Erick dan Nana kembali ke rumah pertanian saat hari baru saja menggelap. Bibi Rosa menyambut mereka dan segera membawa semua bahan-bahan makanan yang dibeli Nana dan berjanji akan memasakkan hidangan yang lezat untuk makan malam nanti.Wanita itu meminta Nana untuk beristirahat, saat Nana memaksa untuk membantunya memasak. Menuruti permintaannya, Nanapun beristirahat di salah satu rumah peristirahatan yang ada di pertanian, terpisah dari bangunan utama."Istirahatlah, kau pasti lelah hari ini." Erick membelai rambutnya dan membiarkannya memeluk dirinya erat-erat saat mereka berduaan di rumah peristirahatan.Nana hanya mengangguk namun enggan melepaskan pelukannya. Erick tertawa dan membawanya ke tempat tidur. Terkadang Nana bertingkah kekanakan tetapi tidak membuatnya menjengkelkan. Hanya sesekali saja dia bersikap demikian."Abang, aku mau mandi dulu." Keluhnya sambil menguap.Memang benar, setelah seharian berkeliaran di kota, Nana merasakan lelah sekaligus mengantuk sekarang ini. R
Nana menggenggam cangkir berisi coklat panasnya. Duduk di depan jendela kamarnya, menatap perkebunan anggur di pagi hari yang masih basah oleh embun, membuatnya merasa damai.Meski ada beberapa hal yang menganggu pikirannya, dia tidak ingin menyia-nyiakan perjalanannya menyusul kucing garong ke Jerez. Setidaknya dia ingin menikmati kebersamaan dengan Erick walau hanya sebentar."Nana, ayo kita sarapan di teras." Bibi Rossa memanggilnya.Nana menghabiskan coklat panasnya, dan bergegas menuju teras samping rumah peristirahatan. Di rumah mungil yang terpisah dari bangunan utama inilah dia tinggal selama beberapa hari ini.Sebuah rumah mungil yang hanya terdiri dari sebuah kamar, ruang keluarga dan dapur. Sungguh sangat cocok untuk wisatawan seperti dirinya. Rasanya lebih memuaskan menginap di tempat seperti ini dibandingkan di sebuah hotel mewah.Di sini dia seperti tengah berada di tengah keluarganya sendiri. Keramahan Bibi Rossa dan Om Andi serta keakrabannya dengan Nino mengingatkanny
"Abang, besok aku harus ke Dubai menjemput Mami." Nana menatap Erick yang tengah menuangkan Sangria ke dalam gelas yang berisi potongan apel, jeruk dan anggur.Mereka telah kembali ke rumah peristirahatan setelah sesiangan berkeliling perkebunan. Kini mereka duduk berdua di teras kamar sembari menikmati suasana menjelang sore yang mulai redup."Perlu Abang antar?" Erick memberikan satu gelas Sangria untuknya."Abang masih banyak pekerjaan bukan? Aku rasa tidak perlu, tapi aku berharap Abang cepat kembali ke Indonesia." Nana menatapnya penuh harap sembari menyesap cocktail khas Spanyol yang menyegarkan itu."Memang masih banyak yang harus Abang kerjakan di sini. Bersabarlah, Abang pasti kembali ke Indonesia dan menyelesaikan semua urusan di sana." Erick mengambil gelas berisi Sangria miliknya dan menyentuhkannya ke gelas milik Nana."Sangria, cocktail yang cantik dan lezat." Nana tersenyum menatap gelas yang diputarnya pelan."Berasal dari kata sangre yang berarti darah, karena warnany
Tania melirik villa yang baru saja dilewatinya melalui kaca spion di atas dashboard mobilnya. Meski sudah bertekad untuk tidak lagi mempedulikan tetangga sebelah, tak urung selalu saja ada rasa penasaran menggelitik hatinya.Nana, janda cantik dengan kucing-kucingnya itu selalu membuatnya merasakan sebuah perasaan terintimidasi yang sulit untuk diungkapkannya. Faktanya, dia mengakui tidak ada sesuatu yang diperbuat tetangga sebelah rumahnya itu yang menganggu dirinya.Mereka berduapun jarang berinteraksi. Akhir-akhir ini villanya kembali sepi. Tania hanya ingin tahu, masihkah dia di Jerez? Tempat yang sama di mana suaminya kini berada.Setelah pembicaraan mereka beberapa malam lalu, Tania menyadari pupus sudah harapannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Erick. Saat ini dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya selain menunggu pria itu kembali ke Indonesia.Tania tersenyum getir, melirik villa sekali lagi dan kemudian berkonsentrasi mengemudikan mobilnya. Sepanjang perjalanan, dia
Nana menyesap kopinya sembari menikmati pemandangan menjelang malam kota Denpasar. Beberapa hari di Jerez membuatnya rindu kopi racikan Mas Gimbal, salah satu baristanya yang jago meracik kopi enak dan nikmat."Gelang baru cin?" Eci menatap gelangnya dan mengerling menggodanya."Ah, dirimu tahu saja kalau ada yang berkilau dan baru." Mbak Linda menepuk lengan pria cantik."Pasti dong. Nana beli di mana ini?" Eci bertanya dengan gaya kemayu khasnya."Oleh-oleh dari teman." Nana tersenyum dan menatap gelang gioknya.Erick memberikan gelang itu saat malam terakhir bersamanya di Jerez. Bersama beberapa perhiasan rambut dan kalung. Semua itu yang menjadi pilihannya di toko perhiasan favoritnya di Singapura waktu itu."Cantik, cocok dengan kulitmu." Eci berkomentar dan mengambil smartphone-nya, mengambil foto Nana tapi berfokus pada gelangnya.Pria cantik itu memiliki akun media sosial yang berisikan konten-konten bertema fashion dan segala pernak-perniknya. Dia sendiri saat ini tengah meri
Nana dan Tania cukup lama berdiam diri, sama-sama canggung dan tidak tahu harus mulai dari mana untuk membuka obrolan."Mbak, saya minta maaf ya pernah melukai Omil." Tania terlebih dahulu membuka obrolan dengan permintaan maafnya."Iya mbak. Saya tahu kok kalau ada banyak orang yang tidak menyukai kucing terutama dengan alasan kesehatan." Nana menyahut datar ucapan Tania."Iya, begitulah mbak." Tania mengiyakan ucapan Nana dengan canggung.Meski sejujurnya alasannya bertindak kasar terhadap Omil karena kecemburuannya pada binatang berbulu itu yang selalu mendapat perhatian dari sang putra, Alvin. Alasan yang di kemudian hari disebut konyol oleh sang adik.Bahkan jika Tania bersikap jujur, waktu itu dirinyapun tidak memiliki kecemburuan berlebihan pada Nana. Dia masih memiliki rasa percaya diri yang tinggi atas kehadiran orang ketiga, siapapun dia di dalam rumah tangganya.Tania melirik Nana yang tengah berkonsentrasi mengemudikan kendaraan. Wanita cantik inilah yang melunturkan rasa
Nana tertegun saat membuka pintu gerbang dan hendak mengeluarkan mobilnya. Sebuah mobil, sepertinya taxi online, karena tidak pernah dilihatnya sebelumnya berkeliaran di sekitar komplek.Berhenti di depan villa sebelah. Sesosok yang tidak asing baginya keluar dari mobil dan tersenyum padanya, melambaikan tangan dengan santai."Mpus," gumamnya lirih dan hampir saja berteriak memanggilnya."Selamat pagi Bu Nana!" Sapanya dengan riang."Pagi Pak Erick." Nana menyahut dengan kikuk."Saya masuk dulu ya." Erick tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya."I iya pak." Nana tersenyum kecut sembari melambaikan tangannya."Aih, drama apa pula si kucing garong ini? Eh kok dia pulang tanpa memberi kabar? Hah, kamvret memang si kucing garong." Nana merutuk dalam hati.Dia bergegas mengeluarkan mobilnya dan menutup kembali pintu gerbang. Mbak Siti masih belum datang, karena dia mengambil raport Diva dan adiknya terlebih dahulu. Jadilah pagi ini Nana beraktivitas seorang diri tanpa ditemani as
Tania duduk menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap ibu mertuanya yang duduk di hadapannya dan menatapnya dengan rumit."Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa masalah sepele menjadi bertele-tele, Tania?" Sang ibu mertua bertanya dengan hati-hati."Saya tidak tahu mi. Saya pikir ini hanya masalah kecil, namun Erick rupanya menganggap ini penting sekali." Tania mulai terisak."Sudah jangan menangis. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Mami mertuanya masih menatapnya."Tania, sebenarnya kalau mami simpulkan, ini adalah tumpukan berbagai masalah yang tidak pernah kalian selesaikan." Lanjutnya dengan pelan."Maksud mami?" Tania mendongakkan kepala menatap ibu mertuanya."Setiap ada masalah kalian tidak segera menyelesaikannya. Membiarkannya mengendap dan terlupakan. Sekilas rumah tangga kalian baik-baik saja, namun di titik tertentu, tumpukan masalah itu menjadi bom waktu." Mami berbicara cukup panjang menjelaskan maksudnya tadi."Tania, bagi lelaki kepuasan di atas tempat tidur itu s