Teruntuk Mantan Istri Suamiku 4
Aku mengekor di belakang Mas Andri dengan semangat yang menggebu-gebu. Memasang kuda-kuda bersiap menerima serangan yang tidak terduga.
"Andri! Tolong!"
Saat membuka pintu, wanita paruh baya langsung menghambur menghampiri suamiku. Dia adalah ibunya Hena–Bu Ria.
Aku yang sedari tadi siap untuk bertempur, seketika berdiri dengan tegak sembari membenarkan letak rok yang tadi aku ikat ke pinggang. Lalu, menatap wajah tua itu dengan lekat.
"Ibu kenapa?" tanya suamiku.
"Tolong Hena, Andri. Tolongin dia, Hena kesurupan, Dri!"
"Apa?" ucapku dan Mas Andri berbarengan.
Aku dan Mas Andri saling pandang. Sebenarnya tidak sedikit pun aku percaya dengan ucapan wanita paruh baya itu. Aku curiga, jika dia tengah bersandiwara.
"Eeh, Mas mau ke mana?" tanyaku saat Mas Andri akan melangkah mengikuti Bu Ria.
"Mau lihat Hena, Rin. Kamu enggak dengar, Bu Ria tadi bilang apa?"
"Dengar, tapi aku tidak percaya dengan apa yang Bu Ria katakan. Bisa saja dia berbohong, 'kan?" ujarku memegangi lengan Mas Andri.
"Ya Allah, Rin. Di mana letak hatimu, orang butuh pertolongan, malah kamu bilang bohong. Aku tidak berbohong, Arini! Ibu sungguh-sungguh!" sungut Bu Ria dengan melototiku.
Mas Andri menatapku dengan tajam. Dia tidak suka dengan tindakanku yang melarangnya pergi.
"Aku tidak paham dengan jalan pikiranmu, Rin. Sepertinya kamu sudah tidak memiliki rasa kasihan pada sesama."
Mas Andri masuk ke dalam rumah, mengambil jaket serta kunci motorku. Aku mengekor meninggalkan Bu Ria seorang diri di luar.
"Mas, di sana itu banyak orang. Lagian, ya kalau si Hena kesurupan, panggil ustadz, bukan malah memanggil kamu. Apa hubungannya, coba?" ujarku seraya melipat kedua tangan di perut.
"Ada, ada hubungannya dengan Andri!"
Aku berbalik dan mengerutkan kening melihat Bu Ria masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Dia pun menjawab pertanyaanku tanpa aku minta.
"Apa hubungannya?" tanya Mas Andri.
"Kalau kalian mau tahu apa hubungannya, ayo ikut ke sana sekarang. Di sana pun sudah ada ustadz Zani dan beberapa orang." Bu Ria kembali berucap.
Tanpa mendengarkan saran dariku, Mas Andri langsung pergi keluar dari rumah. Bu Ria pun segera mengikuti langkah suamiku dengan tergesa.
Tidak ingin kalah cepat dari Bu Ria, aku segera mengejar Mas Andri yang sudah duduk di atas motor sembari menstater motor matic milikku.
Melihat Bu Ria mengangkat roknya hendak naik ke atas motor, segera kutarik tanganya dengan sedikit kencang hingga mantan mertua Mas Andri itu terhuyung ke belakang.
"Ini motorku, Ibu jalan kaki saja biar tambah sehat. Ok!" Aku mengangkat tangan dengan jari telunjuk yang ditempelkan ke ibu jari. Membentuk huruf 'O'.
Bu Ria mendelikkan mata, tapi aku tidak peduli. Enak saja ingin naik motor, sementara aku harus jalan kaki.
"Ayo, jalan, Mas." Aku menepuk pundak suamiku.
"Loh, Rin. Ibu, bagaimana?" tanya Mas Andri menoleh.
Aku mengedikkan bahu seraya mengerucutkan bibir.
"Kasihan Ibu, Rin, dia sudah tua," ujar Mas Andri lagi.
Kulihat Bu Ria berdiri seraya menekuk wajahnya. Aku berpikir sebentar, lalu turun dari motor.
"Mas, turun dulu." Aku menepuk pundak suamiku lagi.
"Mau apa?" Mas Andri kebingungan.
"Turun dulu," ujarku lagi.
Mas Andri menurut, dia turun dari motor dan berdiri di samping Bu Ria. Sedangkan aku, langsung mengambil alih tempat yang tadi diduduki suamiku.
"Mas, jalan kaki saja. Kasihan Bu Ria sendirian. Aku tunggu di rumah Hena, Mas!" Aku berteriak sekencang mungkin sambil tancap gas meninggalkan mereka yang masih berdiri di tempatnya.
"Hey, Rin! Tunggu aku!!" Mas Andri berteriak, tapi tidak aku indahkan.
"Dasar anak durhaka!" sahut Bu Ria tidak mau kalah.
'Durhaka? Tidak mungkin. Aku bukan anak Bu Ria. Kalau kualat, mungkin iya. Tapi, yasudahlah, biar saja.'
Kata Bu Ria, anaknya kesurupan dan ada hubungannya dengan Mas Andri. Apa jangan-jangan, setan yang merasuki tubuh Hena, memiliki hubungan gelap dengan Mas Andri? Atau ... suamiku memiliki perjanjian dengan makhluk halus untuk mendapatkan kekayaan?
Tiba-tiba bulu kudukku meremang membayangkan segala kemungkinan yang terjalin antara Mas Andri dan setan yang merasuki tubuh Hena.
"Serem juga, ya?" ucapku berbicara sendiri.
Dari kejauhan, aku sudah melihat rumah Hena yang ramai dengan beberapa orang di sana. Juga, ada suara yang berteriak memanggil-manggil nama suamiku.
Aku tidak langsung ke sana, melainkan berhenti di luar pagar rumah Hena, menunggu kedatangan Mas Andri. Setelah beberapa saat menunggu, Mas Andri sampai dengan keringat memenuhi pelipisnya.
"Kenapa tidak masuk?" tanyanya seraya mengatur napas yang ngos-ngosan.
"Aku takut," jawabku cepat.
"Hallaaah, penakut." Mas Andri masuk meninggalkan aku begitu saja.
Aku segera memasukkan motor matic ke dalam pagar dan turun untuk menyusul Mas Andri yang sudah terlebih dahulu ke sana.
"Andri! Mana Andri!!" teriak Hena dengan meronta serta mata yang melotot.
"Ini, di sini. Andri sudah datang. Apa yang ingin kau sampaikan pada Andri?" tanya Ustadz Zani.
"A–aku di sini." Mas Andri berucap dengan wajah takut.
"Dengar!" Hena kembali berteriak memekikkan telinga yang hadir di rumahnya ini.
Suasana menjadi hening, semua orang menunggu apa yang akan dikatakan Hena.
"Kalau kalian semua mau aku keluar dari tubuh wanita ini ...." Hena kembali berhenti berucap.
Kini mata dan telunjuknya memindai wajah-wajah yang ada di ruangan ini satu persatu. Dan akhirnya, jatuh pada satu orang pria yang duduk tepat di depannya.
"Nikahkan dia dengan pria ini!" ujar Hena dengan lantang.
"Apa?!" Mataku melotot tajam. "Tidak bisa, tidak bisa! Apa-apaan, nih? Masa mau maen nikahin suami orang sama wanita lain. Enggak bisa, aku tidak terima!" kataku.
Semua orang kini beralih melihat ke arahku. Tak terkecuali Hena yang matanya masih melotot dan tambah melotot saat aku menatapnya dengan tidak suka.
"Untuk sementara saja, Rin, setelah jin yang ada di tubuh Hena keluar, Andri dan Hena bisa kembali bercerai. Ini hanya untuk membebaskan Hena. Kasihan Hena, Rin. Tolonglah." Ibu Ria memohon, menangkupkan kedua tangannya di dada.
Itu hanya sebuah tipuan semata. Dan aku, tidak percaya sedikit pun. Kutatap satu persatu wajah orang-orang yang ada di sini. Semuanya menunggu jawaban dariku.
"Iya, Nak Arini. Tolonglah, saudara seagama kita ini. Dia sedang kesulitan, raganya terpenjara oleh jin yang merasuki tubuhnya." Aku mendelik, saat Ustaz Zani berbicara dengan begitu lembut.
"Tidak! Pokoknya aku tidak mau. Aku tidak peduli kalau jin, setan atau demit apa pun yang kini merasuki Hena, tidak mau keluar dari sana. Aku tidak peduli!" ujarku lagi seraya berkacak pinggang.
Orang-orang beristigfar, menyayangkan sikapku.
Lagipula, mana percaya aku sama Ustaz Zani itu. Lagian, yang jadi ustadz di kampung ini, itu kakaknya, dia cuma ikut-ikutan saja karena ingin dihormati seperti Ustadz Zaki.
"Rin, Sayang ...."
Aku menepis tangan Mas Andri yang hendak mengambil tanganku. Kemudian keluar dari sana dan memilih untuk pergi. Namun, aku terdiam saat akan menghampiri motor.
'Jika aku pulang, mereka pasti akan menikahkan suamiku dengan wanita itu. Dan Itu akan membuat Hena merasa besar kepala.'
Aku balik kanan dan hendak masuk lagi ke dalam rumah Hena. Yang di mana, kini dia kembali berteriak histeris.
Saat akan masuk, mataku menangkap sesuatu yang sepertinya akan sangat bisa membantuku untuk mengusir jin berwujud manusia. Aku tersenyum licik seraya berkata, "Keranda ...."
Meski susah dan berat, tapi aku tidak akan menyerah. Aku menggeser keranda dari samping rumah, sampai ke depan pintu.
"Hey, Jin! Aku ingin menantangmu, sebelum kita menikahkan suamiku dengan wanita itu!" ujarku berteriak.
Semua orang menoleh padaku. Tidak terkecuali Hena yang matanya langsung tertuju pada keranda di depanku.
"Kalau kamu sanggup membawa wanita itu masuk dan diam di dalam keranda ini selama tiga puluh menit dengan ditutupi kain di atas kerandanya, maka aku akan ikhlas suamiku menikah dengan dia. Gimana?" tantangku.
Hena terlihat meneguk saliva dengan mata yang mengerjap beberapa kali.
'Eh, kok sekarang dia tidak melotot lagi, ya? Hem ... dasar pembohong.'
"Ini keranda bersih banget, cuma .... Ini bekas orang yang mati akibat pembantaian. Kepalanya putus! Matanya keluar! Lidahnya menjulur ke samping. Kekk!" Aku memegangi leherku dengan mata yang melotot serta lidah yang sengaja aku julurkan. "Jika kamu, Jin, keluar dari sini sebelum tiga puluh menit, maka wanita itu akan tewas di tempat!" ujarku lagi membuat semua orang bergidik ngeri.
"Tidak, tidak, tidaaaaakk ...!!"
Bersambung
Teruntuk Mantan Istri Suamiku 5"Ibu, aku tidak mau mati, Bu. Aku tidak mau masuk ke dalam sana, aku takut!" jerit Hena seraya menggeser tubuhnya.Dia yang sejak tadi terus berteriak dan berontak, kini dia melunak dan bersembunyi di balik tubuh Ibunya.Semua orang yang berada di rumah Hena saling pandang, mereka keheranan dengan perubahan Hena yang begitu cepat."Kamu pura-pura kesurupan, ya Hen?" tanya salah satu pria yang sedari tadi memegangi Hena."Kurang kerjaan sekali kamu mengerjai tetangga," ujar yang lain lagi."Dari awal, aku sudah curiga sama dia. Masa iya, kesurupan mintanya dinikahin. Ini pasti hanya akal-akalan dia saja, biar bisa rujuk sama si Andri!" ujar salah satu warga yang emosi.Hena semakin mengeratkan pegangan tangannya pada Bu R
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 6 "Arini tunggu?!" Eh, ngapain dia manggil? Ngajak gelud? Jabanin! Aku sudah siap siaga. Ikan yang tadi aku beli, sudah aku simpan di motor terlebih dahulu. Melihat Hena semakin mendekat, aku semakin menegakkan badan. "Rin, aku pinjam duit, buat bayar ikan." "Hah?!" ujarku kaget. Ah, elah .... Kirain mau ngajak gelud, taunya mau minjem duit. "Pinjem duit, seratus ribu doang," ujar Hena semakin memperjelas ucapannya. "Aku gak salah dengar, 'kan? Kamu mau pinjam uang, padaku?" "Iya, aku mau bayar ikan yang tadi sudah di timbang. Cuma seratus ribu doang, nanti juga diganti kalau sampai rumah." Hena minta tolong, tapi gayanya seperti orang malak. Tidak ada sopan-sopannya, juga tidak bicara dengan kata-kata yang lembut, yang bisa meluluhkan hatiku. Malah sebaliknya, dia berdiri angkuh dengan melipat ked
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 7"Aaaahhh!" Hena menjerit saat tubuhnya jatuh ke dalam styrofoam box berisikan air es bercampur darah ikan. Bau anyir menyeruak membuatku merasakan mual yang amat sangat.Aku menutup hidung, lalu pergi meninggalkan Hena yang masih berusaha keluar dari tempat yang menjijikkan itu."Dadah, mantan!" ucapku sebelum beranjak."Arini, awas kau!!"Aku mengibaskan tangan di udara tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.Orang-orang mulai berkerumun menyaksikan pertunjukkan Hena yang jatuh dalam styrofoam bekas ikan. Sedangkan aku, memilih cepat pergi untuk mengantarkan pesanan ikan yang sedang ditunggu pelanggan.*Selesai mengantarkan ikan pada pelanggan, dan berjalan-jalan sebentar, aku pun segera pulang. Segudang pekerjaan rumah sudah menantikan sentuhan tanganku."Kok, pulangnya telat, Rin?"
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 8Wajah Mas Andri kembali memerah menahan amarah. Ia berdiri lalu menggebrak meja makan dengan sangat keras."Rin, tunggu! Mau ke mana kau?!" ujar Mas Andri berteriak. Ia mengejar, lalu mencekal pergelangan tanganku.Matanya melihatku dengan tajam. Rahangnya mengeras dengan gigi yang gemelutuk."Kamu, makin lama makin kurang ajar sama suami, Rin. Kamu ingin membunuhku?""Jika membunuh dihalalkan, sudah aku lakukan dari kemarin padamu, Mas! Kamu tak paham, dengan apa yang aku rasakan, Mas! Aku melakukan ini karena rasa sakitku akibat ulahmu itu!"Aku berteriak, meluapkan amarah yang sedari tadi aku pendam. Sekuat apa pun aku menahan, aku juga perempuan yang memiliki perasaan. Di depan Hena, aku bisa tegar dan kuat, karena aku tak ingin wanita itu melihat kelemahanku. Na
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 9Semilir angin pantai menggiringku untuk menceritakan semua yang aku rasakan dan aku alami dalam rumah tanggaku. Aku mencurahkan isi hatiku pada Santi. Mengatakan apa yang ingin aku keluarkan.Ini seharusnya tidak terjadi. Harusnya aku tidak menceritakan masalah rumah tanggaku pada siapa pun. Ini aib yang harus aku tutupi. Akan tetapi, aku tidak tahan. Aku butuh teman yang bisa mendengarkan cerita dan keluhanku. Teman yang tidak menghakimi dan menyalahkan. Juga, bukan teman yang mencampuri dan masuk dalam masalahku. Aku butuh pendengar setia, yang akan menjaga rahasia ini. Dan Santi, adalah teman yang tepat menurutku."Kenapa tidak cerai saja, Rin. Aku kok, nyesek dengar ceritamu itu," ujar Santi saat aku selesai berbicara."Tidak semudah itu, San. Kita
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 10"Hahahaha ... aku kira cuma aku yang tahu soal itu, Rin. Rupanya ada yang tahu juga?"Santi menghampiriku dengan membawa bakso lobster. Tawanya pecah, saat pria tadi mengatakan aib yang harusnya jadi rahasia.Aku mencebik, tidak suka dengan tawa Santi yang meledekku."Sinikan, baksonya. Aku lapar," kataku mengambil alih mangkuk dari tangan Santi."Astaga Arini! Hahaha ...." Santi kembali tertawa saat melihatku.Juga pria itu, dia pun ikut tertawa meski tidak bersuara."Apaan, sih?" kataku tak mengerti."Itu tisu kenapa bisa masuk ke hidung?" tanya Santi.Astaga, kenapa aku melupakan tisu itu?Seharusnya dia berinisiatif, langsung loncat dan pergi jauh, ketika ada pria yang datang menghampiriku. Bukannya malah diam tanpa melakukan apa-apa. Dasar tisu gak ada akhlak.Aku langsung meraba hidungku, mengambil tisu dan membuangnya
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 11Ah, ya aku baru ingat, kalau di rumah, ada Mas Andri yang mungkin sekarang sedang bolak-balik ke kamar kecil. Aduh, ini petaka untukku. Kalau Abah sedang di rumahku, itu artinya Abah melihat langsung penderitaan Mas Andri yang disebabkan olehku.Alamat disidang sama Abah, aku."San, aku pulang, ya. Ini uang baksonya." Aku memberikan satu lembar uang berwarna hijau kepada wanita yang kini tengah menyusui balitanya."Udah selesai makannya? Simpan saja mangkuknya di situ, Rin. Gak usah bayar, udah dibayarin sama A Yusuf," ujar Santi dari dalam."Hah? Ah, yang bener? Ngapain dia bayarin bakso aku, San?""Tadi, dia beli kopi, sekalian makananmu dibayar sama dia. Sudahlah, gak usah sok kaget kayak gitu. Disyuku
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 12"I—ini ...."Hena tergagap. Menyadari akan ada sesuatu yang membuatnya malu, ia segera mengambil barang miliknya yang tertinggal di rumahku.Namun, gerakkannya kalah cepat oleh Bi Ani yang duduk di sebelah Hena."Ieu beha kamu?"Wajah Hena langsung merah padam ketika tangan Bi Ani mengangkat penutup dua gunung miliknya yang tertinggal di rumahku."Bu—bukan, itu bukan punyaku," kilahnya."Jangan berkilah, Hen. Itu bukti akurat, kalau kamu, tadi datang ke rumahku dan melakukan sesuatu dengan suamiku." Aku berujar dengan napas yang memburu."Dan ini, ini adalah bayaran untuk wanita sepertimu," kataku dengan membuka plastik bening, mengeluarkan uang koin lima ratus rupiahan di hadapan semua orang.
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep