“Aku nggak mungkin menceraikan Silvi karena dia sedang hamil!” bantah Rendra tidak setuju.“Kalau begitu ceraikan aku saja,” tantang Leandra. “Dari awal, kamu sendiri yang memutuskan untuk menikah lagi diam-diam kan?”Rendra mematung seketika.“Aku nggak mau cerai,” tolaknya tegas. “Apa perlu aku yang gugat cerai kamu?”“Nggak akan ada perceraian di antara kita!” tegas Rendra. “Ini cuma situasi sulit yang sifatnya sementara saja, nanti kalau keadaan sudah membaik, aku akan tambahkan lagi uang bulanan kamu. Suami sedang dalam kondisi susah, jadi sudah sepantasnya kalau kamu tetap setia mendampingi aku—bukannya malah menggugat cerai seperti ini.”Leandra berdiri dari posisinya. Melihat Rendra yang semakin hari semakin pandai bersilat lidah, dia pun terpancing untuk berkomentar.“Kondisi susah, kamu bilang?” tanya Leandra dengan mata menyipit. “Kondisi kita seperti ini kan karena ulah kamu sendiri, mas! Jangan bilang seolah-olah aku ini yang nggak setia menemani kamu dalam kondis
“Itu nanti kamu bersih-bersih seperti asisten rumah tangga, bagaimana?” Tian menjelaskan inti pekerjaan yang harus Leandra lakukan ketika sudah berada di dalam mobil yang melaju.“Tidak masalah, Pak.” Leandra mengangguk. “Tapi apa itu berarti saya harus berhenti dari kantor Bapak?” Tian berpikir sebentar.“Kalau kamu mau sedikit repot, tidak masalah seandainya kamu mampir ke rumah setelah bersih-bersih kantor.” Dia mengusulkan. “Seperti yang saya bilang sebelumnya kalau di kantor itu tidak ada pekerjaan, untuk sekadar bersih-bersih ada Bu Dini yang bisa melakukannya kalau cuma menyapu lantai.”Leandra terdiam, sedikit merasa malu.“Maaf ya, Pak? Gara-gara saya, beban pengeluaran di perusahaan Bapak jadi membengkak?”“Tidak masalah,” sahut Tian sembari terus mengemudi ke arah rumah orang tuanya.Selama mobil melaju, Leandra segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Rendra supaya tidak perlu menjemputnya.“Itu rumah yang harus kamu rawat selama tidak ada penghuniny
Leandra mengangguk mengerti dan menyahut, “Semoga keadaan segera pulih seperti semula ya, Yah?”“Terima kasih,” angguk Irawan, sementara Widi melipat bibirnya rapat-rapat seakan menahan diri untuk tidak berbicara di luar kendalinya.Pantas kalau keuangan Mas Rendra ikut bermasalah, pikir Leandra ketika dia akan berangkat kerja. Bahkan ayah mertuanya sendiri mengakui kalau perusahaan mereka sedang tidak baik-baik saja.Kalau begitu aku harus lebih rajin kerja, tekat Leandra dalam hati. Andai saja ibu mertua tidak memaksa Rendra untuk menikah lagi, tentu dia akan dengan senang hati membantu perekonomian suaminya meskipun sedikit saja.Namun, karena pengkhianatan yang disengaja itu sudah telanjur terjadi, Leandra tidak akan mau repot-repot membagi uangnya sedikit pun.Sebelum Leandra tiba, Tian sudah lebih dulu muncul di kediaman orang tuanya. Seperti yang dia perkirakan sebelumnya, hasil kerja Leandra tidak pernah mengecewakan.“Pak Tian, pembantu yang kemarin datang ...”Tian me
Leandra duduk di samping Silvi sementara Rendra berada jauh di sana seakan untuk mengaburkan fakta bahwa mereka adalah pasangan suami istri.“Mau tambah lagi, Mas?” tanya Silvi, dengan sigap dia memegang centong dan bersiap menyendokkan nasi. “Biar aku ambilkan.”“Sudah cukup,” jawab Rendra sambil mengangguk.Melihat Leandra yang hanya terdiam, Silvi segera menawarinya. “Mbak Lea mau makan apa? Udang atau sop?” “Apa saja, nanti aku akan ambil sendiri.” Leandra menyahut datar, dia tidak bisa pura-pura. Dia benci situasi seperti ini.“Semuanya juga tidak apa-apa, Mbak.” Silvi tersenyum. “Ibu sama Ayah juga, silakan dicicipi ... masakan asisten Ibu cocok sama aku.”Widi mengangguk-angguk setuju.“Ibu memang sengaja suruh untuk masak sesuai citarasa ibu hamil,” katanya antusias. “Lidah ibu hamil kan sensitif sama rasa dan bau, jadi harus pintar-pintar meracik bumbunya ... Tahu sendiri kan ibu hamil itu bagaimana rasanya?”“Betul, Bu. Ini pertama kalinya aku hamil dan memang anuge
Setelah paket berada di tangan, Widi langsung masuk tanpa mengucapkan terima kasih kepada Leandra.Begitu tiba di kamar utama, Leandra baru sadar kalau dia telah menyerahkan satu-satunya persediaan uang tunai yang ada di dompetnya.“Besok aku makan apa?” pikir Leandra karena meski tidak sebanyak Silvi, dia tetap membantu memenuhi kebutuhan rumah, terutama dapur.Semua itu Leandra lakukan disebabkan dia merasa tahu diri bahwa selama ini kedua mertuanya itulah yang memenuhi hampir seluruh kebutuhan rumah tangganya termasuk listrik, air, dan bahan makanan. Jadi bisa dikatakan bahwa Rendra belum sepenuhnya mandiri selama tinggal di rumah orang tua kandungnya, karena itu sudah sepantasnya Leandra merasa kalau dia hanya hidup menumpang.“Mas, kita ngontrak rumah saja yuk?” ajak Leandra setelah memikirkannya matang-matang. “Biar ayah sama ibu tidak terlalu banyak pengeluaran, selain itu kita bisa bantu mereka sedikit-sedikit ....”“Lea, kamu sadar nggak sih kalau itu justru makin mena
Rendra memasuki kamar utama dengan wajah sekusut benang, Leandra tahu apa sebabnya dan tidak melontarkan pertanyaan apa pun.“Bisa-bisanya ibu ...” keluh Rendra sambil menjatuhkan dirinya di sofa. “Bisa betul-betul bangkrut kalau begini ....”Leandra tahu ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa di atas penderitaan keluarga suaminya, tapi kalau dipikir-pikir lagi bukankah masalah demi masalah mulai bermunculan sejak pernikahan kedua Rendra diketahui olehnya?Bohong besar jika Leandra tidak sakit hati saat tahu kalau suaminya telah menikah dengan perempuan lain. Namun, untuk langsung pergi meninggalkannya juga dia belum merasa mampu.“Ibu kenapa, Mas?” tanya Leandra sekadar untuk respons. “Itu ... ibu ikut investasi atau arisan—persisnya aku lupa, pikiranku pusing ... yang jelas intinya itu Cuma tipu-tipu dan uang melayang ...” Rendra bercerita dengan wajah gusar. “Padahal uang itu dipersiapkan ayah untuk kebutuhan perusahaan, gaji pegawai minimarket, gajiku, buat kamu sama Sil
Mata Leandra membuka sedikit, tampak seorang pria yang duduk tidak jauh dari hadapannya sedang sibuk merobek-robek tumpukan kertas di atas meja.Pria itu hanya mengenakan kemeja putih dengan dasi hitam menjulur melewati dadanya, aura kepemimpinan terpancar dari wajahnya.Seakan menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak mudah diatur-atur oleh orang sekitar.Bukankah itu Pak Tian, batin Leandra sambil bergerak sedikit. “Maaf, Pak ...” lirih Leandra berkata. “Saya ketiduran ... maaf, Bapak boleh potong gaji—tapi jangan banyak-banyak ....”Tian menghentikan gerakan tangannya dan menyipitkan mata ke arah Leandra.“Barangkali kamu butuh cuti?” tanya Tian tanpa basa-basi. “Saya tidak keberatan untuk memberikannya ke kamu meski cuma satu hari.”Leandra perlahan menegakkan diri, agak malu jika dia berbicara dengan bosnya dalam kondisi belum sepenuhnya sadar seperti itu.“Tidak usah, Pak. Terima kasih,” geleng Leandra perlahan. “Saya harus tetap kerja setiap hari ....” Dia teringat dengan
Rendra terdiam ketika masuk kantor dan melihat sepucuk undangan yang tergeletak di atas meja kerjanya.“Jangan lupa acara kantor minggu depan,” kata ayahnya mengingatkan. “Ajak istri kamu juga, undangannya ada di meja kamu.”Rendra mengangguk.“Keuangan perusahaan kita bagaimana, Yah?” “Sedikit demi sedikit kita perbaiki, Ren.” Irawan menyahut. “Tidak ada cara lain kecuali bertahan, karena ini adalah satu-satunya sumber pendapatan kita.”Rendra menarik napas, untung istri-istrinya masih bisa diandalkan. Ada sisi baiknya juga, batin pria itu.Setibanya di rumah, ternyata Leandra belum pulang dan Rendra langsung pergi mandi untuk melepaskan kepenatan yang sedari tadi menjangkiti tubuhnya.Selesai mandi dan berpakaian, Rendra meraih ponselnya dan berniat untuk menelepon istrinya sekaligus menceritakan tentang acara kantor yang harus dia ikuti beberapa hari lagi.Namun tatapan mata Rendra tertuju kepada status yang dibuat oleh salah seorang temannya yang baru dikaruniai anak ke
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa