pilihannya."Aku yakin Paman," jawabnya sekali lagi lalu kembali menghadapkan ke arah depan. Menatap para perangkat desa yang menunggu jawab

  • The First and Only One   64. Perasaan

    Jawaban yang diberikan Andrea tak pelak membuat semua orang yang ada di balai desa itu terkejut. Mereka kira Andrea akan menolak atau tidaknya bernegosiasi lagi dengan mereka mengenai keputusan yang telah mereka jatuhkan padanya dan Dimas. Namun tidak, Andrea tanpa ragu menjawab mau menikah dengan Dimas. Lebih terkejut lagi dengan perkataan Andrea setelahnya."Aku setuju bukan karena aku mengakui perbuatan yang dituduhkan padaku dan Kak Dimas. Aku menyetujuinya karena tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak memiliki tempat untuk pergi, tidak memiliki tempat tinggal selain di desa ini. Aku tidak memiliki tujuan untuk pulang," ujarnya.Tidak bisa dipungkiri Dimas merasa hatinya sakit dan kecewa mendengar perkataan gadis yang duduk di sampingnya ini. Andrea mau menikah dengannya hanya karena tidak memiliki pilihan lain. Apa tidak ada sedikit saja rasa yang tumbuh di hati Andrea untuknya? Namun perasaan sedih itu langsung hilang digantikan oleh rasa iba setelah mendengar ke

  • The First and Only One   63. Di Antara Pilihan

    Tubuh keduanya membeku di kursi yang mereka duduki mendengar perkataan Pak Wira. Menikah? Mereka harus menikah? Kata-kata itu berputar dalam kepala mereka. Bagaimana mereka bisa menikah? Mereka tidak saling mencintai, bagaimana mereka bisa menikah? Memang tidak dipungkiri ada rasa nyaman saat mereka bersama. Pun ada getaran dalam hati mereka yang mereka rasakan saat dekat satu sama lainnya. Namun apa itu cukup disebut cinta? Bahkan dalam sebuah pernikahan cinta pun tidaklah cukup, ada komitmen, kepercayaan dan kesiapan diri di dalamnya. Sementara hubungan mereka selama ini tidaklah lebih dari pertemanan semata. Tidak ada komitmen apa pun dalam hubungan mereka. Lantas bagaimana mereka bisa menikah?Dalam diam mereka menyimak perdebatan antara Pak Wira dengan Erlan. Meski telinga mereka terbuka lebar untuk mendengar perdebatan itu, tapi tidak satu pun yang bisa ditangkap oleh mereka. Pikiran mereka masih dipenuhi dengan perkataan Pak Wira sebelumnya sampai pertanyaan dari Pak I

  • The First and Only One   62. Tidak Terima?

    "Bagaimana itu mungkin?""Aku tidak menerima itu!"Seruan itu datang dari Erlan dan Erni. Senyum yang tadi menghiasi bibir keduanya saat mendengar Dimas dan Andrea harus pergi dari desa ini sirna sudah. Erlan bahkan sudah berdiri dengan raut kesalnya. "Kenapa mereka harus menikah? Andrea tidaklah salah dalam hal ini. Bagaimana kalian bisa memutuskan hal yang memberatkan Andrea? Ini tidak adil. Lagi pula aku sudah memberikan bukti jika Andrea korban dari kebrengsekan pria itu."Pak Wira tersenyum sinis mendengar seruan kedua kerabatnya itu. Sekarang ia yakin dugaannya mengenai Erlan dan Erni yang menjebak Dimas dan Andrea. "Kenapa tidak mungkin?"tanyanya dengan sinis. "Ya! Kau memang memberikan kesaksianmu, tapi itu tidaklah cukup untuk memutuskan Dimas adalah tersangka sedangkan Andrea adalah korban. Bahkan Andrea sendiri menyanggah kesaksianmu itu dan menyatakan kalau Dimas yang menolongnya di saat dia sedang dalam keadaan tidak berdaya tadi malam. Jadi t

DMCA.com Protection Status