Ada yang pandai menyembunyikan rasa selepas pedih menggerogoti. Ada yang trauma bahkan depresi akibat cinta dan harapan yang gagal. Selepas dari pedih dan kecewa tentu, ada rasa lega dan juga syukur kala ada hati yang mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan. Bukan keberuntungan tapi itulah hidup, harus ada pahit dan manis agar dapat membentuk pribadi yang baik dan tangguh.
Wajah polos dan manis yang kini di tatap Ethand mampu membuat hati yang telah lama beku kini mulai berbunga. Ethand kembali duduk di kursi kemudi. Sejenak ia kembali menengok pada Emma yang masih terlelap. Dihembuskannya napas perlahan lalu kembali berbalik ke arah Emma.
“Emma… Emma,” panggil Ethand pelan. Tidak ada reaksi dari wanita itu. Ethand tersenyum lucu melihat Emma yang hanya terdiam dalam tidur pulasnya.
“Emma..,” panggilnya sekali lagi. Lagi-lagi tidak ada reaksi dari Emma. Ethand dengan tangannya memegang lengan wanita itu lalu diguncangnya per
Seorang wanita dengan long dress dipadukan dengan long coat berdiri di samping Rolls Royce. Tangannya dilipat di dada dan menatap lekat wajah Ethand. Raut wajahnya terlihat kesal namun berusaha tersenyum. Sangat jelas di mata Ethand jika wanita itu sedang kesal.Ethand enggan mendekat dan berdiri mematung dengan mata menyipit. Dari senyum wanita itu sepertinya ia mengenalinya. Melihat Ethand yang terus mematung dan enggan menanggapinya, wanita itu menghampiri Ethand.“Apakah kamu sudah melupakanku?” tanya wanita itu.Melihat wanita itu dari dekat Ethand baru menyadari siapa wanita itu. Mata yang semula menyipit kini kembali normal dan senyum ketus terukir di bibirnya. “Saya tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang dengan orang asing,” ucap Ethand dengan nada dingin. Untuk menatap wanita itu saja dia sudah jengah. Tidak ingin membuang waktunya, Ethand berjalan menuju lift. Wanita itu ditinggalkannya begitu saja.Sampai di
“Apakah ibu sudah siap?” tanya Emma yang sudah rapi dengan celana jeans berwarna navi dan baju kaos berwarna putih polos dipadukan dengan long coat warna cokelat. Rambutnya dibiarkan terurai.“Sudah, Kak.” Alin dengan jumpsuit denim yang sangat cocok di pakainya. Rambut di kuncir kuda dan tidak berdandan. Kedua kakak beradik itu cantik alami tanpa polesan make up yang berlebihan. Hanya bedak dan lipstik seadanya. Sedangkan bulu mata mereka lentik alami.“Sudah pada cantik semua. Ibu jadi tidak percaya diri nih.” Goda Ester pada kedua putrinya.“Kan cantiknya sudah di ambil oleh aku dan Kakak,” balas Alin. Emma hanya tertawa dan Ester hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.“Grab-nya sudah datang. Ayo kita berangkat.” Emma mendengar bunyi klakson mobil. Ia sudah memesan taksi sebelumnya.Mereka sama-sama menaiki taksi dan menuju ke Wilobi Mall. Mall terbesar dan teramai di Vunia.
Ryan sudah bangun sejak pukul lima pagi. Ia berniat untuk berangkat pagi ke kafe milik Jane.“Pagi, Ethand,” sapa Ryan pada Ethand yang baru saja bangun.“Hm,” Ethand dengan nada khas bangun tidur. Ia langsung bergegas mengambil air putih dan meminumnya. Ryan yang sedang duduk di meja makan dan memainkan ponselnya menatap heran pada Ethand yang minum air tapi mata masih tertutup.“Apakah kamu sudah sadar sepenuhnya?” tanya Ryan dengan nada khawatir.“Jika belum sadar bagaimana saya membedakan mana mulut dan hidung?” Ethand kembali melayangkan pertanyaan.Ryan langsung terkekeh lucu mendengar balasan dari Ethand. “Hari ini saya ada sedikit urusan. Sore baru kembali.”Ethand langsung berbalik menghadap sekretarisnya. Ia baru menyadari jika Ryan sudah rapi. “Temani saya ke Wilobi Mall terlebih dahulu,” balas Ethand.“Baiklah.” Ryan tidak bisa menolak perm
Langkah kaki Emma semakin cepat ketika menyadari bahwa Ethand sedang melihat ke arahnya. Ester dan Alin hanya bisa mengikutinya tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Dada Emma terasa sesak namun ia juga heran mengapa bisa seperti itu. Ethand bukanlah pasangannya.“Hanya karena perhatian lebih darinya membuatmu begitu mudah luluh, Emma.” Batin Emma sambil terus melangkah. Kakinya terus membawanya sampai pada sebuah tempat penjualan kelengkapan dapur. Ester dan Alin terengah-engah karena harus mengikuti langkah kakinya yang lumayan cepat.“Ada apa, Kak? Apa yang terjadi?” tanya Alin. Sudah berapa kali ia memanggil Emma namun kakaknya terus berjalan tanpa memedulikan panggilannya.Emma menghembuskan napas pelan. Ia memejamkan matanya sejenak dan dibukanya perlahan. “Tidak apa-apa kok. Sepertinya aku sedikit lelah.” Emma membalikkan badannya dan mendekat ke arah Ester. Namun Emma melihat Ethand sedang mencari keberadaannya. Emma lan
Bryan yang baru saja menerima berkas dari rekan kerjanya terkejut dengan kedatangan Ryan. Ia belum sempat menyimpan berkas itu. Wajahnya terlihat kahwatir dan juga gugup.“Hari ini sepertinya Pak Bryan menerima tamu penting.” Ryan langsung mendaratkan bokongnya di sofa dan memangku kakinya. Ia dengan senyum tulus namun terlihat mematikan di mata Bryan.Bryan tahu jika Ryan bukanlah sekretaris biasa Alves Corp. Lelaki ini sudah dipercaya oleh tuan Alves dan juga Giorgino. Sekarang Ethand pun demikian. “Hanya tamu biasa, Pak,” balas Bryan.“Saya tidak suka basa basi, Bryan.” Nada suara Ryan kini berubah. Bryan tidak mampu menelan salivanya.“Ma-maafkan saya, Pak.” Bryan lansgung berlutut di depan Ryan. Melihat tingkah Bryan, Ryan semakin kesal.“Maling kalau ketahuan sikapnya sangat tidak tahu malu,” umpat Ryan dengan nada kesal. “Pak Ethand yang menyuruh saya ke sini. Jadi tidak ada k
Dunia memang selebar daun kelor. Ethand tidak menyangka, urusan penting sekretarisnya hari ini adalah datang ke kafe ini. Setelah mendengar nama Jane, Ethand tidak menyangka bahwa wanita itu adalah sahabat dekat Emma. Sungguh kisah cinta mereka sangat luar biasa. Ethand menggeleng kepalanya dan terdiam menatap lekat Ryan.“Apakah pak Ryan sering ke kafe ini?” tanya Emma penasaran. Jika memang Ryan sering datang ke sini maka Emma tentu mengetahuinya karena dirinya senantiasa menghabiskan waktu di kafe ini bersama sahabatnya.“Baru hari ini saya datang.” Jawaban Ryan membuat semua yang ada dalam mobil bingung.“Bukankah tempat ini adalah tempat makan favorit Nak Ryan?” tanya Ester.“Mulai hari ini, Bu,” jawab Ryan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ethand hanya membuang tatapan kesal. Ester hanya manggut-manggut dan berusaha mencerna kalimat Ryan. Dahinya mengernyit dan berbalik menoleh ke arah Emma
Jane dengan dahi berkerut terus menatap Ryan. Sejak kapan lelaki ini seakan-akan menjadi dekat dengannya. Berujar seenaknya dan bahkan menggombalnya. “Maaf, saya tidak bisa menemani Anda makan.” Jane langsung berbalik dan pergi menuju meja kasir. Raut wajahnya terlihat kesal.“Apakah aku telah salah berucap?” Ryan bertanya pada Ethand yang sedang menatapnya jengah. “Ataukah dia terpukau dengan perkataanku?” Ryan dengan senyum sumringah.“Hari ini baru saya bertemu dengan lelaki murahan.” Ethand sedikit berbisik. Emma di hadapannya langsung menahan tawa dengan tangannya. Raut wajah Ryan langsung berubah. Diletakannya sendok dan garpu lalu dilipat kedua tangannya.“Emma…” Ryan menatap nanar makanan di hadapannya. “Apakah aku telah salah berucap?” Emma yang hendak menyantap makanannya seketika mengurungkan niatnya.“Sudah berapa kali Pak Ryan bertemu dengan Jane?” tany
Sejak kembali dari kafe Janasses Ethand hanya terdiam dan enggan berbicara. Berbeda dengan Ryan yang sejak tadi merona karena bahagia. Sesekali ia menengok ke belakang namun Ethand tidak menanggapinya. Ryan hanya bisa ikut terdiam tanpa bertanya pada lelaki dingin itu.Sesampainya di Eves The Hill Vunia Ethand turun dari mobil dan langsung menuju ke private lift. Ryan hanya bisa memaklumi atasannya.“Apakah dia lagi kesal?” Ryan pun melepaskan sabuk pengaman dan menyusul atasannya ke penthouse. Seorang diri di dalam private lift membuat Ryan mengantuk apalagi kekenyangan karena baru usai makan siang.“Di manakah dia?” Ryan menjelajahi ke seluruh ruangan dan mencari keberadaan Ethand namun tidak menemukan keberadaannya. “Apakah dia langsung ke kamar?” Ryan hanya bisa menghela napas kesal dan mendaratkan bokongnya di sofa panjang ruang tamu.Di dalam kamar bernuansa monokrom, Ethand duduk di side chair seraya memegang seg
Setelah kejadian di menara jam Ester selalu setia menemani Darek di rumah. Merawat dan menjaga suaminya dengan penuh kasih. Seminggu sekali mereka berdua akan pergi mengunjungi Emma di rumah sakit.Sudah sebulan Emma belum sadarkan diri. Selama itu pula Ethand selalu setia mendapinginya. Setiap hari ia akan membacakan berbagai cerita novel dan juga mendengarka musik bersama. Ia akan bergantian bersama Alin dan Jane untuk menjaga wanitanya itu.Seperti hari ini, Ethand kembali membacakan sebuah novel romantic pada Emma. Perlahan Emma menggerakan jari telunjuknya. Hal itu tidak disadari Ethand. Lelaki itu dengan ekspresi mendalami cerita tersebut terus membaca novel pada kekasihnya. Sampai pada cerita itu selesai, Ethand meneteskan air matanya karena kisah dalam cerita novel itu sungguh bahagia berbeda dengan kisah cintanya bersama Emma. Sampai saat ini, Emma belum sadarkan diri.Ethand menangis tersedu-sedu sambil menggenggam tangan Emma. Ethand merasa nyaman ketika menggenggam tangan
Emma baru saja selesai mandi dan berniat untuk istirahat namun ponselnya terus berdering. Ia segera mengambil ponselnya. Matanya membelalak kaget ketika membaca isi pesan dari Johan Prima. Lelaki itu mengirim gambar wajah Darek yang sudah membiru.Tanpa pikir panjang Emma langsung mencari koordinat telepon Johan. Setelah mendapatkannya Emma langsung keluar dari rumah Caroline. Namun naas, ketika sampai di depan Wilobi mall, Emma sudah dibekap oleh sebuah sapu tangan yang berisi bius. Tidak lama kemudian wanita itu tidak sadarkan diri.Emma hanya bisa mendengar suara samar-samar para lelaki disekelilingnya. Kepalanya terasa berat dan pusing. Setelah itu Emma tidak mendengar apa-apa lagi dan gelap sepenuhnya.***Rasanya baru terlelap namun kini hawa dingin menerpa tubuh Emma. Ia perlahan membuka matanya. Kepalanya masih terasa berat namun karena pandangan di depannya terlihat asing ia berusaha sadar sepenuhnya. Ia sangat terkejut ketika melihat siapa lelaki yang duduk di depannya.Bar
Tujuan Emma dan Caroline datang ke Nuni’s Club dan bertemu Johan adalah untuk mendapatkan sidik jari lelaki tersebut. Database prima corp di setting menggunak sidik jari Johan sendiri. Sehingga Emma dan Caroline untuk bertemu dengan lelaki kejam itu.“Jadi bagaimana apakah kamu bisa masuk ke dalam database mereka?” tanya Caroline yang sudah tidak sabar.“Tentu saja, Carol. Lihatlah…” Emma mempersilahkan Carol melihat semua data penting yang disembunyikan Johan begitu rapat. Betapa kagetnya ia ketika melihat data kepemilikan Prima Corp adalah orang tua kandungnya.“Dasar brengsek!” Caroline mengepal kedua tangannya. Wajahnya memerah karena menahan marah. Ia boleh mengemis pada pamannya itu ternyata malah sebaliknya. Sungguh kejam Johan pada orang tuanya. “Aku tidak ingin menunggu sampai besok, malam ini juga dunia harus tahu betapa kejam dan tidak punya perasaan lelaki bernama Johan tersebut.Emma segera menuruti perkataan Caroline. Ternyata Prima Corp adalah miliki wanita yang menolon
Suasana Nuni’s Club malam ini mengingatkan Emma pada kejadian lampau. Dimana ia dipukul oleh Daniel Jiani dan diselamatkan oleh Ethand. Dimana ia diselamatkan kedua kalinya di hari yang sama. Hari terpuruk dan terendah dirinya.Emma mengenakan sebuah dress yang sedikit ketat dan menampakkan tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai. Wajahnya sedikit dipolesi riasan.Sedangkan Caroline memakai pakaian yang kurang kain. Bagian dadanya terbuka lebar dan dress di atas lutut. Di tambah dengan high heels yang membuatnya terlihat tinggi dan juga cantik. Apalagi dia lama hidup di Spanyol.Kedua wanita itu melangkah masuk ke dalam Nuni’s Club. Caroline memakai wig dan menambahkan sebuah tahi lalat di atas bibirnya. Sedangkan Emma tampil apa adanya. Hanya sedkit riasan yang membuatnya terlihat berbeda. Ia terlihat seperti wanita karir dengan uang melimpah.“Di mana ruangan mereka?” tanya Emma. Kedua kalinya ia ke tempat ini dan tidak mengetahui ruangan di klub malam tersebu
Setelah mendengar Emma berada di Bank Central Vunia, Ethand dan Ryan langsung menuju ke bank tersebut. Namun ia sedikit terlambat, Emma sudah pergi dari tempat itu.“Bolehkah saya melihat rekaman cctvnya?” tanya Ethand pada Ryan.“Ini, Pak.”Ethand segera melihat rekaman cctv tersebut. “Carol?” ucap Ethand. Ia ingat pakaian yang dikenakan mantan kekasihnya pagi ini. Ethand lebih terkejut lagi ketika melihat Emma dengan busana yang sangat berbeda dari biasanya. Ternyata punggung wanita familiar yang dilihatnya sebelumnya adalah Emma. Ethand membanting ponsel Ryan begitu saja dan menimbulkan suara gaduh di dalam mobil. Ryan yang duduk di kursi kemudia hanya bisa terdiam. Ethand sedang marah dan kesal.“Bagaimana bisa aku tidak menahannya pagi tadi?” Suara berat Ethand diiringi dengan hembusan napas kasar membuat Ryan memberanikan diri melihat atasannya lewat kaca spion di depannya. Ethand terlihat berantakan dan juga wajahnya sangat muram.“Apakah kamu bertemu mereka sebelumnya?” tanya
Black Card sudah diterima Emma. Setelah urusan di bank usai, Emma dan Caroline segera keluar dari tempat itu. Emma berulang kali melirik ke arah cctv. Ia segera mempercepat langkahnya. Carolina juga demikian.“Aku lupa mengenakan masker. Sepertinya kita harus segera berangkat.” Emma dengan nada serius. Ia segera memasang sabuk pengamannya.“Bukankah itu adalah mobil Ethand?” tanya Caroline. Ia segera menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan bank itu.Emma melihat dari kaca spion di depannya. Ia masih bisa melihat lelaki itu keluar dengan terburu-buru dari dalam mobilnya. Wanita itu langsung membuang tatapannya ke tempat lain dengan tatapan sendu menatap pada jalanan yang tampak ramai oleh kendaraan.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Caroline.“Aku baik-baik saja,” balas Emma. Untuk membalas Prima ia harus bisa dan menahan rasa rindunya. Emma juga harus bisa membuktikan bahwa ayahnya sepenuhnya tidak bersalah. Semuanya karena perbuatan Johan Prima.Jika cinta merupakan penyakit m
Alves Corp hari ini digemparkan dengan adanya kunjungan tiba-tiba dari Johan Prima bersama putranya. Ethand yang mendengar kabar it uterus berdiam di dalam ruangannya. Ia membiarkan Ryan yang menemui mereka.“Selamat datang di Alves Corp, Pak Johan,” ucap Ryan dengan ramah. Dalam hatinya menahan kesal sekaligus marah ketika melihat senyum dari lelaki perusak Alves Corp tersebut.“Apakah atasan kalian begitu sibuk sampai memerintahkan sekretarisnya untuk menyambutku?” Johan dengan nada serius namun sekelebat senyum terukir di bibirnya. Jenaver yang berdiri di sampingnya hanya terdiam.“Setelah mendapat kunjungan dari investor Jerman, pak Ethand merasa lelah dan kini sedang beristirahat di ruangannya,” jawab Ryan sengaja membawa nama investor yang telah memutuskan kerja sama dengan Prima tersebut. Sontak raut wajah Johan terlihat kesal.“Saya ingin bertemu dengan atasanmu.” Nada suara Johan terdengar serius. Ryan melayangkan senyumnya pada lelaki itu.“Atasan kami tidak akan bertemu den
Fashion Ghotic style yang identik dengan warna gelap terutama hitam dan abu-abu kini dikenakan oleh Emma. Ia berubah sepenuhnya seperti wanita kelas atas yang cantik dan memesona. Wajahnya tetap memakai masker dan kacamata hitam yang menutupi hodeed eyes miliknya. Di tangannya tergantung sebuah tas merek chanel.Di samping Emma berjalan seorang wanita dengan dress yang lumayan ketat dan dipadukan dengan long coat abu-abu dan tidak lupa pula kacamata hitam yang selalu bertengger di hidungnya.Ketika mendekati lift, Emma merasa gugup jika kembali bertemu Jane atau pun yang lainnya. Apalagi lelaki yang dirindukannya semalaman. Caroline melihat kegugupannya dan tersenyum.“Kamu tidak jauh berbeda dengan kayu kering, Emma,” ucap wanita itu.“Aku takut ketahuan,” balas Emma.“Aku saja hampir tidak mengenalimu, apa lagi mereka.” Caroline berusaha menenangkan Emma.Emma mengambil napas dalam lalu dihembuskannya perlahan. Ia terus mengulanginya sampai ahtinya sedikit tenang.Ting!Lift terbuka
Ryan dan Jane sudah kembali setelah seharian mencari keberadaan Emma. Mereka bahkan mencari sampai di rumah lama Emma namun tidak menemukannya. Jane terlihat sedih begitu pula Ryan. Sepasang kekasih itu memutuskan untuk kembali.“Kamu temani ibu Emma dan adiknya. Aku harus menghibur Ethand.” Ryan yang membuka sabuk pengamannya dengan lemah. Sepertinya hari ini ia sudah banyak mengeluarkan tenaganya.“Baiklah. Kamu ingat istirahat, Sayang.” Jane dengan lembut memperlakukan Ryan. Walaupun hatinya sedang sedih.Ryan menganggukkan kepalanya lalu keluar dari mobil. Jane menunggu kekasihnya agar melangkah bersama menuju lift.“Padahal Ethand sudah berniat melamarnya.” Ryan dengan nada sedih. Jane di sampingnya seketika berhenti melangkah.“Be-benarkah?” tanya Jane.“Benar, Sayang,” jawab Ryan. Jane mendesah kesal dan merasa iba pada Ethand.“Emma juga sudah lama menantikannya. Namun, kenyataan membuat keduanya malah menjauh.”“Karena itu aku membelikan ini untukmu sebagai hadiah. Tunggu aku