“Kenapa kamu tidak langsung mampir ke tempat Silvi?” tanya Widi tajam ketika Rendra menghadap kepadanya.“Ibu yang benar saja, aku kan sedang sama Lea.” Rendra mencoba memberikan pengertian. “Ibu mengharapkan aku mampir ke sana dan membiarkan Lea bertemu sama Silvi?”“Memangnya kenapa, Ren?” tukas Widi dengan nada tidak mau dibantah. “Silvi itu sedang hamil muda, dia lebih membutuhkan perhatian kamu dibandingkan Lea. Yang namanya istri sedang hamil itu memang harus kamu istimewakan.”Rendra meremas rambutnya sendiri dengan gusar.“Tapi aku tetap nggak bisa membiarkan mereka berdua bertemu,” kata Rendra sambil menggelengkan kepala. “Dan perjanjiannya adalah aku ke tempat Silvi cuma dua kali dalam seminggu.”Widi geregetan memandang putranya dan menghardik, “Silvi sedang hamil muda, Ren! Kamu mana tahu rasanya hamil itu bagaimana! Mual, muntah, pusing, tidak bisa tidur juga!”Suara keras Widi membuat Rendra terperangah.“Wajar kan, Bu?” ujar Rendra yang tidak suka ditekan seperti
Malam itu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, tapi Rendra belum juga pulang ke rumah. Leandra sudah berusaha menghubungi ponselnya beberapa kali, tapi tidak kunjung diangkat atau menghubungi balik.Sejujurnya Leandra sudah berusaha memaklumi jika Rendra masih harus menemani Silvi lebih lama lagi, tapi dia ingin suaminya memberikan kabar supaya pikiran Leandra tidak gelisah sedemikian rupa.“Bu, Mas Rendra apa kasih kabar ke Ibu mau pulang jam berapa?” tanya Leandra yang tidak bisa menahan diri lagi ketika mendengar suara pintu kamar Widi dibuka.“Bukannya dia masih di tempat Silvi?” jawab Widi dengan nada biasa. “Kamu tidak usah terlalu khawatir, dia kan melakukan kewajibannya sebagai seorang suami.”Leandra menarik napas.“Aku cuma khawatir kalau terjadi sesuatu, karena Mas Rendra tidak kasih kabar sama sekali.” Dia menjelaskan. “Aku coba hubungi ponselnya juga tidak diangkat dari tadi.”Betapa herannya Leandra, ekspresi wajah Widi sedikit mengeras ketika mengetahui mena
Rasa kecewa Leandra masih terasa hingga dia enggan untuk melayani keperluan Rendra dengan sepenuh hati. “Kalian kenapa, tumben diam?” tanya Widi ingin tahu seraya memandang putra dan menantunya bergantian. “Nggak apa-apa,” jawab Rendra sambil menghela napas. “Aku cuma capek saja.” Leandra memilih diam karena haknya untuk bicara sudah tertelan di kerongkongan sebelum dia sempat bersuara. “Mas, hari ini kemungkinan aku nggak ada di rumah.” Leandra memberi tahu ketika dia mengantar Rendra menuju mobilnya. “Maksud kamu?” Pikiran Rendra langsung ke mana-mana. “Nggak ada di rumah gimana?” “Ya aku mau pergi,” tukas Leandra dengan kening berkerut. “Kenapa muka kamu kaget begitu sih, Mas?” Rendra melihat ke arah pintu, kemudian segera menarik Leandra untuk masuk ke mobilnya. “Aku paham kalau kamu marah sama aku,” kata Rendra lambat-lambat. “Aku ketiduran di sana dan ... kamu nggak hubungi aku, jadi aku pikir kalau kamu nggak keberatan seandainya aku pulang terlambat sebentar saja.” Lea
“Tapi, Pak ... saya ada perlu penting sekali sama Pak Tian!” ucap Leandra yang masih bertahan di tempatnya berdiri.“Maaf, Bu. Ini adalah aturan dari Pak Tian sendiri,” sahut si satpam tegas.Belum sempat Leandra menjawab, terdengar suara klakson yang cukup keras di belakang mereka disusul mobil putih bersih yang menepi perlahan.Satpam yang tadi mengusir Leandra bergegas menyingkirkan motor matic yang berada mepet sekali dengan mobil putih itu.“Nah Bu, silakan pergi!” suruh satpam lagi seraya menunjuk motor Leandra, setelah itu dia mempersilakan mobil putih itu untuk melaju.“Itu bukannya Pak Tian ya?” tanya Leandra yang teringat dengan mobil putih bersihnya. “Saya mau bicara sebentar sama beliau ....”“Tidak bisa, Bu. Harus bikin janji dulu kalau mau bertemu Pak Tian,” jelas satpam untuk kesekian kalinya. “Begini saja, Ibu bikin janji untuk pertemuan hari apa. Nanti akan saya sampaikan ke sekretaris Pak Tian.”Leandra sadar bahwa mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayang
Keesokan harinya, Leandra kembali merencanakan untuk mendatangi kantor Tian lagi.“Kamu mau ke mana?” tanya Rendra heran karena mendapati Leandra ikut bersiap-siap sesaat sebelum dirinya berangkat kerja.“Ke kantor yang kemarin lagi,” jawab Leandra terus terang. “Soalnya aku belum berhasil bertemu sama bosnya.”Rendra berputar menghadap Leandra.“Buat apa kamu bertemu sama bosnya?” tanya Rendra heran. “Cukup serahkan surat lamarannya ke satpam atau sekretaris, setelah itu kamu tinggal menunggu panggilan. Itu juga kalau kamu dipanggil sama mereka.”Leandra melirik ke arah Rendra dan menyahut, “Kok kamu kayak nggak yakin begitu?”“Masalahnya kamu kan belum punya pengalaman kerja apa-apa,” jawab Rendra masuk akal. “Bukan maksud aku meremehkan kamu ....”“Makanya biar aku berusaha dulu,” kata Leandra tegas sambil berdiri. “Kita nggak akan tahu sebelum mencobanya kan? Kamu saja coba-coba poligami nggak bilang-bilang dulu sama aku, masa aku harus mundur Cuma karena aku nggak punya p
“Permisi, Pak?”Terdengar suara pintu diketuk pelan.“Masuk,” suruh Tian singkat.Pintu terbuka dan Dini melangkah memasuki ruangan, segera saja dia menjelaskan tentang keberadaan Leandra di luar.“Saya kan sudah bilang kalau kantor ini tidak buka lowongan pekerjaan,” ulang Tian untuk kesekian kalinya. “Suruh dia pulang atau cari pekerjaan di tempat lainnya.”“Tapi, Pak ... Ibu itu bilang kalau dia dikasih kartu nama Bapak dan minta tanggung jawab atas tabrakan yang dia alami,” ucap Dini menjelaskan.Tian terpaku sebentar kemudian berpikir keras, seingatnya dia tidak pernah memberikan kartu namanya kepada sembarang orang.“Tabrakan apa?” tanya Tian lupa-lupa ingat. “Siapa orang itu sebenarnya?”“Dia yang kemarin memasukkan berkas lamaran pekerjaan ke kantor ini, dan dia juga memaksa ingin bertemu Bapak karena ingin minta tanggung jawab.” Dini menjelaskan lagi. “Suruh dia masuk,” perintah Tian sambil memutar kursinya membelakangi meja.Leandra masih duduk menunggu dengan har
Keesokan paginya, Leandra bangun dengan lebih bersemangat. Bayangan dia akan terbebas dari sikap judes ibu mertuanya seolah membuat pagi itu terasa lebih cerah dibandingkan hari-hari biasa.“Lea, kenapa kamu jadi kelihatan lebih sibuk daripada aku?” tanya Rendra ketika sang istri dengan gesit menyiapkan pakaian kerja untuknya. “Bukankah kamu belum pasti diterima kerja?”Gerakan tangan Leandra terhenti ketika Rendra bertanya.“Aku sudah diterima kerja kok, Mas.” Dia memberi tahu dengan senyum merekah di sudut bibirnya.“Kamu diterima kerja?” ulang Rendra dengan kening berkerut. “Kok kamu nggak cerita sama aku?”Leandra terdiam sebentar.“Oh maaf, Mas! Mungkin aku lupa ...” katanya dengan nada meminta maaf. “Tapi intinya aku diterima kerja, ini nanti aku baru mau bicara lebih lanjut sama sekretarisnya.”Rendra meraih kemeja yang disiapkan Leandra dan menyahut, “Memangnya kemarin kamu bertemu sama siapa kalau bukan sama sekretarisnya?” “Sama bosnya langsung,” ucap Leandra sambil
“Kamu mau apa, Mas?” Leandra langsung tergeragap bangun dan beringsut menjauh dari Rendra. “Kenapa kamu kaget begitu, Lea?” tanya Renda heran. “Aku ini kan suami kamu sendiri.”Leandra tertegun, jantungnya berdegup kencang seperti ditabuh paksa. Bukan karena getaran cinta terhadap suaminya, tapi justru perasaan takut yang tidak wajar adanya.“Kamu mengagetkan aku, Mas!” ucap Leandra dengan napas terengah seakan habis berlari menempuh jarak yang teramat jauh. “Kamu kenapa sih harus dekat-dekat begitu?”Rendra yang tadinya ingin meninggalkan kecupan di kening Leandra, mendadak hilang rasa karena merasa dikesampingkan.“Memangnya kamu pikir aku mau ngapain?” tanya Rendra agak tersinggung. “Malam ini aku mau ke tempat Silvi, jadi aku pikir ... aku nggak mungkin pergi begitu saja tanpa kamu tahu.”Leandra terdiam. Dia menunggu hingga jantungnya berdetak lebih teratur, setelah itu memandang Rendra yang menegakkan dirinya tidak jauh dari tempat tidur.“Kenapa kamu berpikir begitu, Ma
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa