Leandra oleng dengan mata terpejam rapat. “Maaf, Pak! Kok gelap, ya?” ucapnya dengan tangan meraba-raba ke sekitarnya. “Gelap?” Tian mengerutkan keningnya, dia berjongkok di depan Leandra yang masih terpejam. “Coba kamu buka mata kamu, terang begini kok ....” Leandra mengintip sedikit. “Rasanya ada bayangan gelap yang berputar ...” katanya perlahan. “Sebentar, Pak ... Saya numpang di sini sebentar ....” Tian mengamati Leandra yang tidak seperti biasanya. “Kamu sakit?” tanya Tian heran. “Jangan-jangan ....” Tian menghentikan ucapannya sembari mengingat momen di mana dia melihat suami Leandra melintas di depan mobilnya saat berhenti di lampu merah. “Semalam saat tidak tidur, Pak ...” jawab Leandra asal nyeplos, dia tidak bisa berpikir lagi. Yang ada hanya pusing dan sensasi berputar setiap kali dia membuka matanya lebar-lebar. “Jangan-jangan kenapa ya?” Tian perlahan berdiri. “Ya jangan-jangan ... kamu tahu lah apa maksud saya, ibu-ibu kalau sudah bersuami pasti ...” katanya me
“Lea, aku ke sana dulu ya?” Rendra masih sempat-sempatnya berpamitan kepada sang istri yang terdiam bisu.“Nanti aku kembali lagi!” sambung Rendra seraya menutup pintu.Leandra mengembuskan napas lega, dia justru merasa senang karena Rendra batal menyentuhnya.Sejak tahu kalau suaminya mendua, dia tidak berhasrat lagi untuk sekadar bermesraan seperti dulu.Segera saja Leandra mencuci wajahnya, mengoles krim malam sisa paket yang masih sedikit, kemudian berbaring di tempat tidur dengan selimut yang menutupi sekujur tubuhnya. Dia memandang langit-langit kamarnya sebentar, setelah itu memejamkan kedua matanya.Berharap dirinya akan segera tertidur hingga esok hari.Ketika Rendra akhirnya bisa kembali ke kamar, dilihatnya Leandra sudah tertidur pulas sambil memeluk guling erat-erat. Ingin sekali dia membangunkan sang istri akibat rasa ingin bermesraan yang sudah tidak tertahankan lagi.“Lea?” panggil Rendra sambil memeluk Leandra dari belakang. “Aku ingin ....”Leandra tidak meres
“Bu, itu kenapa Mas Rendra ....” Leandra langsung pergi menemui ibu mertuanya yang sedang memantau asisten rumah tangga memasak menu untuk makan malam. “Rendra kenapa, bicara yang jelas.” Widi menyahut sambil menoleh. “Dia memang sudah pulang dari tadi, capek kelihatannya.” Leandra menarik napas sejenak, “Terus kenapa dia sama Mas Rendra?” Widi mengerutkan keningnya. “Dia ...? Silvi maksud kamu?” tanya Widi heran. “Ya tidak apa-apa, kan? Rendra sepulang kerja, kondisi capek, dan kamu belum pulang. Menurut kamu siapa yang akan dia datangi? Tidak mungkin saya kan?” Asisten rumah tangga yang masih memasak, berusaha keras untuk konsentrasi supaya tidak mendengar percakapan majikannya. “Memang tidak apa-apa, Bu ... Tapi kenapa mereka berdua harus tidur di kamar utama?” tanya Leandra sabar meski hari rasanya tidak keruan. “Maksud kamu?” tanya Widi balik sambil memandang menantu pertamanya. “Bukankah seharusnya istri kedua Mas Rendra tidur di kamar tamu?” Leandra mengonfirmasi. “Kena
“Aku nggak mungkin menceraikan Silvi karena dia sedang hamil!” bantah Rendra tidak setuju.“Kalau begitu ceraikan aku saja,” tantang Leandra. “Dari awal, kamu sendiri yang memutuskan untuk menikah lagi diam-diam kan?”Rendra mematung seketika.“Aku nggak mau cerai,” tolaknya tegas. “Apa perlu aku yang gugat cerai kamu?”“Nggak akan ada perceraian di antara kita!” tegas Rendra. “Ini cuma situasi sulit yang sifatnya sementara saja, nanti kalau keadaan sudah membaik, aku akan tambahkan lagi uang bulanan kamu. Suami sedang dalam kondisi susah, jadi sudah sepantasnya kalau kamu tetap setia mendampingi aku—bukannya malah menggugat cerai seperti ini.”Leandra berdiri dari posisinya. Melihat Rendra yang semakin hari semakin pandai bersilat lidah, dia pun terpancing untuk berkomentar.“Kondisi susah, kamu bilang?” tanya Leandra dengan mata menyipit. “Kondisi kita seperti ini kan karena ulah kamu sendiri, mas! Jangan bilang seolah-olah aku ini yang nggak setia menemani kamu dalam kondis
“Itu nanti kamu bersih-bersih seperti asisten rumah tangga, bagaimana?” Tian menjelaskan inti pekerjaan yang harus Leandra lakukan ketika sudah berada di dalam mobil yang melaju.“Tidak masalah, Pak.” Leandra mengangguk. “Tapi apa itu berarti saya harus berhenti dari kantor Bapak?” Tian berpikir sebentar.“Kalau kamu mau sedikit repot, tidak masalah seandainya kamu mampir ke rumah setelah bersih-bersih kantor.” Dia mengusulkan. “Seperti yang saya bilang sebelumnya kalau di kantor itu tidak ada pekerjaan, untuk sekadar bersih-bersih ada Bu Dini yang bisa melakukannya kalau cuma menyapu lantai.”Leandra terdiam, sedikit merasa malu.“Maaf ya, Pak? Gara-gara saya, beban pengeluaran di perusahaan Bapak jadi membengkak?”“Tidak masalah,” sahut Tian sembari terus mengemudi ke arah rumah orang tuanya.Selama mobil melaju, Leandra segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Rendra supaya tidak perlu menjemputnya.“Itu rumah yang harus kamu rawat selama tidak ada penghuniny
Leandra mengangguk mengerti dan menyahut, “Semoga keadaan segera pulih seperti semula ya, Yah?”“Terima kasih,” angguk Irawan, sementara Widi melipat bibirnya rapat-rapat seakan menahan diri untuk tidak berbicara di luar kendalinya.Pantas kalau keuangan Mas Rendra ikut bermasalah, pikir Leandra ketika dia akan berangkat kerja. Bahkan ayah mertuanya sendiri mengakui kalau perusahaan mereka sedang tidak baik-baik saja.Kalau begitu aku harus lebih rajin kerja, tekat Leandra dalam hati. Andai saja ibu mertua tidak memaksa Rendra untuk menikah lagi, tentu dia akan dengan senang hati membantu perekonomian suaminya meskipun sedikit saja.Namun, karena pengkhianatan yang disengaja itu sudah telanjur terjadi, Leandra tidak akan mau repot-repot membagi uangnya sedikit pun.Sebelum Leandra tiba, Tian sudah lebih dulu muncul di kediaman orang tuanya. Seperti yang dia perkirakan sebelumnya, hasil kerja Leandra tidak pernah mengecewakan.“Pak Tian, pembantu yang kemarin datang ...”Tian me
Leandra duduk di samping Silvi sementara Rendra berada jauh di sana seakan untuk mengaburkan fakta bahwa mereka adalah pasangan suami istri.“Mau tambah lagi, Mas?” tanya Silvi, dengan sigap dia memegang centong dan bersiap menyendokkan nasi. “Biar aku ambilkan.”“Sudah cukup,” jawab Rendra sambil mengangguk.Melihat Leandra yang hanya terdiam, Silvi segera menawarinya. “Mbak Lea mau makan apa? Udang atau sop?” “Apa saja, nanti aku akan ambil sendiri.” Leandra menyahut datar, dia tidak bisa pura-pura. Dia benci situasi seperti ini.“Semuanya juga tidak apa-apa, Mbak.” Silvi tersenyum. “Ibu sama Ayah juga, silakan dicicipi ... masakan asisten Ibu cocok sama aku.”Widi mengangguk-angguk setuju.“Ibu memang sengaja suruh untuk masak sesuai citarasa ibu hamil,” katanya antusias. “Lidah ibu hamil kan sensitif sama rasa dan bau, jadi harus pintar-pintar meracik bumbunya ... Tahu sendiri kan ibu hamil itu bagaimana rasanya?”“Betul, Bu. Ini pertama kalinya aku hamil dan memang anuge
Setelah paket berada di tangan, Widi langsung masuk tanpa mengucapkan terima kasih kepada Leandra.Begitu tiba di kamar utama, Leandra baru sadar kalau dia telah menyerahkan satu-satunya persediaan uang tunai yang ada di dompetnya.“Besok aku makan apa?” pikir Leandra karena meski tidak sebanyak Silvi, dia tetap membantu memenuhi kebutuhan rumah, terutama dapur.Semua itu Leandra lakukan disebabkan dia merasa tahu diri bahwa selama ini kedua mertuanya itulah yang memenuhi hampir seluruh kebutuhan rumah tangganya termasuk listrik, air, dan bahan makanan. Jadi bisa dikatakan bahwa Rendra belum sepenuhnya mandiri selama tinggal di rumah orang tua kandungnya, karena itu sudah sepantasnya Leandra merasa kalau dia hanya hidup menumpang.“Mas, kita ngontrak rumah saja yuk?” ajak Leandra setelah memikirkannya matang-matang. “Biar ayah sama ibu tidak terlalu banyak pengeluaran, selain itu kita bisa bantu mereka sedikit-sedikit ....”“Lea, kamu sadar nggak sih kalau itu justru makin mena