Teruntuk Mantan Istri Suamiku 3
Biarkan saja jagad maya heboh oleh postinganku. Aku tidak peduli kalau setelah ini aku akan terkenal seantero desa karena status f******k yang aku bagikan.
Meskipun Hena datang melabrak dengan membawa pasukan, aku hadapin. Tidak akan mundur meski hanya satu centimeter.
'Aku tidak akan takut dengan dia,' jerit batinku seraya meremas seprai.
Ponselku berbunyi tanda ada notifikasi yang masuk. Aku mengambil ponsel yang baru aku letakkan, dan langsung masuk lagi ke aplikasi biru tadi.
Benar saja, kolom komentar sudah ramai oleh beberapa akun yang mengomentari postinganku. Aku tersenyum puas membaca komentar-komentar mereka yang kini berbalik menyudutkan Hena.
[Pantas saja dikirimi keranda, lah dianya yang ganjen.]
[Sadar, woy! Situ KUMAN, ukur mantan,] tulis salah satu akun dengan menandai akun f******k milik Hena.
[Oh, ternyata ini awal mula adanya keranda di rumah tetangga sebelah?] Dan masih banyak lagi komentar-komentar yang akan membuat Hena mengalami anemia jika membacanya satu persatu.
Namun, dari sekian banyak orang yang memberikan komentar, ada satu yang mencuri perhatianku.
[Serapat apa pun menyimpan bangkai, lama-lama, pasti baunya akan tercium juga.]
Komentar itu ditulis salah satu akun yang memang aku kenal. Rumahnya dekat dengan rumah Hena. Apa mungkin dia mengetahui sesuatu tentang Hena dan Mas Andri?
'Bangkai apa yang disembunyikan? Atau cuma hanya sekedar tulisan tanpa makna?'
Seketika rasa curiga sekaligus penasaranku kian bertambah. Aku akan mencari tahu tentang keduanya.
"Arin!"
Aku terlonjak kaget saat Mas Andri masuk membuka pintu dengan sangat keras. Aku langsung terduduk melihat ke arahnya yang datang dengan mengepalkan kedua tangan.
"Apaan teriak-teriak? Aku, enggak budeg, Mas!"
"Hapus statusmu di f******k! Bikin malu!" ujarnya sambil melotot.
"Kalau aku tidak mau? Aku tidak malu, tuh bikin status kayak gitu. Ngapain malu, aku enggak salah."
Mas Andri semakin mendekat. Rahangnya terlihat mengeras sekeras batu karang di lautan. Namun, aku tidak takut sedikit pun. Jika nanti dia berani memukulku, akan aku laporkan dia ke polisi.
"Jangan ngebantah, Rin, atau aku akan—"
"Akan apa?" Aku memotong ucapannya. "Akan mukul? Silahkan, pukul!" ujarku menantang.
Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah lemari pakaian. Kuambil dan aku keluarkan semua pakaian Mas Andri dalam sana hingga berjatuhan dan berserakan di lantai.
Selanjutnya, aku mengambil karung dan memasukkan pakaian Mas Andri ke dalam karung tersebut.
"Rin, kamu apa-apaan, Rin?" tanyanya dengan wajah yang mulai melunak.
"Aku ingin mengantarkan ini ke rumah Hena. Sekalian mengantarkanmu ke sana. Aku yang jadi istrimu, tapi selalu dia yang kamu bela! Maka dari itu, aku pulangkan lagi kamu ke sana. Ingat tidak, bagiamana kehidupan kamu bersama dia dulu? Ingat, bagaimana kamu pusing karena setiap hari selalu ada kurir yang datang mengantar paket dan meminta uang? Ingin terulang lagi? Ingin makan cuma sama sambal doang, sampai kamu sakit perut? AKU IKHLASIN!!" Aku berteriak tepat di depan wajahnya.
Mas Andri menggeleng dengan cepat. Dia mendekatiku dan memegangi kedua tanganku. Meminta maaf dan mengatakan telah salah. Pastinya dia tidak mau kembali ke masa penjajahan. Di mana dia yang bekerja, tapi tidak bisa menikmati hasil kerjanya.
Menurut cerita Mas Andri dan kesaksian beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan Hena. Hena memang sangat boros. Dia selalu membeli barang yang dia mau, bukan yang dibutuhkan. Dia pun selalu mementingkan perutnya sendiri, daripada suaminya.
"Aku tidak tahan dengan sikap dan sifat Hena yang menganggapku sapi perahnya. Aku tidak boleh lelah, tidak boleh istirahat walau cuma semalam, harus tetap melaut meski dalam keadaan badan kurang sehat," ujar Mas Andri dulu.
Sebagai orang yang bekerja pada abah, Mas Andri sering datang ke rumah dan mengeluhkan rumah tangga dia bersama Hena.
"Istriku selalu marah, kalau pulang tidak bawa uang. Jangankan melayani, nasi pun dia sembunyikan kalau hasil melaut lagi sepi," tuturnya lagi.
Aku yang kala itu mendengarkan dia dari dalam kamar, merasa iba saat dia menceritakan bahwa rumah tangganya sudah berakhir dengan Hena. Sejak itu, Mas Andri sering datang ke rumah abah bersama para nelayan yang lain, yang selama ini memakai perahu milik abah.
Abah yang sudah menganggap semua rekan kerja adalah saudara, akhirnya menjodohkan aku dan Mas Andri setelah satu tahun dia menduda.
Awalnya aku menolak, karena memang tidak sama sekali tertarik pada pria Jawa Tengah, yang tiba-tiba nyasar dan tinggal di tanah Sunda, bernama Andri itu. Namun, abah memaksa.
"Usiamu sudah dua puluh enam tahun, Neng. Abah tidak mau, kamu jadi bahan omongan orang. Katanya kamu perawan tua, katanya kamu kena kutukan tidak akan nikah-nikah, kamu ini, kamu itu. Abah ingin melihat kamu jadi pengantin," tutur abah saat itu.
Hidup di pedesaan yang belum maju dan terkenal, menikah di usia matang selalu dibilang perawan tua. Karena rata-rata, wanita di desaku menikah pada usia dibawah dua puluh lima tahunan. Ada juga yang menikah setelah satu minggu memiliki KTP. Setelah lulus sekolah, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, aku yang di usia matang belum juga menikah, menjadi sebuah objek untuk bahan gibah orang-orang sekitarku. Menyedihkan.
"Aku minta maaf, mungkin kata-kataku menyakiti kamu, Rin. Aku tidak membela Hena, aku hanya tidak mau aib rumah tangga kita sampai jadi tontonan dan pembicaraan orang-orang," tutur Mas Andri.
Aku terbangun dari lamunan saat Mas Andri kembali berucap.
"Mantan istrimu duluan yang ngajak ribut, Mas."
"Iya, Sayang. Mas tahu, tapi jangan kamu ladeni. Jangan kamu tanggapi, biarkan saja dia mengoceh sendiri. Semakin kamu layani, dia akan semakin menjadi. Aku tidak ada hubungan apa-apa lagi sama dia." Mas Andri mencoba meyakinkan.
Aku diam mengamati wajah gelap Mas Andri. Meyakinkan, tapi tidak meluluhkan kecurigaanku. Aku harus tetap waspada dan siaga dalam menghadapi kemungkinan akan adanya serangan balik dari Hena. Secara tidak langsung, sebenarnya Mas Andri membela Hena. Namun, dia tutupi dengan kepura-puraannya.
"Ya sudah, aku maafin. Tapi awas kalau sampai ada bukti kamu masih berhubungan dengan mantan istrimu itu, aku akan bertindak lebih dari ini," ujarku mengancam.
"Tidak akan, nanti akan, Mas bilangin ke Hena. Supaya tidak lagi mengganggu rumah tangga kita. Kamu harus percaya sama, Mas."
Aku mengangguk meski ragu.
Setelah drama pengusiran yang gagal, Mas Andri mulai bersiap untuk kembali pergi ke laut. Biasanya, setelah isya dia akan turun ke laut.
"Rin, itu siapa yang ngetuk pintu kenceng banget?" tanya Mas Andri.
Aku mengedikkan bahu seraya menyuapkan lagi nasi ke dalam mulut. Saat ini, aku dan Mas Andri sedang menikmati makan bersama sebelum Mas Andri berangkat.
"Andri! Arini!"
Aku dan Mas Andri saling pandang mendengar perempuan yang berteriak dari luar.
"Sepertinya aku kenal suara itu. Lihat, yuk, Mas!"
Mas Andri mengangguk dan kita berjalan bersamaan ke pintu depan.
Aku menggulung lengan bajuku sampai ke sikut. Mengikatkan rok plisket yang aku pakai ke pinggang, menyisakan celana legging berwarna cokelat.
'Gelud, oy gelud!'
BersambungTeruntuk Mantan Istri Suamiku 4Aku mengekor di belakang Mas Andri dengan semangat yang menggebu-gebu. Memasang kuda-kuda bersiap menerima serangan yang tidak terduga."Andri! Tolong!"Saat membuka pintu, wanita paruh baya langsung menghambur menghampiri suamiku. Dia adalah ibunya Hena–Bu Ria.Aku yang sedari tadi siap untuk bertempur, seketika berdiri dengan tegak sembari membenarkan letak rok yang tadi aku ikat ke pinggang. Lalu, menatap wajah tua itu dengan lekat."Ibu kenapa?" tanya suamiku."Tolong Hena, Andri. Tolongin dia, Hena kesurupan, Dri!""Apa?" ucapku dan Mas Andri berbarengan.Aku dan Mas Andri saling pandang. Sebenarnya tidak sedikit pun aku percaya dengan ucapan wanita paruh baya itu. Aku curiga, jika dia tengah be
Teruntuk Mantan Istri Suamiku 5"Ibu, aku tidak mau mati, Bu. Aku tidak mau masuk ke dalam sana, aku takut!" jerit Hena seraya menggeser tubuhnya.Dia yang sejak tadi terus berteriak dan berontak, kini dia melunak dan bersembunyi di balik tubuh Ibunya.Semua orang yang berada di rumah Hena saling pandang, mereka keheranan dengan perubahan Hena yang begitu cepat."Kamu pura-pura kesurupan, ya Hen?" tanya salah satu pria yang sedari tadi memegangi Hena."Kurang kerjaan sekali kamu mengerjai tetangga," ujar yang lain lagi."Dari awal, aku sudah curiga sama dia. Masa iya, kesurupan mintanya dinikahin. Ini pasti hanya akal-akalan dia saja, biar bisa rujuk sama si Andri!" ujar salah satu warga yang emosi.Hena semakin mengeratkan pegangan tangannya pada Bu R
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 6 "Arini tunggu?!" Eh, ngapain dia manggil? Ngajak gelud? Jabanin! Aku sudah siap siaga. Ikan yang tadi aku beli, sudah aku simpan di motor terlebih dahulu. Melihat Hena semakin mendekat, aku semakin menegakkan badan. "Rin, aku pinjam duit, buat bayar ikan." "Hah?!" ujarku kaget. Ah, elah .... Kirain mau ngajak gelud, taunya mau minjem duit. "Pinjem duit, seratus ribu doang," ujar Hena semakin memperjelas ucapannya. "Aku gak salah dengar, 'kan? Kamu mau pinjam uang, padaku?" "Iya, aku mau bayar ikan yang tadi sudah di timbang. Cuma seratus ribu doang, nanti juga diganti kalau sampai rumah." Hena minta tolong, tapi gayanya seperti orang malak. Tidak ada sopan-sopannya, juga tidak bicara dengan kata-kata yang lembut, yang bisa meluluhkan hatiku. Malah sebaliknya, dia berdiri angkuh dengan melipat ked
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 7"Aaaahhh!" Hena menjerit saat tubuhnya jatuh ke dalam styrofoam box berisikan air es bercampur darah ikan. Bau anyir menyeruak membuatku merasakan mual yang amat sangat.Aku menutup hidung, lalu pergi meninggalkan Hena yang masih berusaha keluar dari tempat yang menjijikkan itu."Dadah, mantan!" ucapku sebelum beranjak."Arini, awas kau!!"Aku mengibaskan tangan di udara tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.Orang-orang mulai berkerumun menyaksikan pertunjukkan Hena yang jatuh dalam styrofoam bekas ikan. Sedangkan aku, memilih cepat pergi untuk mengantarkan pesanan ikan yang sedang ditunggu pelanggan.*Selesai mengantarkan ikan pada pelanggan, dan berjalan-jalan sebentar, aku pun segera pulang. Segudang pekerjaan rumah sudah menantikan sentuhan tanganku."Kok, pulangnya telat, Rin?"
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 8Wajah Mas Andri kembali memerah menahan amarah. Ia berdiri lalu menggebrak meja makan dengan sangat keras."Rin, tunggu! Mau ke mana kau?!" ujar Mas Andri berteriak. Ia mengejar, lalu mencekal pergelangan tanganku.Matanya melihatku dengan tajam. Rahangnya mengeras dengan gigi yang gemelutuk."Kamu, makin lama makin kurang ajar sama suami, Rin. Kamu ingin membunuhku?""Jika membunuh dihalalkan, sudah aku lakukan dari kemarin padamu, Mas! Kamu tak paham, dengan apa yang aku rasakan, Mas! Aku melakukan ini karena rasa sakitku akibat ulahmu itu!"Aku berteriak, meluapkan amarah yang sedari tadi aku pendam. Sekuat apa pun aku menahan, aku juga perempuan yang memiliki perasaan. Di depan Hena, aku bisa tegar dan kuat, karena aku tak ingin wanita itu melihat kelemahanku. Na
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 9Semilir angin pantai menggiringku untuk menceritakan semua yang aku rasakan dan aku alami dalam rumah tanggaku. Aku mencurahkan isi hatiku pada Santi. Mengatakan apa yang ingin aku keluarkan.Ini seharusnya tidak terjadi. Harusnya aku tidak menceritakan masalah rumah tanggaku pada siapa pun. Ini aib yang harus aku tutupi. Akan tetapi, aku tidak tahan. Aku butuh teman yang bisa mendengarkan cerita dan keluhanku. Teman yang tidak menghakimi dan menyalahkan. Juga, bukan teman yang mencampuri dan masuk dalam masalahku. Aku butuh pendengar setia, yang akan menjaga rahasia ini. Dan Santi, adalah teman yang tepat menurutku."Kenapa tidak cerai saja, Rin. Aku kok, nyesek dengar ceritamu itu," ujar Santi saat aku selesai berbicara."Tidak semudah itu, San. Kita
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 10"Hahahaha ... aku kira cuma aku yang tahu soal itu, Rin. Rupanya ada yang tahu juga?"Santi menghampiriku dengan membawa bakso lobster. Tawanya pecah, saat pria tadi mengatakan aib yang harusnya jadi rahasia.Aku mencebik, tidak suka dengan tawa Santi yang meledekku."Sinikan, baksonya. Aku lapar," kataku mengambil alih mangkuk dari tangan Santi."Astaga Arini! Hahaha ...." Santi kembali tertawa saat melihatku.Juga pria itu, dia pun ikut tertawa meski tidak bersuara."Apaan, sih?" kataku tak mengerti."Itu tisu kenapa bisa masuk ke hidung?" tanya Santi.Astaga, kenapa aku melupakan tisu itu?Seharusnya dia berinisiatif, langsung loncat dan pergi jauh, ketika ada pria yang datang menghampiriku. Bukannya malah diam tanpa melakukan apa-apa. Dasar tisu gak ada akhlak.Aku langsung meraba hidungku, mengambil tisu dan membuangnya
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 11Ah, ya aku baru ingat, kalau di rumah, ada Mas Andri yang mungkin sekarang sedang bolak-balik ke kamar kecil. Aduh, ini petaka untukku. Kalau Abah sedang di rumahku, itu artinya Abah melihat langsung penderitaan Mas Andri yang disebabkan olehku.Alamat disidang sama Abah, aku."San, aku pulang, ya. Ini uang baksonya." Aku memberikan satu lembar uang berwarna hijau kepada wanita yang kini tengah menyusui balitanya."Udah selesai makannya? Simpan saja mangkuknya di situ, Rin. Gak usah bayar, udah dibayarin sama A Yusuf," ujar Santi dari dalam."Hah? Ah, yang bener? Ngapain dia bayarin bakso aku, San?""Tadi, dia beli kopi, sekalian makananmu dibayar sama dia. Sudahlah, gak usah sok kaget kayak gitu. Disyuku
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep