Share

Isi Buku Harian Pia

Penulis: Rahma La
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Eh? Mana ada mirip sama aku."

"Serius, Put. Coba, deh."

Aku berusaha menyamakan foto itu dengan wajah Putri, tapi dia terus-terusan mengelak.

Memang benar, foto itu terlihat lebih kusam, agak buram juga. Kurang terlihat wajahnya. Tapi aku yakin. Itu Mas Fahri dan Putri.

Saat aku membalik foto itu, ada tanggal di sana. Beberapa tahun yang lalu.

Hm. Aku yakin sekali, ini pasti ada hubungannya dengan Putri dan Mas Fahri.

"Kamu pegang ini, Ngga. Biar Bibi yang baca duluan."

"Oke, Bi."

Angga memberikan buku harian itu padaku. Sedangkan aku memberikan fotonya pada Angga.

"Coba aku lihat fotonya." Putri membuka suara.

Aku dan Angga saling bertatapan. Akhirnya, Angga menggelengkan kepala. Dia sejak awal sudah merasa curiga dengan Putri.

Baiklah. Aku mendukung keputusan Angga. Bagaimana pun juga, kami sedang membongkar misteri kematian Zifa, adiknya Angga.

"Nanti aja, Put."

"Tapi, Nay—"

"Bi, coba buka, deh, buku hariannya." Angga mengalihkan pembicaraan. Dia masih memegang buku harian
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Sesuatu di Kamar Zifa

    "Kita masuk sekarang, Bi?" tanya Angga sambil menoleh ke aku. Ragu-ragu, aku mengangguk. Membuka pintu kamar Zifa lebih lebar. Kami masuk ke dalam kamar Zifa. Kamarnya terlihat gelap. Aku menelan ludah, berusaha mencari saklar. "Di sini saklarnya, Bi." Lampu akhirnya menyala. Aku menatap ke sekeliling. "Astaga!"Aku berteriak. Ada sekelebat bayangan lewat barusan. Ya ampun, itu cukup mengerikan. "Kenapa, Bi Nay?" tanya Angga pelan. Dia baru saja memeriksa meja belajar Zifa. "Enggak. Gak papa." Sebenarnya, itu bayangan apa? Kenapa mengerikan sekali? Ah, aku mengusap kening, jangan sampai itu bayangan mengganggu kami. Angga menatapku aneh, tapi dia akhirnya mengangguk. "Bi Nay lihat sesuatu, ya, di sini?" tanya Angga pelan. Aku diam sejenak. Beberapa detik, aku menganggukkan kepala. Memang benar, yang aku lihat tadi bukan sembarang sesuatu yabg lewat. Ah, itu menyeramkan. "Lihat apa, Bi?""Ada bayangan hitam lewat, Ngga."Angga menatapku tidak percaya. "Serius, Bi? Di sini

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Penyimpan Misteri Kematian

    "Kamu dicariin Fahri sampai neleponin aku berkali-kali, Nay. Aku capek balesin dia.""Udah berapa kali aku bilang, gak usah diladenin. Susah dibilangin, sih."Aku meletakkan kotak makanan yang tadi diberikan Angga. Katanya, ini makanan lumayan enak. Kebetulan aku sedang lapar. "Kamu yang susah dibilangin. Gak ngerti lagi sama kamu, Nay."Pandanganku beralih ke Putri. Kenapa dia yang repot, sih? Lagian, Mas Fahri juga pakai reseh menghalangiku untuk membongkar semuanya. Dia seperti takut sesuatu. "Kamu juga kenapa ngeladenin Mas Fahri, Putri? Kan, nomor dia udah aku hapus, bahkan kartu kamu aku potong. Apa lagi biar ketenangan kamu terjaga?" tanyaku kesal. "Cukup soal Zifa, Nay. Kamu gak bakalan berhenti kalau terus kayak gini.""Apaan, sih? Kok jadi kamu ikutan ngelarang aku bahas Zifa?""Aku cuma mau kamu hidup tenang lagi. Tanpa gangguan apa pun. Selama kamu kenal sama Zifa, kamu sering diganggu, kan? Sering ngerasa melihat sesuatu aneh?"Aku diam sejenak. Memang benar kata Putr

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Orang Misterius yang Berpura-pura

    "Kita mau kemana sebenarnya?"Aku menoleh ke belakang. Menatap Putri yang terlihat penasaran. Ah, dia pasti sudah bisa menebak, kalau perjalanan kami kali ini masih ada hubungannya dengan kematian Zifa. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Zifa. Baik aku dan Angga sama-sama diam. Aku menghela napas pelan, memalingkan wajah. "Bi, coba lihat alamatnya.""Dari penunjuk jalan sih ke kanan, Ngga."Angga mengangguk. Harusnya, kami sudah sampai di alamat rumah yang dimaksud di buku harian milik Pia. Namun, tidak ada rumah sama sekali. Aku dan Angga berpandangan. Ini hanya lapangan saja. Masa kami harus bertanya pada rumput?"Tanya ke tetangga sana aja, kali, ya, Bi."Mobil menuju ke rumah yang cukup dekat dengan alamat ini. Aku sesekali melirik Putri. Kami keluar dari mobil. Tadi saat pertama kali masuk lokasi ini, asing sekali menurutku. Apalagi kami belum pernah masuk ke kawasan ini. Baik aku atau Angga. Entah Putri. "Maaf, Bu. Kami mau tanya alamat ini. Ibu tahu ada di mana?"Wanita p

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Orang Kepercayaan Pia dan Zifa

    "Ini orang yang mau kita temui, Bi?" bisik Angga. "Tidak usah bisik-bisik. Ayo masuk." Orang itu membuka pintu lebar-lebar. Bau badannya tercium sampai jarak berdiriku. Entah sudah berapa lama dia tidak mandi. Aku ragu-ragu menatap ke dalam rumah itu. Pantas saja tidak terawat rumah ini, yang menghuni saja tidak merawat tubuhnya sendiri. "Jangan malu-malu. Penampilan saya memang begini.""Gimana, Bi?" bisik Angga lagi. "Bibi juga gak tau." "Gak mau masuk?" Wajah orang itu terlihat sedih. Angga masih menatapku. Dia menunggu keputusanku. Ah, baiklah. Dari pada kami kehilangan kesempatan. Lagi pula, alamatnya benar. Biarkan saja konsekuensinya ditanggung nanti.Akhirnya, aku masuk duluan. Diikuti Angga dan Putri. "Terima kasih sudah mau bertamu."Pria ini harusnya tidak berpenampilan seperti orang gila. Dari nada bicaranya, dia terlihat seperti orang pintar. Entahlah. Aku belum bicara dengannya. Belum bisa menyimpulkan, dia benar-benar pintar atau tidak. "Saya tahu tujuan kali

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Bertemu Pia dan Zifa

    "Saya harap, kalian tidak terkejut dengan apa yang akan kalian saksikan nanti."Televisi kembali mati. Aku menatap Pakannya Zifa. Begitu juga dengan Angga. Kami penasaran sekali dengan apa yang terjadi. "Iya. Kami tidak akan terkejut. Tapi tayangkan saja dulu." Aku berusaha membujuknya. "Tidak bisa. Kalian pasti akan kaget nanti."Eh? Aku menatap Pamannya Pia. Apa maksudnya? "Berjanji dulu. Saya tidak akan menyalakannya, sebelum kalian berjanji. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah bertanya apa maksudnya."Angga menoleh ke aku. Meminta persetujuan. Baiklah. Aku menganggukkan kepala. Kalau itu untuk kebaikan semuanya, aku siap dengan risikonya. Lagi pula, kami sudah siap untuk menontonnya. Pria dengan rambut dan pakaian berantakan itu mengangguk. Aku sempat melihatnya melirik ke Putri, kemudian tersenyum miring. Ah, entahlah. Aku tidak mengerti maksudnya menatap Putri seperti itu. "Dalam hitungan ketiga, aku akan menyalakannya. Kalian hitung, ya."Kami menatap pria itu ane

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Orang dari Misteri Kematian Zifa

    "Sini. Kalian mau diam saja di sana?"Aku menelan ludah, sedikit tidak percaya dengan pandanganku di depan sana. Apakah benar itu adalah Zifa dan Pia?"Bi?" Angga meminta persetujuan dariku. "Kita pastiin." Aku menganggukkan kepala, mulai mendekat. Sebenarnya, aku juga tidak terlalu asing lagi, karena pernah bertemu dengan Pia dan Zifa saat mereka sudah meninggal—entah itu halusinasi atau nyata. Namun, Angga belum pernah. Maka nya dia sedikit takut. "Bi Nay." Mereka kompak menyapaku. "Hai, Pia. Zifa." Aku tersenyum, berusaha mengadaptasikan diri. "Bang Angga." Zifa tersenyum, dia menganggukkan kepala ke Angga. Jarak mereka tidak terlalu dekat padaku. Aku menghela napas pelan, bingung mau mengatakan apa. "Apa yang ingin Bi Nay dan Bang Angga tanyakan pada kami?" tanya Zifa pelan. Angga menoleh padaku. Dia seketika kehilangan kata-katanya. "Apa pun yang ingin ditanyakan, tanyakan saja pada mereka." Paman Pia akhirnya ikut bersuara, agar kami tidak kehilangan kesempatan. Beber

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Misteri Orang Tua Nara

    "K—kamu serius?" Aku menghentikan langkah. Sedikit tidak percaya dengan kabar ini. Benarkah Maa Fahri dan Putri otak dari semua masalah ini?Awalnya memang aku sudah menduga kalau mereka adalah otak dari semua masalah ini, tapi aku tidak menyangka, kalau itu semua benar. "Tidak mungkin aku mengatakannya, kalau tidak benar.""Tapi, tidak ada tanda-tanda kalau mereka yang melakukan itu semu—"Gadis itu tertawa, membuatku berhenti mengatakan kalimat tadi. "Memang benar. Tidak ada tanda-tanda dari mereka. Bahkan, mereka menyimpannya hebat sekali, tidak kelihatan oleh orang lain. Bi Nay menyangka tiga orang itu, bukan? Ah, ternyata otakmya adalah orang dekat Bi Nay sendiri."Remaja ini. Entah kenapa aku merasa dia pintar sekali. Aku menggelengkan kepala. Kami kembali melanjutkan langkah. "Kadang, orang yang dekat itu seperti musuh dalam selimut. Sulit dipercaya.""Bagaimana kamu bisa tahu semuanya?" tanyaku pelan. "Tidak usah dipikir juga, aku sudah tahu. Mereka orang jahat. Apalagi?"

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Aku Sebenarnya ....

    "Maaf, saya tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Ibu memeluk saya."Mamanya Nara masih saja memelukku. Sedangkan Nara, Pamannya Pia, dan Papanya Nara sudah duduk. Seolah tidak peduli dengan kejadian ini. Hanya Angga yang juga kelihatan kebingungan. Selama beberapa menit, Mamanya Nara masih memelukku, membuat sedikit risih. Aku tidak mengerti kenapa sampai di peluk seperti ini. "Nay, saya selalu menunggu kedatangan kamu. Tapi apa? Tidak pernah datang.""Maksudnya, Bu? Saya tidak kenal dengan Ibu, saya saja baru kenal Nara tadi. Kenapa seolah-olah Ibu mengenal saya sudah lama?""Kamu belum tahu semuanya?"Mama Nara melepaskan pelukan, membuatku menghela napas lega. "Kamu ini gimana, sih, Nara. Sudah Mama bilang, kamu harusnya kasih tahu sejak dulu."Nara mengangkat bahu. "Kenapa tidak Mama saja? Kenapa harus Nara? Selalu Nara."Apa, sih? Sungguh, aku tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa seperti drama?"Dari pada kalian berdebat, lebih baik kasih tahu saja. Kasihan, kebingungan." Pama

Bab terbaru

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Akhir (TAMAT)

    Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Masalah Apa?

    "Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berjuang Bersama

    Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Perkelahian Tak Bisa Dihindari

    "Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Didatangi Tamu Tak Diundang

    "Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berubah Arah

    "Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Menumpas Kejahatan

    "Tapi kelamaan gak, sih? Kita harus kesana dulu.""Gak masalah. Di rumah ini ada mobil lagi, gak?" tanya Nara sambil mengusap kening. "Ada kayaknya. Ayo."Sejenak aku baru sadar. Kami berubah menjadi sesuatu yang hebat. Ini sepertinya akan menjadi film action. Kami masuk ke dalam mobil, setelah aku mengunci rumah. Juga menguncinya dengan kalungku. Nara yang mengendarai mobil. Kami bersemangat sekali untuk memburu Putri. Aku menghubungi Mama. Terdengar nada dering. Beberapa detik, telepon diangkat. "Halo, kenapa nelepon malam-malam, Nay?" "Si Putri ada di rumah, kan, Ma? Nay lagi perjalanan ke sana.""Eh? Kalian udah mulai Sekarang?" tanya Mama penasaran. Sepertinya, Mama langsung beranjak. "Iya. Mungkin satu jam kami sampai, Ma. Mama harus nahan Putri di sana.""Siap. Kalian hati-hati."Nara mengatupkan rahang. "Pegangan, Nay."Sepupuku itu menginjak gas dalam-dalam. Kami seperti terbang. Aku menelan ludah, sebenarnya tidak seberani ini. Selama perjalanan, kami hanya diam. Aku

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Tindakan

    "Coba masukin kata sandinya, Nay."Aku mengangguk, buru-buru menyalakan ponsel. Sayangnya, ponselku mati. Tidak mau menyala."Udah?" tanya Nara penasaran. "Pegang kotaknya dulu, Ra. Ponselku gak bisa dibuka."Nara menerima kotak yang aku sodorkan. Buru-buru aku menyalakan ponsel. Sampai sepuluh menit, tidak bisa menyala juga. "Tadi baterainya masih penuh. Aku ingat banget. Kenapa gak bisa dinyalain, ya?""Coba ingat-ingat."Sementara aku mengingat kata sandi ponsel, Nara memperhatikan sekitar. "Gak bisa ingat. Aduh, gimana, dong."Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekali sekarang. Bagaimana kalau kotak itu tidak bisa dibuka?Aku menatap Nara. Bagaimana caranya?"Coba pegang ponsel kamu, terus tutup mata kamu, Nay."Dengan kening mengernyit, aku menoleh ke Nara. Apa hubungannya? Kenapa dia jadi tidak jelas seperti ini. "Cepetan, lakuin aja.""Terus ngapain?" tanyaku setelah memejamkan mata dan memegang ponsel erat-erat. "Tarik napas, hembuskan

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Barang Misterius

    "Tempat tinggal kamu di mana, Nia? Kayaknya gak pernah keliatan."Nia menyebutkan nama tempat yang cukup aku kenal, karena pernah kesana. Sepupuku ini keren. Sepertinya, dia bisa berpikir dengan pintar. Mas Fahri melirikku sejak tadi. Dia sepertinya merasa curiga atau bagaimana aku tidak tahu. Kami diam saja sejak tadi. Aku memainkan ponsel, sesekali melirik Mas Fahri yang sibuk menyetir. Flash dis sudah kami kembalikan ke tempat semula. Setidaknya, tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Aku membenarkan posisi duduk. Sebentar lagi kami sampai. Terdengar dering ponsel. Milik Mas Fahri. Aku meliriknya. "Aku lihat, ya, Mas. Siapa yang nelepon.""Iya." Dia berkata pelan, jalanan cukup ramai. "Ms. X." Ragu-ragu aku menyebutkannya. Sekilas, bisa aku lihat Mas Fahri menegang. "Gak usah diangkat. Sini ponselnya."Sebelum aku memberikan ponsel ke Mas Fahri, aku menggeser tombol berwarna hijau. "Dengan Yang Mulia Fahri?" "Yah, kepencet, Mas."Mas Fahri sampai menghentikan mobilny

DMCA.com Protection Status