Brian dan Frans berlari cepat. Meloncat dari pohon ke pohon. Mengikuti anak buah mereka di depan. Setelah agak jauh masuk ke dalam hutan mereka turun dan berhenti di tepian sungai kecil. Disana sudah ada beberapa vampir yang berjaga. Brian menghela nafas. Melihat di sebuah batu tergeletak mayat yang kakinya menjuntai ke bibir sungai. Tak dapat dipungkiri itu salah satu anak buah yang disuruhnya menyisir hutan tadi malam. Berarti mereka bertarung melawan seseorang. Tapi siapa? Apakah musuh lama mereka? Atau orang lain? “Frans gunakan kemampuanmu melihat masa lalu mayat ini.” tanpa menjawab Frans langsung menyentuhkan tangannya ke tubuh sang mayat. Kemudian memejamkan mata. Tak lama ia melihat kegelapan. Kemudian sepasang mata merah menyala menatapnya di kegelapan. Kemudian pohon-pohon bergerak. Pemilik mata itu melarikan diri. Frans seperti tengah mengejarnya. Kemudian ia turun di tepian sungai. “Berhenti, siapa kau?” Tanya Frans atau lebih tepatnya itu suara vampir yang dilihat m
Druf mondar mandir di balkon. Ia mendengus kesal. Sebenarnya kemana dua cecunguk itu (julukan untuk Brian dan Frans jika lagi kesal). Bahkan seluruh penjaga dan para vampir tidak tahu dimana keberadaan keduanya. Ia mulai curiga ada sesuatu yang terjadi tapi mereka rahasiakan. Tapi apa? dan kenapa? Tok. Tok. Tok. “Masuk.” Pintu terbuka. Gadis itu muncul memamerkan giginya.”Hai mas bro, oppa.” Ucapnya seraya mengangkat tangan kanannya. “Ishhh... mau apa kau kemari.” Tanya Druf ketus memunggunginya. Dilara bimbang untuk bertanya. Melihat sikap Druf tak pernah baik kepadanya. Apalagi saat ini. Sikapnya sungguh menyebalkan. Gunug es. Muka tembok. Dan entah apalagi julukan yang harus ia berikan pada cowok kece dihadapannya itu. Untung dia ganteng. Jika tidak sudah dari kemaren-kemaren tuh cowok ia cuci bersih, dikeringkan trus disetrika. Emang cucian!!!!??? :) “Lah, malah bengong. Kalo ga ada perlu penting sana keluar. Eneg liat wajahmu.” “Jahat amat sih,” Ucap Dilara jengkel.
Rasa itu muncul kembali dihatinya. Meski sosok dihadapannya tak lagi sama seperti dulu. Dengan mata penuh cinta dan harapan Druf melepaskan pelukan Dilara dan menyongsong kekasihnya itu. Tak dihiraukannya larangan Frans. Bahkan tanpa sadar pula ia mendorong William menjauh saat panglima vampir itu menghadangnya. Cinta. Ya, cinta dihatinya membutakan kesadarannya akan makhluk buas yang kini menatapnya licik. “Tidak tuan, dia bukan vampir seperti kita. Dia zombie tuan. Seseorang telah menjadikannya monster.” Frans menahan tangan Druf namun di tepisnya. Dilara yang masih shock dengan sosok adiknya yang sudah meninggal itu, tersadar kemudian menghadang Druf. Direntangkan tangannya dan ditatapnya mata Druf lekat-lekat. “Druf, aku tahu ini berat bagimu. Tapi ini juga berat bagiku. Tapi yang kita hadapi saat ini bukanlah Elena kita. Dia hanya monster yang memanfaatkan tubuh Elena untuk menipumu.” Ucap Dilara. Sejenak Druf teralihkan pandangannya. Hatinya mulai bimbang. Sisi yang lain i
Aula kampus terasa sepi saat liburan. Biasanya tempat itu selalu ramai oleh mahasiswa yang sedang istirahat. Ia masih ingat bagaimana para mahasiswi selalu memekik kegirangan apabila bertemu dengannya. Entah apa yang mereka suka darinya. Ketampanannya? Kekayaaannya? Atau fisiknya yang sempurna. Mereka tak pernah tahu ia hanyalah manusia setengah iblis. Siapapun yang dekat dengannya berarti dekat dengan kematiannya. Dirabanya bangku kosong tempat Elena berdiri. Disitulah mereka pertama kali bertemu. Dan ia juga masih ingat di taman itulah Elena jatuh. Dihelanya nafas. Hatinya merasa hampa. Dan tambah perih ketika harus berhadapan dengan tubuh gadis yang dicintainya sudah dikuasai iblis. Ia tidak akan pernah memaafkan siapapun orang yang telah memanfaatkan tubuhnya menjadi zombie seperti itu. “Owh, sepertinya ada yang merindukanku,” ucap suara serak yang membuyarkan lamunannya. Druf waspada. Elena kembali muncul bersama vampir liar. Jumlah mereka cukup banyak. Dalam hati Druf bena
Druf menemukan undangan besar di bawah map yang baru saja dipelajarinya. Besok. Jam 7 pagi di Hotel Central. Acara pertemuan para pengusaha. Shit, Druf membatin. Mendadak sekali. Tempat itu tepat berada di jantung kota london. Ia harus berangkat hari ini agar bisa istirahat sejenak di hotel. Dan paginya ia harus tampil fresh. Walaupun acara ini hanya acara pertemuan rutin yang biasa dihadiri pamannya, tapi acara itu sangatlah penting. Untuk kemajuan perusahaannya di berbagai negara. Dan kemungkinan dapat menjalin hubungan kerjasama baru dengan perusahaan lain. Dulu, pamannya yang selalu mewakilinya. Sekarang ia akan melakukannya sendiri. Satu hal terpenting. Vampir harus kaya. Dengan begitu ia bisa membeli stok darah untuk para vampir yang mengabdi padanya. Ia pula yang akan memberi pekerjaan kepada para vampir. Dipencetnya bel yang terdapat di bawah meja. Tak berapa lama seorang pelayan datang. “Siapkan mobil kesayanganku. Dan suruh pelayan lain mengabari Brian dan Frans aku a
Acara pertemuan diadakan di taman hotel yang luas. Konsep outdor seperti inilah yang paling disukai Druf. Saat ini ia memakai setelan celana hitam dan tuxedo mewah. Ia meraih segelas wine yang diedarkan pelayan. Di sudut ruang bertenda. Dua wanita seksi bisikbisik sambil memandang kearahnya. Wajahnya sangat tak asing. Dua wanita tersebut artist papan atas yang sengaja diundang untuk memeriahkan acara. Yang satu penyanyi dan yang satunya aktris film. Ketua perkumpulan pengusaha Robert Hilton memanggil semua undangan untuk berkumpul di tenda tengah taman. Karena acara akan dimulai. Druf juga segera memenuhi panggilan itu. Sejenak orangorang yang berpapasan dengannya menatapnya heran. Di mimbar sederhana yang dipenuhi lampu pesta. Tampak Robert Hilton bersama putrinya sedang berdiri di depan podium. Druf menatap dingin kearah putrinya. Ternyata gadis yang ia temui di hotel memang benar putri konglomerat. Dia putrinya Robert. Lalu bagaimana bisa ia ditangkap pelayan kemudian disangka pe
Druf baru saja membuka pintunya. Namun di dalam kamarnya ia mendapati Angelica sedang duduk dan tersenyum ke arahnya. Senyum yang begitu menawan. Namun Druf hanya menanggapinya datar. “Kau ini hantu atau apa,” ucap Druf. Mungkin gadis itu mendapatkan akses khusus dari hotel sehingga bisa masuk ke kamarnya.“Terserah.” “Mau apa disini?” Druf memasukkan barang yang mau dibawa pulang. “Kau tadi mengikuti ku ya?” tanya Angelica“Hanya penasaran. Sepertinya David sudah memberitahumu.” Kini Druf sedang meneliti dokumennya dan membubuhkan beberapa tanda tangan di sana. Tak lupa ia menempelkan stempel di sana. Anggelica menatapnya kagum. “Jadi, benar mau menjadi donatur?” ucap Angelica seraya mendekat. “Ya, datanglah ke rumah. Ajak David.” Kini Druf sedang mengupas jeruk yang disediakan hotel di atas meja. Angelica terus mendekat tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Lepas, kau gila ya?” Druf mendelik marah sambil berusaha melepaskan pelukan Angelica. “Sudah dua kali kau menolak ku
Samuel menerjang dan terus melancarkan serangan. Inilah hal pertama yang ia takutkan terjadi menimpa Druf. Ia berjuang mati-matian melindungi anak itu bagaimanapun caranya. Ia tak segan melenyapkan siapapun yang membahayakan tuannya. Bahkan ia harus menipu Druf demi kebaikannya. “Apa yang kau dapat dengan menentang ku Samuel!” Victoria berteriak berang. Bagaimanapun juga, bagi bangsa vampir kedudukan Victoria lebih tinggi daripada Samuel.“Aku tidak menentangmu. Aku hanya melindungi tuanku. Dan kau adalah bahaya terbesar yang paling mengancam tuan Druf,” Ucap Samuel. “Sudah berkali-kali ku katakan. Aku tak mungkin menyakitinya.” “Cuih. Sekarang saja kau sudah menyakitinya. Menyakiti mentalnya. Pergi menjauh atau kau ku bunuh.” Balas Samuel tak kalah sengit. Ia sadar salah satu kebusukan Victoria adalah pandai bersilat lidah. Tidak ada gunanya meladeni wanita itu. Lagipula Victoria tidak lagi diakui sebagai ratu. ia telah mengkhianati bangsa vampir dengan membahayakan Druf dan juga
Pesawat yang membawa Elena tiba di Sydney. Mereka di jemput seorang lelaki setengah baya ber-jas rapi yang tak lain bawahan Druf di perusahaan Sydney Blue Sky. Selama perjalanan Samuel tidak banyak bicara. Sebenarnya ia sudah mengetahui kabar Druf yang sedang koma. Ia chattingan dengan William. Membantunya melakukan penyelamatan darurat sebisa mungkin. Ia mengirim pesan-pesan yang harus William lakukan. Andaikan Frans ada di sana ia tidak akan sehawatir ini. Samuel mendesah. Pikirannya kalut. Wajahnya tampak muram dan kusut. Elena yang melihat hal itu memandangnya dengan curiga. “Apa kau sudah mendapat kabar dari William?” Tanyanya antusias. “Eh, belum.” Kejut Samuel. Dengan cepat ia menyembunyikan ponselnya di saku jasnya. Elena melihat gerakan Samuel yang menurutnya mencurigakan. “Tolong, jangan sembunyikan apapun dariku.” Ucap Elena dengan mata berkaca-kaca memandang Samuel.”Aku akan lebih menderita jika kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku berjanji akan tangguh dan siap
“Sebelum kau melawan tuanku. Hadapi kami dulu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Ratu Victoria menyeringai. “Kalian bukanlah tandinganku HUH!!”Gertaknya. Druf memegang satu bahu Frans dan satu bahu Brian. Keduanya menoleh. “Kalian..Pergilah susul Samuel dan Elena.” Ucap Druf dalam mindline. “Tapi tuan.” Ucap Brian dan Frans bersamaan. “Ini perintah... Aku titipkan Elena dan anakku.”Mata Druf terlihat sendu. “...........” Frans dan Brian saling pandang, menunduk lalu mundur. Mata Druf bertemu dengan mata ibunya. Dua bola mata yang dulu pernah berwarna sama kini telah berubah. Druf memandang dengan iba sedangkan ibunya memandangnya penuh gairah. Ia tidak tahu mengapa harus seperti ini. Apakah ia sanggup melawan ibunya sendiri. “Seraaaang!!!!!” Perintahnya kepada setiap yang hadir. William langsung mengambil alih. Sebagai jenderal ia langsung memimpin para vampir melawan makhluk berjubah hitam. Sedangkan Druf fokus pada ibunya. “Pangeranku yang tampan. Aku tidak tahu a
Seorang wanita cantik berdiri menatap Elena lekat. Matanya merah menyala di penuhi kemarahan. Elena ketakutan. Diliriknya Druf yang tengah memandang wanita itu dengan waspada. “Itu siapa?” Bisik Elena di telinga Druf. Kemunculannya yang diawali dengan makhluk berjubah hitam yang kini sedang menawan para undangan. Membuat Elena yakin, jika wanita itu bukan teman. “My Mom.” Ucap Druf datar. Elena terkejut mendengar jawaban itu. Bukan karena usia wanita cantik itu yang tampak muda. Melainkan ia masih mengingat ucapan Frans tempo hari untuk tidak mendekati wanita itu, meski dia ibu Druf sekalipun. “Paman Sam, keluarlah!!!” Teriak Druf. Seorang pemuda muncul dari balik kursi yang Druf duduki. Brian dan Frans terkejut mengetahui keberadaannya. Bahkan keduanya yakin jika tuannya sengaja menyembunyikan keberadaannya. “Heh, mau apa kau Sam!!” Ucap wanita itu lantang. Para undangan menahan nafas. Mereka kenal betul siapa wanita ini. Dia adalah Ratu Victoria, ratu kegelapan. Seolah
Deru mobil Brian terdengar. Druf yang sedari tadi menunggu dalam diam masih mematung. Tiga jam ia duduk di sana. Dengan wajah datar tanpa bicara sepatah kata pun. Elena gelisah menatapnya. Sementara David duduk dengan lesu di dekat pintu yang mengunci Anggelica. Kadang-kadang gadis itu masih berteriak. Pintu terbuka. Brian muncul di sana dengan wajah muram. Tak lama setelahnya muncul seorang gadis cantik berambut pendek. Matanya berbinar melihat ke arah Druf yang masih tidak menatapnya. “Druf.” Gadis itu berlari dengan riangnya. Ditangkupnya wajah Druf dengan kedua tangannya.”Lama sekali kita tidak berjumpa.” Ucapnya tersenyum. Brian menatap frustasi ke arah Dilara. Bagaimanapun ia sudah sangat mencintai gadis itu. Hatinya sedikit sakit melihat gadisnya begitu memuja tuannya. Druf yang tidak merespon apapun berdiri. Bahkan ia sama sekali tidak melihat ke arah Dilara. “Brian, bawa dia ke kamarmu.” Ucap Druf. “Tidak. Aku tidak mau. Aku masih ingin bicara denganmu.” Teriak D
Nafas berat Druf semakin terasa. Elena tak dapat lagi menutupi kegeliannya. Bahkan nafasnya memburu. Ia merasa sesuatu yang nyaman dan geli bersamaan. Hingga tanpa sadar ia mencengkram rambut Druf kuat. Dan mulutnya tanpa sengaja mengeluarkan erangan yang kemudian ia tahan. Druf bergerak. Mungkin ia terjaga karena cengkraman tangannya. Elena menatap Druf yang tengah menatapnya sayu. Dan entah atas dorongan apa. Elena mencium bibir Druf. Mengulumnya. Ia merasakan kenikmatan luar biasa saat melakukannya. “Jangan Elena. Aku akan menikahimu sesuai adat bangsamu.” Ucap Druf saat bisa menghindar. Elena menatapnya dengan nafas yang semakin memburu. “Ta..Tapi.” Elena menyatukan dahinya dengan dahi Druf. Hidungnya mencium wangi nafas Druf yang menggoda. Ia kembali kehilangan akal sehatnya. Mengecup bibir Druf kembali dan merasakan kenikmatan yang mungkin tak banyak orang tahu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh dada Druf yang bidang dan berotot. Tangannya mengusapnya dan memainkannya. Druf
Elena tersadar. Dirabanya lengannya yang masih perih. Ia melihat sekeliling. Ini kamar Druf, batinnya. Peristiwa memalukan itu kembali terbayang di matanya. Saat ia melihat handuk yang dipakai Druf terjatuh. Seketika wajah Elena memerah. Dihapusnya segera bayangan itu dari ingatannya saat ini. Pikirannya kembali mengingat peristiwa sebelumnya. Tapi, bagaimana ia bisa ada di sini. Seingatnya malam itu ia hendak dibawa wanita cantik namun ia melihat paman Samuel. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Krieeeettttt. Elena terkejut. Terdengar bunyi engsel pintu yang dibuka paksa. Elena mematung. Ia seperti melihat bayangan seseorang yang bungkuk mendekat ke arahnya. Elena tidak bisa bernapas. Tubuhnya juga tidak bisa bergerak. Ia shock. Melihat bayangan itu samar-samar telah mendekati tepian kasurnya. Ia mendongak menatap Elena di kegelapan. Sepasang matanya hitam pekat. Elena sangat ketakutan luar biasa. Ia ingin lari tapi tak bisa. Ia juga ingin teriak tapi tenggorokannya terceka
“Tuan, kita tidak bisa menemukannya. Tapi dari baunya. Sepertinya Elena lari ke arah sini.” Frans menyisir tempat itu dengan teliti. Druf membenarkan hal itu. Ia bisa mencium wangi bunga Levender. “Tuan, ada dua mayat vampir.” Ucap Frans. Druf mendekat. Ia yakin itu prajurit ibunya. Bahkan hidungnya pun bisa mencium wangi wanita itu. Wanita yang telah melahirkannya sekaligus membuat hidupnya lebih menderita dari kematian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sikap ibunya yang ingin menikahi putranya sendiri. Druf memegang dadanya. Ia merasakan luka yang luar biasa sakit. Ia tidak ingat sama sekali mengapa ibunya bersikap seperti itu. Kehidupan macam apa ini. Walaupun manusia biasa menganggapnya iblis. Tapi Druf masih punya hati nurani. Virus vampir sama sekali tidak akan mengubah hatinya menjadi iblis. Mana ada seorang ibu yang mencintai anaknya sendiri seperti seorang kekasih. “Sudah paman katakan kan Druf, apapun yang ada di dirimu adalah candu. Siapa yang pernah bersent
Secantik apapun cewek yang berdiri telanjang di hadapan. Takkan bergairah tanpa adanya rasa suka. Itupun kalo jiwa elo masih waras. Alexandru Cezar. *** “FRAAAANNNNNNSSSS.” Teriaknya. Ia meraih handuknya cepat. Memakainya sekenanya kemudian keluar dari kamar itu. Frans yang tadinya masih nyantai, sampai tersedak melihat tuannya keluar dari kamar dengan kondisi yang bisa dibilang me-nak-jub-kan. “W- o -w.” Ucap frans. Yang diikuti anggukan Brian. Druf mendelik melihat kedua penjaganya malah mematung memerhatikannya. “Jangan bengung aja lu. Cepat bius tuh gadis gila biar tiduRrr.” Bentaknya. Bukannya segera melaksanakan apa yang diperintahkan, Frans malah ngomong ngelantur. “Perasaan staminanya dan bodynya yang hot gak bakalan kalah kan naklukin tuh cewek. Iya nggak Brian?” Ucap Frans masih sempat menyeruput tehnya dan diikuti anggukan Brian.”Trus kenapa dia melarikan diri, padahal anunya kenceng gitu.” Pletakk. Pletakk. “Auu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Kepal
Dalam perjalanan tak satupun ada yang bicara. Baik Elena maupun Druf. Mereka berdua sama-sama canggung. Di benak Elena kini ada perasaan takut. Mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Mungkin kali ini rasa takutnya lebih besar dari perasaan sukanya pada Druf. Cowok di sampingnya itu tidak mudah di tebak. Kadang baik, kadang kejam. Berbeda dengan Brian maupun Frans, mereka ramah. Jangan-jangan mereka bertiga bukan bersaudara seperti yang dikatakan Druf. Tapi Elena mana tahu selama kerumahnya ia belum pernah bertemu dengan orang tua Druf. “Turun.” Ucap Druf singkat. Elena kebingungan. Andaikan ia tidak melihat keluar mungkin ia tak paham dengan maksud Druf. Mereka telah sampai. Sepatu hak tinggi Elena menyentuh karpet merah. Aula sekolah sudah berubah jadi ruangan pesta kelas elit. Bahkan ada karpet merah segala. Sejenak Elena merasa malu. Baru kali ini ia memakai gaun sebagus ini. Itupun di pinjamkan Brian, katanya ia punya butik merek sendiri. Syukurlah gaun itu pas di tubuhnya.