TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 58
"Abah, Arin ikut pulang." Aku seperti anak kecil yang akan ditinggalkan ayahnya pergi jauh. Aku memegang baju bagian belakang Abah yang berjalan menuju pintu keluar.
"Rin, kamu itu sekarang sudah jadi istrinya Yusuf, masak, mau ikut pulang sama Abah? Terus, suamimu gimana?"
Aku dan Abah berdiri saling berhadapan.
Mataku sesekali menoleh pada pria yang juga berdiri tengah memperhatikanku dan Abah.
Aki Sanip dan istrinya sudah pulang terlebih dahulu, tinggallah Abah yang terus merayuku untuk tetap tinggal bersama Yusuf.
"Pernikahan ini bohongan, Bah. Aku gak mau tinggal dengan dia," ujarku merajuk lagi.
Abah menatapku tajam. Ia tidak suka aku menyebut ini pernikahan bohong
Kemarin aku menyanggupi untuk memberikan uang pada mereka. Untuk mereka pulang kampung.Segera aku mengambil ponsel dan menelepon Ira. Untungnya, dia mau mengangkat teleponku."Mbak di mana? Kita sudah siap untuk berangkat," ujar Ira langsung tanpa jeda."Iya, Ra. Aku lupa. Kamu sekarang lagi nunggu di mana? Biar aku langsung ke sana.""Di ... depan pom mini, Mbak. Kita sedang nunggu angkutan umum," ujar Ira lagi.Aku segera mematikan sambungan telepon, menghampiri motor dan langsung tancap gas menuju tempat yang disebutkan Ira.Sampai di sana, benar saja jika tiga orang itu sudah menunggu untuk berangkat. Mobil yang akan membawa mereka pun sudah berada di depan mereka."Maaf, aku telat," kataku seraya turun dari motor."Gak papa, Rin. Kita masih belum berangkat, k
Di dalam gelapnya penglihatanku karena mata terpejam, aku bisa merasakan jika tubuhku melayang. Yusuf, dia menggendongku dan membawaku entah ke mana.Aku sadar, dan sangat sadar. Karena, aku hanya pura-pura pingsan untuk menghindari tatapan jijik dari pria yang bergelar suamiku itu.Yusuf menyimpan tubuhku entah di mana. Mungkin di sofa ruang tengah tadi. Eh, tapi tidak. Ini lebih empuk dari sofa tadi.Aku membuka mataku sedikit, dan ... kamar?Astaga, Yusuf membawaku ke kamarnya?"Rin, bangun, Rin," ujar Yusuf dengan memukul pelan pipiku.Tahan, jangan sampai bangun. Bertahanlah mata, jangan sampai terbuka. Apa yang harus aku katakan jika bangun dan melihat wajahnya. Aku tidak sanggup, aku malu. Demi Tuhan aku sangat malu.Membayangkan
"Halo, siapa ini?" ujar Hena dengan suara manjanya. Ih, sangat menjijikkan."Halo, em ... ini aku, Yusuf.""Oh, A Yusuf? Ada apa A? Aa punya nomor Hena dari siapa?"Aku yang mendengar percakapan Hena dan Yusuf, serasa ingin muntah mendengar suara Hena yang dibuat sehalus mungkin."Ada lah. Hena, bisa tidak kalau sekarang datang ke rumah saya?" tanya Yusuf."Bisa, bisa sekali, A. Memangnya Aa lagi butuh ikan, ya? Nanti saya bawakan. Mau berapa kilo, A?" tanya Hena dengan antusias."Ah, tidak. Saat ini saya tidak sedang butuh ikan. Tapi, saya mau ngobrol dulu aja denganmu. Menyesuaikan harganya, siapa tahu cocok, nanti kita bisa kerja sama." Yusuf mulai berbohong."Ok, A. Sekarang juga Hena, ke sana."Beberapa saat menunggu, Hena datang dengan sepeda motornya
"Saya, selaku orang yang sudah memfitnah Arini dan Yusuf, ingin mengatakan kepada semua orang, bahwa Arini dan Yusuf, tidak melakukan zina. Semua yang terjadi, adalah murni kesalahan saya. Saya yang memfitnah mereka!"Meski dengan suara lirih dan dengan menahan tangis, Hena berbicara jelas dengan dibantu alat pengeras suara.Orang-orang yang kita lewati, melihat ke arah kita dan mendengarkan apa yang Hena ucapakan.Seketika itu juga, mereka menyoraki Hena dengan berbagai umpatan yang keluar dari mulut-mulut jahat tetangga.Tidak berhenti sampai di situ, Yusuf terus mengendarai mobil sampai masuk ke dalam perkampungan yang padat dengan rumah-rumah warga. Dan berhenti, tepat di depan warung yang banyak Ibu-ibu tengah berghibah ria.Hena kembali mengucapkan kata yang
"Tidak. Aku tidak ingin melakukannya!""Kenapa?" tanyaku."Karena aku bukan tipe orang yang dengan mudah mempermainkan suatu hubungan. Apalagi, pernikahan.""Tapi kan ... pernikahan kita tidak—""Tidak didasari dengan cinta? Heh, percuma saling cinta, jika ujung-ujungnya saling menyakiti dengan berpaling ke lain hati. Terserah jika kamu ingin pergi. Tapi, yang jelas aku tidak akan mengucapkan kata perpisahan," pungkas Yusuf. Dia pergi entah ke mana.Aku menyandarkan punggungku seraya mengembuskan napas kasar. Ternyata percuma saja mengatakan kepada seluruh dunia tentang aku dan Yusuf yang tidak melakukan zina. Toh, ternyata pernikahan ini masih akan terus berlanjut. Entah sampai kapan."Belajar menerima takdir, Rin! Mungkin Tuhan memang sudah mentakdirkan aku dan kamu untuk hidup bersama!"Terdengar suara
"Arini, tunggu!""Tunggu dulu, Arini!"Yusuf terus saja mengejarku hingga akhirnya dia berhasil mencekal pergelangan tanganku saat aku sudah sampai di ambang pintu."Bukan seperti ini caranya untuk menyelesaikan masalah, Rin. Tidak dengan pergi begitu saja. Mari, kita duduk bersama dan saling bicara.""Aku rasa tidak perlu, A. Pilihanku untuk pergi, mungkin memang yang terbaik. Aku tidak ingin mengusik hidupmu dan kesenanganmu. Aku harus pergi.""Tidak!"Yusuf mencekal lenganku semakin kuat. Matanya begitu tajam melihatku."Kita belum bicara, kita belum membahas apa yang menjadi pokok masalah. Kamu pun belum mengatakan apa yang membuatmu ingin pergi."Aku mengalihkan pandangan saat Yusuf menatapku semakin lekat. Aku takut pendirianku g
POV Yusuf"Dari mana kamu? Mabuk lagi? Main perempuan? Masih ingat pulang juga, kamu ternyata."Suara pria yang tengah duduk bersandar di sofa, membuat langkahku terhenti. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Pantas, Ayah marah padaku karena pulang terlalu larut. Sudah mendekati pagi malah."Aku lelah, Yah. Mau tidur," ucapku kembali berjalan ke arah tangga."Kamu memang anak yang tidak berguna Yusuf! Menyesal aku menamaimu dengan nama dua Nabi dalam satu namamu. Harusnya, dulu kau kukasih nama Fir'aun!""Ayah! Kenapa kotor sekali kata yang keluar dari bibir Ayah. Dia anak kita, Yah."Perempuan bergelar Ibuku, datang menambah kebisingan ruangan ini.Mendapatkan perlakuan buruk dari Ayah, sudah bukan
POV Arini"Aw! Aduh, ampun ...!"Yusuf mengaduh kesakitan saat aku mencubit perut six packnya. Biarin, biar dia tahu rasa. Siapa suruh dia membahas aku yang takut jarum suntik."Sekarang, kamu sudah tahu 'kan, kenapa ada foto-foto nakal aku?"Aku mengangguk."Rin, aku memang bukan pria soleh yang punya pemahaman baik soal agama. Aku hanya seorang hamba yang penuh dosa, yang sedang berusaha memperbaiki diri. Aku butuh kamu, sebagai pengingat di waktu salahku. Itu pun, jika kamu berkenan. Jika tidak mau, jika kamu jijik dan ingin pergi, aku—""Stttt ...." Aku menempelkan jari telunjukku di bibir Yusuf.Setelah mendengarkan penjelasan Yusuf, tidak ada salahnya juga untukku mempertahankan pernikahan ini. Toh, aku pun bukan wanita suci tanpa dos
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep