Olivia FinleyJelas ini ketakutan yang tidak berdasar. Aku harus mengambil keputusan, sebelum hatiku pun jadi berubah.Beberapa hari setelah pernyataan Brady tentang cintanya padaku yang kurasa omong kosong, dampaknya terlalu berlebihan untukku.Aku luluh. Sungguh, aku luluh dan membiarkannya tidur sambil memelukku. Dengan bibirnya yang menempel di leherku, ketika aku terbangun dan nyaris menendangnya yang masih demam tinggi.Gila! Itu sungguh gila!Berlangsung sampai pagi buta dengan kepalanya yang berpindah jadi ke perutku. Memeluk erat disekeliling tubuhku. Namun demamnya mulai turun saat kusadari itu terakhir kali.Jika mengingatnya sekarang, aku gemetar ketakutan. Perasaan bersalah yang membuatku ingin marah dan mengumpati diriku sendiri.“ZeeZee, kau masih di sana?” Rhys menegur dengan lembut, bertanya sehalus sentuhannya di setiap inci kulit tubuhku saat kami bersama.Aku bisa merasakannya. Sangat bisa. Tolong, gantikan momenku malam itu bersama Brady dengan segala hal tentang
Olivia FinleyBrady kembali mendekat. Bagian depan tubuhnya sudah menempel padaku. Bahkan wajahnya dan wajahku, kini tidak lagi berjarak. Tujuannya mungkin ingin pemanasan lewat ciuman.Sungguh dadaku sesak karena tidak dapat bernapas dengan benar. Tubuhku gemetar hebat.“Kuberi waktu satu kali dua puluh empat jam. Pikirkan lah. Jangan harap bisa mencurangi, Olive.” Brady melepas jarak. Menjauh dengan tatapan mata yang menyipit. Berlalu dari hadapanku.Lemas. Tanganku terjulur menopang pada dinding agar tidak membuat diriku terjatuh. Karena kedua kakiku lemah tak bertenaga.Berpikir cepat, ZeeZee! Berpikir lah!Ragu, kuambil ponsel meski dengan tangan yang terburu-buru.[Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan sebelum pergi. Jadi mungkin, aku akan agak terlambat. Tetap tunggu kabar dariku, Sayang]Barisan kata yang kukirim, mengulang membacanya dalam hati, membuatku seakan tercekik. Dan akhirnya, pasti sampai pada Rhys.Dadaku masih terasa seperti tadi, sesak. Oh, ayo lah. Kumohon
Olivia FinleyKakiku gemetar. Tubuhku seperti melayang saat sudah berada di kamar yang tidak pernah kumasuki sebelumnya di lantai dua. Kamar yang berbeda, karena mendadak dia mengubah pemilihan tempat sepuluh menit lalu. Aku sungguh tidak tahu kenapa, karena yang ada dipikiranku saat ini adalah segalanya harus diselesaikan sesegara mungkin.Aku ingin kembali pada keadaan yang sudah sangat kurindukan sejak lama. Bisakah aku—“Karena kau sudah datang, kita bisa memulainya sekarang.” Muncul dari balik pintu lain di kamar ini, tepatnya dari bagian samping, Brady berpakaian santai ala dirinya yang tetap elegan sambil memegangi pistol yang tadi diperlihatkannya padaku.Diam tidak menjawab, justru yang jadi perhatianku ada pada pistol yang sesuai ucapannya, diletakkan di atas ranjang berseprai biru pudar yang dari sini saja bisa kutebak kadar kelembutannya.Ada atau tidak peluru di dalamnya, aku bisa menyerang Brady dari jarak dekat dan itu kondisi yang sangat menguntungkan bagiku. Aku tida
Olivia FinleyOh, tidak!Mulut dan tangan!Ini jadi rasa baru dalam hidupku yang sejauh ini hanya menghisap dan menjilat milik satu priaku saja.Panas dingin. Mendadak kurasakan begitu, saat tangan besar dan sedikit kasar milik Brady sudah menyusup masuk ke balik dalam pakaianku. Terasa pelan dan pelan menyentuh kulitku.“Ini akan berlangsung lama, jika kau lebih banyak pasif, Olive.” Tatapan Brady sehalus suaranya. Napasnya berhembus di pipiku karena dia bicara di depan wajahku. Aroma mint.Tidak bersuara, kusentuh bagian-bagian sensitifnya sambil membuang wajah lain yang mestinya sedang bersamaku menikmati kegiatan ini. Gerakanku memberiku sebuah ide. Coba pejamkan mata dan gunakan mulutmu, ZeeZee!Okay. Sekarang juga aku menurunkan kepalaku. Melakukan tugasku untuk mempermudah semua yang kami mulai dengan canggung dan kaku.Untuk pendahuluan, aku mesti tetap melihat bagian ini agar tidak salah menempatkan mulutku. Tanganku gemetar saat ingin menurunkan ritsletingnya. Tapi, dia ...
Olivia FinleyOh, tunggu! Tunggu—“Arrgh!” Kubenamkan semua kuku-kuku jariku di pundak Brady, ketika pria itu mendudukkanku tepat di atas pangkuannya yang berarti menusuk kejantanannya ke dalam diriku.“Tenang. Aku sudah menggunakan pengaman.” Dia berbisik mesra di telingaku.Tidak tahukah dia bahwa kejantanannya terlalu memenuhi diriku? Ini ... ah, sudahlah! Aku malu membicarakannya. Namun yang jelas, aku kurang waspada. Bahkan tidak tahu sudah sejak kapan pengaman menyarungi kejantanannya.Padahal tadi pun, aku masih menjilatinya. Masih membungkuk di antara dirinya. Kenapa tiba-tiba sudah menyatu satu sama lain? Bahkan kenyataannya tidak seburuk yang kuduga.Ini ... hangat. Nyaman dan membuaiku ketika dia mengangkat tubuhku naik turun. Tidak membebaniku sama sekali dengan menyuruhku bergerak.Staminanya luar biasa. Dia melayaniku. Membuatku manja, enggan menggerakkan tubuhku, meski tidak kubuat jadi kaku dan sulit untuk diatur olehnya.“Tatap aku dan katakan sesuatu, Olive.” Kening
Rhys Dimitri OxleySudah dua hari tanpa kabar. Kuputuskan menunggu, karena saat kuhubungi, dia tidak menjawab panggilanku. Pesanku bahkan belum terbaca.Sesuatu mungkin terjadi, tapi sepertinya bukan hal yang perlu kucemaskan. ZeeZee selalu tahu cara menyelesaikan apa pun sendirian. Dia tidak boleh mendapatkan tekanan seperti di masa lalu, termasuk dariku.Benarkah? Yap. Aku terlalu ragu untuk bertanya. Karena bisa jadi malah membuatnya tersinggung sebab aku terlalu ingin mau tahu. ZeeZee agak sedikit sensitif belakangan ini, bukan? Meski dia tidak akan pernah marah jika aku memang berniat bertanya.Lagipula, biar kupikir bagaimana pun, dia tidak mengurusi urusanku karena percaya padaku. Kuharap aku pun bisa sama seperti dirinya. Melakukan hal serupa.Jonathan sudah tidak bisa dihubungi. Kata Lucas, pria itu tertangkap karena bukti dari kasus pembunuhan seorang tuna wisma, mengarah padanya. Penangkapan diam-diam yang tidak terendus media. Ayah Jonathan seorang mafia yang sering bekerj
Rhys Dimitri OxleyDiana Heller cuma bisa tercengang mendengar bahwa akulah yang membuat William keluar dari sekolahnya. Bagian tentang putranya yang sengaja ‘pamer’ bahwa aku ada dibelakangnya setelah berbuat ulah, rasanya tidak perlu kuceritakan.“Apa Lucas tidak mencarimu?”Diana mengerjap sebelum mengangguk dan menjawab “Katanya Anda memintaku datang ke sekolahnya William.”“Lalu? Kenapa kau tidak datang?”Sekarang dia kebingungan untuk menjawab. Tidak ada gurat ketenangan di wajahnya.“William sudah kuantar pulang. Sebaiknya sekarang kau pulang. Bila tugas Stellon belum selesai, biar itu menjadi urusan Lucas.” Aku bosan jika harus menunggu jawaban yang lebih lama lagi darinya. Kutinggalkan saja dia di sana sendirian. Kenapa pula aku harus menemuinya di kandang kuda seperti ini?Sudah pasti itu karena aku yang terbiasa bertanggungjawab sampai akhir, hingga memberlakukan hal yang sama pada Diana dan putranya.Itu ... sedikit aneh, sebenarnya.“Kau tahu kenapa dia tidak datang ke Ma
Rhys Dimitri Oxley“Keluar dari rumahku, sekarang.”Pengusiran itu tampaknya tidak berarti apa-apa, karena kemudian gaun yang dikenakan Diana meluncur turun begitu saja dihadapanku, masih di tempatku berdiri, di depan pintu.Oh, ini jelas tidak benar! Dia gila! Jika anggota keluargaku yang lain melihat ini, tamatlah sudah. Namun aku sungguh tidak ingin peduli.Kuraih gagang pintu dan bersiap menutupnya, tapi Diana—aku tidak pernah tahu dia bisa segila itu—sudah berhasil menyelinap masuk ke kamarku sebelum pintu kututup.Demi apa? Dia telanjang bulat dengan gaunnya yang ditinggalkannya begitu saja di depan pintu yang sudah kututup.Memunggunginya, aku menahan segala amarah dan kemurkaan. Setelah mengatur napas hasil dari emosi yang kuusahakan terkendali, kubuka pintu dan mengambil gaun yang berwarna hijau tua itu dari lantai.“Pakai itu kembali!” Kulempar gaun itu ke wajahnya, lalu memunggunginya lagi tanpa sekali pun kubiarkan mataku untuk menikmati tubuhnya. Cukup ZeeZee saja. Aku su
Olivia FinleyPenata rias sedang menyentuh pipiku, ketika dia mengaduh karena melupakan alat makeup-nya yang entah apa penyebutannya tadi.“Aku akan segera kembali,” katanya.“Okay.” Sambil tersenyum, kutatap lekat gambaran diriku di cermin. Gaun pengantin baru akan kukenakan setelah riasan wajahku selesai.Aku terlonjak saat di menit pertama seseorang muncul di belakangku. Brady!“Kenapa kau—”“Aku cuma ingin bicara sebentar. Tidak akan ada yang tahu. Tenang saja.” Kedua tangannya berada di pundakku, menekan sedikit kuat agar aku tetap di sana dan tentu memaksaku untuk tidak memberontak.Brady membungkuk, menatapku dari pantulan cermin, begitu pun sebaliknya. Kami saling tatap. Bedanya, aku melihatnya penuh rasa benci. Tidak perlu berpikir berulang kali, tapi rasa benci ini tetap akan berakhir dengan kebencian pula.Salahku memang. Andai aku segera kembali ke pelukan Rhys, pulang ke Yellowrin sebelum bertemu Brady, pastinya hal mengerikan seperti ini, tidak mungkin terjadi. Kami tida
Rhys Dimitri OxleyAku akan pura-pura tidak tahu kalau ZeeZee bertemu Diana dan wanita sialan itu mengungkap fakta yang terjadi di antara kami berdua.Bergeming, ketika ZeeZee canggung padaku saat malam ini kami ada di kamar yang sama untuk membahas pernikahan besok.“Masih belum terlambat jika kau tidak siap kita menikah besok,” kataku lagi. Menjurus ke arah pembatalan pernikahan, karena kupikir, dia pasti kecewa, marah, sakit hati dan entah apalagi yang dirasakannya saat mendengar kebenaran itu.Dia malah tersenyum, meraih tanganku dan dibawa ke dalam pelukannya. “Sudah terlalu lama kita seperti ini, Rhys. Hubungan kita seakan jalan di tempat.”Aku terlalu takut untuk mengakui kesalahanku. Sangat pecundang, karena tidak berani mengakui kalau akhirnya aku tergoda oleh Diana yang menerobos paksa pertahananku.“Mungkin saja kau butuh waktu lagi, Sayang.” Bisa jadi dia berubah pikiran karena kesalahan besar yang telah kulakukan.Senyum ZeeZee menghancurkanku. Aku merasa semakin sangat b
Olivia FinleyPercuma menyesal. Tidak akan ada gunanya. Apa yang kami lakukan telah terjadi.Aku di sini karena mencari tahu kebenaran untukku, sekaligus kesalahan Rhys padaku. Sebaliknya, dia memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri dan kesalahanku padanya.Impas? Sungguh?Pesan Rhys yang menanyakan tentang keberadaanku, kuabaikan. Meski begitu, semenit kemudian kubalas dengan mengatakan bahwa aku perlu memilih pakaian dalam baru untuk malam pertama kami.Aku tidak peduli pada balasan selanjutnya, karena wanita itu sudah terlihat dari pintu kaca tembus pandang, sedang mendorong pintu pintu dan masuk.Mungkin wanita itu sudah memantauku dari luar, karena dia langsung tahu di mana aku duduk menunggunya. Dia menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mendatangiku yang berusaha tidak cemas, tetap waras.“Nona Olivia?”“Ya. Silakan duduk, ibunya William.” Oh, aku sengaja.Namun aku harus kecewa, karena dia tidak terkejut sama sekali. Malahan tersenyum. Pasti karena dia sudah me
Olivia FinleyAku hanya harus percaya. Andai bisa, tapi rupanya itu sulit.Begini. Selagi acara pernikahan kami masih sedang diurus, aku pun ingin sibuk. Melakukan sesuatu, apa saja. Dan yang terpikir adalah pergi mendatangi Osen Murald. Kata Lucas, pria itu di sini. Entah untuk kepentingan apa, tapi kurasa ada hubungannya dengan Luigi.Aku ... butuh bantuan.Karena sekembali Rhys dari luar mengantarkan Brady, kekasihku itu tidak bicara sama sekali soal kucing-kucing yang akan Brady titipkan padanya.Tapi Rhys justru berharap kami bisa bercinta tanpa pembicaraan.“ZeeZee, aku ingin ada di dalam dirimu. Tapi kuminta untuk tidak mengajakku terlibat obrolan apa pun. Kita harus menikmati percintaan ini dengan hanya saling menatap satu sama lain. Apa kau keberatan?”“Tidak.”Itulah jawabanku kemarin. Aku setuju. Kami hanya menyuarakan kenikmatan, menyebut nama satu sama lain, mendesah penuh minat, dan bibir yang terus sibuk. Sibuk, tapi bukan untuk mengobrol.Kami merasai penyatuan yang lu
Rhys Dimitri Oxley“Siapa?” ZeeZee menatap tajam pada Brady, bukan padaku.“Kucing-kucingku.” Brady tersenyum, pura-pura canggung sepertinya.“Kucing? Kau menitipkan kucing pada Rhys?” ejek ZeeZee. Tujuannya mungkin karena dia ingin mendesak Brady untuk punya jawaban lain, sehingga memiliki banyak alasan membenci pria itu.Andai aku pun bisa seperti ZeeZee, mungkin dengan bebas aku lebih dari mampu untuk mengekspresikan rasa benciku pada Brady White yang saat ini, setelah kulakukan penyelidikan lebih jauh, patut kucurigai hingga sampai ke persentase delapan puluh persen.Ludwig yang menyelidiki. Melarangku meminta bantuan Lucas.“Ya, kucing.” Brady tertawa pelan. Sikapnya pada ZeeZee seharusnya kucurigai sejak awal.“Kenapa, Sayang?” tanyaku sambil tetap berdiri di sini, tidak mendekat pada ZeeZee.ZeeZee menatapku, tatapannya sendu padaku, tidak demikian matanya saat melihat Brady. Dugaanku mungkin ada sesuatu, tapi aku tetaplah pria mengecewakan yang telah melakukan seks dengan wani
Olivia FinleyBrady membawa Eri pergi, entah ke mana, setelah satu kali dua puluh empat jam berada di rumah sakit yang ada di Yellowrin.“Brady lebih berhak karena kini Eri adalah calon istrinya,” kata Rhys, ketika aku protes kenapa dia membiarkan Brady melakukan itu pada sahabatku. Seolah memisahkan kami. Dengan sengaja pula.“Karena aku cuma teman, aku tidak cukup berhak, ya?” Rhys mengecup pelan bibirku selagi mengelus kulit lenganku.“Eri baik-baik saja. Percayalah, Sayang.”Kuembuskan napas tepat di dadanya yang kini menjadi sandaranku. “Katanya, kau ingin membicarakan hal serius denganku. Soal apa itu? Eri?”“Bukan, ZeeZee. Ini soal kita.”Spontan aku mendongak dan menatapnya dari bawah sini, namun rasanya kurang tepat. Keluar dari sandaran dekapannya setengah tidak rela, kutatap dia lekat-lekat.Sepertinya sudah sangat lama aku tidak diajak bicara seserius ini dengan pria terkasihku.“Kita? Kita kenapa?”Helaan napas Rhys membuatku tegang. Seperti ada sesuatu yang malah membuat
Rhys Dimitri OxleyYang kutemukan adalah kepanikan. Para pelayan rumah masih di sini, karena membantu menyelesaikan semua sisa dari acara pertunangan Brady dan Eri.Merekalah yang panik dan ketakutan.“Ada apa ini?”Bukan aku yang bertanya, tapi Hugo. Bahkan Leon dan Adorjan juga ada di sana.“Tu-tuan tamu, oh maksudku, tuan Brady dan tunangannya terjatuh dari lantai tiga.”“Kalian melihat langsung saat mereka terjatuh?” tanyaku sambil mendekat. Semua mata mendadak mengarah padaku. “Tidak, Tuan Rhys. Kami sedang di dapur saat kejadian berlangsung. Jeritan nona Eri mengejutkan kami. Saat kami keluar rumah, keduanya sudah ada di atas mobil tuan Leon dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berdarah-darah.” Salah satu dari keempat pelayan memberi keterangan.“Bagaimana sekarang?” Leon bertanya padaku.Kenapa bertanya? Harusnya mereka bergerak untuk mengatasi hal ini atau setidaknya memastikan keadaan kedua orang itu.Karena memang sudah jadi kesepakatan antara kami dan para pekerja di rumah
Olivia Finley“Aku tidur di sini, ya?” Eri menggulung gaunnya menjadi buntalan, setengah telanjang di atas ranjangku. Hanya bra dan celana dalam. “Lakukan sesukamu, Nona cengeng.” Beranjak untuk berganti pakaian, pintu kamarku diketuk.Rhys!Pasti dia!Aku berlari ke arah ranjang, menarik selimut dan mengancam Eri dengan suara pelan. “Itu Rhys, jadi tutupi tubuhmu, Nona!”Eri terkikik, menutupi tubuh bahkan bersembunyi dibalik selimut.Pintu terbuka, bukan Rhys yang berdiri dihadapanku, tapi Brady.“Olive, a—”“Eri, calon suamimu datang!” Aku menyela dengan menyeru. Tujuanku tentu saja agar Brady tidak bertindak seperti saat sebelumnya dia datang ke kamarku.“Hah? Brady!” Suara Eri terdengar riang, bahkan lompatannya dari atas ranjang ke lantai bisa terdengar. Oh—“Hei, Eri! Pakai selimutmu!” Panik, aku melotot padanya, tapi wanita itu santai saja berlarian kecil menghampiri kami di pintu.“Meski tampilannya begitu, aku tidak tertarik.” Brady menatapku.“Apa?” Eri menyela. Langsung b
Olivia FinleyOh, si paling tampan di keluarga Oxley. Hugo.“Apa kabarmu, ZeeZee terkasih?” Dekat-dekat hanya untuk mengecup puncak kepalaku.Hei, hei. Dia satu tingkat lebih berani dari saat terakhir kali kami bertemu. Kudorong wajahnya yang ingin merapat padaku.“Hugo, hentikan.”“Rhys sedang memberi kata sambutan. Jadi dia tidak akan melihat kita,” bisik Hugo.Tinju seriusku mendarat di perutnya. “Berhenti bercanda, Hugo. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.”Hugo tampak jelas berpura-pura tuli karena dia langsung beralih pada Eri yang sedang cekikikan melihat interaksi kami berdua.“Nona Eri yang cantik jelita, langsung pergi ke sisi calon tunanganmu sekarang. Rhys itu tidak pernah memberi sambutan panjang lebar.” Hugo dengan gaya pria sejati, membungkuk mempersilakan Eri seolah dia pengawal sang tuan putri.Terkikik geli, Eri menurutinya daripada aku yang sudah melotot dan tidak bisa menggapai tangannya sebab dia berlari pergi meninggalkan kami.“Wajahmu tampak tidak rela,” tu