**Athikah_Bauzier***
Zeeta membeliakkan mata menatap ketiga pria yang menyorot tubuhnya tanpa ampun. Semakin direkatkan rengkuhan pada kedua lututnya.
"Hai, cantik! Siapa namamu? Jangan takut. Kami akan memperlakukanmu dengan lembut." Salah seorang pria mengenakan kaus biru terpana menatap Zeeta yang semakin meringkuk.
"Ma–maafkan saya, Tuan. Sa–saya mau pulang."
"Menyingkir kalian berdua! Wajah mesum kalian membuatnya takut!" Pria bersweater putih mendorong tubuh kedua rekannya seraya menyeringai. Lalu, mengulurkan tangan pada wanita di hadapannya. "Kemarilah, Cantik! Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya terdengar lembut saat menyorot Zeeta.
Zeeta hanya menggeleng.
"Tidak perlu takut. Baiklah! Aku tidak akan menyentuhmu. Kau bisa keluar sendiri," lanjut pria itu lagi.
Zeeta pun mengangguk.
"Ayo, keluarlah," tandas pria itu lagi.
'Ya Allah ... turunkan untukku seorang Malaikat tak bersayap kali ini. Aku sungguh takut,' batin Zeeta berucap. Dengan perasaan enggan, ia pun mencoba turun dari bathub di mana tempatnya bersembunyi.
Saat berada di kamar, ia menatap pria-pria tadi duduk di bibir ranjang seraya menyoroti dirinya tanpa mengedipkan mata.
"Tidak biasanya Rezvan membawa wanita seperti ini," tukas pria yang tadi bersikap lembut pada Zeeta.
"Jangan gegabah, Danny! Kita tidak tahu dia siapa. Siapa tahu dia saudara Rezvan," ujar pria satunya lagi.
"Saudara? Tengah malam begini? Ckckck!" Pria bernama Danny itu bangkit lalu mencoba mendekat pada Zeeta yang terlihat bergetar.
"Tu–tuan, saya permisi pulang dulu!" Zeeta hendak melangkah keluar dari pintu kamar.
Namun, pria bernama Danny menghalangi langkah Zeeta. "Kau mau ke mana, Cantik?"
Kedua bola mata wanita cantik itu pun membelalak sempurna. Denyut nadinya seakan nyaris terhenti saat mendapati pria bertubuh tegap itu berdiri tepat sejengkal di hadapannya.
***Athikah_Bauzier***
Rezvan dan Erga membuka pintu utama. Sesaat terdengar suara teriakan melengking dari kamar di lantai atas. "Sh*ttt!" Dengan tergesa keduanya berlari menyusuri tangga.
"Jangaaannn! Lepaskan saya, Tuan! Tolong!!" Teriakan Zeeta terdengar histeris.
Danny dengan beringas membuka paksa pakaian yang Zeeta kenakan. Sementara kedua pria yang lain berusaha menahan kedua tangan dan kaki wanita itu supaya tidak meronta.
"Bening sekali dia. Rezeki kita malam ini!" seru Danny dengan tatapan penuh nafsu.
"Bro, apa tidak menunggu Rezvan saja?" ucap pria berkaus biru.
"Alaaahhh!" Danny tak mau tahu. "Sudah tengah malam juga. Sikat saja!"
Ketiga pria itu pun tetap berusaha hendak melancarkan aksi bejatnya.
"Kalian!" Sebuah suara menghentikan aktivitas ketiganya seketika.
Rezvan mendekat lalu mencengkram kerah sweater bagian belakang yang Danny kenakan, membanting tubuhnya ke lantai, lalu meninju wajah pria itu sehingga terpental.
Sementara Erga juga menghajar kedua pria yang lainnya.
"Rezvan! Kau!" Danny mengelus rahangnya yang terasa ngilu.
"Keluar kalian bertiga!" perintah Rezvan dengan suara menggelegar.
"Van, apa-apaan ini, hey? Bukankah kita akan bersenang-senang malam ini?" Danny berusaha bangkit seraya mengusap darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Lalu buru-buru menaikkan resliting celananya ke atas.
"Sudah kutekankan! Jangan pernah sekalipun menyentuh milikku kalau tidak aku izinkan!" Rezvan mendorong keras tubuh Danny berulang kali sehingga pria di hadapannya terhuyung.
"Hanya karena wanita?! Hanya karena seorang wanita kita seperti ini?" Danny mendengkus kesal seraya menyeringai.
"Keluar!" tekan Rezvan lagi.
"Argghhh! Tidak asyik! Ayo, kawan kita cabut!" Danny dan kedua rekan lainnya bergegas meninggalkan kamar.
Erga mendekat pada Zeeta—di tengah tengah ranjang—yang terlihat shock dan kacau. Wanita itu hanya duduk bergeming, menatap kosong ke depan dengan kedua tangan yang diremas di depan dada. Sementara tubuhnya bergetar hebat. Patahan kata tak mampu ia ucapkan, bahkan isakan pun tak terdengar. Hanya derai air mata mengalir tak terhenti dari kedua benik matanya yang membuka lebar.
Erga menarik selimut dari lemari lalu menyelimuti tubuh wanita dengan pakaian yang nyaris saja terlepas dari tubuhnya itu. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya kemudian.
Zeeta hanya bergeming. Tampak kaku.
"Van! Dia shock!" celetuk Erga.
"Ya jelaslah! Damn! Danny!" Rezvan meremas rambut kacau. "Dia tidak terluka, kan, Bro?"
"Aman!" sahut Erga.
"Syukurlah!" timpal Rezvan.
"Hanya sedikit lagi! Andai kita ... " Erga menatap lekat pada wanita di hadapannya. "Terlambat," imbuhnya kemudian.
"Arrghhh! Si*l!" umpat Rezvan. Lalu, menunduk meraih minuman hangat yang tadi ia beli dari luar sepaket dengan makanan yang tak sengaja dijatuhkannya di lantai.
"Minumlah dulu!" Rezvan menaiki ranjang, lalu menyodorkan sedotan pada bibir Zeeta. Namun, wanita itu menolak dengan menghempas tangan pria itu dengan keras.
"Hey, kau!" Rezvan menyorot tajam ke arah Zeeta.
"Tu–tuan! Ba–bawa saya ... be–bersama A–anda saja, Tuan! Sa–saya ta–kut!" Zeeta menatap Erga, lalu buliran bening pun kembali luruh menderas dari kedua benik matanya.
Erga pun menoleh pada Rezvan yang tampak terperangah. Mereka berdua pun saling memandang.
"Hey, kau! Aku yang menyelamatkanmu dari Danny tadi." Rezvan tampak terlihat kesal.
Namun, Zeeta sedikit pun tak menoleh pada Rezvan. Ia merasa sangat sakit hati. Wanita itu hanya berpikir, andai tadi pria itu membiarkan dirinya pulang, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
"Kau tidak apa-apa, bukan?" tanya Rezvan lagi.
"Ba–bagaimana bisa Anda bertanya saya tidak apa-apa, Tuan? A–apa saya terlihat baik-baik saja?" lirih Zeeta kemudian.
"Arrghhh! Wanita ini! Maksudku, Danny tidak sampai mem*rkosamu, bukan? Lalu masalahnya di mana?" timpal Rezvan.
"Van, sudahlah!" perintah Erga.
"Sialll! Tidak jadi kita bersenang-senang malam ini!" gerutu Rezvan lagi.
"Van!" Erga memberi isyarat mata agar Rezvan segera menghentikan ocehannya.
"Argghhh! Sudah aku bayar mahal juga!"
"Sa–saya tidak mengerti apa maksud Anda sudah membayar mahal, Tuan?" pekik Zeeta.
"Jangan sok polos!" putus Rezvan.
"Su–sungguh, Tuan!"
"Argghhh! Erga, kau diamkan saja wanita ini. Setelah dia tenang, biarkan dia memuaskan kita berdua saja malam ini!" perintah Rezvan.
"Sa–saya tidak mengerti apa maksud Anda sudah membayar mahal, Tuan?" pekik Zeeta.
"Jangan sok polos!" putus Rezvan.
"Su–sungguh, Tuan!"
"Argghhh! Erga, kau diamkan saja wanita ini. Setelah dia tenang, biarkan dia memuaskan kita berdua saja malam ini!" perintah Rezvan.
"Rezvan!" Suara Erga sedikit terdengar lantang.
Mendengarnya, kembali tangisan Zeeta berderai. "Tu–tuannn! Ma–maafkan saya. To–tolong jangan seperti ini. Sa–saya bukan wanita seperti itu! Sa–saya wanita baik-baik, Tuan," ibanya.
"Iya, aku tahu! Aku hanya bercanda!" timpal Rezvan.
"Erga, sebaiknya kau pulang saja. Biarkan aku saja yang mengatasi wanita ini," suruh Rezvan menatap Erga yang masih duduk di bibir ranjang.
"Ja–jangan, Tuan. Sa–saya mohon jangan tinggalkan saya di sini!" Dengan cepat, tangan dingin Zeeta menahan lengan Erga.
"Argghhh! Drama macam apa ini?! Kau sekarang terperangkap dengan sikap lembut Erga, heh? Kau belum tahu siapa dia! Buaya ini bahkan bisa lebih kejam melahapmu di ranjang tanpa ampun!" pungkas Rezvan.
Seketika, tangan Zeeta menarik diri dari lengan Erga. Kembali ia semakin merekatkan selimut yang membalut tubuhnya."Sekarang kau mulai percaya dengan ucapanku juga, heh? Hah! Dasar polos sekali wanita ini! Rasanya ingin aku ... arrghhh!" cecar Rezvan."Sudahlah, jangan dengarkan dia!" ujar Erga menatap Zeeta yang masih meringkuk di balik selimut.Erga Alterio Savian. Pria tampan bermata sendu ini adalah sepupu dari Rezvan Malven Oxley. Ia juga merupakan CEO dari perusahaan ternama SAVIAN yang juga sama bergerak dalam bidang property. Sikap lembut dan bijak dalam menghadapi sesuatu membuatnya banyak disukai bawahan maupun relasi bisnis. Namun, tak jauh beda dari kehidupan Rezvan—demi menghilangkan penat usai beraktivitas—kehidupan dunia malam juga menjadi candu baginya.Kepolosan Zeeta tak mampu membedakan mana pria yang benar-benar tulus dan mana yang hanya modus. Ia hanya mampu menilai dari a
"Amhh ... itu .... " Erga menghentikan ucapan lalu menatap Rezvan. "Kalau begitu saya siap-siap dulu, Tuan." Zeeta pun membawa tas di tangan lalu bangkit hendak mengganti pakaian. "Iya, benar begitu! Tidak usahlah berterimakasih. Aku sudah biasa." Rezvan menyulut rokok di tangan. "Te–terima kasih, Tuan, atas pakaiannya," ucap Zeeta pada Rezvan, lalu kembali menundukkan pandangan. "Telat!" sahut Rezvan. "Ini ganti di mana, Tuan?" tanya Zeeta. "Ganti di depan kami berdua saja!" seloroh Rezvan. "Kau ini!" Ia pun menggeleng. "Ti–tidak bisa begitu, Tuan." Kedua bola mata Zeeta membulat sempurna. "Argghhh! Kamar ataslah!" Rezvan tampak meradang. "Apa aku saja ya
"Kau." "Iya, Tuan?" Zeeta menundukkan pandangan. "Untuk mengganti semua uangku yang hilang, kau harus melayaniku sampai batas waktu yang kutentukan," ucap Rezvan. "Me–melayani?" Wajah Zeeta tampak memucat. "Me–melayani bagaimana, Tuan? Sa–saya tidak mau melayani Tuan di tempat tidur. Kita bukan mahram, Tuan. Itu dosa." "Aarrgghhh! Ceramah lagi! Simpan saja ceramahmu!" Rezvan menggeleng seraya berkacak pinggang. "Ma–maaf!" "Kau punya keahlian apa?" "Saya bisa masak, mencuci, menyapu, dan melakukan apa pun di rumah ini untuk Tuan. Ta–tapi ... jangan suruh saya melayani Tuan di tempat tidur. Saya tidak mau, Tuan," tutur Zeeta tanpa basa-basi. "Melayani di tempat tidur saja tidak bisa.
"Baik, Tuan. Anda ke mari untuk mencari Tuan Rezvan, kah? Sayangnya Tuan Rezvan belum pulang ini." "Aku datang untuk menemuimu." "Sa–saya ...?" Zeeta menyentuh tepat pada bagian dada. "Yup! Boleh aku masuk?" "Ta–tapi ... sebelum saya mendapat izin dari Tuan Rezvan, saya tidak bisa membiarkan tamu pria masuk, Tuan." "Kau jangan lupa, kami sudah terbiasa menghabiskan waktu di sini bersama," tukas Erga. "Oh, iya ... tapi .... " "Kau ini berbicara seakan nyonya dari pemilik rumah," canda Erga kemudian. "Bukan begitu ...." Erga pun melangkah masuk. "Hemh ... aku mencium aroma masakan. Apa kau sedang memasak?"
***Athikah_Bauzier*** Semenjak kehadiran Zeeta di rumah Rezvan, tak seperti biasanya Erga menjadi lebih sering mengunjungi rumah Rezvan. Tak ayal, kedatangan Erga membuat Zeeta merasa aman. Terlebih lagi kedatangan pria itu dapat mengontrol sikap Rezvan yang seringkalinya membuat Zeeta kehabisan kata-kata dan mengurut dada. "Malam ini kau di kamar saja," perintah Rezvan. "Kawan-kawanku akan datang." "Tuan Erga juga datangkah, Tuan?" "Hei ... ada apa kau ini? Berlebihan sekali!" "Ti–tidak apa-apa, Tuan." "Jangan bermain hati, kalau tak mau terluka. Aku tidak mau tanggung jawab kalau kau bunuh diri karena patah hati," ucap Rezvan lagi. "Maksud Tuan apa?" "Ar
"Van .... " Erga berjalan cepat, mendekat pada Rezvan, mengangkat tangan lalu hendak melayangkan kepalan tangan tepat pada wajah Rezvan."Jangan, Tuan! Saya mohon jangan berkelahi! Jangan, Tuan Erga!" Zeeta berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan Rezvan, lalu mendorong tubuh Erga tepat pada bagian dada. "Jangan, Tuan!" isaknya kemudian."Zeeta! Masuk ke kamarmu!" sentak Rezvan lagi."Tu–Tuan ... saya mohon Anda berdua jangan berkelahi!" Tangisan Zeeta semakin berderai. Ia menatap Rezvan seraya meremas kedua tangan tepat di depan dada."Masuk ke kamarmu!" Rezvan semakin geram.Tanpa dapat mengucapkan patahan kata, dengan tubuh bergetar, Zeeta pun berlari ke dalam."Ga, kali ini kau berurusan denganku! Jadi ... jaga sikapmu!" Rezvan menunjuk Erga, lalu berlalu mengikuti langkah Zeeta.***Athikah_Bauzier***Sesaat setelah Zeeta memasuki kamar dan hendak menutup p
Saat hendak menutup pintu kembali, Erga dikejutkan oleh Rezvan yang tengah berdiri dan bersandar pada dinding di dekat pintu kamar seraya melipat tangan di dada. "Sedang apa kau di sini? Bukankah malam ini kau serahkan dia ke dalam pelukanku?" Erga menautkan alis. Rezvan hanya bergeming dan berbalik menyorot tajam. "Apa kau mulai mengkhawatirkannya? Khawatir jika aku mengeluarkan taringku seperti biasanya?" lanjut Erga seraya menaikkan bibir sebelah. "Hati-hati, jangan bermain hati! Nanti kau akan terluka," sindirnya lagi kemudian. Lalu, berlalu dari hadapan Rezvan dan menyusuri tangga. "Aku ingin berbicara denganmu," ucap Rezvan. "Hemh!" "Apa yang kau inginkan, Ga?" "Apa yang aku inginkan?
Rezvan menatap punggung Zeeta yang berlalu hendak meninggalkannya. "Hei, kau, Zeeta?!" "Iya, Tuan?" Zeeta berbalik arah. "Kenapa bersikap tidak sopan?" "Ma–maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kalau pertanyaan saya itu tidak butuh jawaban? Itu cuma ... cuma ... cuma apa, ya, tepatnya?" Zeeta memutar bola mata ke atas seakan tengah berpikir. "Aku tidak membahas itu. Kau tidak sopan masuk kamar dulu sementara aku belum berangkat kerja." Rezvan melirik Zeeta dari atas ke bawah sehingga membuat Zeeta merasa risih. "Lha, memang saya siapanya Tuan? Itu bukan urusan saya mengantar Tuan ke depan. Tugas saya, kan, hanya memasak, mencuci, membereskan kamar Tuan. Tidak pernah Tuan membaha
"Hemh! Kau yakin dengan yang kau katakan?" Rebecca menyipitkan pandangan. Ribuan kerikil tajam seolah berdesakan memenuhi kerongkongan Zeeta, sehingga begitu sulit baginya untuk menelan. Ia saling menautkan jari jemari, lalu meremasnya kuat. Berusaha untuk tetap tersenyum dalam getir. "Ya, Bu!" Rebecca tersenyum seraya menyesap cappucino miliknya yang mulai terasa dingin. "Aku perhatikan, ada yang tampak berbeda dari tubuhmu sejak terakhir kali kita bertemu." Ia memindai tubuh Zeeta dari ujung kepala, lalu sedikit menunduk hendak memerhatikan bagian bawah tubuh Zeeta yang terhalang oleh meja. Namun, seketika Rebecca membulatkan mata sempurna. "Katakan padaku, apa kau hamil?" tanyanya lagi, lalu meletakkan cangkir di meja. Walaupun mengenakan pakaian tertutup dan longgar, Rebecca dapat melihat perut Zeeta yang tampak membulat saat dalam posisi duduk. Tatapan Zeeta pecah ke seantero sudut ruangan. "Jangan hiraukan saya, Bu. Saya hanya berharap,
"Anu ... Tuan! Bibi sudah janji pada Non Zeeta agar tidak membocorkan masalah ini." Bi Netty pun akhirnya mengaku. "Jadi, Zeeta di rumah Bi Netty?" Tatap Erga penuh selidik. "I–iya, Tuan." Bi Netty tampak gugup. "Hemh! Sudah kuduga. Aku akan ke sana sekarang." "Maafkan bibi. Sebaiknya jangan dulu, Tuan. Non Zeeta ingin menenangkan diri katanya," cegah Bi Netty seraya menundukkan pandangan. "Tidak apa-apa, Bi. Aku cuma ingin menjelaskan padanya kalau hanya aku yang berwewenang membuat aturan di villa ini, bukan yang lain, apalagi Mama." Erga menatap Cindy yang tengah sibuk memasukkan amplop cokelat ke dalam tasnya. "Maaf, Tuan. Anggap bibi tidak menceritakan ini pada Tuan, ya. Pura-pura saja Tuan tidak tahu kalau sudah bibi kasih tahu." Bi Netty terlihat cemas dan meremas kedua tangan di depan dada. "Bagaimana keadaan dia, Bi?" "Sejujurnya, bibi sangat khawatir dengan keadaan Non Zeeta. Dia susah makan, Tuan. Semua
"Wa–nita itu mengurungkan niat?! Itu berarti, wanita itu sadar sepenuhnya atas apa yang dilakukannya?" Zeeta ingin memastikan ucapan Ethan lagi. "Ya, tidak semuanya wanita yang kami tawarkan adalah hasil penculikan. Bahkan, sebagian dari mereka terang-terangan ingin menjual diri dengan sadar. Wanita itu mendesak ingin menjadi milik Rezvan, tapi Rezvan tidak sadar bahwa pilihannya tertukar. Sengaja aku memilihkan wanita sedikit terlihat liar untuk Rezvan. Kau tahu sendiri Rezvan berbeda dari Erga, bukan?" Dada Zeeta semakin terasa sesak tak tertahankan usai mendengar penjelasan Ethan. Belum juga masalah dengan Rezvan terselesaikan, kini terungkap lagi masalah yang semakin membuatnya semakin tergoncang. Erga yang selama ini ia percaya nyatanya .... "Erga marah besar padaku sehari setelah peristiwa malam di mana kau nyaris saja menjadi mainan kawan-kawan Rezvan. Tapi, ia berusaha terlihat tenang di hadapanmu dan juga Rezvan. Kau pikir apa alasan Erga selalu data
Bi Netty pernah mengatakan pada Zeeta bahwa Erga memiliki ruang pribadi di lantai atas yang tidak ada seorang pun diizinkan masuk ke dalamnya. Ruangan itu berisikan koleksi karya lukisan Erga. Beberapa waktu lalu Erga memang menunjukkan ruangan lain pada dirinya, bahkan mereka berdua beberapa kali menghabiskan waktu di tempat itu untuk melukis dinding. Namun, itu bukan ruangan yang Bi Netty maksud. Zeeta berdiri tepat di depan sebuah ruangan yang bisa jadi itu adalah ruang pribadi milik Erga. Namun, sayangnya ia mendapati ruangan itu terkunci. Ia pun mencari cara agar Bi Netty bisa menyerahkan kunci ruangan itu padanya. "Bi, aku membutuhkan sesuatu, tadi Tuan Erga menyuruhku untuk mengambil sesuatu di ruang pribadinya di atas," ucap Zeeta membuat alasan. "Benarkah, Non!?" Kedua mata Bi Netty berputar seolah merasa terheran. Selain dirinya yang dipercaya untuk membersihkan ruangan itu, tidak ada seorang pun ya
"Wilma ... Wilma! Siapa dia? Wajahnya tampak tak asing. Tapi di mana aku pernah bertemu dengannya?" Berulang kali Rezvan mencoba mengingat. Banyak wanita yang ditemui sehingga membuatnya lupa salah satu di antarnya. "Arrggghhh!" erangnya kemudian.Namun, tak berselang lama, pria itu mengingat sesuatu. "Wanita itu ... apa mungkin dia ... tapi bagaimana mungkin?" gumamnya."Tolong, periksa berkas jual beli lahan Green Bougenvil 5 tahun lalu," perintahnya kemudian pada salah satu staf.Setelah menunggu cukup lama, berkas yang diminta pun diantar ke ruang Rezvan. Lalu, pria itu pun menelisik secara seksama apa yang tertera pada setiap lembarnya. Sontak, ia mendongak seolah mulai mengingat sesuatu. Rentetan adegan beberapa tahun silam berkelebat dalam ingatan Rezvan. Namun, ia masih tak yakin akan terkaannya. Bisa saja itu hanya suatu kebetulan yang tak ada kaitannya sama sekali.Terdengar pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang karyawan masuk ke dalam ruanga
**Athikah_Bauzier*** "Non, istirahat saja, ya! Biar bibi saja yang selesaikan cuci piringnya. Non, kan, lagi hamil muda. Jadi harus banyak istirahat. Bibi juga takut kena marah sama Tuan Erga." Bi Netty meraih apa pun yang hendak Zeeta lakukan. "Bi, saya tidak enak kalau cuma diam saja. Sudah, bibi jangan bilang-bilang sama Tuan Erga kalau saya melakukan semua ini. Jadi, bibi tenang saja, ya!" elak Zeeta. "Tidak perlu, Non. Begini saja, lebih baik Non Zeeta lanjut melukis saja, ya. Biar cepat selesai. Open gallery sudah tinggal beberapa hari lagi, Non. Jadi, ini kesempatan buat Non Zeeta," saran Bi Netty. "Hemh! Baiklah kalau begitu, Bi. Pokoknya kalau Bibi butuh bantuan, panggil saya saja, ya." Zeeta pun mengikuti saran Bi Netty walaupun sebenarnya ia merasa tak nyaman jika tidak melakukan apa pun. Sudahlah menumpang, tapi mau enak-enakan. Itulah yang sering kali membuat Zeeta merasa tidak nyaman. ***Athikah_Bauzier*** "Zeeta!"
"Aku sudah berusaha jujur padamu. Seharusnya aku tidak mengatakan ini mengingatmu sudah menjadi milik Rezvan. Tapi, melihatmu merasa terluka atas perlakuan Rezvan, entah mengapa keinginan itu kembali tumbuh." Zeeta merasa tak menyangka bahwa Erga bisa berpikir sejauh ini. Namun, hati Zeeta tak dapat memungkiri bahwa ia pun sesungguhnya masih memiliki rasa yang sama terhadap pria itu. Akan tetapi, ia harus menyadari posisinya kali ini. Dirinya sudah menjadi milik Rezvan, bahkan saat ini tengah mengandung benih dari pria itu. Jadi, bagaimana mungkin ia melangkahi takdir yang sudah tertulis? "Tuan, saya berterimakasih karena Anda sudah peduli pada hidup saya. Ta–tapi, bisakah kita tidak perlu membahas hal yang sudah berlalu?" pinta Zeeta kemudian dengan tatapan meremang. "Zeeta ... jawab pertanyaanku setidaknya sekali saja. Supaya aku yakin, langkah apa yang harus atau tidak harus aku lakukan setelah ini," Erga terdengar sedikit menekan walau ucapannya terdengar
Zeeta mengamati beberapa lukisan indah yang terpampang pada dinding sebuah padepokan yang berada tepat di belakang Villa. Padepokan itu memiliki ciri khas arsitektur klasik ala pedesaan yang didesign dengan kayu dan bambu. Ditambah berlokasi tepat di tengah bukit hijau, begitu sangat menenangkan pikiran. "Di sini kau rupanya?" Sebuah suara mengejutkan Zeeta yang tengah berkonsentrai menyimak tanda tangan di sudut kanan bawah lukisan. Lantas ia pun menoleh menatap sang pemilik suara. "Tuan Erga! Anda sudah pulang?" "Hemh!" Erga mengangguk seraya mengulas senyum tipis. "Kau suka lukisan?" "Ah, iya, Tuan. Lukisan ini sangat cantik sekali. Begitu realistis. Apakah pelukisnya beraliran Naturalisme dan Realisme, Tuan?" "Hei, rupanya kau banyak tahu tentang aliran lukisan rupanya, ya?" "Sedikit saja, Tuan." Kembali Zeeta mengamati lukisan di hadapannya. "Lukisan di sini bukan karya satu orang saja. Aliran mereka pun berbeda-beda." Erg
**Athikah_Bauzier*** "Hilang?! Bagaimana bisa, Pak? Apa ada orang lain yang masuk ke mari?" Rezvan menatap layar CCTV. Ia berniat untuk mengambil rekaman sejak sebulan lalu tepat di malam percumbuannya dengan wanita yang menyebut dirinya sebagai Wilma. Namun, ternyata rekaman sejak sebulan lalu itu raib. "Saya juga tidak mengerti, Tuan. Saya hanya bisa menemukan rekaman seminggu terakhir." "Apa-apaan ini?! Mengapa sistim keamanan bisa buruk seperti ini, hah!?" hardik Rezvan seraya berkacak pinggang. Amarah dalam dirinya membuncah dan meletup bagai lahar. "Percuma kalian semu kugaji!" "Maafkan saya, Tuan. Saya siap menerima sanksi." Pak Dody menundukkan kepala, "Ta–tapi, jangan pecat saya, Tuan! Anak istri saya makan apa?" Amarah masih menggelegak dalam hati Rezvan. Namun, ia mencoba mengatur napas untuk menetralisir emosi yang tak tertahan. "Arrghhh! Sudahlah!" Ia pun mengibaskan tangan. Rezvan menyadari sesuatu. Ia menatap ruangan, be