Pembicaraanku dengan Leon berakhir begitu saja. Dia membiarkan aku pergi menuju lorong kamar Rhys tanpa terlihat curiga dan tanpa penghancuran benda apapun milikku. Aku juga tidak peduli bagaimana pandangannya tentang hubunganku dengan Rhys.
Leon hanya selalu menghabiskan waktunya untuk memperingatiku. “Kau akan tahu ketika kau memilih Rhys daripada keluarga ini, ZeeZee. Jadi sebaiknya, kau pikirkan kembali. Tidak ada gunanya kau bersama Rhys. Dia memang semanis yang kau lihat, tapi dia tidak sebaik yang kau kira.”
Kuputuskan untuk mengucapkan banyak terima kasih padanya karena terus menasihatiku. Jujur saja, Leon seperti teman bagiku, dulu hingga sekarang.
Andai dia tidak marah tentang makan malam itu, alih-alih menuduhku sebagai penipu, mungkin malam ini aku bersedia menebus kesalahanku dengan mentraktirnya secangkir kopi di pusat kota Yellowrin. Aku yakin Rhys tidak akan keberatan untuk hal itu.
Sekarang, aku sudah hampir tiba di kamar Rhys. Aku mencarinya
Aku berpikir sejenak, berencana mengulur waktu meski aku jauh lebih menginginkan Rhys lebih dari yang dia tahu. Aku menyembunyikannya dengan baik sehingga Rhys terus berpikir aku tidak akan siap memberikan apa yang dia inginkan.“Kau setenang ini, apa kau biasa melakukannya?” tanyaku dengan berani. Entah sudah kemana ketakutan berpuluh tahunku kepadanya, sehingga aku selalu berani setiap kali bicara dengannya seperti saat ini.Rhys mengernyit tidak suka. “Karena aku sudah jauh lebih tua darimu, kau mengira aku semudah itu?”“Kau merasa dirimu terlalu tua?” Aku tertawa meski jantungku berdebar melihat rasa kesal menguasai Rhys.“Ya. Aku terus mengeluh saat usiaku bertambah setiap tahun lebih tua. Berharap aku bisa berada tiga atau hanya lima tahun di atasmu.” Terdengar nada keluhan Rhys menyimpan harapan, menyembunyikan kesedihan.“Umurku yang lebih muda tidak akan menjamin apapun. Aku tetap bisa
Rhys terdiam, mengamatiku, lalu tergelak. Seketika aku berwajah masam karena tawanya.“Hei, kau cemburu?”“Jawab saja pertanyaanku.” Bergerak ingin melepas pelukan, Rhys menahanku. Memelukku semakin erat.“Jangan coba menjauh dariku.” Rhys menggunakan kedua kakinya untuk mengunci tubuhku. “Akan kujawab semua pertanyaanmu.”Merasa sedikit sesak, aku mendongak, ada kehangatan menjalariku dan itu, menyenangkan. “Ya, cepat jawab.”“Audrey Adik kandung dari Megan. Sejak dulu, saat Megan masih ada, dia terus coba mendekatiku dengan alasan membutuhkan pekerjaan.” Rhys melonggarkan sedikit pelukan, menatapku lekat. “Kau tidak percaya padaku?”“Terus cerita. Aku belum mendengarmu sampai akhir.” Aku melawan tatapannya.Rhys mendesah, dia sangat patuh. Aku menyukai semua perubahan ini. Menikmati dia yang dulu menakutkan, kini jauh menjadi sangat manis dan menyenangkan.“Audrey memiliki maksud tertentu, dulu kupikir begitu. Tapi karena Megan
Sisa-sisa kesakitan dan kenikmatan bercampur jadi satu. Aku sampai harus meringis diam-diam saat Rhys tidak menyadarinya.Sekarang dia setengah tertidur meringkuk dalam satu selimut denganku. Kukatakan setengah tersadar, karena saat aku berencana turun dari ranjang, Rhys melingkarkan kedua tangannya di perutku. Bergumam tidak jelas saat aku bahkan tidak berusaha melawan.Ini sudah terjadi pada akhirnya. Mungkin akan ada kali kedua dan ketiga saat kesempatan di depan mata. Tapi sebenarnya, sekali terjadi, kami melaluinya dalam empat atau lima babak, aku lupa. Bukan, aku sengaja tidak ingin mengingatnya secara detail. Sedikit memalukan untukku nantinya.“Menyisakan sakit untukmu, hmm?” Rhys kembali bergumam, tapi kali ini jelas bagiku karena dia mengucapkannya tepat di depan wajahku. Kedua matanya masih terpejam, namun sesekali terbuka pelan, lalu kembali menutup.Kedua tangannya masih melingkar kuat di perutku. Membuatku sedikit merasa geli karena kulit kami y
“Oh, siapa ini?”Aku menoleh untuk melihat suara yang berasal tepat dari sisi kananku. Seketika keningku mengerut karena melihatnya tersenyum persis sama seperti saat pertama kali kami bertemu.Dia Adik dari mendiang kekasih Rhys. Siapa namanya? Mika? Audrey?Aku mendesah malas. Dia selalu berusaha terlihat ramah padaku. Sebelumnya juga, di rumah keluarga Oxley saat dia menyapaku dan Rhys.Jelas itu dipaksakan meski dilihat dari segi manapun.“Kau mengikutiku?” Tanpa melihat ke arahnya, aku langsung menyerang tanpa basa-basi.“Untuk seseorang yang tidak tahu apa-apa sepertimu, kau cukup peka dan pintar, ZeeZee.” Dia sudah duduk di sampingku. Aroma perpaduan vanilla dan bunga yang manis, begitu kuat menguar dari tubuhnya.“Ya. Kau jelas lebih tahu banyak tentang diriku karena kau menjadi penguntitku selama ini.”Dia tertawa pelan, terasa mendekat karena bahu kamu bersentuhan. Terlepas dari apa tujuan dan sikapnya yang terkesan palsu, sos
Mengerjap dua kali, akhirnya aku menyusul Luigi yang berbalik untuk menunggu.“Pernah naik kereta api malam hari?” Luigi bertanya seolah sebelumnya kami terlibat obrolan akrab.Aku menggeleng. “Terakhir kali saat usiaku, dua atau tiga belas tahun, mungkin.”“Begitukah? Bukannya delapan belas tahun?” Luigi tampak bercanda, dia tersenyum sekilas.“Entahlah, aku tidak ingat ...” Kuperhatikan dia yang tiba-tiba berjalan ke arah sebuah stasiun, “hei, kau serius soal kereta apinya?” Aku segera menyusul karena sempat berhenti sesaat akibat terkejut.Luigi mengangguk, dia membiarkanku kebingungan dan tidak lama setelahnya, aku dan Luigi benar-benar mengantri dengan calon penumpang lain untuk masuk dengan tertib ke dalam kereta, saat penumpang yang akan turun lebih diutamakan sebelum kami benar-benar masuk.Sedikit berdebar, ini pengalaman baruku lagi setelah belasan tahun. Aku tidak menyangka sama sekali bahwa Luigi tampak terbiasa dengan keadaan seperti
Luigi tersenyum. Membawaku duduk dan melepas trench coat-nya, hingga aku juga Luigi bisa merasakan rinai tipis menyerang kepala serta wajah kami lebih dulu daripada membasahi tubuh.“Nikmati ini denganku,” katanya lagi, menatap lurus ke depan, ke tempat kosong terbentang, tanpa ada pencahayaan.Terdiam, aku berusaha mendengar suara hujan dan membiarkan sunyi ini membungkus hatiku. Sekarang aku ingat, masa-masa pemberontakan kecil yang kulakukan, di usia tujuh belas hingga delapan belas tahun, aku memang banyak menghabiskan waktu di sini untuk mengobati hatiku.Ketika aku bersin setelah sepuluh menit berlalu, Luigi tertawa, memberikan saputangannya yang lembab dan memintaku beranjak dari kursi taman.“Aku rasa sudah cukup, sebaiknya kita pulang.” Dia memegangi lenganku karena aku yang tidak kunjung bangkit dari kursi. “Perlu kugendong sampai rumah?”Aku tertawa. Aku tahu dia bercanda. Luigi termasuk pria baik bersama Leon dan Adorjan yang jarang terlihat
“Kau tidak ada di rumah, dan tidak mungkin sedang bermalam di rumahku, bukan?” Suara Rhys, halus, tapi mengintimidasi. Menyerang langsung bahkan sebelum aku menyapa. Di sini, aku menggigit bibir. Melupakan kepekaan Rhys sesaat adalah kecerobohan besar. Aku keliru sejak awal. Ketika dengan mudah mengikuti kemanapun Luigi membawaku pergi. “Ingin aku yang menyeretmu dari sana?” Aku tersentak. “Ti-tidak, Rhys. Bukan begitu—” “Lalu apa?” selanya. Terdengar sangat tidak sabaran. Seperti dulu, seperti biasanya. “Aku bisa jelaskan saat kita bertemu. Kau tidak bisa berpikir seperti apa yang ada dipikiranmu saat ini,” jelasku. Terdengar helaan napas dari seberang, membuatku sekarang berpikir, sepertinya Rhys sedang memiliki beban pikiran sendiri di luar dari mencurigaiku. “Baiklah. Kutunggu kau pagi ini di kamarmu, di rumahku. Ingat pintu kamar dengan warna berbeda itu kan?” “Ya, baiklah. Aku selalu ingat warna merah tua di pintu
Aku diam. Hanya memberi tatapan tajam sebagai bukti, aku tidak akan pernah membenarkan perbuatannya meski tidak ada apapun yang terjadi di antara kami. “Kau benar-benar berniat memperkosaku, Lui.” “Sudah kujelaskan tadi, apa itu masih membuatku terlihat bersalah?” “Jangan menyangkal. Kau memang bersalah.” “Baiklah, baiklah. Tapi itu tubuhmu, kau jelas tahu bahwa aku tidak menjamahmu,” kata Luigi lagi, dia berbeda. Kurasa si pria bungsu ini mendadak dirasuki setan mesum atau sejenisnya. Dia kembali menilai tubuhku sesuka hatinya. “Singkirkan kedua matamu dari tubuhku, Lui!” Kupukul pundaknya, beranjak bangun dengan pemikiran bahwa kini ada dua pria di keluarga Oxley yang sudah melihat isi dibalik pakaianku. Sulit kuterima bahwa Luigi yang pendiam dan terkesan dingin pada wanita ini, lebih mengerikan daripada apa yang tercetak di dalam benakku. Sekarang dia tertawa, dan semakin kurang ajar karena berani menarik pinggangku, lalu m
Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha
“Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak
Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj
Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada
“Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen
“Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem
“Aku tidak berpikir begitu, Ed.”“Wajah dan gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya,” kata Adorjan, tersenyum.“Sudah, lupakanlah. Ayo, bicarakan hal apa yang ingin kau bicarakan padaku tadi.” Mengibaskan tangan di depan wajahku, kusembunyikan pembenaran itu di hatiku.Adorjan tertawa pelan, dia kini sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. “Apakah aman jika kuceritakan di sini?” bisik Adorjan, memajukan sedikit wajahnya, hampir tanpa berjarak denganku.“Aman, Ed. Tenang saja.” Terkejut, aku memundurkan wajahku secepat mungkin.“Begini, ini tentang kau dan Rhys ....” Tubuh Adorjan menegak seketika, dia menunda bicaranya dan malah melihat ke arah lain, melewati kepalaku.Refleks, aku melakukan hal yang sama. Melihat ke arah pandangan Adorjan, dibelakangku.Kedua alisku terangkat, ini penanda bukan hanya aku terkejut karena kemunculannya yang selalu tiba-tib
Tidak ada yang lebih baik dari tidur bersama Rhys di kamarnya. Bahkan kini aku merasa kamarku tidak lagi aman, apalagi nyaman.“Kau harus segera pindah ke rumahku. Kenapa masih bersikeras tinggal di sini? Peperangan sudah dimulai, ZeeZee. Keadaan tidak lagi sama.” Itu ucapan Rhys saat semalam memelukku menjelang tidurnya.Rhys baru saja pergi. Dan aku juga ingin pergi. Setidaknya keluar rumah saat tidak ada hal yang perlu kukerjakan selain mengacau seperti perintah Ibu atau Ayah di waktu-waktu sebelumnya.“Kita harus bicara, ZeeZee.” Suara serak Adorjan di garasi mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihatnya berjalan mendekatiku. Kutunggu dia dengan perasaan tidak aman. Apa lagi kali ini?“Ada apa, Ed?”“Tidak di sini.” Adorjan membuka pintu mobilku, dia menjadi pemimpin di depanku. Mengemudikan si merah mencolok tanpa inisiatif siapapun.Aku mengikutinya, duduk dengan perasaan ditenang-tenangka
Mulut senapan laras panjang milik David Oxley sudah menempel di pelipisku. Terbiasa, walau dalam tindakan yang berbeda, aku bergeming di tempat. Aku baru saja menunda percakapan dengan selingkuhan Ayah yang bukan Ayahku ini, karena saat wajah Martiana Neil memucat akibat pertanyaanku, kaki kami sudah tiba di depan pintu ruang kerja David.“Ini sambutan seorang Ayah untuk Putri bungsunya yang senang memberontak, suka ikut campur, dan selalu mau tahu.”Menelan kekecewaan yang entah untuk apa, aku tersenyum miring. Keberanianku setingkat lebih maju. “Terima kasih. Sambutan yang luar biasa, Ayah.”“Senang sekali rasanya saat tahu kau memenuhi undanganku, Nak.”“Aku Anak yang berbakti, Ayah.”Tawa David Oxley menggema di ruangannya. Bagiku, tawanya mirip Leon. Dia juga licik sama seperti keenam Putranya.“Hubunganmu dengan Rhys sudah terlalu dalam, padahal aku dan Tessa susah payah membuat jar