Kelopak-kelopak putih melayang. Terbang serempak menuju kanvas keunguan. Air setinggi mata kaki kini menguarkan aroma nestapa. Seperti kepedihan sangat lama tergenang di sana. Zhura menghela napas saat wanita bermata violet itu terus saja tersenyum di depannya."Mereka semua sudah berangkat." Wanita itu membuka suara seraya mengulurkan lengan, seolah-olah berusaha menggapai kelopak-kelopak putih di udara.Zhura melangkah menyibak air ke sisinya. Panggilnya, "Macia."Macia abai, "Setelah ini siang akan berhenti merajuk karena angin yang datang kembali sejuk.""Macia!" ulang Zhura dengan nada berapi. Saat itu juga Ia menyadari iris violet sosok itu diderai air mata."Kita menang, Rahien. Cinta kita bukan kutukan. Semua hal di dunia akan kembali berwarna. Perasaan hangat akan mekar menyatukan seluruh masa, kedamaian itu datang.""Macia, tolong dengarkan." Zhura memaksa sosok itu untuk memberi perhatian.Macia mengusap dadanya yang kembang kempis, "Dipisahkan oleh ruang dan waktu, sepasan
Kegelapan menjadi hal yang tidak asing lagi di matanya. Tepat setelah ia gagal meraih tubuh gadis itu, jantungnya yang selalu tenang mulai berdentum bak tambur. Ia merasakan apa yang orang-orang katakan sebagai rasa takut. Semua hal yang ada di sekitarnya berada dalam kekacauan, tapi apa yang membuatnya gusar adalah ketidakjelasan eksistensi gadis itu."Zhura!" Dipaksakan suara keringnya untuk berteriak. "Di mana kau?!"Azhara terus merapalkan nama gadis itu seraya bergerak. Lima langkah berhasil ia habiskan, sebelum ledakan besar terjadi hanya beberapa meter di depannya. Dahsyatnya ledakan itu membuatnya limbung. Naga Sacia berulah. Dia kembali mengepakkan sayap dan mendarat di dekat Azhara. Seolah merayakan kemenangannya, dia mendongak tinggi setara langit. Sisa asap tampak menguar dari mulutnya yang terbuka lebar.Azhara terlalu lemah bahkan untuk berpikir. Daripada bertarung, usaha pengendalian roh jahat lebih melelahkan. Seluruh kekuatannya pun sudah terkuras habis. Pada pembarin
Embusan angin yang terlalu tenang menjadikan semuanya jelas. Tubuh mungil terbalut seragam biru itu kini mendekat menghancurkan kewarasan Azhara. Pemuda itu menggeleng, mati-matian menyangkal gagasan yang mulai datang di kepala. Ia getir meraup secercah harapan pada keberadaan seseorang, berharap kalau sosok yang berdiri di depannya hanya kepalsuan.Langkahnya berakhir lembam dengan salju yang menumpuk di ujung sepatu. Gadis bermata hijau menghabiskan ruang yang memisahkannya dengan Azhara. Zhura berdiri kuyu. Pias terpatri pada gadis itu, menandakan betapa kacau meresap di hatinya. "Sejak kapan kau menatapku dengan mata itu, Azhara? Ah, itu pasti karena kau sudah melihatnya, 'kan? Naga itu ... sekarang juga, kita berdua akan mengakhiri semua ini. Mimpi buruk akan selesai."Tangan terhias gelang perak itu terulur pada Azhara, "Kau bisa membunuhku sekarang. Ambil darah ini, semuanya. Jadilah manusia bebas seperti yang kau inginkan.""Jangan membuat lelucon," jawab Azhara menatap kuku-k
Kebersamaan dan perpisahan manusia menjadi makanan sehari-harinya di alam surgawi. Matahari dan awan terlalu ramah memberikan kehangatan, atmosfer syahdu tercurah indah. Kerlip bintang terlihat bahkan di siang hari, tentu saja karna ia ada di istana langit. Menjadi dewa membuatnya memikul segunung tanggung jawab besar. Lelah dan sedikit kepayahan ia simpan atas nama pengabdian.Suatu ketika di alam surgawi, pertempuran antar klan langit pecah. Beberapa klan menginginkan pemberontakan yang ditentang oleh klan lain. Sacia dan Macia ditugaskan memadamkan pergolakan. Dengan perjuangan keras, mereka berhasil menaklukkan pemberontakan klan tersebut. Dari peperangan itu juga menyelamatkan banyak sandera yang sebelumnya tertahan oleh pihak pemberontak.Para tawanan yang berhasil diselamatkan dibawa ke istana langit untuk menerima perawatan khusus. Tak lama setelahnya di hadapan penghuni alam langit, Sacia dan Macia diangkat menjadi Dewa Agung atas prestasinya meredakan perang dan menyatukan s
Beberapa waktu berlalu, Rahien dan Macia menjadi akrab. Meskipun tidak mengenal identitas aslinya, tapi Rahien tetap merawat gadis dengan baik. Dengan menyamar sebagai Lian, Macia membuat Rahien mengenalnya sebagai sesama penghuni langit bawah. Entah bagaimana ia tidak mengatakan identitas aslinya, kemungkinan besar agar Rahien tidak lagi mengingat-ingat kejadian masa lalu. Suatu hari, Rahien membuat banyak sekali layangan bambu lalu menerbangkannya."Kau sedang apa?" Macia yang terheran-heran lantas menanyakan untuk apa benda itu."Hari ini, adalah tepat seribu tahun sejak aku diturunkan ke langit bawah. Aku dulu pernah tinggal di langit atas. Kau tahu? Aku bahkan tinggal di istana bersama para dewa. Tapi, suatu hari aku tiba-tiba dipaksa kembali ke sini. Meski di sini adalah tempat asalku, di mana aku bisa menemukan seluruh keluargaku, tetap saja semua yang aku lewati di langit atas sangat tak terlupakan."Macia terenyuh. "Kau sedang merindukan istana langit?"Rahien menggelengkan k
Ciuman itu membakar jiwa, menimbulkan sensasi gemuruh pada hati. Pada saat kuluman mereka semakin kuat, ia tidak bisa mencegah darah tersebut masuk ke tenggorokannya. Waktu tidak membuatkannya pilihan, semua berakhir jauh seperti yang Azhara inginkan. Bibir hangat itu kini terlepas dari bibirnya. Perlahan, wajah gadis itu menjadi jelas. Zhura mengusap pelan bibir bawah Azhara yang basah akibat darah dan saliva."Sekarang kau adalah manusia bebas."Azhara mematung. Rasa pahit manis tertinggal di lidah saat pemuda itu menerima kesadarannya. Ia terlonjak melihat tubuh Zhura yang rapuh jatuh menyatu dengan salju. Azhara lantas berlutut, pandangannya menatap darah yang keluar bak sungai dari tangan itu. Dengan kalut Azhara merobek jubahnya menjadi secarik kain panjang. Pemuda itu kemudian menahan lengan Zhura dengan hati-hati.Gadis itu menangkis lilitan kain perbannya, "Maaf, karena tidak sopan. Aku tahu kau terkejut. Tapi semuanya sudah selesai.""Kau akan baik-baik saja." Azhara mengaba
Angin menerbangkan helaian Arlia, gadis bermata hazel itu menatap ke atas. Matahari bersinar seolah merayakan azam tanda mimpi buruk dunia berakhir. Sebelah lengannya naik mengusap keringat yang mengalir dari pelipis, kesejukan nyatanya tidak membantu banyak. Ia mengembuskan napas, menyandarkan punggung pada pilar besar di belakang.Di hadapan gadis hazel itu terbentang halaman luas istana yang diisi tubuh-tubuh sekarat atau sudah tak bernyawa. Satu demi satu yang terluka diberi tindakan oleh tabib yang berkumpul, sementara yang lainnya dirujuk ke rumah sakit di seluruh kerajaan. Lalu, ditatapnya sosok-sosok tak bergerak itu dengan datar. "Ah." Mereka orang-orang yang tidak beruntung.Berjejer, mayat demi mayat dibaringkan terselimut kain dari ujung kepala sampai kaki. Semalam mereka masih bertarung bersama, meneriakkan semangat berjuang. Tapi sekarang jiwa-jiwa berkobar itu padam. Mereka pahlawan, pembebas kutukan dan rasa takut. Arlia mendapati gadis berambut perak terbaring di anta
Kerajaan berduka, bagiannya terisi oleh warna terang. Pakaian putih yang orang-orang itu kenakan menandakan lara yang menetap sementara hati menahan pilu. Semalam, para gadis dan prajurit yang meninggal dikremasi, sementara abunya diserahkan kepada keluarga masing-masing. Mereka menangis. Para orang tua yang melihat kepergian anaknya menjadi perjalanan selamanya, meratap.Hanya Zhura yang tertinggal. Ketidakhadiran Azhara di istana tidak hanya menimbulkan tanda tanya, tapi juga penangguhan kremasi Zhura. Di tengah-tengah halaman luas, ia menjadi sorotan. Setangkai lili putih diletakkan di sisinya. Satu demi satu bunga kesedihan itu diatur sedemikian banyaknya mengelilingi pembaringan anteng sosok peraknya. Setanggi harum dinyalakan di sisi peti Zhura yang dibaringkan dengan tangan bertaut.Asap kecilnya yang terbang, menjadikan pandangan kabur di saat mata juga terbias air. Di tangan Zhura, ada gelang perak yang masih melingkar. Tentu saja, orang yang bisa melepasnya bahkan tidak kem
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun