TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 28
Semua orang berteriak dan menghalangi Abah yang mengambil golok dari pinggang salah satu warga yang duduk di sampingnya. Ia mengacungkan golok itu ke depan Mas Andri.
"Gung, jangan gegabah! Nanti kamu bisa celaka, bisa masuk penjara!" ujar Pak RT.
Abah yang memegang golok dengan bergetar, akhirnya duduk kembali. Golok yang ia pegang, diambil sama yang punya.
"Andri ...."
Suara lirih terdengar, kita semua melihat pada Ibu mertuaku yang memegangi dada seraya memanggil nama anaknya. Mungkin ia kaget, ketika Abah berdiri dengan golok di tangannya tadi.
"Ibu, Ibu kenapa?" Mas Andri menghampiri wanita itu.
Semua anaknya panik. Hingga akhirnya Ibu tidak sadarkan diri.
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 29Mobil yang dipakai Mang Deri untuk mengangkut pasir dan batu, ialah mobil milik Abah. Jadi, dia tidak akan berani membantah, jika Abah menyuruhnya."Mobil untuk apa, Gung? Kakimu kram lagi?" tanya Pak RT. Ia belum pulang, sebelum memastikan semua warganya kembali ke rumah."Kau lihat saja nanti, Te," tutur Abah.Sekarang, hanya ada kita bertiga yang masih belum pulang. Ada pun orang-orang di dalam rumah yang masih berada di kamar Ibu."Kalian nungguin apa?" tanya Hena yang menyadari kita masih berada di sini."Terserahku, dong. Inikan rumah aku," ujarku jutek.Hena memutar bola mata. Ia seperti nyonya, duduk di sofa dengan mengangkat kedua kaki ke atas meja.Karena tenggorokan terasa haus,
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 30Melihat Ibu kembali pingsan, aku buru-buru menarik tangan Abah untuk keluar dari dalam rumah. Segera aku naik ke atas mobil dan menyuruh Mang Deri untuk tancap gas.Aku tidak mau jika terlalu lama di sana, Mas Andri akan meminta uangku dengan alasan berobat ibunya.Aku pelit, perhitungan? Iya, memang.Aku sudah tidak mau lagi mengeluarkan uang sepeserpun untuk mereka. Cukup sudah baktiku pada keluarga Mas Andri. Biar sekarang, urusan keluarga Mas Andri, menjadi tanggung jawab Mas Andri sebagai kakak tertua di sana."Sudah sampai, Bah, Rin." Mang Deri menghentikan mobil.Aku dan Abah turun. Mempersilahkan Mang Deri untuk masuk dan beristirahat sebentar. Aku ke dapur, membuatkan dua cangkir kopi untuk Abah
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 31[Aku tidak meminta uangmu, aku meminta uangku yang kau ambil. Tolong kembalikan!][Uang yang mana?] Aku pura-pura lupa.[Yang kamu simpan di dus sarung, yang waktu itu kamu ambil.]Ya ampun, kalau soal uang, dia pasti ingat. Aku berdecak sebal membaca pesan darinya.[Gak ada habis. Sudah aku pakai. Itu bukan uang kamu, tapi uangku yang tidak pernah kamu kasih. Itu nafkah untukku sebagai istrimu! Ingat, apa yang pernah kamu kasih ke aku, tidak seberapa dengan apa yang sudah Abah berikan padamu?] tulisku panjang lebar.Aku harap, Mas Andri membuka mata dan sadar, kalau dia tidak pantas meminta uang itu dariku. Sudahlah dia simpan dengan diam-diam, kini minta dikembalikan, pula. Menyebalkan.[Kamu mau perhitungan dengank
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 32"Gak mungkin, San, gak mungkin aku hamil. Aku gak mau hamil, ah ...."Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat.Santi mengusap perutku yang rata. Ia melihat wajahku dengan sendu."Rin, kalau kamu hamil terima saja. Gak papa, kok. Kan kamu sudah menikah, wajar kalau kamu hamil dan punya anak," tuturnya."Aku udah ditalak. Aku juga gak mau punya anak dari Mas Andri, San. Aku gak mau." Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan.Antara takut dan bingung. Gimana kalau Mas Andri memanfaatkan kehamilanku untuk bisa kembali kepadaku. Aku tidak mau hidup dimadu. Apalagi harus kembali menjalin hubungan suami istri dengan dia."Rin, anak itu rejeki yang tak ternilai. Kamu harus bersyuk
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 33"A Yusuf?" kataku."Iya ini aku, kamu kenapa?" tanya pria yang duduk di atas motor."Pusing." Aku menjawab seraya mengusap wajah."Mau ke puskesmas?"Aku hanya mengangguk lemah."Ayo, aku anterin. Kebetulan, aku pun mau ke daerah sana."Tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakan ajakan Yusuf. Daripada aku pingsan di pinggir jalan, lebih baik aku ikut dengannya.Tidak ada kata antara kami. Aku diam merasakan kepalaku yang semakin berdenyut. Tubuhku serasa melayang akibat pusing yang kurasakan."Rin, dah sampai. Mau aku bantu masuk ke dalam?" tanyanya."Tidak. Terima kasih, A. Aku bisa
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 34Ibu menyenggol lengan Ira yang keceplosan."Jadi, kalian datang ke sini mau minta makan?" ucapku melihat wajah mereka."Tidak lah, bukan. Kita ke sini karena mendengar kamu hamil. Tapi ternyata kamu gak hamil. Yasudah, Mas kita pulang saja, yuk." Hena menarik lengan Mas Andri.Namun, laki-laki itu bergeming. Ia melihat ke arah ibunya yang memberikan kode dengan mengedipkan mata dan mengerucutkan bibir.Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu."Tuh, Ibu-ibu dengar, 'kan. Kalau Arini tidak hamil. Jadi, sebaiknya bubar. Pada pulang semuanya. Kasihan, anak saya mau istirahat," ujar abah menyuruh Ibu-ibu yang hadir pada pulang.Satu persatu dari mereka pun pergi. Tinggallah keluarga
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU 35Seperginya Mas Andri dan keluarganya, aku hanya tidur dan beristirahat. Sakit kepalaku perlahan sedikit mereda setelah meminum obat yang diberikan Della tadi.Sore harinya, aku melihat Abah yang tengah membuat garasi. Bukan garasi mobil atau motor, tapi garasi untuk menyimpan perabotan yang aku bawa dari rumah lamaku.Abah memang multi talenta, Bukan hanya bisa menangkap ikan, tapi juga bisa membuat rumah. Rumah-rumahan maksudnya."Rin, kamu lihat paku, tidak?"Aku yang tengah duduk dengan memainkan gawai, seketika menoleh saat Abah bertanya."Paku apa? Tidak lihat," kataku."Ih, paku buat asbes, yang kepalanya besar dan lebar," ujar Abah seraya terus mengobrak-abrik perkakas."Tidak
TERUNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU36"Geser lagi, Rin. Terus, sedikit lagi."Sekuat tenaga aku menggeser sedikit demi sedikit meja makan dengan di atasnya tersimpan empat buah kursi meja makan."Sedikit lagi, Rin."Aku berdiri berkacak pinggang. Menatap Abah dengan tatapan menyeramkan."Kok, berhenti? Belum nyampe tujuan itu," ujar Abah."Arin, capek, Bah. Berat ini." Aku menepuk ujung meja dengan kesal.Abah menyebalkan, aku dia suruh mendorong meja, sedangkan dia malah asyik duduk sambil merokok."Masa, baru gitu aja capek. Lihat, Abah mah, sudah bikin tempatnya, nurunin barangnya dari mobil. Lah, kamu tinggal dorong-dorong segitu saja, sudah bilang capek. C
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Aku membuka mata perlahan. Melihat ke samping, di mana ada seorang pria yang tengah terlelap dalam tidurnya.Rasanya begitu damai dan tenang. Seperti hatiku yang kini sudah kembali merasa senang, karena kekasih hatiku telah kembali pulang.Melihat jam yang menempel di dinding, aku memilih turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sudah pukul satu siang, dan aku belum menunaikan salat dzuhur."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam!"Dengan masih berbalut mukena, aku keluar dari kamar untuk membuka pintu. Entah siapa yang datang, tapi sepertinya ... Mama!Ya, pasti orang tua Yusuf sudah sampai.Aku mempercepat langkahku agar bisa dengan segera membukakan pintu untuk mereka."Mama, Ayah?""Mana Yusuf, Rin?" tanya Mama dengan m
Tuhan itu tahu apa yang terbaik untuk kita. Saat aku mulai belajar untuk iklhas atas kepergian suamiku, menerima yang telah jadi garis takdir hidupku, ternyata Tuhan mengembalikan suamiku dengan cara yang tidak pernah aku sangka.Dia datang sendiri memberikan kejutan di waktu yang tidak pernah aku duga.Bahagia?Dusta, jika aku mengatakan tidak.Hatiku ibarat taman bunga yang dipenuhi dengan bunga yang sedang bermekaran.Begitu indah, sangat indah dan berseri.Kini, tangan ini digenggamnya kembali. Sedari tadi, bibirku tak hentinya terus menebar senyum manis.[Neng, bawakan air mineral ke sini.] Aku menuliskan pesan kepada Neneng.Tidak lama, Neneng datang dengan dibantu temannya. Menyimpan d
"Sepuluh, ya? Sekarang ... coba kamu hitung jari tanganku." Yusuf menyimpan kedua telapak tangannya di pangkuanku.Beberapa saat diam dan tidak paham dengan apa yang dimaksud Yusuf, kini aku menyadari sesuatu."S–sembilan? Jari kelingkingmu?"Aku menghitung berulang kali jari tangan suamiku, tapi jumlahnya tetap sama. Yusuf, kehilangan jari kelingkingnya."Ya, sekarang aku cacat, tidak sempurna. Entah jenis ikan apa yang memakan jariku. Aku tidak menyadarinya."Ada gurat kecewa yang aku lihat dari matanya. Namun, tidak bagiku. Bukankah aku pernah berkata, kalau aku akan tetap menerima dia dalam keadaan apa pun juga? Meskipun cacat sekalipun.Aku tersenyum tulus padanya, mengambil kedua tangan itu dan menciumnya satu persatu."Jangan risau, Aku memiliki sep