Elena kegirangan. Sepertinya dia tidak salah meneruskan pendidikannya di kampus Blue Sky ini. Bisa dibilang selain nge-trend kampus ini memiliki sejarah prestasi yang sangat panjang. Jadi dedikasinya dalam mencetak mahasiswa unggulan tak perlu diragukan lagi. Bahkan kampus ini menduduki peringkat nomer tiga terbaik dunia.
“Ya ampun, El. Aku tak menyangka kau akan segirang ini,” ucap Risma.
“Ini kerren tahu,” ucap Elena seraya berjalan mundur. Matanya sibuk memperhatikan bangunan kampus dan pemandangan di sekitarnya. Hingga tanpa sadar ia menabrak seseorang dan terjatuh. Seolah sudah menjadi bagian takdirnya. Ketika terjatuh, tanpa sengaja kepalanya terbentur batu taman dan terluka.
Bumi serasa berputar dikepalanya hingga kegelapan menyelimuti.Pernah dengar seseorang yang meninggal hanya karena terpeleset di kamar mandi ? Ya, ini salah satu kejadian sederhana yang berakibat fatal. Bedanya, kepala Elena hanya terluka. Jika sampai menyebabkan kematian. Maka, kita tutup saja kisah ini.
Risma berteriak ketika meraih kepala Elena dan menemukan banyak darah di tangannya. Pemuda yang tak lain adalah Druf dan kebetulan ada di sana segera membopong tubuh Elena setengah berlari menuju ruang kesehatan kampus.
***
Druf POV
Aku tak menyangka gadis bodoh ini begitu ceroboh. Darah yang keluar dari kepalanya begitu banyak. Darah ini... Wangi... Sama dengan wangi tubuhnya. Hidungku mendengus mendekati darah itu. Jantungku berdetak cepat. Naluri vampirku otomatis membuat lidahku menjilati darah itu.
‘Nikmat.’
Oh, tidak. Apa yang aku pikirkan. Tapi darah gadis ini membuatku tidak tahan. Aromanya sangat menggodaku. Tubuhku berasa ingin sekali melumatnya. Di sisi lain, kesederhanaan yang menyembunyikan kecantikannya itu.
Justru membuatnya semakin cantik, unik, dan seksi di mataku...Oh, tidak. Apa sebenarnya yang kupikirkan. Tapi lihatlah, bibirnya yang mungil dan ranum sangat menggodaku. Aku berasa tak tahan. Sebentar lagi, sedikit lagi bibir itu akan menjadi milikku....
“Ehem, Tuanku....“
Suara itu sedikit menggangguku.
“Jika kau ingin gadis itu menjadi gila. Silahkan kau cium dia sepuasnya.” Kali ini suara berat dan serak milik Samuel menyadarkanku.
Sial. Rutukku dalam hati. Aku menatap Samuel dan Frans dengan tatapan datar.
“Pergilah Tuanku, biar aku yang mengobati lukanya,” ucap Frans sembari menyiapkan beberapa peralatan medis dari rak.
Aku hanya mengangguk kecil. Sebelum aku keluar Samuel berkata pelan, “apa kau tertarik padanya?”
Pertanyaan itu membuat alisku sedikit naik.
“Entahlah, “ jawabku tak yakin.
Aku lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Jadi Samuel salah besar jika menanyakan aku persoalan semacam itu saat ini. Tertarik? Pada gadis itu. Aku mengacak rambutku. Beberapa gadis yang melihatku melakukan itu memekik kegirangan.
Astaga. Melakukan hal sepele seperti ini sudah bisa membuat mereka teriak-teriak. Bagaimana Jika aku bersin nanti, jangan-jangan mereka malah melompat kegirangan.
***
Author POV
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Risma setelah melihat Elena duduk di tepi ranjang dengan kepala di perban.
“Aku baik-baik saja,” jawab Elena.
“Syukurlah El, kau tahu. Tadi aku deg-degan saat menunggumu diluar ruangan dan tanpa sengaja mengintip kedalam. Kau tahu, hampir saja jantungku copot saat melihat Druf pangeran kampus ini hampir menciummu.”
Elena terkejut mendengar penuturan sahabatnya. Tapi ia tidak yakin. Mana mungkin cowok seganteng dia akan menciumnya. Mustahil.
“Ah, kau salah lihat , Mana mungkin,” Cengirnya.
Risma tertegun melihat ekspresi gadis di hadapannya.“Ah, iya kali ya. Mana mungkin cowok se-keren itu menyukai gadis sepertimu.”
Keduanya tertawa. Risma merasa bodoh jika berpikir Druf akan menyukai perempuan seperti Elena. Dilihat dari mana pun gadis itu hanyalah gadis kampungan yang mencoba memaksakan diri bergaul dengan gadis modern sepertinya. Beruntung ia baik hati. Jadi seperti apapun bentuk Elena ia akan menerima dirinya dengan lapang dada. Terlebih Elena memang sahabatnya sedari kecil. Ia adalah anak pembantu di keluarga Risma. Bapaknya hanya seorang penjaga kebun yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena terserang penyakit kanker. Sedangkan ibunya sudah berhenti bekerja sebagai asisten rumah tangga dan memilih berkebun setelah anaknya yang tua atau kakak Elena telah bekerja di kota. Elena sendiri anak yang cerdas. Karena itulah ia pantas mendapat beasiswa. Dan lagi, pertemanannya dengan Elena juga menguntungkannya. Ia bisa memperalat kecerdasan gadis itu untuk mengerjakan tugas kuliahnya nanti. Jangan berpikir Risma licik. Ia hanya gadis cerdas yang pandai memanfaatkan keadaan. Tidak ada pertemanan gratis di dunia ini. Semua harus saling menguntungkan.
Bukan begitu ?!? Batin Risma.Frans memasuki ruangan.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa baikan?” tanya Frans ramah.
“Iya, Dok. Makasih sudah mengobati saya," ucap Elena.
“Apa dia sudah boleh kembali ke asrama Dok?” tanya Risma.
“Tentu saja. Jika ada apa-apa. Kalian boleh langsung kemari. Lusa aku akan ke sana dan memeriksa jahitannya. Kalau bisa, Elena jangan kuliah dulu ya.”
“Mana mungkin saya tidak masuk kelas, Dok.” ucap Elena terkejut. Besok adalah hari pertamanya mengikuti pelajaran di kampus. Bagaimana mungkin ia harus melewatkan momen itu. Ia juga harus bertemu teman sekelasnya nanti. Di ruangan mana ia harus masuk . Pelajaran apa. Dosennya siapa. Elena belum tahu apa pun.
“Bagaimana ya? Aku hawatir nanti kamu malah terjatuh lagi,” sahut Frans.
“Dengar tuh, makanya jangan ceroboh.” Timpal Risma. Elena mengerucutkan bibirnya.
“Saya berjanji akan hati-hati, Dok. Suer!” Janji Elena dengan mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf v.
Frans tersenyum.
“Baiklah. Terserah kau saja. Tapi ingat, aku sudah menjahitmu dengan sangat baik. Jadi jangan kecewakan aku," ucap Frans.
“Siap Dok.” Tegas Elena lugu.
Dengan dibantu Risma ia turun dari ranjang klinik. Setelah pamit ia segera melangkah pulang ke asrama.
***
“Hampir saja kau berbuat hal ceroboh, Tuanku," ucap Samuel.
Druf merasa risih dengan sebutan ‘tuanku’ yang semakin sering diucapkan pamannya sendiri. Padahal dua hari yang lalu dia masih memanggilnya ‘nak’.
“Entahlah Paman, karena itulah tadi aku mencarimu. Tapi malah bermasalah dengan gadis itu sebelum sempat bertemu denganmu,” ucapnya dengan tatapan dingin.
“Sekali lagi aku mengingatkanmu, Tuanku. Bahwa seluruh tubuh Tuan seperti heroin bagi manusia dan vampir berjenis perempuan. Sekali mereka merasakan nikmat yang tuan berikan. Mereka akan terus merasa kurang, ketagihan dan akan menjadi gila jika tidak dilayani,” ucap Samuel.
Druf sedikit menyeringai, hingga tanpa sadar ia mengeluarkan taring di giginya yang mencuat melalui bibir seksinya.
“Lalu jika seperti itu, bagaimana aku akan mendapatkan seorang ratu. bila setelah bermesraan dengannya, mereka malah jadi gila.”
Samuel menepuk bahu keponakannya yang polos itu.
“Darahmu. Minumkan darahmu sebelum kau menyentuhnya. Tapi jangan sampai vampir berjenis laki-laki yang mendapatkan darahmu.
Jika itu terjadi maka mereka mendapatkan kekuatanmu.”Druf menggelengkan kepalanya. Tidak bisakah vampir seperti dirinya bagaikan kisah vampir di film layar lebar. Rasanya tidak menarik hidup di bawah tekanan peraturan. Bagi sebagian orang yang tidak tahu betul jalan hidupnya. Mereka pasti berpikir, seorang Druf hidup bak Dewa. Perfect. Tanpa cela. Andaikan saja mereka tahu sedikit saja kebenaran hidupnya. Mereka pasti akan memilih menikmati jalan hidupnya yang sekarang. Rumput tetangga selalu indah dari kejauhan. Bila dilihat dari dekat bisa jadi lebih buruk.
Druf memasuki kamar pribadinya setelah Samuel meninggalkannya. Ia berdiri di hadapan lukisan besar yang berada tepat di tengah ruangan. Lukisan kedua orang tua yang amat sangat ia cintai. Ayahnya sangat berwibawa dengan mahkota raja dan jubah kebesarannya. Ibunya yang tersenyum dengan anggun menggamit lengannya mesra. Gaunnya yang berwarna biru langit. Semakin menonjolkan aura kecantikannya. Memandang keduanya seperti rindu dan luka yang datang bersamaan.
Druf mendesah. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Dilihatnya meja kerjanya yang rapi. Pasti paman Samuel yang merapikannya. Selama ini dialah yang mengurusnya. Dia sama sekali tidak mengizinkan siapa pun mendekati Druf.Tangannya meraba kertas besar di dinding. Ia menandai beberapa titik di sana dengan spidol warna merah. Itu tanda berbagai perusahaannya yang tersebar di berbagai negara. Usahanya dalam dunia bisnis berkembang pesat. Di usianya yang muda (muda dalam dunia vampir sekitar usia seabad. Karena Druf sudah menjadi vampir sejak bayi. Maka, di usianya yang remaja, ia melewati masa yang cukup lama. Dan berhenti berkembang di usia 30 tahun ukuran waktu manusia, Druf sudah sangat sukses.
Bahkan ia tercatat sebagai salah satu miliarder termuda di dunia.Blue Sky adalah nama perusahaannya. Ia juga menamai kampusnya demikian. Nama tersebut memiliki makna biru langit. Warna kesukaan ibunya. Sekaligus tanda turunan Cezar yang bermata biru. Selama ini Druf belum pernah menampakkan dirinya di hadapan para koleganya. Semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan, Samuel yang mengurusnya. Druf tidak suka berbaur. Ia lebih senang menyendiri. Merancang semuanya dari kamar ini. Sendiri.
Tok. Tok. Tok. Tok. Tok. Lima ketukan pintu menunjukkan Samuel yang berdiri di sana.
“Masuk,” ucap Druf.
Samuel masuk. Parasnya yang masih tampak muda meski usianya hampir berabad-abad tampak jelas di ruangan itu. Ia tersenyum memandang Druf.
“Seperti biasa. Tanda tangan berkas proyek.”
Druf mengangguk. Ia mengambil berkas di tangan Samuel. Kemudian menandatanganinya setelah duduk di kursi kerjanya.
“Kekayaan kita sudah melebihi target. Apa ada rencana lain. Oh ya, ada banyak proposal pengajuan permohonan dana dari berbagai organisasi. Dan ada juga dari panitia penanggulangan bencana alam dan yayasan sosial lain.” Terang Samuel sambil menerima berkas yang sudah selesai ditandatangani.
“Bawa semua ke sini. Aku akan mempelajarinya,” ucap Druf.
Perusahaannya selalu siap memberikan bantuan materi apa pun. Tapi ia harus selektif ke mana kucuran dana akan ia berikan. Berhubung manusia sekarang suka menipu untuk mendapatkan uang. Jadi Druf harus membaca semua berkas secara detail. Bahkan jika perlu, ia akan menggunakan kekuatannya untuk memindai masa lalu dari berkas yang di sentuhnya. Dengan begitu ia baru bisa memutuskan berkas yang mana yang akan ditandatangani.
“Tuan, banyak undangan yang datang. Apa kau.....” ucapan Samuel terputus.
“Soal itu kau tahu sendiri jawabannya. Kau saja atau Frans dan Brian yang datang.”
“Baiklah, Tuan. Aku akan mengantar berkas proposal itu kemari.”
Druf mengangguk. Samuel segera meninggalkan ruangan. Membiarkan Druf kembali dalam kesendiriannya. Ia menatap beberapa rak buku di samping meja kerjanya. Jangan salah, itu bukan buku berat, ilmiah, atau non fiksi lain. Buku itu tak lain adalah sekumpulan novel dan komik yang menceritakan tentang kisah vampir. Druf sangat suka membacanya. Meski kadang ceritanya aneh dan nyeleneh. Ia tetap membacanya. Dari sana ia bisa merasa punya teman. Imajinasi penulisnya terkadang membuat Druf terhibur. Bahkan terkadang ia mengirim sejumlah uang kepada penulis yang disukainya sebagai ungkapan terima kasih atas karyanya. Beberapa novel di rak khusus di ujung ruangan berisi novel yang hanya dibuat khusus untuknya. Druf memesannya langsung dari penulisnya. Temanya tak jauh berbeda. Semua tentang vampir. Entah itu bertemakan percintaan, perebutan kekuasaan dan lainnya. Druf tak pernah takut mengeluarkan banyak uang untuk itu. Karena hanya itulah yang membuatnya terhibur.
Diraihnya buku tebal di ujung meja. Buku itu masih belum ia baca. Mungkin hari ini hari yang tepat untuk membacanya. Druf sangat suka dengan gaya tutur penulisnya. Kalau tidak salah. Sudah tiga buku vampir yang ia pesan khusus untuk dirinya sendiri. Penulis mana pun tak akan menolak permintaannya. Apalagi dengan bayaran yang lumayan dan jaminan jenjang karier yang menjanjikan. Ya, meski kebanyakan penulis tidak mengutamakan itu. Mereka lebih banyak mengedepankan kepuasan ketimbang finansial. Tetapi Druf tetap memberikan keduanya meski mereka menolak.
'Mom, aku merindukanmu, ‘ batin Druf. Ia berdiri di balkon rumahnya dengan tatapan dingin. Dihirupnya udara hutan yang segar. Suasana hutan Epping yang rimbun terlihat indah di siang hari. “Tuan, sesuai tradisi, kita akan mengadakan pesta pengukuhanmu sebagai pangeran vampir. Satu-satunya keturunan langsung raja Cezar, raja ketiga Transylvania. Penguasa hebat. Rajanya para raja. Kaisar para vampir.” Druf sama sekali tak berekspresi menyambut berita baik itu. Apa yang bisa ia banggakan. Justru sebagai keturunan raja. Dialah keturunan yang bisa dibilang cacat. Ia terlahir dengan virus yang ikut tumbuh di tubuhnya. “Jangan lupa paman. Bahwa aku terinfeksi sejak dalam kandungan. Kau sendiri yang mengatakannya. Darah murni vampir kau bilang.” Ucapnya. “Justru itulah tuanku. Kau akan lebih hebat dari ayahmu. Bahkan lebih hebat dari kakek dan buyutmu.” Druf sekali lagi sama sekali tak berekspresi. Iris matanya mendadak berubah hitam pekat. Samuel melihat perubahan itu. Entah ada
Gerbang setinggi tiga meter dibuka tepat sejak matahari tenggelam. Para penjaga bertubuh kekar nampak siaga di pos masingmasing. Beberapa di antaranya memakai jas layaknya pakaian resmi. Sementara sebagian yang lain memakai setelan kaos hitam. Dan kebanyakan dari mereka memakai semacam earphone ditelinga masing-masing. Alat itu menghubungkan komunikasi mereka dari posisi yang satu ke posisi lain. Sesuai pengumuman yang telah di siarkan. Semua orang yang ada di sekitar rumah Druf memakai baju hitam..Bahkan tamu yang datang dengan mobil mahal juga memakai setelan warna hitam. Nampaknya mereka para pengusaha kaya luar kota yang diundang untuk acara besok malam. Risma dan Elena memperhatikan semua pergerakan itu. Saat ini semua penjagaan terfokus pada rumah besar nan megah seperti istana. Jadi mereka bisa leluasa pergi tanpa takut diketahui siapa pun. Kebetulan ibu asrama mereka sedang rapat, jadi kesempatan itu tak akan disiakan. Keduanya sudah siap melaksanakan rencana yang mereka
Druf terbangun agak siang. Dilihatnya kain yang membungkus bekas luka di jari jempolnya. ‘Dasar gadis ceroboh, ‘batinnya. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Diambilnya handphone di meja samping tempat tidurnya yang mewah. Tak butuh waktu lama suara yang sangat dikenalnya menyapa di sebrang. ‘iya Tuanku. Ada yang bisa saya lakukan untukmu? ‘ “Apakah lehermu ingin kupatahkan sepagi ini? Setidaknya saat kita hanya bicara berdua. Berhentilah memanggilku dengan kata ‘tuanku’ .” Ucap Druf. Suara disebrang terkekeh. ‘Mau bagaimana lagi Druf. Kau sekarang sudah menjadi junjunganku.’ Druf mendengus kesal. “Ayo dengarkan titahku, jika terjadi kesalahan kupastikan kau tak jantan lagi. “ Ancam Druf. ‘Ampuuuunnntuannn... Aku percaya kau bisa lakukan itu. Hambamu yang setia ini siap laksanakan apapun titahmu. ‘ Kini giliran Druf yang tertawa. Ia memang selalu ingin tersenyum jika mendengar kelakar Brian. *** Risma terpekik kecil melihat Elena dikamarnya. Ia merasa sangat bersalah kare
Druf memejamkan mata cukup lama. Di sekelilingnya para petinggi vampir menunggu reaksinya. Ia lolos ritual pertama, berkomunikasi langsung dengan manusia dalam jumlah banyak. Jika ia terlihat kehausan dan kesulitan dengan banyaknya bau amis darah berarti ia gagal. Sekarang ia meminum darah lagi. Darah kedua. Darah yang sama dari darah yang pertama ia minum. Sebenarnya Druf tak mengerti betul ritual tersebut gunanya untuk apa. Bagi Druf meminum banyak darah atau tanpa darah sama sekali tidak ada masalah. Samuel tak henti-hentinya mengusap dagunya. Ia tegang. Berharap anak yang dirawatnya itu lolos dari ujian ini. Meski ia tahu Druf akan lolos dengan mudah. Tetap saja ia merasa hawatir. Biasanya kebanyakan vampir akan tambah liar jika meminum darah murni manusia. Darah yang diambil dari gadis perawan atau perjaka. Dan vampir kaum bangsawan yang kesakitan merupakan pertanda bahwa mereka tidak bisa menjadi raja. Bagi Druf melalui prosesi ini dengan mulus sangatlah penting. Ia harus me
Kepalanya masih terasa sakit. Namun tidur terus-terusan bukanlah hal baik. “Maaf mengganggu Tuanku.” Suara khas Samuel dan ucapan ‘tuan’ kembali mengganggu Druf. “Paman, bisa tidak kalau cuma berdua panggil aku seperti sebelumnya. Seperti dulu,” ucapnya kesal. “Anda harus terbiasa Tuan.” Druf memoncongkan bibirnya. Ekspresinya sungguh lucu sekali. “Ada perlu apa Paman? Sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan.” Samuel mengambil nafas sejenak kemudian berkata, “Tuan sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Beberapa hari ini pergerakan Tuan seperti diluar kendali.” “Apa maksud Paman?” Samuel menceritakan semuanya seperti seorang detektif. Sejak Elena jatuh dan ia hendak menciumnya. Kemudian mengganggunya di koridor kampus secara detail. Bahkan, menunjukkan video ketika Druf membunuh vampir liar dan menyelamatkan Elena. Saat ia memeluknya kemudian Elena mengisap darah ditelunjuknya. Sesaat setelah itu tampak Elena seperti melamun agak lama hingga ia menyuruhnya pulang
Plak. Tamparan keras Brian mendarat di pipi Kris. “Adik tak berguna!” bentak kakaknya kasar. Sementara itu Misha dan Cloe berpelukan. Mereka takut mendapat hukuman dari kakak Kris. “Maafkan kami.” ucap keduanya bersamaan. “Diam!” bentak Brian pada keduanya. “Harusnya kalian menjaga Elena dan memastikannya di mobil yang mana dan dengan siapa dia ikut.” Mata Brian merah menyala. Taringnya sudah sejak tadi tampak. “Kak, pliss... Tolong maafin aku,” ucap Kris memelas. “Bagaimana ini, bagaimana jika tuan Druf tahu kalau Elena menghilang,” ucap Brian gusar. Ia menarik-narik rambutnya. ”Ini semua gara-gara kalian. Diberi satu tugas saja gak becus.” Kemarahan Brian meradang. Dibuangnya buku-buku yang tadinya tertata rapi hingga berjatuhan dilantai. “Oh, jadi Elena menghilang,” suara berat dan dingin milik Druf mengagetkan Brian dan ketiga gadis itu. Druf melayang di udara ia memejamkan matanya cukup lama. “Cepat! sekarang juga cari Elena!” ucap Druf dengan kemarahan yang lua
Druf dan Frans berpandangan. Hidung keduanya yang tajam samar-samar mencium amis darah yang mereka kenal. Bau darah itu tidak begitu kuat karena terhalang aroma lain yang lebih menyengat. Tapi keduanya yakin itu darah Elena. Druf sangat hafal dengan darah Elena sedangkan Frans dialah yang merawat Elena selama gadis itu terluka. Bahkan disaat pengukuhan putra mahkota dialah yang menukar darah Risma yang disiapkan Samuel untuk diminum Druf ke darah Elena yang lebih suci dan masih perawan. Frans adalah penjaga Druf. Dia tidak peduli siapapun yang akan dilawannya. Tercium saja sedikit pengkhianatan dia akan langsung melawannya meskipun itu Samuel sendiri. Dengan sigap Frans melesat melebihi tuannya. Ia sengaja mendahului Druf untuk memastikan adanya bahaya atau tidak. Hidungnya menelusuri bau darah yang hilang dan timbul bercampur aduk dengan bau bensin yang menyengat. Tidak berapa lama ia berdiri di depan gudang yang sebelumnya ia pernah menyelamatkan Elena yang pingsan disana. “
Druf menatap langit-langit kamarnya. Ia baru tersadar setelah terkena tembakan bius dari Frans. Tubuhnya terasa berat. Namun bukan itu yang membuatnya tetap diam di atas kasur. Ada hal yang ia hindari. Hal yang rasanya tidak ingin ia dengar. Kenyataan pahit yang harus ia terima. Luka di hati yang membuatnya lemah dan tak berdaya. Rasa kehilangan yang terus menerjang hatinya. Druf duduk dengan pikiran kalut. Penghianatan. Kehilangan. Menyerang ketenangan hidupnya bersamaan. “Tuan.” Druf menoleh. Ia melihat Frans sedang berdiri di ambang pintu. “Aku percaya kau akan sanggup melewati semua ini.” Ujar Frans. Ia duduk di samping Druf. “Apa kau tidak mau melihatnya untuk yang terakhir kali?” Kata-kata Frans seperti sembilu yang mengiris-ngiris hatinya. “Harusnya malam itu aku menggigitnya. Setidaknya dia akan tetap hidup hingga detik ini.” Sesal Druf. Frans memegang pundaknya. “Tapi aku tahu Tuan tak akan melakukannya. Bukankah kita sepakat bahwa hidup terlalu lama di dunia in
Pesawat yang membawa Elena tiba di Sydney. Mereka di jemput seorang lelaki setengah baya ber-jas rapi yang tak lain bawahan Druf di perusahaan Sydney Blue Sky. Selama perjalanan Samuel tidak banyak bicara. Sebenarnya ia sudah mengetahui kabar Druf yang sedang koma. Ia chattingan dengan William. Membantunya melakukan penyelamatan darurat sebisa mungkin. Ia mengirim pesan-pesan yang harus William lakukan. Andaikan Frans ada di sana ia tidak akan sehawatir ini. Samuel mendesah. Pikirannya kalut. Wajahnya tampak muram dan kusut. Elena yang melihat hal itu memandangnya dengan curiga. “Apa kau sudah mendapat kabar dari William?” Tanyanya antusias. “Eh, belum.” Kejut Samuel. Dengan cepat ia menyembunyikan ponselnya di saku jasnya. Elena melihat gerakan Samuel yang menurutnya mencurigakan. “Tolong, jangan sembunyikan apapun dariku.” Ucap Elena dengan mata berkaca-kaca memandang Samuel.”Aku akan lebih menderita jika kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku berjanji akan tangguh dan siap
“Sebelum kau melawan tuanku. Hadapi kami dulu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Ratu Victoria menyeringai. “Kalian bukanlah tandinganku HUH!!”Gertaknya. Druf memegang satu bahu Frans dan satu bahu Brian. Keduanya menoleh. “Kalian..Pergilah susul Samuel dan Elena.” Ucap Druf dalam mindline. “Tapi tuan.” Ucap Brian dan Frans bersamaan. “Ini perintah... Aku titipkan Elena dan anakku.”Mata Druf terlihat sendu. “...........” Frans dan Brian saling pandang, menunduk lalu mundur. Mata Druf bertemu dengan mata ibunya. Dua bola mata yang dulu pernah berwarna sama kini telah berubah. Druf memandang dengan iba sedangkan ibunya memandangnya penuh gairah. Ia tidak tahu mengapa harus seperti ini. Apakah ia sanggup melawan ibunya sendiri. “Seraaaang!!!!!” Perintahnya kepada setiap yang hadir. William langsung mengambil alih. Sebagai jenderal ia langsung memimpin para vampir melawan makhluk berjubah hitam. Sedangkan Druf fokus pada ibunya. “Pangeranku yang tampan. Aku tidak tahu a
Seorang wanita cantik berdiri menatap Elena lekat. Matanya merah menyala di penuhi kemarahan. Elena ketakutan. Diliriknya Druf yang tengah memandang wanita itu dengan waspada. “Itu siapa?” Bisik Elena di telinga Druf. Kemunculannya yang diawali dengan makhluk berjubah hitam yang kini sedang menawan para undangan. Membuat Elena yakin, jika wanita itu bukan teman. “My Mom.” Ucap Druf datar. Elena terkejut mendengar jawaban itu. Bukan karena usia wanita cantik itu yang tampak muda. Melainkan ia masih mengingat ucapan Frans tempo hari untuk tidak mendekati wanita itu, meski dia ibu Druf sekalipun. “Paman Sam, keluarlah!!!” Teriak Druf. Seorang pemuda muncul dari balik kursi yang Druf duduki. Brian dan Frans terkejut mengetahui keberadaannya. Bahkan keduanya yakin jika tuannya sengaja menyembunyikan keberadaannya. “Heh, mau apa kau Sam!!” Ucap wanita itu lantang. Para undangan menahan nafas. Mereka kenal betul siapa wanita ini. Dia adalah Ratu Victoria, ratu kegelapan. Seolah
Deru mobil Brian terdengar. Druf yang sedari tadi menunggu dalam diam masih mematung. Tiga jam ia duduk di sana. Dengan wajah datar tanpa bicara sepatah kata pun. Elena gelisah menatapnya. Sementara David duduk dengan lesu di dekat pintu yang mengunci Anggelica. Kadang-kadang gadis itu masih berteriak. Pintu terbuka. Brian muncul di sana dengan wajah muram. Tak lama setelahnya muncul seorang gadis cantik berambut pendek. Matanya berbinar melihat ke arah Druf yang masih tidak menatapnya. “Druf.” Gadis itu berlari dengan riangnya. Ditangkupnya wajah Druf dengan kedua tangannya.”Lama sekali kita tidak berjumpa.” Ucapnya tersenyum. Brian menatap frustasi ke arah Dilara. Bagaimanapun ia sudah sangat mencintai gadis itu. Hatinya sedikit sakit melihat gadisnya begitu memuja tuannya. Druf yang tidak merespon apapun berdiri. Bahkan ia sama sekali tidak melihat ke arah Dilara. “Brian, bawa dia ke kamarmu.” Ucap Druf. “Tidak. Aku tidak mau. Aku masih ingin bicara denganmu.” Teriak D
Nafas berat Druf semakin terasa. Elena tak dapat lagi menutupi kegeliannya. Bahkan nafasnya memburu. Ia merasa sesuatu yang nyaman dan geli bersamaan. Hingga tanpa sadar ia mencengkram rambut Druf kuat. Dan mulutnya tanpa sengaja mengeluarkan erangan yang kemudian ia tahan. Druf bergerak. Mungkin ia terjaga karena cengkraman tangannya. Elena menatap Druf yang tengah menatapnya sayu. Dan entah atas dorongan apa. Elena mencium bibir Druf. Mengulumnya. Ia merasakan kenikmatan luar biasa saat melakukannya. “Jangan Elena. Aku akan menikahimu sesuai adat bangsamu.” Ucap Druf saat bisa menghindar. Elena menatapnya dengan nafas yang semakin memburu. “Ta..Tapi.” Elena menyatukan dahinya dengan dahi Druf. Hidungnya mencium wangi nafas Druf yang menggoda. Ia kembali kehilangan akal sehatnya. Mengecup bibir Druf kembali dan merasakan kenikmatan yang mungkin tak banyak orang tahu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh dada Druf yang bidang dan berotot. Tangannya mengusapnya dan memainkannya. Druf
Elena tersadar. Dirabanya lengannya yang masih perih. Ia melihat sekeliling. Ini kamar Druf, batinnya. Peristiwa memalukan itu kembali terbayang di matanya. Saat ia melihat handuk yang dipakai Druf terjatuh. Seketika wajah Elena memerah. Dihapusnya segera bayangan itu dari ingatannya saat ini. Pikirannya kembali mengingat peristiwa sebelumnya. Tapi, bagaimana ia bisa ada di sini. Seingatnya malam itu ia hendak dibawa wanita cantik namun ia melihat paman Samuel. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Krieeeettttt. Elena terkejut. Terdengar bunyi engsel pintu yang dibuka paksa. Elena mematung. Ia seperti melihat bayangan seseorang yang bungkuk mendekat ke arahnya. Elena tidak bisa bernapas. Tubuhnya juga tidak bisa bergerak. Ia shock. Melihat bayangan itu samar-samar telah mendekati tepian kasurnya. Ia mendongak menatap Elena di kegelapan. Sepasang matanya hitam pekat. Elena sangat ketakutan luar biasa. Ia ingin lari tapi tak bisa. Ia juga ingin teriak tapi tenggorokannya terceka
“Tuan, kita tidak bisa menemukannya. Tapi dari baunya. Sepertinya Elena lari ke arah sini.” Frans menyisir tempat itu dengan teliti. Druf membenarkan hal itu. Ia bisa mencium wangi bunga Levender. “Tuan, ada dua mayat vampir.” Ucap Frans. Druf mendekat. Ia yakin itu prajurit ibunya. Bahkan hidungnya pun bisa mencium wangi wanita itu. Wanita yang telah melahirkannya sekaligus membuat hidupnya lebih menderita dari kematian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sikap ibunya yang ingin menikahi putranya sendiri. Druf memegang dadanya. Ia merasakan luka yang luar biasa sakit. Ia tidak ingat sama sekali mengapa ibunya bersikap seperti itu. Kehidupan macam apa ini. Walaupun manusia biasa menganggapnya iblis. Tapi Druf masih punya hati nurani. Virus vampir sama sekali tidak akan mengubah hatinya menjadi iblis. Mana ada seorang ibu yang mencintai anaknya sendiri seperti seorang kekasih. “Sudah paman katakan kan Druf, apapun yang ada di dirimu adalah candu. Siapa yang pernah bersent
Secantik apapun cewek yang berdiri telanjang di hadapan. Takkan bergairah tanpa adanya rasa suka. Itupun kalo jiwa elo masih waras. Alexandru Cezar. *** “FRAAAANNNNNNSSSS.” Teriaknya. Ia meraih handuknya cepat. Memakainya sekenanya kemudian keluar dari kamar itu. Frans yang tadinya masih nyantai, sampai tersedak melihat tuannya keluar dari kamar dengan kondisi yang bisa dibilang me-nak-jub-kan. “W- o -w.” Ucap frans. Yang diikuti anggukan Brian. Druf mendelik melihat kedua penjaganya malah mematung memerhatikannya. “Jangan bengung aja lu. Cepat bius tuh gadis gila biar tiduRrr.” Bentaknya. Bukannya segera melaksanakan apa yang diperintahkan, Frans malah ngomong ngelantur. “Perasaan staminanya dan bodynya yang hot gak bakalan kalah kan naklukin tuh cewek. Iya nggak Brian?” Ucap Frans masih sempat menyeruput tehnya dan diikuti anggukan Brian.”Trus kenapa dia melarikan diri, padahal anunya kenceng gitu.” Pletakk. Pletakk. “Auu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Kepal
Dalam perjalanan tak satupun ada yang bicara. Baik Elena maupun Druf. Mereka berdua sama-sama canggung. Di benak Elena kini ada perasaan takut. Mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Mungkin kali ini rasa takutnya lebih besar dari perasaan sukanya pada Druf. Cowok di sampingnya itu tidak mudah di tebak. Kadang baik, kadang kejam. Berbeda dengan Brian maupun Frans, mereka ramah. Jangan-jangan mereka bertiga bukan bersaudara seperti yang dikatakan Druf. Tapi Elena mana tahu selama kerumahnya ia belum pernah bertemu dengan orang tua Druf. “Turun.” Ucap Druf singkat. Elena kebingungan. Andaikan ia tidak melihat keluar mungkin ia tak paham dengan maksud Druf. Mereka telah sampai. Sepatu hak tinggi Elena menyentuh karpet merah. Aula sekolah sudah berubah jadi ruangan pesta kelas elit. Bahkan ada karpet merah segala. Sejenak Elena merasa malu. Baru kali ini ia memakai gaun sebagus ini. Itupun di pinjamkan Brian, katanya ia punya butik merek sendiri. Syukurlah gaun itu pas di tubuhnya.