Tamara terdiam mendengar pertanyaan itu. Perasaannya bercampur aduk; antara keinginan untuk jujur dan ketakutan akan reaksi Davis. Dia ragu-ragu, menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan semuanya atau tidak. Namun, melihat Davis yang tampak tenang dan suasana hati yang tampaknya sedang baik, Tamara merasa tidak ada salahnya untuk mengungkapkan yang sebenarnya.Tamara menghela napas pelan, mencoba mengumpulkan keberanian. Setelah merasa lebih tenang, dia lantas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kemarin hingga membuat insiden itu bisa terjadi.Davis mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari wajah Tamara, seolah mencoba membaca setiap ekspresi yang muncul. Tapi tak lama, Davis menghela napas panjang setelah mendengar semua cerita Tamara hingga akhir. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa insiden itu terjadi karena hal yang tampaknya sepele.“Jadi itu sebabnya, kau sampai hampir mati tenggelam?” Davis berkata pelan. Dari aura yang keluar dari tubuhnya, Tamara merasa
Davis terdiam merenungi kata-kata yang sebelumnya dia lontarkan. Ucapannya terhadap Tamara sebenarnya juga berlaku untuk dirinya sendiri. Davis merasa ada cermin di antara mereka yang memperlihatkan refleksi dirinya.Hal ini membuatnya teringat kembali akan pertanyaan Fabio yang pernah terlontar padanya. Dia yang awalnya merasa kebingungan mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Fabio beberapa waktu lalu. Kini merasa seolah dia mulai menemukan jawaban atas pertanyaan itu.Setelah perasaan gusarnya mereda, Davis memutuskan untuk kembali ke penginapan. Malam mulai merangkak naik, dan dia menyadari betapa waktu berlalu begitu cepat.Hampir seharian penuh dia menghabiskan waktu di luar, meninggalkan Tamara dengan sifat keras kepalanya yang entah sekarang sedang apa di penginapan.Davis menarik napas panjang, menenangkan diri, dan beranjak dari bar tempat dia duduk merenung.Sepanjang perjalanan menuju penginapan, Davis bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dilakukan Tamara sekara
Hatinya diliputi ketakutan yang mendalam saat merasakan suhu tubuh Tamara yang sangat tinggi. “Sial, kau demam!” gumam Davis, kesadarannya mulai dipenuhi dengan kekhawatiran.Tanpa berpikir panjang, Davis langsung mengangkat tubuh Tamara ke dalam gendongannya. Dia bergegas naik dari kolam, air menetes dari pakaian mereka yang basah kuyup. “Lilya, cepat panggil dokter! Tamara demam tinggi!” perintah Davis dengan nada mendesak, wajahnya yang biasanya tenang kini berubah menjadi penuh kekhawatiran.Lilya mengangguk cepat, lalu bergegas menuju pergi untuk mencari bantuan. Sementara itu, Davis membawa Tamara menuju kamar, langkahnya tergesa-gesa namun tetap hati-hati agar tidak memperburuk kondisi Tamara.Begitu tiba di kamar, Davis segera membaringkan Tamara di ranjang dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya meski kepanikan terus melanda pikirannya.*Davis terdiam, memandang wajah Tamara yang terbaring lemah di atas ranjang. Rasa cemas membayangi setiap pikirannya. Dokter yang baru sa
Tamara terdiam, wajahnya dipenuhi kebingungan. Dia tidak mengerti kenapa sikap Davis tiba-tiba berubah drastis terhadapnya. Sejak dia terbangun dari pingsan, semuanya terasa berbeda. Davis menjadi begitu perhatian dan lembut, sebuah sikap yang membuat Tamara merasa asing.Lamunannya buyar ketika pintu kamar terbuka. Lilya melangkah masuk dengan membawa troli makanan yang berisi sarapan untuk Tamara. Di atasnya, ada semangkuk bubur yang tampak hangat, tepat untuk kondisinya yang masih lemah. Lilya mendekat, mendorong troli ke sisi ranjang Tamara."Nyonya, saya membawakan semangkuk bubur untuk anda.”“Terima kasih, Lilya.”“Omong-omong, bagaimana perasaan anda sekarang? Apakah anda sudah merasa lebih baik?" tanya Lilya dengan nada penuh kekhawatiran.Tamara mengangguk pelan sebagai jawaban. "Hanya masih sedikit pusing. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak bisa mengingat apa-apa?"Lilya menatap Tamara sejenak sebelum menjelaskan dengan hati-hati. "Kemarin, anda pingsan sa
Davis baru saja selesai mengenakan pakaian lengkap setelah mandi. Namun, meski telah bersiap sepenuhnya, langkahnya tertahan ketika matanya tertuju pada sosok Tamara yang masih terbaring lemah di atas ranjang.Tamara terlihat sangat lemah, wajahnya pucat dan napasnya terdengar halus. Davis terdiam, memperhatikan setiap detail wajah wanita itu. Dalam keheningan seperti ini, kecantikan Tamara tampak lebih mencolok. Ada kehangatan dan ketenangan yang terpancar dari wajahnya, meskipun kondisi tubuhnya sedang tak berdaya.Perlahan, Davis mendekat dan duduk di tepi ranjang, pandangannya masih tertuju pada Tamara. Wajah wanita itu begitu damai, jauh berbeda dari biasanya. Seakan-akan, dalam tidur, semua masalah dan beban hidupnya menghilang sejenak, meninggalkan hanya kedamaian.Tatapan Davis kemudian beralih ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Di sana, tergeletak sebuah gelang yang baru saja ditemukannya. Gelang itu terlihat biasa saja, terbuat dari tali kulit dengan sebuah liontin
Davis dan Tamara akhirnya duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan mereka setelah satu minggu yang penuh ketegangan di Aqualuna Isles.Matahari pagi menerangi ruangan dengan sinarnya yang lembut, dan angin laut yang segar menambah suasana damai. Tamara yang baru saja sembuh dari demamnya tampak jauh lebih segar dan ceria. Wajahnya yang sempat pucat kini mulai kembali berwarna. Meskipun sebagian besar waktu bulan madu mereka tersita karena sakit Tamara, hari ini mereka bisa duduk bersama tanpa ada rasa cemas.“Bagaimana perasaanmu pagi ini?” tanya Davis, suaranya lembut namun penuh perhatian. Matanya tak lepas dari Tamara.Tamara tersenyum, meneguk jus jeruk dari gelasnya sebelum menjawab, “Aku merasa jauh lebih baik. Tubuhku sudah tidak seberat sebelumnya, dan demamku juga sudah benar-benar hilang.”Davis mengangguk, merasa lega mendengar itu. Selama empat hari terakhir, Davis dengan telaten merawat Tamara hingga wanita itu benar-benar pulih. Meski lelah, tapi melihat Tamara yan
Tamara terdiam sambil memandangi pemandangan laut yang terbentang luas di hadapannya. Matahari pagi bersinar lembut, memantulkan cahaya keemasan di atas permukaan air, menciptakan pemandangan yang menakjubkan.Tamara berusaha menikmati pemandangan itu sepuas mungkin untuk terakhir kalinya, menyerap setiap detailnya ke dalam ingatan. Angin laut yang sejuk berhembus pelan, mengibaskan ujung-ujung rambutnya. Perasaan nostalgia tiba-tiba menyergapnya, mengingatkan betapa singkatnya waktu yang mereka habiskan di Aqualuna Isles.Di belakangnya, Davis tengah sibuk mengeluarkan koper-koper mereka dari kamar. Beberapa pelayan dengan sigap membantu memasukkan koper-koper itu ke dalam bagasi mobil yang sudah siap mengantar mereka ke bandara. Davis terlihat serius, berusaha memastikan tidak ada barang yang tertinggal.Tamara yang tadinya asyik dengan pemandangannya, segera mengalihkan perhatian ketika Davis menghampirinya."Kau sudah siap?" tanyanya dengan suara tenang, sambil menatap istrinya.T
Tamara duduk terpaku, pandangannya tak lepas dari jendela pesawat. Awan-awan putih yang bergumpal-gumpal di luar jendela melintas perlahan, seolah mengikuti irama pikirannya yang kalut.Sejak masuk dan duduk di pesawat, benaknya terus dihantui oleh perkataan Lilya. Tamara masih tidak mengerti kenapa Davis berbohong tentang siapa yang sebenarnya menemukan gelangnya. Kenapa suaminya tidak mengakui saja bahwa dialah yang menemukan gelang itu, dan malah menyebut Lilya sebagai orang yang berjasa?Tamara menggeleng pelan, berusaha mengusir kebingungannya. Namun, semakin lama ia mencoba memahami, semakin ia merasa tersesat dalam pikirannya sendiri. Kenapa Davis melakukan itu? Apakah dia hanya ingin membuatku merasa lebih baik? Atau ada alasan lain yang tidak aku ketahui?Di sisi lain, Davis duduk di sampingnya dengan tenang. Namun, tatapan matanya tak lepas dari Tamara. Dia menyadari bahwa istrinya itu terlihat jauh dan terjebak dalam lamunannya. Rasa khawatir mulai muncul di benaknya, dan t