TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 53
"Pikirkan baik-baik, Rin. Tawaran ini tidak akan datang dua kali. Jangan menyesal jika nanti Andri akan memiliki wanita yang jauh lebih kaya dan cantik dariku!"
Aku menarik sebelah bibir mendengar ucapan Ibu.
"Jangankan dua kali, Bu. Meskipun tawaran itu datang seratus kali pun, aku tetap tidak akan mau untuk kembali pada Mas Andri. Silahkan kalian keluar dari rumahku sekarang juga! Sebelum aku mengambil air mendidih di dapur dan menyiramkannya pada kalian!" ujarku dengan penuh penekanan.
Dengan terpaksa, Ibu dan Ira berdiri. Mereka berjalan keluar dengan menghentakkan kakinya. Ibu bahkan menubruk sebelah pundakku dengan sedikit keras.
Huft.
Dasar tidak tahu malu. Datang hanya untuk menawarkan hal yang tidak aku harapkan. Jang
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 54Sekian menit diam di tempat, aku pun menghampiri Hena dan berhenti di sampingnya. Menyadari kedatanganku, ia langsung tancap gas dan menyimpan ikan ke dalam keranjang yang dia bawa."Bu Haji beli ikan di Hena?" tanyaku."Tidak, Rin. Kan, Ibu sudah pesan di kamu. Eh, tahu gak, Rin, kalau tadi si Hena jelek-jelekin kamu, lho.""Gak papa, Bu. Biarkan saja. Kalau Bu Haji, mau ambil ikan di si Hena, Arini gak papa, kok."Bu Haji berjalan semakin mendekatiku."Jangan ngomong gitu, Rin. Ibu hanya mau ikan dari kamu, sudahlah ikannya seger, kalau beli banyak suka ada potongan harga, lagi. THR pas lebaran, gak pernah ketinggalan. Udah, ah Ibu gak mau pindah dari kamu," t
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 55"Ibu dan Ira serta Ari, akan pulang ke Magelang. Tapi, Ibu tidak cukup ongkos. Pinjamkan Ibu uang, Rin. Ibu mohon, bantu Ibu untuk kali ini saja." Wanita yang wajahnya sudah dipenuhi keriput itu menangkupkan kedua tangan di dada."Bu, kenapa harus ke Arin? Kenapa gak minta sama Mas Andri. Bukankah sekarang dia sudah punya penghasilan yang lumayan?"Aku turun dari motor, kemudian duduk di teras rumah."Andri enggan memberikan uang sepeser pun untuk kami, Rin. Dia masih marah sama Ari, soal Hena waktu itu. Jangankan memberikan uang, bertemu pun kami tidak. Dia tinggal di rumah temannya, sedangkan kami, tinggal di rumah kosong yang tidak ditempati pemiliknya. Kami di sini terlantar."Aku melihat pada Ibu yang kini bersandar pada tiang rumah. Ia sesekali mengusap matanya yang sudah memerah.Aku ti
"Aku tidak menyangka kalian ternyata sekotor ini!""Tidak, kami tidak melakukan apa-apa!" ujar Yusuf sembari mengancingkan satu persatu kancing bajunya."Tidak bagaimana, itu buktinya sudah jelas, bajumu pun terbuka, Yusuf!" ujar pria yang sedari tadi terus menuduh."I—ini karena—""Alaaaah, jangan banyak alasan, ayo, seret mereka ke luar!""Ayo, bawa mereka keluar!!""Ayo, giring mereka!!"Suara orang-orang mulai bersahutan.Ditariknya aku dan Yusuf dengan paksa. Dadaku berdetak hebat saat mereka semua menyeretku hingga ke depan Abah."Ada apa ini? Kenapa kalian menyeret anakku seperti itu?" ujar Abah."Anakmu telah berzinah dengan Yusuf!""Tidak, Bah. Itu tidak benar.
"Menikahi Arini! SEKARANG JUGA!!"Deg!Aku memegangi dadaku sambil menggelengkan kepala. Tidak mungkin aku menikah dengan pria yang sama sekali tidak aku cintai. Apakah aku bermimpi?Tolong, siapa pun itu, bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Aku tidak mau menikah secepat ini."Abah, saya minta ijin untuk menikahi putri Abah. Demi nama baik Abah, dan Arin. Juga demi nama baik saya." Yusuf kembali berucap dengan lembut kepada waliku.Tidak ada yang bisa Abah lakukan selain mengangguk pasrah. Tidak ada pilihan lain untuk meredakan amarah warga yang sudah terlanjur dikuasai emosi."Silahkan." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Abah. Membuat rasa sakitku kian bertambah.Malam semakin larut, air laut terdengar semakin bergemuruh. Seperti gemuruhnya hatiku yang dilanda kepedihan. Hatiku hancur karena
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 58"Abah, Arin ikut pulang." Aku seperti anak kecil yang akan ditinggalkan ayahnya pergi jauh. Aku memegang baju bagian belakang Abah yang berjalan menuju pintu keluar."Rin, kamu itu sekarang sudah jadi istrinya Yusuf, masak, mau ikut pulang sama Abah? Terus, suamimu gimana?"Aku dan Abah berdiri saling berhadapan.Mataku sesekali menoleh pada pria yang juga berdiri tengah memperhatikanku dan Abah.Aki Sanip dan istrinya sudah pulang terlebih dahulu, tinggallah Abah yang terus merayuku untuk tetap tinggal bersama Yusuf."Pernikahan ini bohongan, Bah. Aku gak mau tinggal dengan dia," ujarku merajuk lagi.Abah menatapku tajam. Ia tidak suka aku menyebut ini pernikahan bohong
Kemarin aku menyanggupi untuk memberikan uang pada mereka. Untuk mereka pulang kampung.Segera aku mengambil ponsel dan menelepon Ira. Untungnya, dia mau mengangkat teleponku."Mbak di mana? Kita sudah siap untuk berangkat," ujar Ira langsung tanpa jeda."Iya, Ra. Aku lupa. Kamu sekarang lagi nunggu di mana? Biar aku langsung ke sana.""Di ... depan pom mini, Mbak. Kita sedang nunggu angkutan umum," ujar Ira lagi.Aku segera mematikan sambungan telepon, menghampiri motor dan langsung tancap gas menuju tempat yang disebutkan Ira.Sampai di sana, benar saja jika tiga orang itu sudah menunggu untuk berangkat. Mobil yang akan membawa mereka pun sudah berada di depan mereka."Maaf, aku telat," kataku seraya turun dari motor."Gak papa, Rin. Kita masih belum berangkat, k
Di dalam gelapnya penglihatanku karena mata terpejam, aku bisa merasakan jika tubuhku melayang. Yusuf, dia menggendongku dan membawaku entah ke mana.Aku sadar, dan sangat sadar. Karena, aku hanya pura-pura pingsan untuk menghindari tatapan jijik dari pria yang bergelar suamiku itu.Yusuf menyimpan tubuhku entah di mana. Mungkin di sofa ruang tengah tadi. Eh, tapi tidak. Ini lebih empuk dari sofa tadi.Aku membuka mataku sedikit, dan ... kamar?Astaga, Yusuf membawaku ke kamarnya?"Rin, bangun, Rin," ujar Yusuf dengan memukul pelan pipiku.Tahan, jangan sampai bangun. Bertahanlah mata, jangan sampai terbuka. Apa yang harus aku katakan jika bangun dan melihat wajahnya. Aku tidak sanggup, aku malu. Demi Tuhan aku sangat malu.Membayangkan
"Halo, siapa ini?" ujar Hena dengan suara manjanya. Ih, sangat menjijikkan."Halo, em ... ini aku, Yusuf.""Oh, A Yusuf? Ada apa A? Aa punya nomor Hena dari siapa?"Aku yang mendengar percakapan Hena dan Yusuf, serasa ingin muntah mendengar suara Hena yang dibuat sehalus mungkin."Ada lah. Hena, bisa tidak kalau sekarang datang ke rumah saya?" tanya Yusuf."Bisa, bisa sekali, A. Memangnya Aa lagi butuh ikan, ya? Nanti saya bawakan. Mau berapa kilo, A?" tanya Hena dengan antusias."Ah, tidak. Saat ini saya tidak sedang butuh ikan. Tapi, saya mau ngobrol dulu aja denganmu. Menyesuaikan harganya, siapa tahu cocok, nanti kita bisa kerja sama." Yusuf mulai berbohong."Ok, A. Sekarang juga Hena, ke sana."Beberapa saat menunggu, Hena datang dengan sepeda motornya
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep