Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Gadis kecil berusia tujuh tahun berlari riang, mengejar kupu-kupu yang banyak terdapat di taman itu. Gadis kecil berambut pirang dan mata biru cemerlang tersebut bernama Crystal Mars. Ia dan keluarganya menjadi salah satu tamu pada pesta yang diadakan oleh kerajaan Namira, salah satu dari tiga kerajaan besar yang ada. Pesta ulang tahun raja Namira yang ke empat puluh lima memang lebih meriah daripada pesta-pesta sebelumnya. Seluruh rakyat Namira diundang, pintu gerbang istana di buka selama satu minggu penuh. Rakyat boleh menginjakkan kaki di istana dan bertatap muka langsung dengan raja dan putra mahkota. Sungguh kesempatan yang sangat langka.Keluarga Mars bukanlah keluarga biasa. Mereka adalah keluarga bangsawan, walaupun hanya bangsawan yang tinggal di desa. Bersama para bangsawan lainnya mereka menghadiri dan menginap di istana selama pesta berlangsung. Oleh sebab itu, Crystal Mars, putri tunggal keluarga Mars, bisa mengenal dan berteman dengan pangeran Alexant Vrent. Para bang
Waktu satu minggu ternyata berjalan sangat cepat saat seseorang yang merasa bahagia. Hal itu juga yang dirasakan Alexant. Tidak terasa pesta yang dilangsungkan di istana akan berakhir malam ini. Setelah ini, istana akan kembali sepi seperti biasanya. Tidak ada lagi suara musik dan suara ramai para tamu. Yang ada hanya para dayang dan pembantu serta prajurit. Alexant menatap bosan pada para dayang yang berseliweran di depannya. Ia ingin meninggalkan pesta sejak tadi, ingin bermain bersama Crystal. Malam ini adalah malam terakhir mereka bertemu. Entah kapan mereka akan bertemu lagi. Semoga sebelum mereka dewasa mereka masih bisa bertemu. Alexant celingukan mencari Crystal. Gadis kecil itu tidak tampak sejak pesta dimulai. Hanya terlihat kedua orang tuanya saja di sudut sana. Selain Crystal, George juga tak terlihat. Sahabatnya itu tadi pulang ke kediaman keluarga Bryne lebih dulu, setelah itu baru kembali ke sini lagi. Itu yang dikatakan George sebelum pergi tadi. Namun, sampai sekara
"Kau sudah siap, Sayang?" Seorang perempuan muda di kisaran dua puluh tahun menghampiri Crystal. Perempuan yang memiliki rambut sewarna Crystal itu mengusap pucuk kepala si gadis kecil. Crystal mendongak kemudian mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya tersenyum. Astrid Mars tersenyum manis membalas senyuman sang putri. Tangannya berpindah ke arah pipi Crystal, mencubit pipi itu pelan sebelum mengusapnya hangat."Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang."Senyum di bibir mungil Crystal langsung surut. Gadis kecil itu mengangguk sedih. Mereka akan kembali ke kediaman mereka di desa pagi ini. Para tamu yang lain juga pulang hari ini. Tadi ia sempat melihat ratusan kereta kuda berjejer di halaman istana. Kepala Crystal tertunduk luruh. Ia masih belum ingin pulang, masih ingin bermain bersama Alexant, juga George. Di desanya ia tidak banyak memiliki teman, orang tuanya selalu memintanya untuk belajar etika kesopanan dan tata krama. Sebagai seorang gadis bangsawan, walaupun mereka hanya
Suara burung berkicau, ditambah dengan sinar hangat matahari pagi yang jatuh tepat di wajahnya membuat anak laki-laki itu membuka mata. Alexant mengerjap beberapa kali sebelum memejamkan mata abu-abunya kembali, tak peduli dengan sinar matahari yang semakin tinggi. Ia masih mengantuk, masih memerlukan waktu untuk tidur beberapa saat lagi, sebelum ia ingat kalau tadi malam adalah malam pesta terakhir. Hari ini seluruh tamu undangan akan meninggalkan istana, termasuk keluarga bangsawan Mars. Crystal!Mengingat gadis kecil itu membuat kantuk yang tadi masih menggelayuti mata Alexant, seketika pergi. Bergegas anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu bangun. Tanpa memakai mantel atau mengganti piyama, juga tanpa alas kaki Alexant langsung berlari menuju ruangan yang digunakan keluarga Crystal. Betapa terkejut Alexant ketika menemukan ruangan itu telah kosong. Tidak ada lagi barang-barang yang kemarin masih mengisi ruangan. Begitu juga dengan Crystal dan keluarganya. "Di mana Crystal?" ta
Jenderal Wallace berdeham sekali, menatap tegas pria yang juga balas menatapnya dengan tatapan tak terbantahkan. Edmund Mars, meskipun hanya seorang bangsawan yang berasal dari desa, tetapi ketegasan dan wibawanya tidak perlu diragukan. Terlihat dari tatapan tajamnya itu. "Aku juga minta maaf pada Anda, Duke Mars." Wallace menundukkan sedikit kepalanya. "Namun, bagaimanapun juga peraturan kerajaan kita....""Kami hanya bangsawan dari desa, Jenderal." Sekali lagi Edmund memotong perkataan jenderal Wallace. "Sangat tidak pantas untuk putriku berada di istana. Crystal lebih pantas berada di kastil kami daripada di istana di ibu kota."Wallace menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan tanpa gerakan berarti. Bangsawan desa yang keras kepala dan pemberani. Meskipun menentang aturan kerajaan dan negara, pria berambut hitam di depannya ini tetap tidak mau melepaskan putrinya. "Mereka masih anak-anak, Jenderal." Astrid ikut berbicara. Dia yang sejak beberapa menit yang lalu sudah berad
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri
Fasha tidak percaya jika seorang Ibu bisa melakukan hal yang kejam terhadap anaknya. Namun, setelah mendengar rencana Selena, sekarang dia memercayainya. Rencana Selena untuk menyingkirkan Beatrice dari istana tergolong rencana yang gila. Bahkan Selena langsung bergerak setelah mendapatkan rencana itu. Dia meminta seorang prajurit yang dapat dipercayainya untuk membawa ibunya yang tinggal di sebuah desa, memindahkannya ke sebuah tempat terpencil yang sangat sulit untuk dijangkau. Setelah itu, barulah mereka akan membawa Beatrice ke sana, tempat yang sama dengan neneknya. Yang lebih gila lagi, Selena juga meminta Fasha untuk mendampingi mereka. Tidak mempunyai pilihan, dia mengangguk menyetujuinya. Tak mungkin dia membiarkan gadis semuda Beatrice hanya tinggal berdua bersama neneknya di tempat yang penuh bahaya. Mengendap mereka mendekati kamar tidur Fasha yang ditempatinya bersama Beatrice. Fasha sudah memastikan Beatrice tertidur lelap, gadis itu kelelahan setelah seharian menangi
Alexant menoleh ke belakangnya, menatap sekilas Crystal yang berada satu meter di belakangnya. "Kau benar!" katanya tersenyum. "Astaga, George! Aku tidak percaya jika sudah bertindak bodoh seperti itu. Ini sangat memalukan!" Ia menggeram kesal. George tertawa tanpa suara. "Jangan khawatir, ini akan menjadi rahasia kita," sahutnya, menepuk bahu Alexant akrab. Alexant mengusap wajah kasar, kemudian memutar tubuh, melangkah ke arah Crystal, dan memeluknya. Mereka harus berpisah untuk hari ini sekarang. Sudah semakin sore, senja sebentar lagi akan datang. Bayangan pohon-pohon dan ilalang semakin memanjang ke arah timur. Alexant meraih jemari Crystal, meremasnya hangat. "Kau harus pulang sekarang," katanya lirih, tak rela mengucapkan kata-kata itu. "Aku tak ingin Duke Mars melarangnu untuk ke sini lagi besok.""Kita masih bisa bertemu lagi besok, Alexant?" Pertanyaan Crystal penuh semangat. Mata birunya tersenyum. Alexant mengangguk. "Tentu saja, aku tidak akan bersedia untuk pulang sec
Waktu selalu terasa cepat berlalu saat kita berada dalam perasaan bahagia, gembira, dan perasaan positif lainnya. Namun, akan terasa sangat lambat, bahkan lebih lambat dari lari seekor kura-kura, jika kita berada dalam fase tidak bahagia. Itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Ia merasa matahari cepat sekali tergelincir di ufuk barat, padahal rasanya baru beberapa menit ia bersama Crystal matahari sudah hampir terbenam saja. Sebagian bukit sudah terlihat gelap karena terlindung bayangan pohon-pohon yang tumbuh dengan tinggi menjulang dari hutan di sebelah sana. Padang bunga juga sedikit tertutup bayangan ilalang yang lebih tinggi dari mereka. "Bisakah aku menghentikan laju perputaran matahari?" Alexant bertanya entah kepada siapa. Hanya ada dirinya, Crystal, dan George di atas bukit ini. Crystal mengerutkan alis, sementara George tertawa mendengarnya. Keluhan Alexant terdengar lucu di telinganya, seperti mimpi seorang anak kecil. Alexant mendelik tajam, melemparkan ranting kayu k
"Bibi tidak tahu ke mana perginya Pangeran Alexant, Beatrice." Fasha menggelengkan kepala. "Tidak ada yang tahu kecuali Raja Henry dan Jenderal Wallace, dan mereka tentu tidak akan memberi tahu ke mana tujuan Pangeran Alexant. Pelayan seperti kita tidak penting, tidak ada gunanya memberitahukan apa pun pada kita. Tugas kita hanya melayani mereka, bukan untuk ikut campur urusan mereka." Sengaja Fasha mengatakan seperti ini. Dia hanya ingin Beatrice sadar kedudukannya di istana ini. Dia ingin Beatrice melupakan mimpinya untuk bisa berdampingan dengan Alexant sebagai suami istri. Mereka hanyalah pelayan, para bangsawan itu mengingat nama mereka saja sudah merupakan sebuah keberuntungan yang sangat langka bagi mereka. Beatrice menggigit bibir. Air matanya jatuh lagi mendengar jawaban Fasha. Kali ini dia tidak mengusapnya, Dibiarkannya air matanya jatuh melewati dagu dan menetes ke lutut, kemudian diserap oleh gaun yang menutupi lututnya. Kata-kata panjang lebar Fasha menamparnya, mencub
Semua tidak sama tanpa ada Alexant. Istana ini rasanya seperti bukan istana, rasanya dia berada di tempat asing dan sendirian. Setelah Lady Baige pulang, Beatrice memilih untuk kembali ke kamar tidurnya. Tidak ada juga yang bisa dia lakukan di luar sini. Dia tidak memilki teman. Di istana ini, gadis-gadis sebayanya bekerja sebagai pelayan, sementara dirinya tidak. Gadis-gadis pelayan itu tidak mau berteman dengannya. Mereka semua mengatakan dirinya sombong dan tidak tahu diri, padahal dia tidak seperti itu, Dia tidak pernah memilih dalam berteman karena dia tahu siapa dirinya yang sebenarnya, tidak seperti yang mereka tuduhkan. Dia justru ingin berteman dengan mereka, mereka berasal dari golongan yang sama. Meskipun dia bukan pelayan, tetapi dia anak seorang pengasuh yang derajatnya sama sepert pelayan di istana ini. Sayangnya, gadis-gadis pelayan seusianya tidak mau beteman dengannya. Sama seperti para gadis bangsawan, gadis-gadis pelayan juga memusuhinya. Mereka menganggapnya lup
"Apa yang kau buat, Alexant?" Crystal berusaha mencuri lihat ke arah tangan Alexant yang sejak beberapa menit yang lalu terlihat sangat sibuk. Namun, Alexant kembali menyembunyikannya, membuatnya berdecak kesal. Bukit di belakang kastil keluarga Mars memang selalu menghadirkan pemandangan indah. Tidak akan terlihat buruk hanya karena seorang George Bryne yang terlihat melamun. Sudah beberapa kali Crystal mengagetinya, tetapi George kembali melamun jika dia meninggalkannya. Dia tak ingin mengageti George lagi, rasa penasarannya akan apa yang dikerjakan Alexant membuatnya merasa tidak berminat lagi melihat reaksi George yang lucu saat terkejut. Jam makan siang sudah lewat. Mereka bertiga sudah makan siang dengan bekal yang dibawanya dari rumah. Dia menyiapkan bekal itu sendiri, membuat roti isi bukan pekerjaan yang sulit, dia sering membantu Mama dan koki di kediaman mereka memasak sehingga kegiatan itu cukup akrab dengannya. Dia bisa membuat beberapa hidangan sederhana, roti lapis is