TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 20
"Astaghfirullahaladzim, Abah!"
Abah menjatuhkan tubuhnya, ia berlutut di depanku.
"Abah, kenapa, Bah? Bangun," kataku memegangi kedua pundaknya.
"Sebentar, Neng, kaki Abah kram, kesemutan."
"Ya Allah, Bah. Kirain kenapa, aku udah kaget banget, lho," kataku memegangi dadaku.
Abah memang sering merasakan kram di kakinya. Itu juga yang membuat Abah berhenti melaut. Ia pernah jatuh dari perahu saat menarik jaring, karena kram tadi.
"Sini, Bah, luruskan kakinya." Aku turun dari ranjang untuk membantu Abah.
"Sakit banget, ya, Bah?" tanyaku.
"Sedikit, nanti juga biasa lagi. Rin, maafkan Abah, ya?"
Aku mengerutkan kening menatap Abah yang jug
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 21Yusuf, dia ada di sana bersama ayah dan kakeknya. Ah, rasanya aku ingin pulang saja, aku tidak mau bertemu dengan dia lagi. Malu. Kejadian tadi masih berbekas di benakku."Bah, aku ke warungnya Santi saja, ya?" ucapku saat hampir sampai di tempat tujuan Abah."Emangnya Santi menginap di sini? Ini sudah malam, lho.""Tuh, masih buka." Aku menunjuk warung berdindingkan bambu itu."Yasudah, kalau Santinya tidak ada, kamu cepat-cepat ke sini, ya?""Iya, Bah."Saat menuju warung Santi, aku mendengar dua orang yang tengah berbicara. Di bawah pohon pandan, aku melihat dua kakak beradik tengah duduk lesehan di atas pasir.Aku mendekati mereka, mendengarkan apa yan
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 22Aku membalikkan badan, melihat setan jeng ...."Kamu?"Aku sedikit kaget dengan kehadiran dia di sini. Senyumnya menyeringai dengan kedua tangan yang dia lipat di perut."Katanya mau pisah, tapi kok masih memperhatikan Mas Andri. Masih cinta, ya?" ujar Hena. Wanita yang tadi menepuk pundakku.Ah, kalau wanita ini, bukan hanya jenglot, tapi juga induk segala demit."Tidak ada wanita yang tidak mencintai suaminya. Tapi, cintaku pupus setelah dia melakukan pengkhianatan. Apalagi, setelah aku tahu bahwa lelaki yang aku sebut suami itu, bermain gila dengan sampah yang pernah dia buang.""Apa yang kamu maksud sampah itu, aku?" tanyanya mengerutkan kening."Aku tidak menyebut
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 23Subuh-subuh, aku sudah mendapati ponselku yang penuh dengan pesan. Dari siapa lagi, kalau bukan dari pelanggan yang memesan ikan.Aku menggaruk kepala. Lupa tidak memberi pengumuman kalau hari ini aku ingin libur untuk jualan. Tapi, kalau sudah begini, apa boleh buat, aku harus ke pelabuhan untuk membeli ikan dan mengantarkannya kepada mereka.Setelah salat dan memasak untuk sarapan Abah, aku pun berpamitan untuk pergi. Abah mengijinkan dengan syarat, tidak pulang terlalu siang. Kata Abah, nanti Abah ingin bicara tentang perpisahan aku dan Mas Andri.Sampai di pelabuhan, aku langsung masuk ke TPI. Membeli ikan yang menjadi pesanan pelangganku. Keuntungan yang aku dapat dari menjual ikan, tidak terlalu besar. Kisaran untung dua sampai lima ribu rupiah saja per kilogram.&nb
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 24Sebagian besar ikan yang aku bawa, sudah aku kirim ke pembeli. Tinggal sisa dua kilo lagi yang kini masih ada dalam keranjang jualanku, yang akan aku antarkan ke toko Bu Haji.Aku menghentikan motor dan turun, setelah aku sampai di tokonya Bu Haji."Assalamualaikum, Bu Haji.""Waalaikumsalam. Ke mana aja, Rin. Jam segini baru nyampe. Untung saja, Ibu gak beli lauk di tempat lain."Aku hanya nyengir mendapat omelan dari pelanggan. Sudah biasa, kalau telat, harus terima konsekuensinya. Yaitu, diomelin.Ini semua gara-gara Mas Andri tadi. Coba saja dia tak menghalangi jalanku, pasti sekarang aku sudah selesai mengantarkan ikan ke semua pemesan."Maaf, Bu Haji, tadi ada sedikit ke
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 25"Rin, kamu pulang?" ujar Mas Andri.Sudut bibirnya terlihat merah, mungkin bekas sirip ikan bawal tadi."Apa yang kamu lakukan dengan ruamahku, Mas? Siapa yang menyuruh kalian mengganti warna catnya?" tanyaku dengan wajah yang menahan amarah."Ibu yang nyuruh. Ibu bosan dengan warna biru laut. Berasa kayak rumah Nyi Roro Kidul, kalau warna laut. Ibu ingin yang segar, yang bisa memberikan semangat saat kita membuka mata." Ibu menjawab pertanyaanku."Ini rumahku, bukan rumah Mas Andri!" ujarku dengan berteriak."Arin! Yang sopan kamu sama Ibu. Jangan berteriak di sini, Rin. Sebentar lagi juga ini akan jadi rumahku, kok. Lihat saja nanti." Mas Andri berucap dengan kedua alis yang terangkat."Maksudm
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 26"Ya Allah, Neng ... orang mah kalau jatuh bilangnya sakit, bukan malu." Abah balik kanan, melihat dan membantuku berdiri. Begitupun dengan Yusuf, dia memegang lenganku dan langsung aku tepis.Aku jatuh juga gara-gara dia. Dia yang mengingatkanku pada kejadian memalukan waktu itu."Gak papa, Rin?" tanyanya.Aku menggeleng.Kami pun melanjutkan perjalanan. Kini, aku memilih berjalan beriringan dengan Abah, memegang lengannya dengan erat.Bukan apa, jika nanti aku kesandung lagi, biar Abah saja yang jatuh. Aku enggak. Eh.Rumah Berwarna merah sudah semakin jelas terlihat. Jaraknya pun semakin dekat.Hatiku kembali dag dig dug membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 27Seperti dihantam batu besar, dadaku berdenyut mendengarkan pengakuan Hena.Bukan hanya aku yang kaget dengan pengakuan Hena. Tapi semua orang yang ada di sini pun sama sepertiku. Sangat kaget."Kapan kalian menikah?" tanyaku."Tidak, Rin. Hena salah, kita belum menikah." Mas Andri yang menjawab."Mas, sudahlah jangan ditutupi terus, percuma. Aku juga lelah dituduh sebagai perebut suami orang!" ujar Hena keberatan dengan sanggahan Mas Andri."Baiklah, kalau begitu, sekarang kita duduk dan selesaikan masalah ini dengan baik-baik. Mari, kita duduk dan dengarkan pengakuan dari Hena dan Andri. Biar nanti, kita bisa memutuskan siapa yang salah diantara kita." Pak RT memberikan instruksi.Akhirnya, warga pun luluh dan bersedia dud
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 28Semua orang berteriak dan menghalangi Abah yang mengambil golok dari pinggang salah satu warga yang duduk di sampingnya. Ia mengacungkan golok itu ke depan Mas Andri."Gung, jangan gegabah! Nanti kamu bisa celaka, bisa masuk penjara!" ujar Pak RT.Abah yang memegang golok dengan bergetar, akhirnya duduk kembali. Golok yang ia pegang, diambil sama yang punya."Andri ...."Suara lirih terdengar, kita semua melihat pada Ibu mertuaku yang memegangi dada seraya memanggil nama anaknya. Mungkin ia kaget, ketika Abah berdiri dengan golok di tangannya tadi."Ibu, Ibu kenapa?" Mas Andri menghampiri wanita itu.Semua anaknya panik. Hingga akhirnya Ibu tidak sadarkan diri.
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep