Bab 18Aku kembali ke kamar dengan perasaan sesak menahan kekesalan yang luar biasa. Rasanya seperti batu yang menumpuk di dada dan kepalaku. Berat sekali.Apa-apaan Mas Agung itu. Kenapa dia bisa berpikir untuk menjual rumah ini. Tidakkah dia kasihan kepada Adi. Lagipula waktu rumah ini dibangun, selain dari uangnya, aku juga ikut membiayai dan dibantu dengan ayah mertua juga.Aku menimbang-nimbang antara harus memberitahu ayah dan ibu mertua atau tidak. Karena selain memikirkan kesehatannya aku juga takut ayah mertua akan mengamuk kepada Mas Agung dan tidak bisa mengontrol dirinya dengan hutang yang besar, hingga akhirnya penyakitnya asmanya kambuh. Tapi aku juga tidak ingin disalahkan, jika Mas Agung nekat melakukan hal itu. Lagipula mereka sangat baik kepadaku, dan juga sangat menyayangi Adi, cucu satu-satunya."Bu, ada apa barusan di luar? Kenapa wajah ibu seperti sedih begitu?" tanya Adi penasaran dengan mulut penuh makanan, sampai saus di mulutnya sedikit belepotan. Anak itu s
Bab 19Usai mengadu pada Ibu Mertua, akhirnya aku pamit kepada mereka dan membawa Adi untuk jalan-jalan, sesuai janjiku tadi sebelum berangkat.Untunglah uang di tabunganku masih banyak hasil dari orderanku selama ini, karena aku tidak boros dan selalu berusaha menghemat pengeluaran .Sekarang saatnya memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Kami berjalan beriringan menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya,lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak.Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model yang kekinian.Kubiarkan Adi memilih apa yang diinginkannya.Tidak apa-apa sekali-kali memanjakannya, toh tidak setiap hari juga kami pergi belanja. Lagipula, sudah lama aku tidak membelikan baju baru untuknya."Bu, jaket yang biru itu bagus nggak?" tanya Adi menunjuk baju yang bertengger di jajaran paling atas. Warnanya yang cerah sepertinya mem
Bab 20Sudah dua jam lamanya, kami bertiga berkeliling berjalan-jalan dari satu toko ke toko lainnya, hingga kaki terasa pegal dan akhirnya memilih duduk di bangku tunggu sambil melihat Adi bermain mandi bola.Yuda masih setia mengikuti kebersamaan kami. Dia pun tampak tidak keberatan membawa barang-barang belanjaan, yang isinya kebanyakan mainan kebutuhan sekolah dan baju-baju yang kubeli untuk Adi. Kami sudah seperti suami istri dan anak."Kamu nggak bosen ngikutin kami terus? Jika kamu bosan sebaiknya pergi saja. Atau kamu mungkin mau ketemu lagi sama Anisa," kataku sambil menatapnya karena tak enak hati jika terus-terusan diikuti olehnya. Lagipula kami bukan siapa-siapa bagi Yuda. Dan rasanya aneh dan sedikit risih duduk berdekatan dengannya, meskipun Yuda terlihat sama sekali tidak keberatan sepertinya."Memangnya kenapa sih, kalau aku ngikutin, Mbak? Apakah ada yang salah ya?" Yuda tersenyum manis menetap dalam manik mataku. Aku segera membuang pandangan ke arah lain. Risih seka
Bab 21Apa sebenarnya yang dipikirkan lelaki itu hingga dia berani sekali menyuruhku untuk memasak makanan untuk teman-temannya yang sama sekali tidak kukenal itu. Ingatanku tertuju pada hutang Mas Agung yang sangat besar. Apakah mereka salah satu teman-teman Mas Agung yang sama-sama tukang judi. Entahlah, tapi sepertinya mereka memang bukan orang baik-baik, terlihat dari cara mereka bertamu, sama sekali tidak menghormati tuan rumah.Mas Agung dan Zahra pun cenderung tidak berbaur dengan mereka di depan dan lebih memilih berdiam diri dalam kamar. Sesuatu hal yang sangat aneh menurutku.Aku menghampiri Adi di kamarnya. Anak itu tampak sedang belajar dengan serius. Segera kuhampiri dan duduk di atas ranjangnya yang berwarna biru."Belum beres belajarnya, Di.""Belum, Bu. Sedikit lagi." Anak itu kembali melihat buku pelajaran.Aku menunggunya sambil berbaring menahan rasa kantuk yang luar biasa, mungkin efek kelelahan setelah jalan-jalan seharian tadi makanya mataku terasa berat.Entah
Bab 22Bu Dian yang telah kukirimi pesan sebelumnya, tiba di rumah bertepatan dengan saat Adi hendak berangkat ke sekolah."Aku berangkat sekolah dulu ya, Bu," kataanak itu menyalamiku dan langsung pergi."Indira, kenapa rumahnya berantakan begini?" tanya wanita yang berusia 37 tahun itu melihat ruang tamu yang berserakan."Itu semalam ada temannya suami, makannya belum aku beresin," kataku sambil tersenyum dan mengajaknya ke dapur."Tumben biasanya kamu paling rajin dan rumahnya selalu terawat bersih," katanya dengan kerutan di keningnya. Mungkin heran karena kebiasaanku yang selalu bersih dan tak suka dengan rumah yang berantakan. Tapi tidak kali ini, aku akan membiarkan semuanya sampai Mas Agung dan Zahra yang membersihkannya sendiri, agar mereka tahu rasanya merawat rumah agar terawat itu seperti apa."Ya udah yuk, sekarang kita bikin adonan, banyak banget lah pesanan hari ini.""Kalau soal kerjaan mah sia
Bab 23"Mbak kan yang tadi masuk ke rumahku, terus mencuri uangku! Ayo ngaku, Mbak. Dasar pencuri!!" tuding Yanti sambil menunjuk tepat ke wajahku yang menganga mendengar penuturannya yang tidak masuk akal itu. Mencuri? Yang benar saja. Seumur hidup aku tidak pernah mencuri uang siapapun, apalagi itu uang Yanti di rumah mertua pula. "Hei, Yanti. Kenapa kamu menuduh Mbak tanpa alasan!?" kataku merasa tidak terima dengan tuduhannya yang keji itu. Lagi pula pula dari mana dia punya uang. Bukankah dia hanya seorang pengangguran selama ini. Bahkan kuliah pun tidak benar dan kerjaannya hanya kumpul-kumpul tidak jelas bersama dengan teman-temannya yang sama-sama begajulan."Aku tidak menuduh Mbak. Kata tetangga, Mbak barusan masuk ke rumahku bukan, terus disaat yang bersamaan uangku juga hilang. Lalu jika bukan Mbak, siapa lagi yang mencurinya. Lagipula Mbak itu pasti tidak dinafkahi oleh Mas Agung karena dia sekarang sudah punya Zahra?!" tudingnya
Bab 24Aku segera pulang ke rumah saat mentari sore hampir tenggelam. Bersama dengan Adi diboncengan, setelah tadi Bu Dewi dan Yuda ikut menenangkanku yang tersulut emosi.Dasar anak itu kurang ajar sekali, berani-beraninya dia mempermalukanku dan berusaha memfitnahku. Awas saja jika sampai Ayah Mertua mendengarnya dan mengatakan hal lain, aku tak segan-segan menamparnya di depan keluarganya sendiri. Aku tidak peduli.Setelah beberapa menit melewati perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah. Terlihat pintu yang terbuka dan tampak jelas terdengar suara orang tengah mengobrol di dalam.Ternyata orang yang kemarin bertamu tidak sopan itu kembali datang ke rumah dengan formasi yang sama. Lima orang. Dan dengan tak tahu malunya mereka mengobrol sambil tertawa keras dan mengepulkan asap dari mulut mereka.Karena tak kulihat keberadaan Mas Agung dan Zahra, baiklah, kita lihat bagaimana jika aku bereaksi kepada mereka dan memberi sedikit pelajara
Bab 25Benar saja, pada akhirnya Mas Agung menuruti semua perintahku. Meskipun istrinya terlihat bermalas-malasan dengan wajah cemberut seperti tidak ikhlas dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal itu bekas kekacauan yang telah diperbuat oleh tamu Mas Agung, harusnya dia tahu diri.Aku sengaja duduk di sofa ruang tamu yang telah di lap oleh Mas Agung sebelumnya, sambil membuka ponsel dan melihat semua pesan yang masuk ke nomorku dari para pelanggan. Sebagian mereka merasa puas atas kue dan donat yang kubuat dan kukirimkan pada mereka tepat waktu.Alhamdulillah, aku bersyukur jika hasil yang kukerjakan tidak sia-sia, karena bagiku kepuasan pelanggan adalah tujuan utama. Lagipula kue-kue dan donat yang kujual harganya pun lumayan agak mahal karena terbuat dari bahan-bahan kualitas premium, tapi terjamin kualitasnya."Enak sekali ya, duduk-duduk tanpa ngelakuin apapun," cibir Zahra sambil berkacak pinggang dan melemparkan sapu ke arahku. Untunglah tidak sampai kena.Aku masih duduk s