Abdul Aziz juga menjadi fenomena media. Semua kegiatan, bahkan langkahnya selalu menjadi berita. Undangan dari stasiun-stasiun televisi semakin lama semakin banyak berdatangan.
Karirnya menjadi sorotan publik. Tindakannya yang berdiri terdepan melawan terorisme adalah hal yang sangat diinginkan publik. Setiap undang-undang yang diperjuangkannya pasti muncul di halaman depan surat kabar.
Ia adalah komoditas baru bagi media. Kamera telah menjadi bagian dari kehidupan Abdul Aziz sehari-hari.
Sebuah kolom opini di Washington Post dengan gamblang memuat ulasan tentang Abdul Aziz.
Senator Abdul Aziz dari California telah membawa wajah baru bagi dunia politik Amerika Serikat. Kita mengingat tiga tahun lalu, seorang Afrika-Amerika juga menjadi fenomena, dan kini ia berhasil menjadi presiden.
Apakah ini adalah fenomena semacam itu?
Apa pun, semua yang dilakukan Mr. Aziz harus kita apresiasi. Kita semua muak dengan terorism
Jika orang melihat pinggiran Washington, maka akan sangat sedikit bahkan mungkin tidak ada yang memperhatikan sebuah bangunan setengah jadi yang terhimpit bangunan lainnya. Ada rumor yang mengatakan bahwa pemiliknya terlilit utang sehingga tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pembangunannya. Ada juga yang mengatakan bahwa bangunan itu habis karena terbakar. Tapi jika demikian, anehnya bangunan lain tidak terdampak.Yang tidak diketahui oleh orang banyak, bangunan itu memiliki lantai lain. Sebuah ruangan bawah tanah yang tidak bisa dimasuki sembarang orang.Di sana, Iqbal Anwar melakukan pertemuan antar kelompok.“Jadi, Anda yang menamakan diri kelompok Muthmainin?” tanya Iqbal.“Ya, memang demikian.” jawab salah satu anggota kelompok yang dihadapinya.Mereka mengitari sebuah meja. Terlihat jelas bahwa di sisi kanan adalah kelompok Iqbal. Sementara sisi lain ditempati kelompok yang menamakan dirinya Muthmainin tersebut.
Di dalam ruang kerjanya, Silvester Morran mengurung diri. Ia telah memerintahkan kepada sekretarisnya untuk mengusir siapa pun yang datang. Morran tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Saat ini, yang ada di dalam pikirannya adalah menyelamatkan karir dan bisnisnya.Seseorang bernama Al Qassar telah menemuinya beberapa hari lalu. Orang itu menunjukkan bahwa jaringan milik Morran telah dihabisi oleh Caliph. Semua aliran dana, perdagangan bawah tanah, dan sejenisnya, telah diblokir.Caliph memang benar-benar bukan isapan jempol.Salah seorang anak buah Morran telah mendatangi dirinya kemarin. Orang itu melaporkan tentang terhambatnya aliran dana mereka di Timur Tengah.Lalu muncul Al Qassar.Orang ini menjanjikan kematian Caliph, asalkan Morran bisa menuruti kemauan Al Qassar.Bloody hell, yang kupedulikan saat ini bukan hanya Caliph, tapi juga Abdul Aziz, pikir Morran. Dua orang itu adalah masalah utamanya sekarang. \Ia mulai m
“Anda yakin ini tempatnya?” tanya Abdul Aziz.“Tidak ada yang bisa memastikan. Tapi mungkin ia akan muncul di sini.” Jawab Andrea Izmaylov.Mereka berdua berada di sebuah gang sepi yang terletak pada sisi lain Washington.“Bagaimana Anda bisa begitu yakin?” tanya Abdul Aziz.“Karena aku melihat sinyal ponsel kalian berdua ada di tempat yang sama.” Terdengar sebuah suara, lalu sosok gelap muncul.Caliph.“Kami memang mengharapkanmu datang.” Kata Andrea.“Sudah kuduga.” Jawab Caliph. “Senator.” Ia menyapa Abdul Aziz.“Cukup Abdul Aziz, terima kasih.”“Langsung saja, pergerakan kelompok baru sedang memanas. Arab Spring menjadi pemicunya.” Kata Andrea.“Agen Izmaylov, kau berbicara tentang Al Mualimin?”“Tepat.”“Al Mualimin? Ia yang menjadi pemegang dana di Timur Teng
Esok paginya, Aisha Mahmood menerima pesan singkat dari Rais Hoetomo.“Bawah tanah.” Demikian pesan singkat itu.Aisha menemui Rais yang sedang menginspeksi pesawat tempurnya.“Ada misi khusus?” tanya Aisha.“Al Mualimin.”“Jadi kau akan pergi ke Irak?”“Kau yang harus tentukan.”“Saluran mana yang harus kupilih?”“Bahrun Hamzah, itu bonekanya. Ia yang memegang dana Mualimin.”“Saudagar sabun itu?”“Tepat.”“Jadi kau ingin aku menjalin kontak dengannya?”“Ya, dan perangkap sinyalnya. Dari situ akan kuurus Mualimin.”“Oke, kau akan bawa pesawat ini?”“Hanya untuk jaga-jaga.”“Jadi, penerbangan manual?”“Mungkin. Tapi aku akan menggunakan jalur normal untuk sampai ke Irak.”“Berarti ak
Rais telah berada di dalam pesawat yang membawanya ke Baghdad. Ia mendapatkan kursi dekat jendela. Rais sengaja tidak membeli tiket kelas satu. Di sini, Rais bisa melihat para orang tua yang sibuk menenangkan anaknya di udara.Mereka semua bertampang Arab.Rais berpikir, apakah mereka adalah orang Irak?Jika ya, berarti mereka orang Irak yang tinggal di Amerika.Berarti mereka hendak pulang ke negaranya?Lalu mengapa mereka hendak pulang?Bukankah di sana masih banyak konflik?Apalagi mereka membawa anak-anak.Arab Spring sedang panas-panasnya.Apakah mereka tidak tahu?Ataukah memang ada hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika.Rais pernah mempelajari tentang hal ini, bahwa kerinduan akan tanah air dan kampung halaman dapat mengalahkan logika apa pun. Walaupun mereka telah berada di Amerika yang damai, namun kerinduan akan kampung halaman di Irak bisa jadi tidak dapat dibendung. Karena itu mereka pula
Bangunan tempat pertemuan geng teroris masih terlihat seperti biasa. Seperti biasanya juga, tidak aka nada orang yang akan curiga dengan bangunan tersebut. Bangunan yang nampak seperti bangunan terabaikan, bahkan berhantu.Para teroris sedang berunding di dalamnya. Mereka memperhatikan gambaran-gambaran yang diperlihatkan oleh seseorang yang nampaknya adalah pimpinan di sana. Semua diam dan menyimak apa yang disampaikan orang tersebut.Tiba-tiba pintu dibuka dan seseorang masuk ke sana.Semua mata terarah kepada orang yang masuk tersebut.Sebuah sosok berjalan perlahan ke arah mereka sambil tersenyum.“Siapa yang mengizinkanmu masuk?” tanya si pimpinan.“Kenyataan bahwa sekarang aku berkuasa di sini.” Jawab orang itu, yang tak lain adalah Al Qassar.“Kau tahu sedang berada di mana?”“Aku tahu.”“Dan kau tahu sedang berhadapan dengan siapa?”“Aku tid
Aisha Mahmood memastikan Bahrun Hamzah yang nampak di layar komputernya bisa melihat dirinya. Ia melakukan percakapan via Skype dengan Bahrun Hamzah untuk sebuah kerjasama bisnis yang telah mereka janjikan sebelumnya.“Mohon maaf karena pembicaraan seperti ini terjadi secara mendadak, Mr. Hamzah.” Kata Aisha Mahmood.“Itu dapat dipahami, Ms. Mahmood. Hal seperti ini biasa terjadi pada perdagangan tingkat tinggi.” Jawab Hamzah.“Terima kasih atas pengertian Anda.” Aisha tersenyum.“Jadi, apa yang bisa Anda tawarkan?”“Saat ini kami ingin memastikan terlebih dahulu, apakah kita benar-benar bisa bekerja sama?”“Tentu saja. Hoetomo adalah mitra bisnis terbaik, justru saya yang merasa sangat tersanjung.”“Baiklah jika demikian. Saya yakin Dr. Hoetomo akan sangat senang mendengarnya.”“Sama-sama, Ms. Mahmood.”“Saya akan menga
Rais Hoetomo baru saja melewati pemeriksaan di Bandar Udara Internasional Baghdad ketika ia menerima pesan dari Aisha. Rais mengagumi negeri yang telah sewindu dilanda konflik ini. Namun ia kagum, karena dalam hatinya ia masih merasakan bahwa Negeri Para Khalifah ini tidak pernah kehilangan jiwanya.Era Saddam Hussein dan Partai Bath telah lama usai. Sejak itu Irak seperti kehilangan keseimbangan. Konfllik yang semula benar-benar ditekan agar tidak terjadi selama kepemimpinan Saddam Hussein, kini seperti dibiarkan muncul di mana-mana.Rais teringat kepada negeri leluhurnya, Indonesia. Negeri yang sama-sama telah terbebas dari kepemimpinan seorang dictator, beberapa tahun sebelum tumbangnya Saddam Hussein di Irak.Keadaan di Indonesia memang jauh lebih baik dibandingkan Irak. Tidak ada konflik bersenjata di sana. Namun yang ada adalah konflik di media sosial.Bagi Rais, peperangan yang ada di Indonesia sama potensi perpecahannya dengan yang ada di Irak.