Setiap dua minggu sekali, aku, bunda dan adik-adik selalu mengunjungi rumah kakek dan nenek. Pasti sudah tau kan mengapa tidak bersama ayah? Ya, ahay memang sangat tidak suka berkumpul dengan saudara-saudaranya, termask saudaranya sendiri. ayah lebih suka menyendiri atau bersama teman-temannya, yang jelas bukan keluarganya sendiri.
Setaun belakangan ini, kakek memang sakit-sakitan. Namun, penyakitnya itu bukan penyakit yang besar atau bahaya. Jangan sampe lah. Penyakitnya hanya sebatas kelelahan hingga membuatnya tipes atau sendinya yang memang sudah tidak mampu untuk berjalan seperti biasanya. Kakek yang sudah pensiun masih saja beraktivitas seperti ketika ia belum pensiun, bedanya hanya ia tidak bekerja saja. Tiap pagi ia selalu jalan pagi kee pasar bersama nenek, menyiram tanaman, bersih-bersih bersama nenek dan memasak cemilan yang tiapp harinya akan dikirimkan ke rumah kami.
Berbeda ketika kami semua ke rumahnya, aktivitasnya akan berbeda. tiap pagi ia akan bermain bersama kami dan mengajak kami jalan-jalan walau hanya sebatas membeli bubur ayam di pusat kota atau bermain di taman. Semuanya terasa sangat menyenangkan. Ketika semua perempuan mengatakan bahwa ayah adalah cinta pertama mereka, tidak denganku. Kakek adalah cinta pertamaku dan selamanya akan seperti itu.
Aku memang sangat ambisius, tidak pernah satu hari aku tidak belajar atau mengerjakan tugas. Ketika kakek menelepon, lebih sering aku mengerjakan tugas daripada hanya sekadar menonton televisi, dan tak lama kakek akan memarahiku.
“Belajar aja, main kek. Ke Mall, ke pasar, ngapain gitu, jangan belajar aja. Gabosen apa?”
“Hahaha iya ini sudah selesai belajarnya, mau main ke kakek dong hari ini. Ada makanan apa disana?”
“Gaada, ini makanan kakek nenek, kamu gabakal suka. Kalau kesini sekalian makan di luar aja, kakek juga bosen makan makanan rumah.” Yang tidak lama nenek mendengarnya dan memarahi kakek.
“Heh, yauda besok gausa makan.” Teriak nenek dari dapur sepertinya.
Aku yang mendengar itu langsung tertawa diikuti suara kakek juga tertawa.
Sepertinya ayah mendengarkan percakapanku dengan kakek barusan dan memarahiku karena tidak belajar dengan baik.
“Belajar! Bukan hp an aja!” Ayah langsung masuk begitu saja ke kamar dan aku belum mematikan teleponnya, sehingga kakek mendengarkan.
“Biarin, masa telfon kakeknya gaboleh?” Tanya kakek sembari berteriak, sehingga ayahpun mendengarkannya dan langsung pergi dari kamar.
Setelah itu, aku dan kakek masih berbincang sangat lama dan aku langsung memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan.
"Lah kan, gajadi kesini! Bohong dehhhh!"
"Hahahaha, males keluar nih kek, besok jemput aku sekolah terus aku kesana ya. Okayyy?"
"Siap, jemput adek dulu ya tapi. Baru ke kamu."
Aku pun mengiyakan permintaannya dan aku langsung memutuskan untuk beberes dan tidur.
Hari ini terasa sangat indah karena menutup hari dengan berbincang pada kakek yang sangat menyenangkan.
Keesokan harinya, kakek menjemputku bersama adik dan langsung menuju ke rumah kakek dan nenek.
Sesampainya disana, aku langsung berganti pakaian yang sdah disiapkan bunda dari rumah. Lalu aku mengambil makanan yang telah disediakan nenek. Nenek memasak banyak makanan seolah akan tamu datang.
Malam harinya, kakek meminta bunda datang untuk ikut bersama kami untuk membeli cemilan di luar. Aku dan adik saat itu menginginkan wafel dan eskrim, sehingga kami pergi ke cafe yang biasa aku datangi bersama bibi. Lalu kami bersenda gurau dan sangat menikmati snack tersebut.
“Kakek laper lagi nih. Mampir atau makan di rumah aja?”
“Di rumah uda abis makanannya. Beli di luar aja, aku juga mau makan lagi.” Jawabku
“Oke, beli pecel rawon ya. Kepingin banget.” Kata Kakek.
“Oke booos”
Sesampainya disana, sang penjual langsung mengenali kakek.
“Waduh Pak Gik. Kok lama ga kesini, kirain uda lupa sama tempat ini.”
“Gak lah. Repot ngurus cucu.” Yang kemudian disambut tawa mereka berdua.
Pada awalnya, kami tidak ingin makan lagi, tetapi melihat kakek makan dengan lahap, akhirnya kami juga tergiur untuk makan itu.
“Liat semua, tadi bilang gamau makan. Udah malem, takut gendut. Sekarang makan semua.” Goda kakek sambil dengan tatapan sinisnya.
“Ih, biarin lah.” Jawab bibi sambil menyendok pecelnya yang diberi kuah rawon.
Setelah puas makan, kami kembali ke rumah kakek dan nenek. Adik dan nenek ketika perjalanan terlelap tidur menyebabkan kakek tidak langsung pulang. Kakek memutuskan untuk mengelilingi kota dengan melihat pemandangan perkotaan dengan gedung-gedung tinggi dengan lampunya yang terlihat waw.
Seminggu setelah itu, kakek dilarikan ke rumah sakit karena tiba-tiba terjatuh ketika sedang mengambil kopi. Bibi langsung memberikan kabar kepada bunda dan kami langsung pergi ke rumah sakit. Bunda tidak sempat memberikan kabar kepada ayah dan memintaku untuk mengirim pesan kepada ayah agar ayah mampu memhami kondisi kami kala itu.
Di perjalanan, bunda sudah menangis dan berusaha tetap tegar akan kami selamat sampai rumah sakit. Ketika sampai disana, kami langsung lari menuju UGD dan kakek sudah sadar. Kata nenek kepada bunda, kakek mengalami serangan jantung. Untungnya, bibi langsung tanggap dan meminta tolong tetangga untuk menggotong kakek ke dalam mobil dan bibi langsung mengebut menuju rumah sakit.
Setelah itu, kakek dirawat di rumah sakit. Keadaannya tidak kunjung membaik, malah semakin buruk. Hingga pada suatu hari ketika aku dan bunda yang menjaga, kakek tiba-tiba kejang dan aku langsung memanggil suster. Lalu menelpon bibi dan nenek yang tidak lama datang. Lagi-lagi, kakek masih bisa diselamatkan. Kami bersyukur kala itu.
Ketika kami semua berkumpul disitu, kakek meminta untuk dibantu duduk. Kemudian kakek berbicara bahwa semua harta yang dimiliki kakek tidak boleh jatuh kepada siapapun kecuali ke kami. Rumah yang dimiliki kakek harus menggunakan nama bunda dan bibi. Semua aset juga begitu. Kakek tidak mau nak cucunya akan berebut hal seperti itu.
Kakek mengambil sesuatu dari lemari yang ternyata amplop berwarna coklat berisikan surat wasiat terhadap nenek, bunda, bibi, aku dan adik-adik. Semua sudah jelas disana dan kami diminta untuk tandaa tangan saja. Kami yang kala itu sudah memiliki firasat tidak enak langsung memeluk kakek dengan tangis yang tidak dapat kami bendung.
Di saat terakhirnya, kakek masih mencium satu-satu diantara kami. Lalu nenek membisikkan kata-kata bahwa kami semua akan hidup dengan baik dan kakek tidak perlu mengkhawatirkan kami. Tidak lama kemudian, kakek kejang dan kami langsung memanggil suster dan dokter. Kejang yang dialami kakek mengakibatkan jantung kakek tidak dapat memompa darahnya lagi sehingga, tiiiiit. Kakek sudah meninggalkan kami semua.
Kakek pergi dengan senyum yang khas. Senyumnya tidak lugas, tetapi cukup menggambarkan bahwa ia sedang tersenyum dan bahagia. Kami semua yang ada disana tidak mampu menahan tangis, begitu pula dengan nenek yang tidak sanggup berdiri. Namun, bunda dan bibi langsung menghentikan tangisnya karena bunda dan bibi yakin bahwa kakek akan bahagia disana dan berusaha menenangkan kami semua.
Kematian kakek meninggalkan luka yang mendalam untukku. Kakek yang selalu membela dan berusaha sekuat mungkin untuk melindungiku dan bunda, pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku selanjutnya. Apakah aku masih bisa bertahan dengan papa atau tidak. Ketika kakek akan dimakamkan, kami semua sangat kerepotan untuk mengurus ini itu. Namun, berbeda dengan ayah yang malah leha-leha sambil merokok dan melihat tamu berlalu lalang. Buyut yang jauh datang dari pulai lain juga tidak dihiraukan oleh ayah. Seminggu setelah kepergian kakek, ayah sudah membuat ulah. Rumah yang saat ini ditempati oleh keluarga kami diam-diam akan dibalik nama oleh ayah. Untung saja pejabat yang mengurus tanah tersebut memihak pada keluarga kami. Pejabat tersebut langsung menghubungi bunda. “Halo mbak, permisi maaf ganggu waktunya. Sebelumnya saya turut berduka cita atas kepergian bapak sampeyan nggih, mbak.” “Oh, iya pak. Terimakasih, ada apa ya pak? K
Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, bunda akhirnya diperbolehkan pulang. Padahal, sebaiknya bunda dioperasi terlebih dahulu karena tulang hidungnya bengkok dan nantinya akan menyebabkan gangguan lain. Namun, bunda tidak mau karena takut terlalu lama dan ayah akan semakin menjadi-jadi. Sesampainya di rumah, kami ditemani oleh nenek beberapa hari karena nenek masih khawatir dengan kondisi bunda. Ayah yang sudah menunggu di teras dan seperti bersiap untuk menghajar bunda mengurungkan niatnya dan pergi keluar setelah melihat nenek ikut pulang ke rumah. Lalu kami beraktivitas seperti biasanya. Perbedaannya hanya pada ayah yang tidak marah-marah seperti biasanya dan cenderung diam. Di rumah hanya makan dan tidur tidak seperti biasanya yang ditambah dengan adegan kekerasan. Setidaknya selama seminggu kami sangat tenang dan bahagia. Kemudian nenek harus kembali ke rumahnya karena tidak mungkin bibi hanya sendiri di rumah. Namun, sebelum nenek kembali,
Selesai ujian nasional, aku menunggu hasil dengan melakukan berbagai aktivitas bersama bunda dan adik-adik dirumah. Pagi hari aku memandikan adik dan menyiapkan alat sekolah adik. Setelah itu langsung mengantarkan mereka. Beberapa hari lagi sudah menmasuki bulan puasa! Aku bunda dan adik-adik sangat senang sekali dan mempersiapkan banyak bahan makanan dan membersihkan rumah sebelum Buan Ramadhan tiba. Tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya karena sudah tidak ada kakek. Namun, nenek selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh sedih terlalu lama karena kakek tetap akan menjaga kita semua dari atas sana. Pada hari pertama melakukan sahur, mata ini sangat sulit untuk membuka karena belum terbiasa. Mata yang sulit membuka ini langsung bangun ketika aroma masakan bunda masuk ke dalam kamarku. Sumpah, aromanya sangat waww! Aku pun langsung bangun dan pergi menuju dapur. “Bunda masak apa ini enak banget kayanyaa!” “Cuci muka dulu kali kak, terus ambil piring.”
Ketika hari lebaran tiba, ayah masih saja membuat masalah dengan memaksakan nenek dan bibi untuk harus pergi ke desa ayah terlebih dahulu. Namun, nenek menolak dan tetap ingin segera bertemu saudara yang berasal dari kakek. Sepanjang perjalanan, bunda dan ayah hanya diam dan tidak berbicara. Namun, nenek dan bibi yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tetap bercengkrama kepadaku dan adik-adik. Ketika sampai di sana, ayah langsung mengasingkan diri dan tidak mau bertemu dengan saudara kakek. Padahal, saudara dari kakek mencarinya dan bunda beralasan bahwa ayah sedang berada di kamar mandi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sore langsung pulang dan mengantarkan nenek serta bibi ke rumah. Seolah mengerti apa yang akan terjadi, adik langsung menangis dan tidak ingin membiarkan nenek dan bibi pulang. Benar saja, diperjalanan menuju desa ayah, ayah tidak ada henti-hentinya mengomel kepada bunda. Mulai dari mengapa bunda tidak bisa membujuk nenek untuk mau ke de
Setelah aku, bunda dan adik-adik pindah ke rumah nenek, kami merasa lebih bebas dan lebih merasa hidup. Aku yang sudah lama terkungkung di rumah langsung keluar rumah terus menerus. Selama tujuh belas tahun hidup, baru kali ini aku benar-benar merasakan bebas.Ketika tahun ajaran baru segera dimulai, aku dan bunda berbelanja alat tulis untuk keperluan sekolah, menjahit seragam baru dan peralatan sekolah lainnya.Bunda kala itu juga merasa sangat bebas, kami berempat bisa makan di luar dengan tenang, bisa berbicara dan bercanda tanpa takut dimarah oleh siapapun. “Kakak, mau apa lagi abis gini?”“Mau makan pizza gak?”“Mauuu!”Setelah itu, kami pergi ke restoran pizza terdekat, dan menikmati berbagai makanan yang telah dipesan oleh bunda.“Kak, adik, bunda abis gini kerja lagi ya. Gabisa temenin seharian full kaya sebelumnya.”“Loh, nda boleee.” Kata adik sambil m
Akhirnya tugas-tugas ini selesai semua, batinku. Kemudian aku merebahkan badanku ke kasur. Enak banget! Selanjutnya aku memeriksa ponselku.“Ra, lagi ngapain?“Ra, sibuk nugas ye?”“Ra,”“Hoi!”“Ngapain sih?”“Jadi manusia tuh agak sante dikit gitu lo!”“Yaudalah, jawab ya kalo dah ga sibuk. Thx.”“Baru selese, napa?”“Eh, akhirnya. Dah keluar dari goa lo?”“Paansih, gajelas.”Keesokan harinya, aku datang sangat pagi sebelum banyak yang datang karena bunda harus berangkat lebih pagi. Beberapa saat setelah aku datang, Lana datang.“Eh Ra, kayanya kamu lagi dideketin Fian deh.”“Iya kayanya, tapi yaudah biasa aja. Kenapa emang?”“Ati-ati. Tapi, nanti aku bakalan ada terus di pihakmu. Oke?”“Hah?” tanyaku keheranan saat itu
Notifikasi yang membuatku hampir tidak bisa tidur dengan tenang adalah pesan yang dikirimkan Fian dan Nana. Ketika melihat waktu pesan diterima, mereka mengirim pesan disaat yang sama. Fian mencariku, bertanya beberapa materi yang tidak ia pahami dan menanyakan tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Namun, bukan Fian namanya jika mengirimkan pesan tanpa pesan beruntun. Berbeda dengan Nana yang mengirimkan pesan dengan nada mengancam dan menyakitkan.Aku yang baru saja selesai mandi hanya duduk termenung melihat pesan yang dikirimkan oleh Nana. Nana mengatakan bahwa aku adalah perebut lelakinya. Lah? Yang kirim pesan duluan, yang saring cari perhatian juga siapa? Kok aku yang disalahin. Dasar aneh. Ingin rasanya menjawab pesan Nana seperti itu, tetapi aku hanya diam dan tidak membaca pesannya. Aku hanya membanya melalui notifikasi.Ketika sampai di sekolah, Nana menghampiriku dan berkata,“Halo genit, yang doyan caper sama cowok orang..” Katanya sambi
Nana yang tidak bisa meluapkan amarahnya sedari tadi. Akhirnya bisa menumpahkan ketika Fian, Lana dan anak laki yang lain meninggalkan kelas untuk bermain basket."Berani-beraninya sih deket-deket sama Fian? Maumu tuh apa? Kaya gaada cowok lain aja?!?" Kata Nana sambil mendobrak mejaku. Sontak aku yang sedang tidur langsung terbangun."Gausa sok polos deh jadi orang!" Lalu ia langsung menjambakku kembali.Teman-teman ku berusaha memisahkan Nana dariku. Aku yang sedari tadi masih berusaha untuk menahan akhirnya tidak kuasa lagi.Aku langsung berdiri dan berusaha melepaskan tangannya dari kerudungku. Kerudungku yang terlihat berantakan langsung ku rapikan sebelum akhirnya ia menjambakku lagi. Plak. Ia langsung menamparku begitu saja. Rasa sabarku sudah tidak ada ketika ia menamparku."Maumu itu apa sih? Aku gaada rasa buat Fian! Sama sekali aku gapunya niatan buat deketin Fian!" Kataku sambil berteriak.Nana yang terkejut dengan perka
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Fian masih saja kembali ke sekolah melalui pintu belakang yang sudah tidak dijaga oleh satpam. Aku yang sudah merasa tenang karena ia tidak ada di sekolah, tidak membuka ponsel sama sekali. Untungnya, waktu itu aku membuka ponsel karena akan mengabari bunda bahwa hari ini aku pulang agak terlambat karena Mas Raja masih ada urusan di sekolah."Lana ngapain telfon?" tanyaku dalam hati."Halo? Lan?" tanyaku ketika Lana sudah mengangkat telfonnya."ARA! FIAN BALIK KE SEKOLAH!" ucapnya sambil teriak.Seketika itu aku langsung berlari menuju ruang guru dimana Mas Raja ternyata sudah tidak ada disana. Aku langsung berlari dan menghampiri satpam untuk membantuku mencari dimana Fian dan Mas Raja.Tiba-tiba Lana menghubungiku,"Lan? Fian sama Mas Raja gatau dimana" ucapku."Aku otw sana. Di jalan kecil belakang ruang komputer," ujarnya. Lalu aku segera berlari kesana, setelah memastikan disana ada mereka, aku pun
Keesokan harinya, aku sudah berencana bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi kunci penyelesaian masalahku dengan Fian.“Minta tolong ya, mas,” ucapku kepadanya.“Iya. Arabella, semangat ya!” ujar lelaki tersebut.Setelah itu aku baru masuk ke kelas. Kalia seperti terkejut melihatku datang lebih siang daripada biasanya.“Mas Raja jemputnya telat, Ra?” tanyanya.“Engga kok,” jawabku sambil tersenyum.“Terus kenapa? Ada masalah kah?” tanya Kalia.“Hmmm.. gini” jawabku kemudian menjelaskan apa yang akan terjadi.“Lah. Kamu mau gimana?” tanya Kalia.Pertama, menurut Lana aku harus bertemu dengan beberapa orang yang akan dihasut Fian untuk bergabung bersamanya. Aku sudah bertemu satu diantara enam yang akan diajak Fian. Orang tersebut adalah Mas Fajar, ia tidak diterima bukan karena Mas Raja yang terlalu bagus, justru menurutnya Raja adala
Aku yang mengetahui sumber suara tersebut langsung menghampiri dan menyeretnya keluar dari tribun.Sesampainya di luar, ia tidak terima karena aku menyeretnya keluar.“Apa maksudmu ngomong kaya gitu, hah?” tanyaku.“Gaterima?” tanyanya.“Ya engga lah! Berani-berani ngehujat, emang kamu bisa kaya dia?” tanyaku.Kemudian ia terdiam dan aku langsung bergegas kembali ke dalam barisan tribun bersama teman-temanku. Untungnya saat aku kembali, lagu untuk merayakan kemenangan itu baru saja diputar.Teman-temanku langsung bertanya kepadaku kemana Fian setelah kuseret keluar. Aku pun hanya mengatakan tidak tahu karena aku hanya menegurnya lalu aku kembali takut ketika Mas Raja mencariku ternyata aku tidak ada disana.Setelah pertandingan tersebut selesai, kami memutuskan untuk membeli makan di salah satu restoran cepat saji, tetapi ternyata disana sangat ramai sehingga kami memutuskan untuk makan di salah sat
Aku yang terkejut langsung menarik Mas Raja kembali masuk ke dalam bioskop.“Mana sih, Ra?” tanya Mas Raja.“Itu loh!” jawabku dengan suara yang bergetar.“Ara, bukan,” ucapnya sambil mengelus kepalaku.“Bukan ayahmu itu. Cuma mirip aja,” imbuhnya.Aku pun menghela nafas panjang dan kami pun berjalan keluar dari bioskop. Ketika akan pulang, aku dan Mas Raja mampir ke salah satu restoran yang menjual makanan korea. Untungnya, Mas Raja bukan tipe pemilih dan dia mau-mau saja kuajak makan disana. Kamipun segera memesan makanan.Setelah selesai makan, aku dan Mas Raja pun segera kembali karena sore ini Mas Raja ada tambahan pelajaran. Di perjalanan, Mas Raja bertanya kepadaku tentang latihannya kemarin.“Latihanku gimana, Ra?” tanyanya.“Udah bagus. Tim nya juga udah mendingan daripada latihan sebelumnya. Gatau lagi, sih,” ucapku.“Iya emang aku ju
Ketika pelajaran di sekolah hari ini usai, Mei langsung menghampiriku dan mengajakku untuk segera pergi ke GOR. Namun, Mei mengajakku keluar untuk membeli makanan terlebih dahulu karena ia sudah bosan membeli makanan di kantin.“Nah kita beli ini pake apa?” tanyaku.“Pake mobil Kafi,” katanya sambil menunjukkan kunci mobil.“Eh, aku belum kabarin Mas Raja. Takutnya nanti dicari sama Mas Raja,” ucapku.“Aku udah kabarin Kafi. Santai,” ucapnya sambil mengajakku masuk ke dalam mobil Mas Kafi.Setelah itu aku dan Mei pun keluar dari sekolah dan membeli makanan khas Jepang yang tidak jauh dari sekolah. Mei pun memesan banyak makanan yang katanya nanti dibagikan kepada tim basket saat istirahat.“Saya mau yang paket A dua ya mas,” ucapku kepada kasir tersebut.“Loh Ra gausa,” ucap Mei.“Aku uda pesen buat semua kok, kamu juga udah,” ujarnya.&l
Tidak lama kemudian, guru pengajar mata pelajaran selanjutnya datang.Sial. Aku tidak bisa menghampiri Mas Raja.Ting! Mas Kafi mengabariku bahwa guru kesiswaan sudah pergi dari sana.“Kal, aku ke UKS ya. Mau ke Mas Raja,” ucapku kepada Kalia dengan pelan.“Iya. Ati-ati,” ujarnya.“Kalo ada apa-apa kabarin ya, Kal. Makasih,” ucapku.Setelah itu aku izin ke guru pengajar untuk ke kamar mandi, tetapi aku berlari turun dan segera bergegas ke UKS untuk menghampiri Mas Raja.Sesampainya disana ada empat pasang sepatu. Ternyata di dalamnya ada Mas Kafi, Mas Raja dan Fian. Satu diantaranya adalah sepatu perempuan. Benar saja, disana ada Nana yang menemani Fian. Ketika aku melihat Mas Raja tergeletak dan ada beberapa luka di wajahnya sangat membuatku terkejut dan aku langsung menghampirinya.“Mas....” ucapku lirih dan tidak sadar aku menitikkan air mata.“Lo
Aku yang baru saja membuka ponsel setelah bersenang-senang dengan Raja langsung down ketika membaca pesan dari Mei.“Ra, Fian berulah lagi,” ujar Mei dengan mengirimkan screenshot sebuah video ayah yang hampir saja menamparku karena Mas Raja sudah menahan tangan ayah. Keterangan video yang sudah dipublikasikan oleh Fian adalah “Waw, kapten basket sekarang jadi jagoan juga ya? Eh tunggu dulu, itu pacarnya kan ya? Kok bisa sih sama cewek yang ayahnya kaya preman?”Aku yang tidak bisa berkata apapun hanya bisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Mei.“Ra? Kenapa?” tanya Mas Raja ketika melihat wajahku yang terkejut.Aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya hingga ia mengambil paksa ponsel yang sedang kugenggam.“ANJING YA ORANG INI!” ucapnya sambil emosi.“Ara, tenangin dirimu ya. Abis sholat isya langsung tidur ya,” ucapnya sambil memelukku.Pelukan yang dib
Mas Raja merasakan bahwa aku sedang memikirkan sesuatu sehingga bertanya kepadaku.“Kenapa, Ra?” tanyanya sambil menengok kepadaku.“Gapapa, mas,” jawabku.“Kalo gapapa juga ga diem aja kali. Biasanya langsung tanya ke aku boleh apa ngga nyalain radio. Sekarang kok engga?” tanyanya penasaran.“Iya kenapa-kenapa tapi nanti aja kasih taunya. Kalo timingnya udah pas,” jawabku.“Boleh nyalain radio, ngga mas?” imbuhku.Setelah itu, radio pun sudah dinyalakan Mas Raja dan kami langsung bernyanyi bersama karena lagu yang dipopulerkan Jaz ini sangat menggambarkan kami berdua.“Kalo ada apa-apa langsung kabarin ya, Ra,” ucap Mas Raja.“Jangan ditahan-tahan. Aku pasti pasti pasti bakal mendengarkan dan sebisa mungkin bantu kamu. Okay?” imbuhnya.Aku pun mengangguk sambil tersenyum.Setelah itu Mas Raja bercerita bahwa ia tadi menungguku di
Di perjalanan, aku dan Mas Raja seperti biasanya. Mendengarkan radio dan bernyanyi bersama.“Mau beli cemilan dulu gak?” tanyanya.“Mauuu!” jawabku dengan semangat.Setelah itu, mobil pun berjalan dengan sangat kencang. Mas Raja dan aku pergi ke salah satu supermarket.Sesampainya disana, Mas Raja mengambil troli belanjaan.“Lah ngapain ambil ini mas?” tanyaku.“Ya kan biar gausa bawa-bawa, Ara,” jawabnya sambil menyandarkan tangannya di troli dan menengok ke arahku dengan senyumannya yang menawan.“Kaya mau belanja banyak aja,” ucapku.Aku dan Mas Raja menyusuri satu persatu lorong untuk mencari letak makanan ringan.“Ra, ini Ra,” ujarnya sambil menunjukkan sabun mandi.“Mas?” tanyaku dengan heran.“Beli aja, warna pink lo! Wanginya juga kaya wangimu,” ucapnya sambil mencium aroma dari sabun tersebut. Aku hanya