Gerbang setinggi tiga meter dibuka tepat sejak matahari tenggelam. Para penjaga bertubuh kekar nampak siaga di pos masingmasing. Beberapa di antaranya memakai jas layaknya pakaian resmi. Sementara sebagian yang lain memakai setelan kaos hitam. Dan kebanyakan dari mereka memakai semacam earphone ditelinga masing-masing. Alat itu menghubungkan komunikasi mereka dari posisi yang satu ke posisi lain.
Sesuai pengumuman yang telah di siarkan. Semua orang yang ada di sekitar rumah Druf memakai baju hitam..Bahkan tamu yang datang dengan mobil mahal juga memakai setelan warna hitam. Nampaknya mereka para pengusaha kaya luar kota yang diundang untuk acara besok malam.Risma dan Elena memperhatikan semua pergerakan itu. Saat ini semua penjagaan terfokus pada rumah besar nan megah seperti istana. Jadi mereka bisa leluasa pergi tanpa takut diketahui siapa pun.Kebetulan ibu asrama mereka sedang rapat, jadi kesempatan itu tak akan disiakan. Keduanya sudah siap melaksanakan rencana yang mereka susun sejak tadi pagi.“Ris, apa ini tidak terlalu berbahaya. Jika ada yang mengetahui kalau kita keluar bagaimana? Bisa gawat nih,”rengek Elena di dekatnya dengan wajah gelisah. Ini adalah kali pertama ia melanggar sebuah peraturan. Berbeda dengan Risma. Sejak dulu Risma terbiasa melakukannya. Jadi wajar jika dirinya sama sekali tidak takut.Sinar bulan purnama memantulkan kecantikan Elena yang alami tanpa polesan apa pun. Rambut hitam legamnya tergerai begitu saja dengan indah. Sedangkan dressselutut yang ia pakai. Mengikuti lekuk tubuhnya. Sekilas ia tampak sederhana dan apa adanya. Meski sebenarnya tubuhnya begitu sintal nan sexy alami.Berbeda dengan Risma yang notabene fashionable dan anak orang kaya itu. Hidungnya saja sudah pernah dipermak di tangan ahli bedah ternama di Korea. Kecantikannya bermodal. Tapi bagi Elena ia sahabat yang baik, bahkan meski Elena orang miskin dan bisa kuliah di universitas beken ini karena beasiswa. Ia tetap menganggapnya dan selalu bersamanya. Di saat banyak teman tak mau berteman dengannya.“Ayo jangan cuma ngelamun.” Risma menarik tangannya. Elena hanya mengekor di belakang.Mereka berjalan pelan kemudian dibelokan pertama mereka menghilang diantara semak-semak. Sebenarnya itu bukan jalan yang biasa mereka lalui jika hendak ke kota. Tapi malam ini mereka butuh jalan pintas agar bisa sampai dan pulang dengan cepat.Risma melihat GPS di handphone-nya. Salah sedikit mereka bisa kesasar terlalu jauh ke dalam hutan. Keduanya tidak menyadari. Hutan Epping bukanlah hutan biasa yang cukup aman untuk dia lalui di malam hari. Selain menyesatkan, hutan tersebut terkenal angker.Elena mendadak mencengkeram pundak Risma.“Auuuu, apaan sih El??”“Ada sesuatu di semak-semak itu. Perasaanku sungguh tak enak.”“Itu cuma perasaanmu saja El.”Sahut Risma. Namun suara itu semakin dekat di telinga Elena.“Ris, aku takut.”“Cemen lu ah.” Sahut RismaTiba-tiba tanpa disangka. Sebuah tangan mencengkeram bahu Elena dari belakang. Elena bergidik ngeri. Apalagi langkahnya tertahan tangan itu. Ia tidak bisa lari ataupun menghindar. Hanya satu hal yang bisa di lakukannya.“Kyaaaaaaaaaa...” Teriaknya memecah sunyinya hutan.Spontan Risma menoleh dan melihat apa yang terjadi dengan Elena. Ekspresi Risma tak dapat digambarkan. Wajahnya mendadak pucat pasi. Dengan mata terbelalak dan tanpa bicara sedikit pun ia lari tunggang langgang meninggalkan Elena sendirian.“Ris......Pliiissss jangan tinggalkan aku.” Tangisnya pecah dengan tubuh gemetar. Ia tak menyangka sahabatnya itu akan meninggalkannya sendirian.“Lepaskan.” Elena meronta-ronta. Tapi cengkeraman tangan itu sangat kuat. Hingga baju di bahunya robek karna kuku yang tumbuh panjang berwarna hitam dari tangan yang mencengkeramnya.Betapa ia sangat shock. Melihat makhluk apa yang menahannya itu. Seorang pria. Ah tidak, mungkin dia hantu atau apa. Wajahnya pucat seperti mayat. Bola matanya merah semerah darah.“S..si..Siapa k..Kamu??”Bukannya jawaban yang ia terima. Lelaki itu justru menyeringai dan menunjukkan gigi taringnya yang mencuat keluar.Vampir ???Elena menggeleng tak percaya. Ia semakin meronta. Tapi apa daya kekuatan manusia di depan vampir kelaparan seperti itu. Sekuat apa pun ia mencoba tidak akan berpengaruh sama sekali.Vampir itu mendorongnya hingga terjatuh. Kemudian menindihnya hingga ia tak bisa bergerak sedikit pun.“Kumohon... biarkan saya pergi. Darah saya pahit..” Ucapnya memelas.Vampir itu tertawa, menertawakan keluguan Elena.“Apa? Darahmu sangat istimewa. Siapa pun pasti ingin menikmatinya. Jadi jangan banyak bicara. Hahaha.”Elena menangis sejadi-jadinya. Ia menangisi nasibnya yang malang. Masa depannya berakhir hanya sampai di sini. Saat vampir itu menjilati lehernya ia memejamkan matanya. Pasrah.Kraakk..Terdengar suara ranting patah dan rintihan menahan sakit. Elena membuka matanya. Dilihatnya seseorang melawan vampir yang menyerangnya. Beruntung vampir itu akhirnya mati mengenaskan tergantung di sebuah dahan yang menembus jantungnya.“Kau tidak apa-apa?” Suara itu begitu hangat. Elena merasa mengenalnya. Namun ia ragu. Rasanya tidak mungkin orang itu adalah Druf. Elena langsung meraih tangan pemuda yang terulur padanya tanpa ragu. Ia berhambur memeluknya.Tangisnya kembali pecah untuk ke sekian kali.“Aku takut.” Rengeknya. Tangan dan tubuhnya masih bergetar.Cowok itu memeluknya, membelai rambutnya kemudian mengecup pucuk kepalanya. Elena merasa hangat dan tenang.“Tidak apa-apa sayang. Semua baik-baik saja. Aku akan slalu menjagamu.”Sayang????Elena mendongak. Menyadari dirinya berada dalam pelukan cowok asing. Ia mendorong tubuh itu agar melepas pelukannya namun gagal.Cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Wajahnya sama sekali tidak terlihat karena saat itu bulan sedang ditutupi awan.“Berhentilah menangis. Aku di sini.” Bisiknya.Jari jempolnya mengusap air mata Elena begitu lembut. Saat itulah Elena menyadari jari jempol malaikat penyelamatnya terluka.Sebab hidung Elena samar-samar mencium amis darah.“Kau terluka.” Ucapnya. Tanpa menunggu, diraihnya jempol yang terluka itu kemudian menghisapnya. Maksud hati ia menghisap darahnya untuk dibuang tapi karena buru-buru ia tersedak dan darah yang menggenang di mulutnya tertelan.Ia merasa mual karena rasa darah di tenggorokannya. Tapi karena gengsi Elena pura-pura membuang darah dimulutnya ke tanah.Ia merobek kain dibahunya yang sudah hampir lepas, kemudian mengikatnya di jempol cowok itu.Elena tak menyadari, tingkahnya membuat cowok di hadapannya tertegun.“Apa masih sakit???” Tanyanya, karena menyadari cowok di hadapannya mematung.Tanpa diduga kedua tangan cowok itu meraih pinggangnya. Menariknya ke dalam pelukannya. Kemudian ia menunduk mendekati wajah Elena. Nafasnya yang segar begitu terasa saat kedua nafas mereka bertemu..Awalnya Elena tak terima perlakuan itu.Namun saat lelaki itu semakin mendekatkan wajahnya. Elena memilih memejamkan mata dengan pasrah. Namun yang ia dapat hanya desahan panjang yang menerpa wajahnya. Cowok itu hanya menatap Elena di kegelapan. Kemudian memeluknya lagi.“Kau hanya milikku.” Bisiknya, suaranya terdengar seksi di telinga Elena.“Kembalilah ke asramamu. Di sana lebih aman untukmu.”Elena hanya mengangguk, mengambil slingbag-nya yang tadi jatuh dan tak lupa merapikan keadaannya yang berantakan.“Pakailah ini.”Elena menerima sweter yang disodorkan kepadanya meski kebesaran ditubuhnya yang sexy.“Kau bagaimana?”Ucap Elena seraya melirik perut sixpack cowok di hadapannya.Yang diterpa cahaya bulan yang mengintip malu-malu di balik awan.Oh, no. Jerit hati kecilnya. Itssohot.“Aku tidak apa-apa. Cepatlah pergi sebelum aku berubah pikiran untuk menenggelamkanmu dalam pelukanku.”Elena hanya manyun. Mengerucutkan bibirnya ke depan. Membuat cowok itu gemas dan menjewer pipinya “Sialan.” Elena terkejut.“Cepatlah berjalan dan jangan menoleh. Aku mengawasimu dari belakang.”Elena menurut ia melangkahkan kakinya berjalan mengikuti jalan yang pernah ia lewati tadi. Tampaknya hari sudah terlalu larut malam.Suasana begitu sepi. Ia mempercepat langkahnya masuk ke asrama tanpa sepengetahuan siapa pun.Cowok itu, yang tidak lain adalah Druf memandang tubuh Elena yang menghilang di tembok asrama. Sedikit lagi ia terlambat menolong gadis itu. Ia akan merasakan kehilangan dalam hidupnya. Druf memantapkan hati. Jika gadis itu juga menyukainya. Tidak butuh waktu lama ia akan melamarnya.Druf terbangun agak siang. Dilihatnya kain yang membungkus bekas luka di jari jempolnya. ‘Dasar gadis ceroboh, ‘batinnya. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Diambilnya handphone di meja samping tempat tidurnya yang mewah. Tak butuh waktu lama suara yang sangat dikenalnya menyapa di sebrang. ‘iya Tuanku. Ada yang bisa saya lakukan untukmu? ‘ “Apakah lehermu ingin kupatahkan sepagi ini? Setidaknya saat kita hanya bicara berdua. Berhentilah memanggilku dengan kata ‘tuanku’ .” Ucap Druf. Suara disebrang terkekeh. ‘Mau bagaimana lagi Druf. Kau sekarang sudah menjadi junjunganku.’ Druf mendengus kesal. “Ayo dengarkan titahku, jika terjadi kesalahan kupastikan kau tak jantan lagi. “ Ancam Druf. ‘Ampuuuunnntuannn... Aku percaya kau bisa lakukan itu. Hambamu yang setia ini siap laksanakan apapun titahmu. ‘ Kini giliran Druf yang tertawa. Ia memang selalu ingin tersenyum jika mendengar kelakar Brian. *** Risma terpekik kecil melihat Elena dikamarnya. Ia merasa sangat bersalah kare
Druf memejamkan mata cukup lama. Di sekelilingnya para petinggi vampir menunggu reaksinya. Ia lolos ritual pertama, berkomunikasi langsung dengan manusia dalam jumlah banyak. Jika ia terlihat kehausan dan kesulitan dengan banyaknya bau amis darah berarti ia gagal. Sekarang ia meminum darah lagi. Darah kedua. Darah yang sama dari darah yang pertama ia minum. Sebenarnya Druf tak mengerti betul ritual tersebut gunanya untuk apa. Bagi Druf meminum banyak darah atau tanpa darah sama sekali tidak ada masalah. Samuel tak henti-hentinya mengusap dagunya. Ia tegang. Berharap anak yang dirawatnya itu lolos dari ujian ini. Meski ia tahu Druf akan lolos dengan mudah. Tetap saja ia merasa hawatir. Biasanya kebanyakan vampir akan tambah liar jika meminum darah murni manusia. Darah yang diambil dari gadis perawan atau perjaka. Dan vampir kaum bangsawan yang kesakitan merupakan pertanda bahwa mereka tidak bisa menjadi raja. Bagi Druf melalui prosesi ini dengan mulus sangatlah penting. Ia harus me
Kepalanya masih terasa sakit. Namun tidur terus-terusan bukanlah hal baik. “Maaf mengganggu Tuanku.” Suara khas Samuel dan ucapan ‘tuan’ kembali mengganggu Druf. “Paman, bisa tidak kalau cuma berdua panggil aku seperti sebelumnya. Seperti dulu,” ucapnya kesal. “Anda harus terbiasa Tuan.” Druf memoncongkan bibirnya. Ekspresinya sungguh lucu sekali. “Ada perlu apa Paman? Sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan.” Samuel mengambil nafas sejenak kemudian berkata, “Tuan sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Beberapa hari ini pergerakan Tuan seperti diluar kendali.” “Apa maksud Paman?” Samuel menceritakan semuanya seperti seorang detektif. Sejak Elena jatuh dan ia hendak menciumnya. Kemudian mengganggunya di koridor kampus secara detail. Bahkan, menunjukkan video ketika Druf membunuh vampir liar dan menyelamatkan Elena. Saat ia memeluknya kemudian Elena mengisap darah ditelunjuknya. Sesaat setelah itu tampak Elena seperti melamun agak lama hingga ia menyuruhnya pulang
Plak. Tamparan keras Brian mendarat di pipi Kris. “Adik tak berguna!” bentak kakaknya kasar. Sementara itu Misha dan Cloe berpelukan. Mereka takut mendapat hukuman dari kakak Kris. “Maafkan kami.” ucap keduanya bersamaan. “Diam!” bentak Brian pada keduanya. “Harusnya kalian menjaga Elena dan memastikannya di mobil yang mana dan dengan siapa dia ikut.” Mata Brian merah menyala. Taringnya sudah sejak tadi tampak. “Kak, pliss... Tolong maafin aku,” ucap Kris memelas. “Bagaimana ini, bagaimana jika tuan Druf tahu kalau Elena menghilang,” ucap Brian gusar. Ia menarik-narik rambutnya. ”Ini semua gara-gara kalian. Diberi satu tugas saja gak becus.” Kemarahan Brian meradang. Dibuangnya buku-buku yang tadinya tertata rapi hingga berjatuhan dilantai. “Oh, jadi Elena menghilang,” suara berat dan dingin milik Druf mengagetkan Brian dan ketiga gadis itu. Druf melayang di udara ia memejamkan matanya cukup lama. “Cepat! sekarang juga cari Elena!” ucap Druf dengan kemarahan yang lua
Druf dan Frans berpandangan. Hidung keduanya yang tajam samar-samar mencium amis darah yang mereka kenal. Bau darah itu tidak begitu kuat karena terhalang aroma lain yang lebih menyengat. Tapi keduanya yakin itu darah Elena. Druf sangat hafal dengan darah Elena sedangkan Frans dialah yang merawat Elena selama gadis itu terluka. Bahkan disaat pengukuhan putra mahkota dialah yang menukar darah Risma yang disiapkan Samuel untuk diminum Druf ke darah Elena yang lebih suci dan masih perawan. Frans adalah penjaga Druf. Dia tidak peduli siapapun yang akan dilawannya. Tercium saja sedikit pengkhianatan dia akan langsung melawannya meskipun itu Samuel sendiri. Dengan sigap Frans melesat melebihi tuannya. Ia sengaja mendahului Druf untuk memastikan adanya bahaya atau tidak. Hidungnya menelusuri bau darah yang hilang dan timbul bercampur aduk dengan bau bensin yang menyengat. Tidak berapa lama ia berdiri di depan gudang yang sebelumnya ia pernah menyelamatkan Elena yang pingsan disana. “
Druf menatap langit-langit kamarnya. Ia baru tersadar setelah terkena tembakan bius dari Frans. Tubuhnya terasa berat. Namun bukan itu yang membuatnya tetap diam di atas kasur. Ada hal yang ia hindari. Hal yang rasanya tidak ingin ia dengar. Kenyataan pahit yang harus ia terima. Luka di hati yang membuatnya lemah dan tak berdaya. Rasa kehilangan yang terus menerjang hatinya. Druf duduk dengan pikiran kalut. Penghianatan. Kehilangan. Menyerang ketenangan hidupnya bersamaan. “Tuan.” Druf menoleh. Ia melihat Frans sedang berdiri di ambang pintu. “Aku percaya kau akan sanggup melewati semua ini.” Ujar Frans. Ia duduk di samping Druf. “Apa kau tidak mau melihatnya untuk yang terakhir kali?” Kata-kata Frans seperti sembilu yang mengiris-ngiris hatinya. “Harusnya malam itu aku menggigitnya. Setidaknya dia akan tetap hidup hingga detik ini.” Sesal Druf. Frans memegang pundaknya. “Tapi aku tahu Tuan tak akan melakukannya. Bukankah kita sepakat bahwa hidup terlalu lama di dunia in
Hari-hari berlalu. Druf kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Meski semuanya telah berubah dan berbeda ia tetap bertahan. Kekacauan di gudang asrama sudah dibersihkan. Bahkan gudang itu digusur. Druf tak ingin kenangan menyakitkan yang menimpa Elena masih ada. Selain itu, gudang tersebut juga tidak terpakai. Di atas lahan tersebut Druf berniat membangun taman yang indah. Setidaknya itu akan menggantikan kisah kelam di baliknya. Banyak mahasiswa asrama yang tidak tahu mengenai kejadian tersebut. Karena saat kejadian berlangsung mereka semua dalam keadaan tak sadarkan diri, akibat obat tidur yang dicampurkan Samuel ke dalam makanan mereka. Kini rutinitas perkuliahan berjalan normal seperti biasa. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan ujian semester sudah usai. Untuk sementara Brian memimpin universitas. Sedangkan Frans kembali ke kantornya di bidang kesehatan. Druf? Sudah seminggu ia mengunci dirinya di dalam kamar. Mimpi buruk selalu menghantuinya. Dulu hanya mimpi
Druf POV Mom. Mom. Elena. Elena. Aku mengejar keduanya. Mereka tertawa melihat tingkahku. Aku mempercepat langkah. Anehnya kekuatan vampirku tidak berlaku disini. Secepat apapun aku berlari mereka tidak dapat kugapai. Mom. elena. Entah mengapa tubuhku tidak bisa bergerak. Seolah-olah ada benda berat yang menindihku..... Dengan peluh yang berceceran aku terbangun dengan masih menutup mata. Mimpi itu lagi. Aku mencoba menggeliat tapi tubuhku terasa berat. Hanya ujung kakiku yang bisa kugerakkan. Samar-samar aroma melati tercium olehku. Eh, ini darah manusia. Ya, darah beraroma melati. Segera kubuka mata. Dan pertama yang kulihat adalah pusar kecil di perut ramping dan rata. Dia hanya memakai baju sebatas dada. Dengan pants pendek diatas lutut. “Oh, sudah bangun.”Suara seorang wanita. Kulihat wajah wanita yang kini duduk tepat di atas perutku. Hidungnya mancung dengan bibir tebal namun mungil. Matanya tajam memandangku. Apa aku sedang bermimpi. Jika bukan mimpi. Siapa wa
Pesawat yang membawa Elena tiba di Sydney. Mereka di jemput seorang lelaki setengah baya ber-jas rapi yang tak lain bawahan Druf di perusahaan Sydney Blue Sky. Selama perjalanan Samuel tidak banyak bicara. Sebenarnya ia sudah mengetahui kabar Druf yang sedang koma. Ia chattingan dengan William. Membantunya melakukan penyelamatan darurat sebisa mungkin. Ia mengirim pesan-pesan yang harus William lakukan. Andaikan Frans ada di sana ia tidak akan sehawatir ini. Samuel mendesah. Pikirannya kalut. Wajahnya tampak muram dan kusut. Elena yang melihat hal itu memandangnya dengan curiga. “Apa kau sudah mendapat kabar dari William?” Tanyanya antusias. “Eh, belum.” Kejut Samuel. Dengan cepat ia menyembunyikan ponselnya di saku jasnya. Elena melihat gerakan Samuel yang menurutnya mencurigakan. “Tolong, jangan sembunyikan apapun dariku.” Ucap Elena dengan mata berkaca-kaca memandang Samuel.”Aku akan lebih menderita jika kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku berjanji akan tangguh dan siap
“Sebelum kau melawan tuanku. Hadapi kami dulu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Ratu Victoria menyeringai. “Kalian bukanlah tandinganku HUH!!”Gertaknya. Druf memegang satu bahu Frans dan satu bahu Brian. Keduanya menoleh. “Kalian..Pergilah susul Samuel dan Elena.” Ucap Druf dalam mindline. “Tapi tuan.” Ucap Brian dan Frans bersamaan. “Ini perintah... Aku titipkan Elena dan anakku.”Mata Druf terlihat sendu. “...........” Frans dan Brian saling pandang, menunduk lalu mundur. Mata Druf bertemu dengan mata ibunya. Dua bola mata yang dulu pernah berwarna sama kini telah berubah. Druf memandang dengan iba sedangkan ibunya memandangnya penuh gairah. Ia tidak tahu mengapa harus seperti ini. Apakah ia sanggup melawan ibunya sendiri. “Seraaaang!!!!!” Perintahnya kepada setiap yang hadir. William langsung mengambil alih. Sebagai jenderal ia langsung memimpin para vampir melawan makhluk berjubah hitam. Sedangkan Druf fokus pada ibunya. “Pangeranku yang tampan. Aku tidak tahu a
Seorang wanita cantik berdiri menatap Elena lekat. Matanya merah menyala di penuhi kemarahan. Elena ketakutan. Diliriknya Druf yang tengah memandang wanita itu dengan waspada. “Itu siapa?” Bisik Elena di telinga Druf. Kemunculannya yang diawali dengan makhluk berjubah hitam yang kini sedang menawan para undangan. Membuat Elena yakin, jika wanita itu bukan teman. “My Mom.” Ucap Druf datar. Elena terkejut mendengar jawaban itu. Bukan karena usia wanita cantik itu yang tampak muda. Melainkan ia masih mengingat ucapan Frans tempo hari untuk tidak mendekati wanita itu, meski dia ibu Druf sekalipun. “Paman Sam, keluarlah!!!” Teriak Druf. Seorang pemuda muncul dari balik kursi yang Druf duduki. Brian dan Frans terkejut mengetahui keberadaannya. Bahkan keduanya yakin jika tuannya sengaja menyembunyikan keberadaannya. “Heh, mau apa kau Sam!!” Ucap wanita itu lantang. Para undangan menahan nafas. Mereka kenal betul siapa wanita ini. Dia adalah Ratu Victoria, ratu kegelapan. Seolah
Deru mobil Brian terdengar. Druf yang sedari tadi menunggu dalam diam masih mematung. Tiga jam ia duduk di sana. Dengan wajah datar tanpa bicara sepatah kata pun. Elena gelisah menatapnya. Sementara David duduk dengan lesu di dekat pintu yang mengunci Anggelica. Kadang-kadang gadis itu masih berteriak. Pintu terbuka. Brian muncul di sana dengan wajah muram. Tak lama setelahnya muncul seorang gadis cantik berambut pendek. Matanya berbinar melihat ke arah Druf yang masih tidak menatapnya. “Druf.” Gadis itu berlari dengan riangnya. Ditangkupnya wajah Druf dengan kedua tangannya.”Lama sekali kita tidak berjumpa.” Ucapnya tersenyum. Brian menatap frustasi ke arah Dilara. Bagaimanapun ia sudah sangat mencintai gadis itu. Hatinya sedikit sakit melihat gadisnya begitu memuja tuannya. Druf yang tidak merespon apapun berdiri. Bahkan ia sama sekali tidak melihat ke arah Dilara. “Brian, bawa dia ke kamarmu.” Ucap Druf. “Tidak. Aku tidak mau. Aku masih ingin bicara denganmu.” Teriak D
Nafas berat Druf semakin terasa. Elena tak dapat lagi menutupi kegeliannya. Bahkan nafasnya memburu. Ia merasa sesuatu yang nyaman dan geli bersamaan. Hingga tanpa sadar ia mencengkram rambut Druf kuat. Dan mulutnya tanpa sengaja mengeluarkan erangan yang kemudian ia tahan. Druf bergerak. Mungkin ia terjaga karena cengkraman tangannya. Elena menatap Druf yang tengah menatapnya sayu. Dan entah atas dorongan apa. Elena mencium bibir Druf. Mengulumnya. Ia merasakan kenikmatan luar biasa saat melakukannya. “Jangan Elena. Aku akan menikahimu sesuai adat bangsamu.” Ucap Druf saat bisa menghindar. Elena menatapnya dengan nafas yang semakin memburu. “Ta..Tapi.” Elena menyatukan dahinya dengan dahi Druf. Hidungnya mencium wangi nafas Druf yang menggoda. Ia kembali kehilangan akal sehatnya. Mengecup bibir Druf kembali dan merasakan kenikmatan yang mungkin tak banyak orang tahu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh dada Druf yang bidang dan berotot. Tangannya mengusapnya dan memainkannya. Druf
Elena tersadar. Dirabanya lengannya yang masih perih. Ia melihat sekeliling. Ini kamar Druf, batinnya. Peristiwa memalukan itu kembali terbayang di matanya. Saat ia melihat handuk yang dipakai Druf terjatuh. Seketika wajah Elena memerah. Dihapusnya segera bayangan itu dari ingatannya saat ini. Pikirannya kembali mengingat peristiwa sebelumnya. Tapi, bagaimana ia bisa ada di sini. Seingatnya malam itu ia hendak dibawa wanita cantik namun ia melihat paman Samuel. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Krieeeettttt. Elena terkejut. Terdengar bunyi engsel pintu yang dibuka paksa. Elena mematung. Ia seperti melihat bayangan seseorang yang bungkuk mendekat ke arahnya. Elena tidak bisa bernapas. Tubuhnya juga tidak bisa bergerak. Ia shock. Melihat bayangan itu samar-samar telah mendekati tepian kasurnya. Ia mendongak menatap Elena di kegelapan. Sepasang matanya hitam pekat. Elena sangat ketakutan luar biasa. Ia ingin lari tapi tak bisa. Ia juga ingin teriak tapi tenggorokannya terceka
“Tuan, kita tidak bisa menemukannya. Tapi dari baunya. Sepertinya Elena lari ke arah sini.” Frans menyisir tempat itu dengan teliti. Druf membenarkan hal itu. Ia bisa mencium wangi bunga Levender. “Tuan, ada dua mayat vampir.” Ucap Frans. Druf mendekat. Ia yakin itu prajurit ibunya. Bahkan hidungnya pun bisa mencium wangi wanita itu. Wanita yang telah melahirkannya sekaligus membuat hidupnya lebih menderita dari kematian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sikap ibunya yang ingin menikahi putranya sendiri. Druf memegang dadanya. Ia merasakan luka yang luar biasa sakit. Ia tidak ingat sama sekali mengapa ibunya bersikap seperti itu. Kehidupan macam apa ini. Walaupun manusia biasa menganggapnya iblis. Tapi Druf masih punya hati nurani. Virus vampir sama sekali tidak akan mengubah hatinya menjadi iblis. Mana ada seorang ibu yang mencintai anaknya sendiri seperti seorang kekasih. “Sudah paman katakan kan Druf, apapun yang ada di dirimu adalah candu. Siapa yang pernah bersent
Secantik apapun cewek yang berdiri telanjang di hadapan. Takkan bergairah tanpa adanya rasa suka. Itupun kalo jiwa elo masih waras. Alexandru Cezar. *** “FRAAAANNNNNNSSSS.” Teriaknya. Ia meraih handuknya cepat. Memakainya sekenanya kemudian keluar dari kamar itu. Frans yang tadinya masih nyantai, sampai tersedak melihat tuannya keluar dari kamar dengan kondisi yang bisa dibilang me-nak-jub-kan. “W- o -w.” Ucap frans. Yang diikuti anggukan Brian. Druf mendelik melihat kedua penjaganya malah mematung memerhatikannya. “Jangan bengung aja lu. Cepat bius tuh gadis gila biar tiduRrr.” Bentaknya. Bukannya segera melaksanakan apa yang diperintahkan, Frans malah ngomong ngelantur. “Perasaan staminanya dan bodynya yang hot gak bakalan kalah kan naklukin tuh cewek. Iya nggak Brian?” Ucap Frans masih sempat menyeruput tehnya dan diikuti anggukan Brian.”Trus kenapa dia melarikan diri, padahal anunya kenceng gitu.” Pletakk. Pletakk. “Auu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Kepal
Dalam perjalanan tak satupun ada yang bicara. Baik Elena maupun Druf. Mereka berdua sama-sama canggung. Di benak Elena kini ada perasaan takut. Mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Mungkin kali ini rasa takutnya lebih besar dari perasaan sukanya pada Druf. Cowok di sampingnya itu tidak mudah di tebak. Kadang baik, kadang kejam. Berbeda dengan Brian maupun Frans, mereka ramah. Jangan-jangan mereka bertiga bukan bersaudara seperti yang dikatakan Druf. Tapi Elena mana tahu selama kerumahnya ia belum pernah bertemu dengan orang tua Druf. “Turun.” Ucap Druf singkat. Elena kebingungan. Andaikan ia tidak melihat keluar mungkin ia tak paham dengan maksud Druf. Mereka telah sampai. Sepatu hak tinggi Elena menyentuh karpet merah. Aula sekolah sudah berubah jadi ruangan pesta kelas elit. Bahkan ada karpet merah segala. Sejenak Elena merasa malu. Baru kali ini ia memakai gaun sebagus ini. Itupun di pinjamkan Brian, katanya ia punya butik merek sendiri. Syukurlah gaun itu pas di tubuhnya.