"Ini orang yang mau kita temui, Bi?" bisik Angga. "Tidak usah bisik-bisik. Ayo masuk." Orang itu membuka pintu lebar-lebar. Bau badannya tercium sampai jarak berdiriku. Entah sudah berapa lama dia tidak mandi. Aku ragu-ragu menatap ke dalam rumah itu. Pantas saja tidak terawat rumah ini, yang menghuni saja tidak merawat tubuhnya sendiri. "Jangan malu-malu. Penampilan saya memang begini.""Gimana, Bi?" bisik Angga lagi. "Bibi juga gak tau." "Gak mau masuk?" Wajah orang itu terlihat sedih. Angga masih menatapku. Dia menunggu keputusanku. Ah, baiklah. Dari pada kami kehilangan kesempatan. Lagi pula, alamatnya benar. Biarkan saja konsekuensinya ditanggung nanti.Akhirnya, aku masuk duluan. Diikuti Angga dan Putri. "Terima kasih sudah mau bertamu."Pria ini harusnya tidak berpenampilan seperti orang gila. Dari nada bicaranya, dia terlihat seperti orang pintar. Entahlah. Aku belum bicara dengannya. Belum bisa menyimpulkan, dia benar-benar pintar atau tidak. "Saya tahu tujuan kali
"Saya harap, kalian tidak terkejut dengan apa yang akan kalian saksikan nanti."Televisi kembali mati. Aku menatap Pakannya Zifa. Begitu juga dengan Angga. Kami penasaran sekali dengan apa yang terjadi. "Iya. Kami tidak akan terkejut. Tapi tayangkan saja dulu." Aku berusaha membujuknya. "Tidak bisa. Kalian pasti akan kaget nanti."Eh? Aku menatap Pamannya Pia. Apa maksudnya? "Berjanji dulu. Saya tidak akan menyalakannya, sebelum kalian berjanji. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah bertanya apa maksudnya."Angga menoleh ke aku. Meminta persetujuan. Baiklah. Aku menganggukkan kepala. Kalau itu untuk kebaikan semuanya, aku siap dengan risikonya. Lagi pula, kami sudah siap untuk menontonnya. Pria dengan rambut dan pakaian berantakan itu mengangguk. Aku sempat melihatnya melirik ke Putri, kemudian tersenyum miring. Ah, entahlah. Aku tidak mengerti maksudnya menatap Putri seperti itu. "Dalam hitungan ketiga, aku akan menyalakannya. Kalian hitung, ya."Kami menatap pria itu ane
"Sini. Kalian mau diam saja di sana?"Aku menelan ludah, sedikit tidak percaya dengan pandanganku di depan sana. Apakah benar itu adalah Zifa dan Pia?"Bi?" Angga meminta persetujuan dariku. "Kita pastiin." Aku menganggukkan kepala, mulai mendekat. Sebenarnya, aku juga tidak terlalu asing lagi, karena pernah bertemu dengan Pia dan Zifa saat mereka sudah meninggal—entah itu halusinasi atau nyata. Namun, Angga belum pernah. Maka nya dia sedikit takut. "Bi Nay." Mereka kompak menyapaku. "Hai, Pia. Zifa." Aku tersenyum, berusaha mengadaptasikan diri. "Bang Angga." Zifa tersenyum, dia menganggukkan kepala ke Angga. Jarak mereka tidak terlalu dekat padaku. Aku menghela napas pelan, bingung mau mengatakan apa. "Apa yang ingin Bi Nay dan Bang Angga tanyakan pada kami?" tanya Zifa pelan. Angga menoleh padaku. Dia seketika kehilangan kata-katanya. "Apa pun yang ingin ditanyakan, tanyakan saja pada mereka." Paman Pia akhirnya ikut bersuara, agar kami tidak kehilangan kesempatan. Beber
"K—kamu serius?" Aku menghentikan langkah. Sedikit tidak percaya dengan kabar ini. Benarkah Maa Fahri dan Putri otak dari semua masalah ini?Awalnya memang aku sudah menduga kalau mereka adalah otak dari semua masalah ini, tapi aku tidak menyangka, kalau itu semua benar. "Tidak mungkin aku mengatakannya, kalau tidak benar.""Tapi, tidak ada tanda-tanda kalau mereka yang melakukan itu semu—"Gadis itu tertawa, membuatku berhenti mengatakan kalimat tadi. "Memang benar. Tidak ada tanda-tanda dari mereka. Bahkan, mereka menyimpannya hebat sekali, tidak kelihatan oleh orang lain. Bi Nay menyangka tiga orang itu, bukan? Ah, ternyata otakmya adalah orang dekat Bi Nay sendiri."Remaja ini. Entah kenapa aku merasa dia pintar sekali. Aku menggelengkan kepala. Kami kembali melanjutkan langkah. "Kadang, orang yang dekat itu seperti musuh dalam selimut. Sulit dipercaya.""Bagaimana kamu bisa tahu semuanya?" tanyaku pelan. "Tidak usah dipikir juga, aku sudah tahu. Mereka orang jahat. Apalagi?"
"Maaf, saya tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Ibu memeluk saya."Mamanya Nara masih saja memelukku. Sedangkan Nara, Pamannya Pia, dan Papanya Nara sudah duduk. Seolah tidak peduli dengan kejadian ini. Hanya Angga yang juga kelihatan kebingungan. Selama beberapa menit, Mamanya Nara masih memelukku, membuat sedikit risih. Aku tidak mengerti kenapa sampai di peluk seperti ini. "Nay, saya selalu menunggu kedatangan kamu. Tapi apa? Tidak pernah datang.""Maksudnya, Bu? Saya tidak kenal dengan Ibu, saya saja baru kenal Nara tadi. Kenapa seolah-olah Ibu mengenal saya sudah lama?""Kamu belum tahu semuanya?"Mama Nara melepaskan pelukan, membuatku menghela napas lega. "Kamu ini gimana, sih, Nara. Sudah Mama bilang, kamu harusnya kasih tahu sejak dulu."Nara mengangkat bahu. "Kenapa tidak Mama saja? Kenapa harus Nara? Selalu Nara."Apa, sih? Sungguh, aku tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa seperti drama?"Dari pada kalian berdebat, lebih baik kasih tahu saja. Kasihan, kebingungan." Pama
"Tapi mereka—""Tidak ada tapi-tapian lagi, Nay. Kamu mau terus-terusan bingung dengan semua ini? Waktunya melepaskan diri."Aku menelan ludah. Nara berdiri, dia sepertinya tidak mau berbicara denganku lagi. "Sekarang, semuanya terserah padamu. Aku akan membantumu, kalau kamu mengizinkan, tapi kalau tidak, buat apa? Tidak ada gunanya."Baiklah, aku akhirnya menganggukkan kepala, setelah melihat foto itu kembali. "Kamu mau membantuku, Nara? Bimbing aku sampai semuanya selesai."Nara berbalik. Dia menatapku sedikit tidak percaya. Biarkan semuanya bekerja dengan sendirinya. Aku akan melakukan semua yang ada di diriku. Kemampuanku. "Serius? Tadi gak mau.""Ini serius sekali. Kalau benar apa yang kamu katakan, aku tidak akan pernah memaafkan mereka. Meskipun mereka sering sekali membantuku."Astaga, sebenarnya aku masih tidak percaya dengan semua fakta ini. Ah, sulit sekali mempercayainya. Namun, entah kenapa sebagian besar diriku mempercayai Nara. Juga fakta yang menjurus ke Mas Fahr
Tuan putri Nay? Siapa yang dipanggilnya begitu?"Cepetan masuk, Nay. Kelamaan banget nunggu di sini." Nara mendorong punggungku pelan, menyuruh masukKami sudah berdiri di depan gerbang. Ternyata, mobil itu tidak boleh masuk. Nara saja santai sekali turun dari mobil. Menghampiri penjaga yang langsung memasang kuda-kuda. Namun, ketika melihatku ikut turun, mereka terlihat santai sekali. Justru wajah mereka berubah jadi santai. "Boleh kami masuk?" tanyaku pelan, berusaha bernada sopan di sini. "Tentu saja Tuan Putri. Biar dua penjaga yang mengawal.""Nah, cepetan, Nay. Panas di sini. Diam aja terus." Nara mendesakku sejak tadi, membuat kesal saja. Baiklah. Aku melangkahkan kaki masuk ke gerbang rumah atau istana atau entahlah di sebut apa. Nara, Angga, dan Pamannya Pia berjalan di belakangku. Juga dua pengawal yang katanya membantu kami masuk nanti. Aku menganga. Ini benar-benar besar. Dari jauh terlihat besar, tapi saat dekat, lebih besar lagi. "Wow. Keren." Angga menepukkan tan
"Kita pulang dulu, Ayah, Bunda."Aku menyalami kedua orang tua yang baru saja bertemu denganku tadi. Rasanya, singkat sekali. Namun, aku juga harus pergi sekarang. Kami tidak bisa terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus diurus. "Hati-hati, Sayang. Banyak sekali yang mengincar putri Bunda ini." Bunda mengusap rambutku. "Nara tolong jagain Nay, ya. Dimana pun, kamu akan ikut dengannya, kan?" "Iya, Ratu. Nara ikut dengan Nay nanti. Membantunya."Bunda tersenyum padaku. Dia mengusap kepalaku. "Kamu tenang aja. Nanti bakalan ada pengawal yang tidak kelihatan membantu kamu. Akan selalu ada pertolongan untuk anak Bunda.""Makasih, Bunda." Aku tersenyum, memeluk Bunda sekali lagi. Setelah Bunda, aku beralih ke Ayah. Dia tersenyum, terlihat bangga melihatku. "Akhirnya, setelah berpuluh-puluh tahun berpisah, kita ketemu juga, Nak. Tapi harus kembali berpisah hanya dalam pertemuan singkat."Aku menundukkan kepala. Fakta itu memang benar. Ah, aku jadi merasa bersalah sekarang. "Ini
Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu
"Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali
Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami
"Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa
"Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung
"Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di
"Tapi kelamaan gak, sih? Kita harus kesana dulu.""Gak masalah. Di rumah ini ada mobil lagi, gak?" tanya Nara sambil mengusap kening. "Ada kayaknya. Ayo."Sejenak aku baru sadar. Kami berubah menjadi sesuatu yang hebat. Ini sepertinya akan menjadi film action. Kami masuk ke dalam mobil, setelah aku mengunci rumah. Juga menguncinya dengan kalungku. Nara yang mengendarai mobil. Kami bersemangat sekali untuk memburu Putri. Aku menghubungi Mama. Terdengar nada dering. Beberapa detik, telepon diangkat. "Halo, kenapa nelepon malam-malam, Nay?" "Si Putri ada di rumah, kan, Ma? Nay lagi perjalanan ke sana.""Eh? Kalian udah mulai Sekarang?" tanya Mama penasaran. Sepertinya, Mama langsung beranjak. "Iya. Mungkin satu jam kami sampai, Ma. Mama harus nahan Putri di sana.""Siap. Kalian hati-hati."Nara mengatupkan rahang. "Pegangan, Nay."Sepupuku itu menginjak gas dalam-dalam. Kami seperti terbang. Aku menelan ludah, sebenarnya tidak seberani ini. Selama perjalanan, kami hanya diam. Aku
"Coba masukin kata sandinya, Nay."Aku mengangguk, buru-buru menyalakan ponsel. Sayangnya, ponselku mati. Tidak mau menyala."Udah?" tanya Nara penasaran. "Pegang kotaknya dulu, Ra. Ponselku gak bisa dibuka."Nara menerima kotak yang aku sodorkan. Buru-buru aku menyalakan ponsel. Sampai sepuluh menit, tidak bisa menyala juga. "Tadi baterainya masih penuh. Aku ingat banget. Kenapa gak bisa dinyalain, ya?""Coba ingat-ingat."Sementara aku mengingat kata sandi ponsel, Nara memperhatikan sekitar. "Gak bisa ingat. Aduh, gimana, dong."Kami sama-sama diam beberapa saat. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekali sekarang. Bagaimana kalau kotak itu tidak bisa dibuka?Aku menatap Nara. Bagaimana caranya?"Coba pegang ponsel kamu, terus tutup mata kamu, Nay."Dengan kening mengernyit, aku menoleh ke Nara. Apa hubungannya? Kenapa dia jadi tidak jelas seperti ini. "Cepetan, lakuin aja.""Terus ngapain?" tanyaku setelah memejamkan mata dan memegang ponsel erat-erat. "Tarik napas, hembuskan
"Tempat tinggal kamu di mana, Nia? Kayaknya gak pernah keliatan."Nia menyebutkan nama tempat yang cukup aku kenal, karena pernah kesana. Sepupuku ini keren. Sepertinya, dia bisa berpikir dengan pintar. Mas Fahri melirikku sejak tadi. Dia sepertinya merasa curiga atau bagaimana aku tidak tahu. Kami diam saja sejak tadi. Aku memainkan ponsel, sesekali melirik Mas Fahri yang sibuk menyetir. Flash dis sudah kami kembalikan ke tempat semula. Setidaknya, tidak ada yang mencurigakan untuk saat ini. Aku membenarkan posisi duduk. Sebentar lagi kami sampai. Terdengar dering ponsel. Milik Mas Fahri. Aku meliriknya. "Aku lihat, ya, Mas. Siapa yang nelepon.""Iya." Dia berkata pelan, jalanan cukup ramai. "Ms. X." Ragu-ragu aku menyebutkannya. Sekilas, bisa aku lihat Mas Fahri menegang. "Gak usah diangkat. Sini ponselnya."Sebelum aku memberikan ponsel ke Mas Fahri, aku menggeser tombol berwarna hijau. "Dengan Yang Mulia Fahri?" "Yah, kepencet, Mas."Mas Fahri sampai menghentikan mobilny